Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH KARAKTERISTIK EKOLOGIS WILAYAH PESISIR

TERHADAP POLA HIDUP MASYARAKAT PESISIR

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah
pulau mencapai kurang lebih 17.500 buah dan dikenal sebagai salah satu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati terbesar. Sebagai negara kepulauan, tidaklah
mengherankan jika lebih kurang dua pertiga dari teritorial negara kesatuan yang
berbentuk republik ini merupakan perairan, dengan luas lebih kurang 5,8 juta km 2.
Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada yang mencapai lebih kurang 81.000 km.
Penduduk Indonesia memiliki jumlah penduduk yang terbesar kelima di dunia, yaitu
lebih kurang 220 juta jiwa. Dan, lebih kurang 60 persen diantaranya hidup dan
bermukim di sekitar wilayah pesisir. Sebagian besar diantaranya menggantungkan
hidup kepada keberadaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Sehingga tidaklah
mengherankan jika sebagian besar kegiatan dan aktivitas sehari-harinya selalu berkaitan
dengan keberadaan sumberdaya di sekitarnya.
Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wiliyahnya
(62%) merupakan perairan laut, selat dan teluk; sedangkan 38 % lainnya adalah daratan
yang didalamnya juga memuat kandungan air tawar dalam bentuk sungai, danau, rawa,
dan waduk.
Demikian luasnya wiliyah laut di Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang
hidup di sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan
hidupnya. Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan
identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup dan karakteristik
tersendiri.
Desa pesisir merupakan entitas sosial,ekonomi, ekologi dan budaya, yang menjadi
batas antara daratan dan lautan, di mana di dalamnya terdapat suatu kumpulan manusia
yang memiliki pola hidup dan tingkah laku serta karakteristik tertentu. Masyarakat
pesisir ini menjadi tuan rumah di wilayah pesisir sendiri. Mereka menjadi pelaku utama
dalam pembangunan kelautan dan perikanan, serta pembentuk suatu budaya dalam
1

kehidupan masyarakat pesisir. Banyak diantaranya faktor-faktor yang menyebabkan


masyarakat pesisir menjadi suatu komunitas yang terbelakang atau bahkan terisolasi
sehingga masih jauh untuk menjadikan semua masyarakat setempat sejahtera. Dilihat
dari faktor internal masyarakat pesisir kurang terbuka terhadap teknologi dan tidak
cocoknya pengelolaan sumberdaya dengan kultur masyarakat setempat. Masyarakat
pesisir itu sendiri merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama yang
mendiami suatu wilayah pesisir, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang
terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
Tentu masyarakat pesisir tidak hanya nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan,
pengolah ikan bahkan pedagang ikan.
Di NTT terdapat puluhan budaya, ratusan bahasa lokal, ratusan bahkan mungkin
ribuan jenis tarian rakyat, puluhan sistem tatanan sosial, model pemerintahan
tradisional, dan corak kain tenunan yang indah. Masing-masing daerah di NTT
memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda. Masyarakatnya dominan beragama katolik
yang dipengaruhi budaya Portugis. Upacara Pasola Jousting di Pulau Sumba adalah
salah satunya yang menarik. Pasola adalah permainan sekelompok penunggang kuda
beraneka warna yang melempar lembing dari atas kuda. Upacara ini diadakan selama
bulan Februari di desa Lamboya dan Kodi juga bulan Maret di Gaura dan Wanokaka.
Upacara ini dimulai beberapa hari setelah bulan purnama dan bertepatan dengan
perayaan nyale yaitu menangkap cacing laut di pantai oleh warga sekitar. Alat musik
khas masyarakat NTT adalah sasando, sebuah instrumen musik yang indah suaranya.
Terdapat banyak contoh warisan budaya Eropa yang kental di sini seperti perayaan
Paskah di Larantuka dan lambang Kerajaan Maumere. Dahulu dikenal dengan pulau
cendana, Sumba terkenal dengan kuda dan kain ikat yang indah. Sumba Barat terkenal
dengan kubur batu, gubuk jerami tradisional dan juga gubuk serupa yang dibangun di
atas bambu.
Komoditi rumput laut di Nusa Tenggara Timur menjadi primadona bagi masyarakat
pesisir pantai. Budidaya rumput laut menyebar di 21 kabupaten/kota dan mulai
mengangkat kesejahteraan masyarakat di daerah itu, luasan areal pengembangan rumput
laut sudah mencapai jutaan kilometer sesuai panjang garis pantai karena NTT terkenal
sebagai daerah kepulauan. Produksi rumput laut sekitar 25.000 ton per bulan tersebar di
21 kabupaten/kota. Daerah daerah paling banyak pengembangan rumput laut antara lain
Rote Ndao, Sabu Raijua, Lembata, Alor, Flores Timur, Sikka, Ende dan Sumba Timur.

