Anda di halaman 1dari 14

CLINICAL SCIENCE SESSION

PERDARAHAN PASCASALIN

Disusun oleh:
Maria Agustina Sulistyo Wulandari
Sri Sathis Renganathan

Preceptor :
dr. Isfihanny Zaenudin, SpOG(K), MKes

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD
RSUD SUMEDANG
BANDUNG
2015

PERDARAHAN PASCASALIN

Perdarahan pascasalin adalah perdarahan lebih dari 500 ml


yang terjadi setelah janin lahir. Perdarahan postpartum adalah
sebab penting kematian ibu. Seperempat dari kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan (perdarahan postpartum, placenta
previa, solutio placenta, kehamilan ektopik, abortus dan ruptura
uteri) disebabkan oleh perdarahan postpartum. Selain itu apabila
postpartum

tidak

menyebabkan

kematian

maka

akan

mempengaruhi morbiditas nifas karena menyebabkan anemia dan


mengurangkan daya tahan. Maka tugas kita mencegah perdarahan
yang banyak.
Klasifikasi :
1.

Perdarahan pascasalin dini


Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah
janin lahir.

2.

Perdarahan pascasalin lambat


Perdarahan yang terjadu setelah 24 jam setelah janin
lahir

Perdarahan pascasalin dini


Etiologi
1.

Atonia Uteri

2.

Perlukaan jalan lahir

3.

Retensio plasenta/sisa plasenta

4.

Gangguan pembekuan darah

Kriteria Diagnosis
1. Atonia Uteri
- Kontraksi rahim buruk
- Perdarahan banyak
- Tidak ada perlukaan jalan lahir
- Tidak ada sisa plasenta
- Pada umumnya disertai tanda-tanda syok hipovolemik

2. Perlukaan jalan lahir


- Perdarahan banyak
- Umumnya kontraksi baik kecuali ada robekan rahim
3. Retensi plasenta/sisa plasenta
- Perdarahan
- Kontraksi baik
- Pada pemeriksaan teraba sisa plasenta
4. Gangguan pembekuan darah
- Kontraksi baik, tidak ada perlukaan jalan lahir, tidak
ada sisa

jaringan
- Terdapat gangguan pembekuan darah

Pemeriksaan penunjang
-

Hemoglobin

Hematokrit

Faktor pembekuan darah

Waktu perdarahan

Masa pembekuan

Trombosis dan fibrinogen

ATONIA UTERI
Atonia uteri adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi
dengan

baik

setelah

persalinan

dan

merupakan

penyebab

perdarahan pascasalin. Ada beberapa sebab kemungkinan dari


atonia uteri seperti bayi yang besar, kehamilan ganda dan
polihidramnionn dimana hal tersebut menyebabkan suatu regangan
yang berlebih pada uterus. Faktor-faktor lain yang menyebabkan
atonia uteri ialah grande multipara, solutio plasenta, plasenta
praevia, anestesi umum, partus lama dan salah pimpinan kala III,
yaitu pada rahim yang dipijat-pijat untuk mempercepat lahirnya
placenta. Perdarahan atonis dapat terjadi dalam kala III maupun
dalam kala IV.

Gejala-gejala dari atonia uteri diantaranya :


-

perdarahan pervaginam

konsistensi rahim lunak

fundus uteri naik (kalau pengaliran darah keluar


terhalang oleh bekuan darah atau selaput janin)

tanda-tanda syok

Selain itu kita juga haarus dapat membedakan antara


perdarahan yang diakibatkan oleh suatu perdarahan karena atonia
uteri dan perdarahan akibat lainnya seperti robekan cerviks. Berikut
perbedaan antara perdarahan karena atonia uteri dan karena
robekan rahim.
Perdarahan karena Atonia
Kontraksi uterus lemah

Karena robekan serviks


Kontraksi uterus kuat

Darah berwarna merah

Darah berwarna merah

tua karena berasal dari

muda karena berasal dari

vena

arteri.
Biasanya timbul setelah
persalinan operatif

Karena itu baiknya dilakukan pemeriksaan dengan spekulum


setelah operasi-operasi yang sulit seperti forsep tengah, versi dan
ekstrasksi, ekstraksi pada bokong untuk menentukan diagnosa
dengan cepat.
Sebaiknya juga dilakukan ekplorasi cavum uteri karena selalu
ada kemungkinan robekan rahim.
Terapi
Tujuan pengobatan ini adalah untuk menimbulkan kontraksi
uterus. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah pemberian obatobat

yang

dapat

menimbulkan

kontraksi

unterus.

