Anda di halaman 1dari 21

KONSEP DASAR

IMUNOLOGI

Dosen Pembimbing :
Supriliyah P. , S.Kep ., NS

Dikerjakan oleh :
Vina Dewi Wijayanti (130801091)

S-I KEPERAWATAN KELAS 1-B


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES PEMKAB JOMBANG

TAHUN AJARAN 2013/2014KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah serta
nikmat yang telah diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Hematologi 304 dengan membahas Konsep Dasar Imunologi dalam bentuk makalah.
Makalah ini kami tulis berdasarkan hasil pencarian kami dari beberapa sumber. Tugas
makalah ini kami susun guna untuk memenuhi tugas matakuliyah Hematologi . Atas
terselesainya makalah ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ketua STIKES PEMKAB JOMBANG, drg. Budi Nugroho, MPPM
2. Ketua Prodi S1 Keperawatan STIKES PEMKAB JOMBANG, Sestu Retno D.A.
S.Kp,M.Kes
3. Dosen pembimbing matakuliyah Hematologi , Supriliyah P. , S.Kep ., NS
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih ada kekurangan maupun
kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaan.
Semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih. .
Jombang, 08 Maret 2014

Penulis

DAFTAR ISI
Cover ..................................................................................................................i
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi..............................................................................................................iii
Pendahuluan
1.2.Latar belakang .....................................................................................
1.3 Rumusan masalah.................................................................................
1.3 Tujuan ..................................................................................................
Pembahasan
2.1 sejarah imunologi ................................................................................
2.2 gambaran umum system imun.............................................................
2.3 pembagian system imun .....................................................................
2.4 Antigen Dan Antibodi .......................................................................
2.5 struktur dan fungsi imunoglobulin.......................................................
2.6 Reaksi Hipersensitifitas ......................................................................
Penutup
Kesimpulan .................................................................................................
Daftar Pustaka.....................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini manusia hidup pada zaman yang serba komplek. Manusia hidup dalam
lingkungan yang sudah tidak sehat. Betapa tidak, saat ini bakteri, virus dan berbagai macam
penyakit telah bebas beterbangan di udara. Manusia jadi semakin sering terpapar dengan semua
bakteri tersebut. Lalu bagaimana bisa manusia bertahan hidup? Sedangkan pada setiap individu
selalu dikepung ribuan mikroba. Hal itu karena dalam tubuh manusia memiliki system
pertahanan diri. Dimana system tersebut akan menghancurkan mikroba yang mencoba masuk
dan mengganggu aktifitas system tubuh manusia.
Meskipun manusia telah memiliki system imun atau system perklindungan diri terhadap
benda asing yang mengancam kelangsungan system pada tubuh manusia, namun terkadang
manusia juga dapat terkalahkan oleh ribuan mikroba yang menyerang secara terus-menerus
ketika manusia dalam dama kondisi tertentu. Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan apasaja
sebenarnya perlindungan diri yang manusia miliki? Oleh karena itu penulis membuat makalah ini
selain untuk memenuhi tugas Ilmu Dasar Keperawatan. Dan cabang ilmu yang mempelajari
tentang sistem imun, Imunologi akan kami paparkan dalam makalah kami ini.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar Imunologi?
1.3 Tujuan
Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai konsep dasar Imunologi, agar
dengan pemahaman tentang konsep tersebut pembaca dapat berperan untuk meningkatkan
pengetahuan kesehatan pada masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Imunologi
Sejarah imunologi yang sebenarnya terjadi baru dimulai pada tahun1950. Cacar pertama
tercatat di Cina dan kemudian menyebar di Turki Asia Tengah melalui perdagangan tradisional
dan akhirnya ke seluruh dunia. Pada tahun 1000 SM ahli-ahli Cina telah mempraktek-kan
sejenis imunisasi dengan menghirup puyer yang dibuat dari krusta lesi cacar. Kemudian puyer
krusta diaplikasikan melalui jarum atau pocking device ke kulit yang disebut variolasi.
Selanjutnya cara itu dipraktekkan secara umum dan dan berkembang di Turki dan Asia Tengah.
Lady Mary Wrtly Montagu seorang bangsawan Inggris terjangkit cacar yang sembuh
namun menyisakan pock di kulit alopesia di kepala. Lady Montagu mempelajari teknik inokulasi
. ia mencoba pada anak laki-lakinya yang ternyata tetap sehat meskipun sering terpajan dengan
wabah cacar. Pada tahun 1721 inokulasi nanah penderita cacar diberikan kepada 6 orang tawanan
penjahat yang akan dihukum mati dan ternyata semuanya sehat tidak terjangkit wabah.
Pada tahun 1796, Edward Jenner mengumpulkan nanah asal luka pok sapi dari tangan
pemerah susu yang bernama Sarah Nelmes.dan nanah tersebut diinokulasikannya ke seorang
anak yang bernama James Philip usia 4 tahun. Hal itu yang menimbulkan panas namun tidak
menjadikan anak tersebut sakit. Setelah itu vaksinasi dengan pok sapi diterima sebagai cara
pencegahan dan Jenner diangkat sebgai pendiri Imunologi.
2.2 Gambaran Umum Sistem Imun
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekulmolekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut system imun.
Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul, dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut
respons imun. System imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan barbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraselular, melepas enzim dan menggunakan makanan yang
banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel penjamu dan

