Subdural Hemorage
Subdural Hemorage
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective
tissue
atau
jaringan
penyambung,
aponeurosis
atau
galea
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
serebeli
membagi
rongga
tengkorak
menjadi
ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang
tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume
komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
b. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial
(ICP). Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat
konstan selama MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya
autoregulasi dari arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi
dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan.
PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung
kepala
dengan
suatu
benda
keras
maupun
oleh
proses
yang
berlawanan
dari
benturan
(contrecoup).
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.16 Penatalaksanaan cedera kepala tergantung
pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat
survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap
di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi
untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
lebih
2. dari 20 cc di daerah infratentorial
3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala
dan
4. tanda fokal neurologis semakin berat
5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
2.2 Subdural Hematoma
Definisi
Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi,
biasanya telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak.
2.
Epidemiologi
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus
sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena
mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang
terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari
ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang
subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural
akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif
melaporkan bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh.
Penelitian lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada
pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada
remaja dengan umur 10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan
hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah
tipikal . Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan
3.
Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
karena
tarikan
ketika
terjadi
pergeseran
rotatorik
otak.
Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua
dan juga pada anak anak.
subdura.
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
4.
Patofisiologi
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang
dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan
kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk
epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran
pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu
akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan
suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan
bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama
kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena
yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi
serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
Klasifikasi
a.
Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam jam setelah trauma. Biasanya terjadi
pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2)
Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk
atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila
terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
b.
2.
Tipe laminar
3.
4.
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang
trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada
awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk
laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium
terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama
penyerapan.
c.
2.
3.
Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi,
sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan
subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini
berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
6. Manifestasi Klinis
Dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh
tentang sakit kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga
mengeluh setelah trauma kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala
yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itu
timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa
kesadaran yang makin menurun, organic brain syndrom, hemiparesis ringan,
hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.
Gejala umum yang dapat tampak adalah :
1. Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus.
2.Tampak ada gangguan psikik.
3. Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun.
4. Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan
epilepsy, dan papiledema.
5. Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari
a.perikallosa ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom
subdural sendiri akan tampak suatu daerah bebas kontras yang berbentuk
bifocal.
6. CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.
Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu
dari karakteristik berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan
muntah-muntah dan eksaserbasi batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum
lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan inkonntinensia. Hemiparesis dan
penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi. Hemiparesis
terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran
mulai
menurun
perlahan-lahan
dalam
beberapa
jam.Dengan
kronis itu terletak antara duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari
sekitarnya sehingga lama kelamaan akan bertambah besar. Simptomatologinya
sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma kapitisnya sendiri begitu
ringan. Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi tentang
kapan dan dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan
kesadaran
menurun.
Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting
yang harus digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat
dalam bentuk score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting.
Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan
diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya
yang
signifikan, pemeriksaan
neurology yang
singakat diukur
dengan
6. Pemeriksaan
Laboratorium
- Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera kepala.
Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan tromboplastik oleh
kerusakan
jaringan
otak.
- Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan
pemeriksaan CT-Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang
terlihat pada CT-Scan meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi.
Reperensi rata-rata hampir 85% pada pasien dengan penemuan abnormal terhadap
protrombine time (PT), activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), atau hitung
platelet.
- Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu hasil
dari
penelitian
ini
sebaiknya
tidak
menunda
pembedahan
darurat.
Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (Airway,
Breathing, Circulation ).
- Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan
nafas.
- Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus
dilaksanakan pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya
hipoksia. Hiperventilasi dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi.
- Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang
tinggi dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor.
- Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu
untuk memudahkan ventilasi yang adekuat.
- Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala
sindrom herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV.
- Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi
serangan dan rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial.
- Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif
pada pasien dengan cedera kepala.
Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy
merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy
kurang invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif.
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.
infus untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
c.
Pemberian
obat-obat
neurotropik
untuk
membantu
mengatasi
pneumoencepalus
tension,
seizure
dan
empyema
subdural
- Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak.
Seperti halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini
dapat menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan
pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius
dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil
ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
- Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior. Hampir
5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini disebut
sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi unkus
menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral ditekan
melawan incisura tentorial kontralateral.
10. Prognosis
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural
kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan
tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak.
Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah
prosedur pembedahan.
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk
semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas
dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil
bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup pada pasien
dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya tidak
dicatat
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, edisi IV, cetakan kelima.
Jakarta : PT Dian Rakyat. 87-95. 1999
2. Sidharta, Priguna. Sakit Neuromuskuloskeletal Dalam Praktek Umum.
Jakarta : PT Dian Rakyat. 182-212.
3. Purwanto ET. Hernia Nukleus Pulposus. Jakarta: Perdossi
4. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran,
edisi III, jilid kedua, cetakan keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59.
2004