Jika

ada

perdarahan banyak dalam kala III dan kontraksi rahim kurang baik,
maka segera disuntik pitosin 10U im, selanjutnya kandung kencing
dikosongkan dan dilakukan masase uterus dan setelah ada tanda-

tanda pelepasan plasenta, plasenta segera dilahirkan dengan


tekana pada fundus. Jika perdarahan tidak berhentidan plasenta
belum lepas juga, maka kalau perdarahan mencapai 400cc atau
perdarahan bertambah banyak, maka plasenta segera dilepaskan
secara manuil.
Jika terjadi perdarahan dalam kala IV dan kontraksi rahim
kurang bagus maka segera suntikan 0.2 mg methergin im, uterus
ditekan untuk mengeluarkan gumpaalan darah dan dilakukan
masase. Seandainya perdarahan belum berhenti juga ditambah
dengan suntikan methergin lagi namun secara intravena nanum
jangan dilakukan pada pasien dengan hipertensi. Selain itu dipasang
pitosin drip 10 U dalam 500cc dextrose 5%. Selama dilakukan
tindakan ini, masase terus dilakukan untuk merangsang kontraksi.
Apabila dengan cara tersebut perdarahan masih berlangsung,
dapat

dilakukan

beberapa

cara

seperti

kompresi

bimanual,

pemasangan tampon uterovagina, ligasi arteri hipigastrika.


Kompresi bimanual uterus ada 2 cara, yaitu :
1.

Seluruh

tangan

dimasukan

digenggamkan dengan rotasi

ke

dalam

vagina

dan

merangsang dinding depan

uterus. Sedangkan tanga dari luar menekan dinding perut


diatas fundus hingga dapat merangsang dinding belakang
uterus.

Uterus juga sambil ditekan dengan seluruh tangan

yang berada di vagina dan tangan yang berada di atas


dinding perut.
2.

Seluruh

tangan

dimasukan

ke

dalam

vagina

dan

memegang serviks, sedangkan tangan yang lain memegang


fundus/dinding perut, kemudian funduS uteri didekatkan pada
serviks uteri. Namun tindakan ini tidak dapat dilakukan terlalu
lama karena melelahkan penolong.
RETENSI PLASENTA
Kala III persalinan adalah kala dimana terjadi pelepasan dan
pengeluaran plasenta. Pada kala III ini juga terjadi peningkatan

resiko perdarahan selama pelepasan plasenta dan terjadi retensi


plasenta. Insidensi retensi plasenta meningkat jika terdapat faktor
predisposisi seperti riwayat plasenta previa atau seksio sesarea
sebelumnya. Retensi plasenta terjadi pada 2 % persalinan dan
menyebabkan kematian dan kesakitan ibu.
Plasenta biasanya menempel pada

dinding belakang

atau

depan rahim dekat fundus. Jonjot korion menyerbu dinding rahim


hanya sampai lapisan atas dari stratum spongiosum. Kadang terjadi
penempelan plasenta pada tempat implantasi dimana keadaan
lapisan desidua dan lapisan fibrinoidnya tidak rata bahkan tidak ada
(lapisan Nitabuch), sehingga pelepasan pada lapisan spongiosum
terganggu. Akibatnya kotiledon terikat kuat pada desidua basalis
yang memiliki defek, bahakan hingga lapisan miometrium.
Faktor resiko terjadinya retensi plasenta diantaranya adalah
implantasi pada segmen bawah uterus atau implantasi pada bekas
insisi uterus sebelumnya.
Jika jonjot-jonjot korion menyerbu dinding rahim lebih dalam
dari yang seharusnya, maka disebut sebagai plasenta accreta.
Menurut dalamnya penyerbuan dinding rahim oleh jonjot jonjot
plasenta accreta dibagi menjadi :
Plasenta

1.

accreta:

jonjot

menembus

desidua

sampai

berhubungan dengan miometrium


2.

Plasenta increta: jonjot hingga mencapai miometrium

3.

Plasenta percreta: jonjot menembus miometrium hingga


mencapai perimetrium, kadang menembus perimetrium
dan menimbulkan ruptur uteri.
Istilah retensi plasenta digunakan jika plasenta belum lahir 30

menit sesudah anak lahir.