berkembang biak intraselular dengan menggunakan sumber energy sel penjamu. Baik mikroba
ekstraselular maupun intraselular dapat menginfeksi subyek lain., menimbulkan penyakit dan
kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu.
2.3 Pembagian Sistem Imun
Pembagian system imun dapat dibagi menjadi system imun alamiah atau
nonspesifik atau natural dan didapat atau spesifik atau adaptif.

SISTEM

A.

FISIK
-kulit

B. SPESIFIK

LARUT

Selular

Biokimia

HUMORAL

- Fagosit

SELULAR

Sel B

Sel T

-Selaput Lendir -Lisozim

>Mononuklear

-igG

-Th1

-Silia

-Sekresisebaseus

>Polimorfonuklear

-igA

-Th2

-Batuk

-Asam Lambung

- Sel NK

-igM

-Ts/Tr/Th3

-Bersin

-Laktoferin

- Sel Mast

-igE

-Tdth

-Asam Neraminik

- Basofil

-igD

-CTL

HUMORAL

-Eosinofil

-Komplemen

Sitokin

- SD

-Th17

-APP
-Mediator Asal Lipid
-Sitokin

-NKT

Fagosit :
sel MN,
PMN
-sel NK
Sel MAST

1. Sitem imun Nonspesifik


Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada
individu sehat dan siap mencegah mikrobamasuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya.
a. Pertahanan fisik atau mekanik
Dalam system pertahanan fisik atau mekanik, kulit selaput lendir, silia saluran
nafas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan, terhadap infeksi,.
Keratinosit dan lapisan eepidermis kulit sehat dan epitel mukosa yang utuh tidak dapat
ditembus oleh kebanyakan mikroba.

b. Pertahanan Biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel
kulit, telinga, spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam
pertahanan tubuh secara biokimiawi. asam HCL dalam cairan lambung , lisozim
dalam keringat, ludah , air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap
berbagai kuman gram positif dengan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu
juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram
negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin
dalam serum dapat mengikat zan besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman
pseudomonas.
c. Pertahanan Humoral
System imun nonspesifik menggunakan berbagai molekul larut. Molekul larut
tertentu diproduksi di tempat infeksi atau cedera dan berfungsi lokal. Factor larut lain
yang diproduksi di tempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui
sirkulasi seperti komplemen dan (Protein Fase Akut) PFA.
1. Komplemen
Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan
memberikan protrksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi.
Komplemen dengan spectrum aktifitas yang luas diproduksi oleh hepatosit
dan monosit dan dapat diaktifkan secara langsung oleh mikroba atau
produknya(jalur alternative, klasik dan lektin) komplemen berperan sebagai
opsonin yang meningkatkan fagositosi, sebagai factor kemotaktik dan juga
menimbulkan lisis bakteri dan parasit.
2. Protein Fase Akut
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan beberapa kadar
beberapa protein dalam serum yang disebut APP. Yang akhir merupakan