Di sumba Timur sudah dibangun pabrik pengolahan rumput laut. Sesuai rencana di
Kota Kupang juga akan dibangun pabrik rumput laut serupa guna memeroses hasil
produksi rumput laut di Kota Kupang dan sekitarnya. Masyarakat pesisir pantai di
sejumlah kabupaten sudah mulai merasakan dampak dari budidaya rumput laut itu. Pola
hidup dan kesejahteraan mereka pun mulai meningkat. Warga sudah bisa menabung,
membangun rumah dan menyekolahkan anak anak sampai ke perguruan tinggi.
Sebelumnya atau sampai tahun 2004 masyarakat pesisir masih termasuk miskin dan
terbelakang.
1.2.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah atau tulisan ini ialah untuk mengetahui dan
memahami karakteristik-karakteristik masyarakat pesisir, khususnya yang berada di
NTT. Mengetahui penyebab terbentuknya suatu karakteristik tersebut serta pengaruh
ketergantungan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut terhadap pembentukan
karakteristik masyarakat pesisir.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara teoritis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan
yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun
demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat
yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka
memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya
pesisir dan lautan.
Masyarakat pesisir itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau
suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya
bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka
terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut
lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa
transportasi dan lain-lain. Yang harus diketahui bahwa setiap komunitas memiliki
karakteristik kebudayaan yang berbeda-beda.
Masyarakat

pesisir

pada

umumnya

sebagian

besar

penduduknya

bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource


based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut.
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum
tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang
tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan
masyarakat.
Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal
dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir
dan

lautan.

Dengan

demikian,

secara

sempit

masyarakat

pesisir

memiliki

ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan
lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan
sebagai

masyarakat

yang

tinggal

secara

spasial

di

wilayah

pesisir

tanpa

mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait


dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris
atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol
karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka
miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi
dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka
pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.
Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi.
Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan cenderung memiliki
karakter yang tegas, keras, dan terbuka
Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada
dalam posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh
orang luar tentang karakteristik masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir mempunyai cara
berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya.
Sementara itu, dibalik kemarginalannya, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak
cara dalam mengatasi masalah yang hadir.

BAB III
PEMBAHASAN
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang
pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur
masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan
dan pedesaan. Karena struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu
membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masingmasing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir Indonesia, hidup di dekat
pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek
kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Dua contoh
sederhana

dari

kemudahan-kemudahan

tersebut

diantaranya,

pertama,

bahwa

kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin,


mengingat

sebagian

masyarakat

pesisir

menggantungkan

kehidupannya

pada

pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti


penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut dan sebagainya. Kedua,
bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci, kakus) di
mana mereka dapat mengaksesnya secara lebih mudah.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai
sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya
dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha
perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar,
maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan
faktor-faktor lainnya. Beberapa sifat dan karakteristik masyarakat pesisir diuraikan
sebagai berikut :
3.1. Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan
Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti
penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir
(dengan pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi
dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB

nasional sekitar 20,06 % pada tahun 1998 dan (d) industri kelautan (coastal industries)
menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting
karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu
sekitar 81.000 km (13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari
wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c)
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar
17.508 pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut terkandung potensi kekayaan dan
keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas potensi sumberdaya alam pulih
(renewable resources) seperti perikanan, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu
karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak pulih (non renewable resources) seperti
migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan (environmental
services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan jasa transportasi.
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat
dikelola untuk menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran
masyarakat dan bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya,
wilayah pesisir memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa
Indonesia saat sekarang sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak
hanya dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pemerataan kesejahteraan (equity).
Namun demikian, peranan tersebut tidak akan tercapai dengan baik apabila
mengabaikan aspek kelestarian lingkungan (environmental sustainability) dan kesatuan
bangsa (unity).
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan
usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Keadaan ini mempunyai
imlikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir,
terutama di Indonesia. Kondisi masyarakat pesisir itu menjadi sangat bergantung pada
kondisi lingkungan sekaligus sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya
pencemaran, karena limbah-limbah industri maupun domestik dapat mengguncang
sendi-sendi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.

3.2. Ketergantungan Pada Musim


Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat pesisir,
terutama

masyarakat

nelayan,

adalah

ketergantungan

mereka

pada

musim.

Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada musim
penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik
kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa
menganggur.
Keadaan ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
pantai secara umumdan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli
barang-barang yang mahal pada musim tangkap. Namun pada musim peceklik,
pendapatan mereka drastis menurun sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk.
Belum lagi ditambah pola hidup mereka yang menerapakan prinsip ekonomi yang
tidak hemat, artinya saat hasil tangkap memuncak, mereka cenderung tidak
menyimpan hasil untuk menutupi kekurangan ekonomi di saat kegiatan tangkap
menurun sehingga banyak dari nelayan-nelayan tersebut yang harus meminjam uang
bahakan menjual barang-barang mereka untuk memenuhi kebutuhannya.
Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari.
Pada suatu hari, mungkin nelayan memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada
hari berikutnya bisa saja kosong. Hasil tangkapan dan pada giliranya pendapatan
nelayan juga dipengaruhi oleh jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah
penangkapan. Di daerah yang padat penduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap
(overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkap dari para nelayan menjadi
semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan masyarakat di kalangan nelayan maupun petani tambak,
yakni pola hubungan yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk,
maka para nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak
seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari
para juragan atau dari para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau
pedagang. Keterkaitan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada
pedagang atau juragan. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah
berubah menjadi alat dominansi dan ekploitasi.

Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur
sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada
usaha perikanan. Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien.
Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya
sehingga bisnis tetap berjalan.
3.3. Terdapatnya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi berdasarkan misalnya membedakan stratifikasi sosial menjadi tiga
jenis yaitu (1) strafikasi karena status ekonomi (economically stratified); (2) stratifikasi
karena perbedaan status politik (politically stratified) dan (3) stratifikasi karena
perbedaan status pekerjaan (occupationally stratified).
a.

Berdasarkan ekonomi dan penguasaan alat tangkap, yaitu jika dalam suatau
masyarakat terdapat perbedaan atau tidak ketidaksetaraan status ekonomi, pada
masyarakat nelayan umumnya terdapat tiga strata kelompok, yaitu :
1.

Starata atas, yaitu mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan alat
tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern.
Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada
orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak bisa
sampai dua atau tiga puluhan. Seringkali nelayan besar juga merangkap
sebagai pedangang pengumpul. Namun demikian, biasanya ada pula
pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini merupakan
kelas tersendiri.

2.

Strata kedua, adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel.
Pada strata ini, biasanya pemilik tersebut ikut melaut dan memimpin kegiatan
penagkapan. Buruh yang ikut mungkin ada tetapi terbatas dan seringkali
merupakan anggota keluarga saja.

3.

Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi lebih banyak pula buruh ini yang tidak
memiliki sarana produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.

b. Stratifikasi karena perbedaan status politik (politically stratified), yaitu jika terdapat
ranking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar. Misalnya
seseorang yang memperoleh gelar sebagai kepala desa dan pemimpin-pemimpin
desa memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga-warga biasa.
9

c.

Stratifikasi karena perbedaan status pekerjaan (occupationally stratified), misalnya


stratifikasi pada petani tambak, yaitu :
1. Strata atas adalah mereka yang menguasi tambak yang luas.
2. Strata menengah yang memiliki luas tambak yang sedang/kecil.
3.

Strata bawah adalah mereka yang tidak memiliki tambak, melainkan hanya
mengelola atau sebagai buruh.

3.4.

Ketergantungan Pada Pasar


Karakteristik lain masyarakat pesisir ini adalah sifat ketergantungan terhadap

keadaaan pasar. Hal ini disebabkan karena hasil tangkap mereka itu harus dijual terebih
dahulu sebelum hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Karakteristik tersebut mmepunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat
pesisisir sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat
mmepengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut.
3.5.Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak-Anak
Ciri khas lain dari suatu masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum perempuan
dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya perempuan dan anak-anak ikut bekerja
mencari nafkah. Kaum perempuan (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja
sebagai pedagang ikan (pengecer), baik pengecer ikan segar maupun ikan olahan.
Mereka juga melakukan pengolahan hasil tangkapan, baik pengolahan kecil-kecilan di
rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada pengusaha pengolahan ikan atau
hasil tangkap lainnya. Sementara itu anak laki-laki seringkali telah dilibatkan dalam
kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang
tidak sekolah.
3.6.Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya
yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada
wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan. Ditinjau dari aspek
kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya
sering tidak mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada beberapa
wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi, NTB dengan
kelembagaan tradisional Awig-awig dan Sangihe Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
10

Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap
pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan
pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi
lingkungan dan problem eksternalitas.
Selain itu penumpukan limbah-limbah dari daratan seperti limbah industri dan
limbah domestik sangat mempengaruhi kondisi mereka. Penurunan kualitas perairan
dapat menurunkan hasil tangkap mereka sehingga pendapatan mereka pun merosot. Jika
hal ini terjadi maka kondisi ekonomi mereka akan semakin terpuruk.
3.7.Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih
belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka
panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan
kebutuhan pokoknya.
Sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor
pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan
(budidaya tambak dan laut), Kemiskinan masyarakat nelayan (problem struktural),
penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain.
Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang
rendah dan merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat tersebut,
fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari
warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah
maka mereka menggunakan rasi bintang.
3.8.Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros
Masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi karena secara
alamiah sumberdaya perikanan bersifat invisible sehingga sulit untuk diprediksi.
Sementara masyarakat agraris misalnya memiliki ciri sumberdaya yang lebih pasti dan
visible sehingga relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial
ekonomi masyarakat. Dalam kondisi seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik
masyarakat nelayan yang keras, sebagian temparemental dan tidak jarang yang boros
karena ada persepsi bahwa sumberdaya perikanan tinggal diambil di laut.
11