Yang menjadi penyebab retensi plasenta adalah :
I.

Fungsional
a.

His kurang kuat

b.

Plasenta

sukar

terlepas

karena

tempatnya

(insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta membranasea) dan

ukurannya

(plasenta

yang

sangat

kecil).

Pada

plasenta

suksenturiata, terdapat plasenta tambahan yang kecil yang


dihubungkan dengan plasenta yang sebenarnya oleh pembuluh
pembuluh darah. Plasenta tambahan ini mungkin tertinggal pada
pelepasan

plasenta

dan

menyebabkan

perdarahan.

Pada

plasenta membranasea, plasenta lebar dan tipis meliputi hampir


seluruh permukaan korion. Plasenta yang tipis ini sukar terlepas
dan dapat menimbulkan perdarahan.
Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut
plasenta adhesive.
II.

Patologi anatomi
a.

Plasenta accreta

b.

Plasenta increta

c.

Plasenta percreta

Placenta Accreta
Gambar potongan hemiseksi uterus, plasenta menempel hingga
lapisan miometrium

Plasenta accreta menimbulkan penyulit pada kala III karena


sulit lepas dari dinding rahim, akibatnya terjadi perdarahan pada
kala III. Insidensi terjadinya plasenta accreta dilaporkan 1 dalam
2500 kelahiran.
Pada tempat implantasi plasenta, kontraksi dan retraksi
miometrium akan mengkompresi pembuluh darah untuk mengatasi
perdarahan. Potongan plasenta yang menempel atau bekuan darah

besar akan mencegah keefektifan kontraksi dan retraksi rahim


sehingga mengganggu hemostatis pada tempat implantasi.
Komplikasi yang terjadi karena retensi plasenta mengancam
nyawa, diantaranya adalah :
-

Perdarahan post partum primer, dapat terjadi syok hipovolemik.

Perdarahan post partum sekunder, karena sisa plasenta.

Inversi uterus.

Sepsis puerperalis

Terapi
Manajemen retensi plasenta dipengaruhi oleh penilaian klinis

saat perdarahan terjadi. Retensi plasenta dapat disebabkan karena


kontraksi abnormal atau kelainan penempelan plasenta. Jika terbukti
plasenta menempel, maka dipikirkan plasenta accreta komplit atau
sejenisnya. Akan terjadi perdarahan jika hanya sebagian plasenta
yang berimplantasi abnormal. Retensi plasenta mempengaruhi
kontraksi dan retraksi uterus sehingga perdarahan yang terjadi lebih
banyak.
Berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan :
Periksa tanda vital, observasi tanda tanda perdarahan seperti
kulit pucat, takikardi, hipotensi
Stabilkan tanda vital, tunggu hingga 30 menit selanjutnya untuk
mulai melahirkan plasenta
Kosongkan kandung kencing, jika memungkinkan ibu disuruh
menyusui untuk menstimulasi sekresi oksitosin
Berikan cairan intravena, seperti RL atau NaCL fisiologis
Periksa darah, untuk melihat kadar hemoglobin dan juga cross
match darah (pada kasus yang membutuhkan tranfusi).
Oksitosin dosis kedua diberikan untuk kontraksi uterus dan
pelepasan plasenta. Drip oksitosin juga diberikan.
Jika tindakan non invasif gagal dan perdarahan masih terjadi,
maka

diperlukan langkah lebih lanjut. Manual plasenta dilakukan

jika plasenta gagal dilahirkan atau perdarahan nyata terlihat,


biasanya dilakukan dibawah pengaruh obat-obat anestesi ( bisa juga

dibawah sedasi dan analgesi).perlu diingat bahwa usaha untuk


melepaskan

plasenta

yang

menempel

dapat

menyebabkan

perdarahan yang banyak.

Tabel perbandingan anestesi umum, regional anestesi dan


sedasi.
Teknik

Keuntungan

Kerugian

Anestesi

Dose-dependent

Resiko anestesi umum,

Umum

relaksasi uterus dengan

seperti: gangguan jalan

menggunakan volatil.

nafas, aspirasi, anafilaktik.

Menghindari resiko

hipotensi.