bahan antimicrobial dalam serum yang meningkat dengan cepat setelah


system imun nonspesifik diaktifkan.
a. C-Reactive Protein
CRP merupakan salah satu PFA, termasuk golongan protein yang
kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai sebagai
respon imunitas nonspesifik.
b. Lektin
Lektin merupakan molekul larut dalam plasma yang dapat mengikat
manan atau manosa dalam polisakarida, (karenanya disebut MBL)
yang merupakan permukaan banyak bakteri seperti galur pneumokok
dan banyak mikroba, tetapi tidak pada sel vertebrata. Lektin berperan
sebagai

opsonin,

mengaktifkan

komplemen.

SAP

mengikat

lipipolisakarida dinding bakteri dan berfungsi sebagai reseptor untuk


fagosit.
c. Protein Fase Akut Lain
Protein fase akut lain adalah a1-anti-tripsin, amyloid serum A,
haptoglabin, C9, factor B dan fibrinogen yang juga berperan pada
peningkatan laju endap darah akibat infeksi. Namun dibentuk jauh
lebih lambat disbanding dengan CRP.
3. Mediator asal fosfolipid
Metabolism fosfolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR. Keduanya
meningkatkan respon inflamasi melalui peningkatan permeabilitas vascular
dan vasodilatasi.
4. Sitokin IL-1, IL-6, TNF-a
Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS mengaktifkan makrofag
dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai sitokin seperti IL-1
yang merupakan pirogen endogen, TNF-a dan IL-6. Pirogrn adalah bahan
yang menginduksi demam yang dipacau baik oleh factor eksogen atau
endogen IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit.
2. System Imun Spesifik
System imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang ddianggap asing.
Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh system imun
spesifik. Pajaan tersebut menimbulkan sensitasi sehingga antigen yang sama dan masuk
tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu
system tersebut disebut spesifik.
a. System imun spesifik humoral

Pemeran utama dalam system imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. humor
berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sum-sum tulang. Sel B yang
dirangsang oleh benda akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkrmbang menjadi sel
plasma yang memproduksi antibody. Antibody yang lepas dapat ditemukan dalam serum.
Fungsi utama anti bodi adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri
serta menetralkan toksinnya.
b. System imun spesifik selular
Limfosit T atau sel T berperan pada system imun spesifik selular. Sel tersebut juga
berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. pada orang dewasa, sel T dibentuk di
sumsum tulang, tetapi poliferasi diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus atas
pengaruh berbagai factor asal timus.
2.4 Antigen dan Antibodi
Berbagai patogen seperti bakteri, virus, jamur atau parasite mengandung berbagai bahan yang disebut
imunogen atau antigen dan dapat menginduksi sejumlah respon imun. Antibodi adalah bahan
glikoprotein yang diproduksi sel B sebagai respon terhadap rangsangan imunogen. Dalam prektek
antigen sering digunakan sebagai imunogen.
1. Antigen
Antigen adalah bahan yang berinteraksi dengan produk respon imun yang dirangsang oleh
imunogen spesifik seperti antibody dan atau TCR. Antigen lengkap adalah antigen yang
menginduksi baik respon imun maupun bereaksi dengan produknya. Yang disebut antigen
komplit atau hapten, tidak dapat dengan sendiri menginduksi respon imun tetapi dapat bereaksi
dengan produknya seperti antibody. Hapten dapat dijadikan imunogen melalui ikatan dengan
molekul besar yang disebut molekul atau protein pembawa.