3.9. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat


Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa
laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut
atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak
percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual
tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada
umumnya, nelayan bergolong kasta rendah.
3. 10. Pemberdayaan Masyarakat Wilayah Pesisir
Pemberdayaan masyarakat pesisir diartikan sebagai suatu upaya yang
dimaksudkan untuk memfasilitasi dan/atau mendorong dan/atau membantu agar
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka
dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya di sekitarnya. Secara teoritik,
pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya menguatkan masyarakat dengan cara
memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi dirinya
dan berani bertindak untuk memperbaiki kualitas hidupnya di antaranya dengan
melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lahan pesisir.
Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi
sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di
lahan wilayah pesisir. (Iskandar 2001).
3. 11 Upaya pelestarian wilayah pesisir
Kelestarian wilayah pesisir merupakan kebutuhan bersama para stakeholders.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir hendaknya tetap mempertimbangkan fungsi dan
manfaat pesisir yang sangat besar bagi kehidupan biota dan kelangsungan hidup
masyarakat, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan wilayah
pesisir. Dahyar (1999) menyatakan, secara fisik, kawasan pesisir merupakan kawasan
vital bagi sesamanya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, sedangkan dari segi
ekologi, pesisir sangat dibutuhkan oleh biota perairan yang sangat bermanfaat bagi
manusia. Kawasan pesisir juga merupakan kawasan penyangga dan pelindung lautan
dari pengaruh daratan dan demikian pula sebaliknya, sehingga kerusakan wilayah

12

pesisir akan berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kelestarian ekosistem
pantai dan laut serta kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di wilayah pesisir.
Strategi konservasi merupakan satu strategi pengelolaan yang saat ini sedang
dikembangkan di wilayah pesisir. Berdasarkan strategi konservasi, pengelolaan wilayah
pesisir dimungkinkan untuk pengembangan multi sektor sepanjang tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan dan dilakukan pada wilayah yang sesuai dengan
peruntukannya. Guna keperluan pelestarian pemanfaatan wilayah pesisir, diperlukan
satu peta sumberdaya alam dan lingkungan pada kegiatan perencanaan pengelolaan
wilayah sebagai langkah awal pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Tahapan
tersebut, di samping untuk menentukan kawasan pelestarian, pemanfaatan dan
perlindungan, juga untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan
bagi para pemangku kepentingan.
Satu di antara beberapa jenis upaya konservasi yang dapat dikembangkan di
wilayah pesisir adalah koservasi daerah pantai. Pengembangan konservasi pantai harus
memperhatikan dua komponen yang berhubungan dalam menjamin kelancaran kegiatan
tersebut. Dua komponen tersebut adalah permintaan dan sediaan. Permintaan
menyangkut aspek tingginya nilai kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu
melalui kegiatan pemanfatan, sedangkan nilai sediaan berhubungan dengan kemampuan
obyek untuk kebutuhan dan kepantingan pasar. Komponen permintaan terdiri atas
mlokal, domasyarakat lokal sedangkan komponen sediaan terdiri atas mangrove yang
termasuk di dalamnya. (Dahuri, 1996)

13

BAB IV
KESIMPULAN
Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal
dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir
dan

lautan.

Dengan

demikian,

secara

sempit

masyarakat

pesisir

memiliki

ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan
lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan
sebagai

masyarakat

yang

tinggal

secara

spasial

di

wilayah

pesisir

tanpa

mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait


dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah NTT, mempunyai sifatsifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik, yaitu :
1. Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan
2. Ketergantungan Pada Musim
3. Terdapatnya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat
4. Ketergantungan Pada Pasar
5. Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak-Anak
6. Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal
7. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan
8. Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros
9. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat

14

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Masyarakat Pesisir. http://fdcipb.wordpress.com.
Ayunita, Anvina. 2011. Karakteristik Masyarakat Pesisir. http://anvinaayunita.blogspot.com.
Bengen, Dietriech G. 2011. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Terpadu. Bogor : ITB
Dahuri, dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Jakarta : PT Pradnya Paramita
Famif. 2010. Masyarakat Pesisir. http://famif08.student.ipb.ac.id.
Lasiki,
Iswan.
2012.
Karakteristik
http://iswanlasiki.student.ung.ac.id.

Sosial-Ekonomi

Masyarakat

Pesisir.

Paulus, Chaterina. 2011. Gambaran Umum Wilayah Pesisir Indonesia. http://chaterinapaulus.blogspot.com.

15

Anda mungkin juga menyukai