Spinal

anestesi umum
Epidural

Menghindari resiko

Butuh waktu lebih lama

anestesi umum
Sedasi

Cepat dan mudah

Relaksasi uterus buruk,


gangguan jalan nafas
karena aspirasi jika
overdosis.

Teknik Manual Plasenta


Pasien berada dalam posisi litotomi. Penolong menggunakan
sarung tangan. Perineum , vulva dan vagina dibasahi dengan
povidoiodine. Labia dibeberkan dan tangan kanan masuk secara
obstetrik ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri.
Tangan dalam sekarang menyusuri tali pusat , yang sedapatdapatnya diregangkan oleh asisten. Setelah tangan dalam sampai
ke plasenta, tangan pergi ke pinggir plasenta dan sedapat-dapatnya
mencari pinggir yang sudah terlepas. Kemudian dengan tangan
sebelah kelingking, plasenta dilepsaskan antara bagian plasenta
yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang
sejajar

dinding

rahim.

Setelah

plasenta

terlepas

seluruhnya,

plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.

Hati hati saat melepaskan membran, periksalah plasenta dan


membran untuk melihat apakah tindakan eksplorasi atau kuretase
perlu dilakukan. Antibiotik diberikan setelah dilakukannya manual
plasenta untuk mencegah infeksi. Drip oksitosin diberikan untuk
meningkatkan kontraksi uterus, juga dilakukan masase uterus.
Jika terjadi plasenta accreta totalis atau sebagian besar
plasenta menempel, maka plasenta tertahan dan tindakan manual
plasenta gagal. Membiarkan hal itu terjadi tidak disarankan karena
akan meningkatkan resiko infeksi dan perdarahan. Ahli obstetrik dan
ahli

anestesi

perlu

dilibatkan.

Histerektomi

diperlukan

untuk

mengatasi perdarahan

PERLUKAAN JALAN LAHIR


Perdarahan masif dari luka episiotomi, laserasi, atau keduanya
merupakan 20% penyebab perdarahan pascasalin. Laserasi dapat
mengenai uterus, serviks, vagina maupun vulva yang biasanya
terjadi karena persalinan tidak terkontrol atau persalinan operatif
pada bayi besar. Perdarahan yang terjadi berbahaya karena dapat
mengakibatkan syok apabila tidak ditangani dalam beberapa jam.
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan masif apabila
mengenai arteri atau pembuluh darah besar. Suatu perdarahan
yang menetap dengan kontraksi uterus baik, mengindikasikan
perdarahan berasal dari luka laserasi atau episiotomi.
Ruptur spontan uterus jarang terjadi. Faktor resiko terjadi
komplikasi ini antara lain grande multipara dan malpresentasi.
Perdarahan jalan lahir harus dipikirkan setelah dilakukan
persalinan buatan atau bila ada perdarahan walaupun kontraksi
uterus baik dan apabila darah yang keluar berwarna merah muda.
Maka

harus

dilakukan

pemeriksaan

dengan

menggunakan

spekulum.
Gejala :
-

Kontraksi uterus umumnya baik, kecuali pada robekan uterus,

Perdarahan bisa sedikit atau banyak, darah berwarna merah


muda (darah arteri).

Penatalaksanaan :
Segera lakukan penjahitan atau laparotomi (pada ruptura
uteri)
GANGGUAN PEMBEKUAN DARAH (KOAGULOPATI)
Gangguan

pembekuan

darah

dalam

kehamilan

dapat

berhubungan dengan beberapa gangguan obstetri termasuk solusio


plasenta, kadar tromboplastin yang berlebihan karena janin telah
meninggal dalam rahim, emboli cairan amnion, preeklampsi berat,
aklampsi dan sepsis.
Gangguan pembekuan darah ini dapat bermanifestasi sebagai
hipofibrinogenemia, trombositopenia dan DIC.
Faktor

resiko

terjadinya

gangguan

pembekuan

darah

diantaranya penyakit-penyakit koagulopati, transfusi darah pada


kehamilan

sebelumnya,

anemia

selama

persalinan

dan

preeklampsi/eklampsi.
Bila sebab perdarahan pascasalin lainnya sudah disingkirkan
tetapi perdarahan masih berlangsung, maka perlu dipikirkan adanya
kemungkinan gangguan pembekuan darah atau koagulopati.
Gejala :
-

Kontraksi uterus baik

Terdapat gangguan faktor pembekuan darah (dari anamnesis


atau hasil laboratorium)

Penatalaksanaan :
-

Transfusi darah segar

Kontrol DIC dengan pemberian heparin

Rawat bersama dengan bagian ilmu penyakit dalam

Perdarahan Pascasalin lambat


Perdarahan postpartum lambat ialah perdarahan yang terjadi
lebih dari 24 jsm setelah persalinan atau bayi lahir. Biasanya

perdarahan ini paling sering terjadi pada 6-10 hari setelah


persalinan. Perdarahan yang terjadi dapat berlangsung terusmenerus atau berulang-ulang. Pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih dapat teraba yang lebih besar daari yang diperkirakan. Pada
pemeriksaan dalam didapatkan uterus yang membesar, lunak, dan
dari ostim uteri keluar darah.
Perawatan

perdarahan

postpartum

lambat

dapat

dibagi

menjadi 3 kategori :
Perdarahan sedikit
Pada perdarahan yang masih sedikit dapat dilakukan
perawatan dengan tirah baring di rumah dengan dibantu
obat-obat oral golongan uterotonika. Bila dicurigai ada infeksi
dapat diberi antibiotik.
Perdarahan sedang
Untuk perdarahan sedang dapat diberikan oksitosin
intravena (20U dalam 500cc Ringer Laktat). Bila dengan
pengobatan

ini

perdarahan

dapat

dihentikan

dan

tidak

didapatkan bukti adanya sisa plasenta yang tertinggal, tidak


perlu dilakukan kuretase. Apabila didapatkan gejal-gejala
infeksi, dapat diberikan antibiotik parenteral.
Perdarahan banyak
Bila perdarahan banyak,pertama-tama dipasang cairan
intravena

dan

diberi

tranfusi

darah.

Dianjurkan

untuk

melakukan kuretase apabila perdarahan masih berlangsung


terus menerus setelah pemberian oksitosin atau bila terdapat
bukti adanya sisa plasenta yang tertinggal. Bila dengan cara
tersebut

di

atas

perdarahan

masih

berlangsung

terus,

dilakukan laparatomi untuk melakukan histerektomi atau pun


ligasi arteri hipogastrika.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Amelia,

Banks.,

Levy,

David.

2005.

Retained

placenta

Anaesthetic considerations .Internet:


http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u19/u1915_01.htm#2.
2. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung. 1983. Kala Uri. Obstetri fisiologi. Bandung.
109-119, 246-263
3. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung. 1997. Kelainan plasenta. Obstetri patologi.
Bandung. 46-49
4. Cuningham, F. G., Mc Donald, P. C., Gant, N. F. Leveno, K. J.,
Gilstrap III, L. C. 2005. Williams Manual of Obstetrics. 22th
edition. New York : Mc Graw-Hill.
5. Harold Fox. 2001. The placenta, membranes and umbilical cord.
Turnbulls

Obstetrics.

3rd

edition.

Philadelphia

Churchill

Livingstone. 33-41.
6.

Sanders,Melinda,

M.

D.

2005.

Accreta

of

Placenta.

Internet:http://hon.nucleusinc.com/enlargeexhibit.php?ID=270.
7. Sarimawar, Djada, dr. Suwandhonono, Agus, dr. 2005. Regional
Health Forum : The Determinants of maternal morbidity in
Indonesia. Internet : http://w3.whosea.org/rhf/rh4/9a.htm
8. Smith, John, M.D. FRSCS.FACOG. 2004. Management of third
stage

of

labor.

Internet

http://www.emedicine.com/med/topic3569.htm
9. Wiknjosastro, H. Saifudin,A.B. Rachimhadi, T. 2000. Ilmu Bedah
Kebidanan Ed.1 Cet.5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 188-197
10. Thompson,

William.,

Harper,

M.

Ann.

2001.

Post

partum

Hemmorhage and abnormalities of the third stage of labor.


Turnbulls

Obstetrics.

3rd

edition.

Philadelphia

Churchill

Livingstone. 619-632
11.Craigo SD, Kapermick PS. Postpartum hemorrhage & the
abnormal puerperium. In: DeCherney AH, Pernoll ML, editors.

Current obstetric & gynecologic diagnosis & treatment. 8th ed.


United States: Lange; 1994. p. 588-90

Anda mungkin juga menyukai