A. ciri ciri antigen yang menentukan imunogenitas dalam respon imun :


a) Keasingan,yaitu imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap
hospes
b) Ukuran molekul
c) Kekompleksian kimia dan structural
d) Penentu antigen ( epilop )
e) Konstitusi genetik inangDosis, jalur, dan saat pemberian anti gen.

2. Pembagian antigen
a. Berdasarkan epitop
Unditerminan ( univalent ), Hanya satu jenis determinan/epitope pada satu
molekul.
Unideterminan ( multivalent ), Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau
lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.

Multideterminan ( univalent ), Banyak epitope yang bermacam-macam tetapi


hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein)

Multideterminan ( multivalent ), Banyak macam determinan dan banyak dari


setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan
kompleks secara kimiawi)

b. Berdasarkan spesifitas
Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies.
Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu.
Alloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies.
Antigen organ spesifik, yang hanya dimilki organ tertentu.
Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri.

c.

Berdasarkan ketergantungan terhadap sel T

T dependen, yang memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat
menimbulkan respon antibody. Kebanyakan antigen protein termasuk dalam
golongan ini.
T independen, dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk membentuk
antibody. Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul besar polimerik yang
dipecah di dalam tubuh secara perlahan-lahan. Misalnya, lipopolisakarida, ficoll,
dekstran, levan, dan flagelin polimerik bakteri.
Contoh-contoh antigen antara lain: Bakteri 4. Sel-sel dari transplantasi organ,Virus
5. Toksin dan Sel darah yang asing.
d. berdasarkan sifat kimiawi
Hidrat arang (polisakarida), hidarat arang pada umumnya imunogenik.
Glikoprotein

yang

merupakan

bagian

permukaan

sel

banyak

mikroorganisme dapat menimbulkan respon imun terutama pembentukan


antibody. Contoh lain adalah respon imun yang ditimbulkan golongan darah
ABO, sifat antigen dan spesifitas imunnnya berasal dari polisakarida pada
permukaan sel darah merah.
Lipid, biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat
protein pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah
sfingolipid.
Asam Nukleat, tidak imunogenik. Tetepi dapat menjadi imunogenik bila
diikat protein molekul pembawa. DNA dalam bentuk heliks-nya biasanya
tidak imunogenik. Respon imun terhadap DNA terjadi pada penderita LES.
Protein, kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya
multideterminan atau univalent.

2. Antibodi
Darah yang dibiarkan membeku akan meninggalkan serum yang mengandung berbagai
bahan larut tanpa sel. Bahan tersebut mengandung molekul antibody yang digolongkan
dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai immunoglobulin. Dua
cirinya yang penting adalah spesifitas dan aktifitas biologik. Fungsi utamanya adalah
mengikat antigen dan menghantarkannya ke system pemusnahan.
2.5 STRUKTUR DAN FUNGSI IMUNOGLOBULIN

1. Struktur Imunoglobulin
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.
Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai struktur
dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18% karbohidrat. Komponen
polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi
mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi
fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
Imunoglobulin dibagi menjadi 5 kelompok dalam bentuk gammaglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD, IgE) dan dapat dipisahkan melalui proses elektroforesa. Bila
seseorang

terkontaminasi

dengan

antigen,

maka

akan

terjadi

proses

imunoglobulin (antibodi) dan dengan kontaminasi yang lebih jauh dengan antigen
yang sama akan terbentuk kekebalan.
Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai
perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen
spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas
2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang
dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L
(rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin
(satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu
ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur yang simetris.
Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris
rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari

rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh
ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh
ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda,
sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (), rantai A (), rantai M
(), rantai E () dan rantai D (). Setiap rantai mempunyai jumlah domain
berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D
masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen.
Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang
terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam amino
yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat
tempat pengikatan antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas
imunoglobulin.
Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan
mempunyai susunan asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat
antigen tetapi memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin
yang bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada
permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil
mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus
plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan
karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan
akibat kehilangan sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat
antigenik determinan, namun demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik.
Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai
F(ab2) yang mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.
2. Klasifikasi Imunoglobulin
Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas
mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda.
Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan antar kelas.
a. Imunoglobulin G (Ig G) disebut juga rantai (gamma)
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2
rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai

koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada


orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing
mempunyai perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan
jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%,
dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas
IgG3 yang hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan
mengikat komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti
IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat
komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif.
Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada
fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan
memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus
antibodi (opsonisasi).
Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain
CH3. Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik
dimulai dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan
antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi
dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada
antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan
sel limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi
dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada transport
IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.
b. Imunoglobulin M disebut juga rantai (mu)
Imunoglobulin M merupakan 10% dari

seluruh

jumlah

imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul


850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah
karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul
pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada
golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM

cukup

untuk

memulai

reaksi

kaskade

komplemen.

IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai dan CH.
Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan
disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer
dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya
oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
c. Imunoglobulin A (IgA) disebut juga rantai (alpha).
Adalah Imunoglobulin utama dalam sekresi selektif, misalnya pada
susu, air liur, air mata dan dalam sekresi pernapasan, saluran genital
serta saluran pencernaan atau usus (Corpo Antibodies). Imunoglobulin
ini melindungi selaput mukosa dari serangan bakteri dan virus.
Ditemukan pula sinergisme antara IgA dengan lisozim dan komplemen
untuk mematikan kuman koliform. Juga kemampuan IgA melekat pada
sel polimorf dan kemudian melancarkan reaksi komplemen melalui
jalan metabolisme alternatif.
Tiap molekul IgA sekretorik berbobot molekul 400.000 terdiri atas
dua unit polipeptida dan satu molekul rantai-J serta komponen
sekretorik. Sekurang-kurangnya dalam serum terdapat dua subkelas
IgA1 dan IgA2. Terdapat dalam serum terutama sebagai monomer 7S
tetapi cenderung membentuk polimer dengan perantaraan polipeptida
yang disintesis oleh sel epitel untuk memungkinkan IgA melewati
permukaan epitel, disebut rantai-J. Pada sekresi ini IgA ditemukan
dalam bentuk dimer yang tahan terhadap proteolisis berkat kombinasi
dengan suatu protein khusus, disebut Secretory Component yang
disintesa oleh sel epitel lokal dan juga diproduksi secara lokal oleh sel
plasma.
d. Imunoglobulin D (Ig D) disebut juga rantai (delta)
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat
labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat
molekulnya adalah 180.000. Rantai mempunyai berat molekul
60.000 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD
belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel
limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
e. ImunoglobulinE (IgE) disebut juga rantai (epsilon)

Didalam serum ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah. IgE


apabila disuntikkan ke dalam kulit akan terikat pada Mast Cells dan
Basofil. Kontak dengan antigen akan menyebabkan degranulasi dari
Mast Cells dengan pengeluaran zat amin yang vasoaktif.
IgE yang terikat ini berlaku sebagai reseptor yang merangsang
produksinya dan kompleks antigen-antibodi yang dihasilkan memicu
respon

alergi

Anafilaktik

melalui

pelepasan

zat

perantara.

Pada orang dengan hipersensitivitas alergi berperantara antibodi,


konsentrasi IgE akan meningkat dan dapat muncul pada sekresi luar.
Dihasilkan pada saat respon alergi seperti asma dan biduran.
Peranan IgE belum terlalu jelas.IgE berukuran sedikit lebih besar
dibandingkan dengan molekul IgG dan hanya mewakili sebagian kecil
dari total antibodi dalam darah. Daerah ekor berikatan dengan reseptor
pada sel mast dan basofil dan, ketika dipicu oleh antigen,
menyebabkan sel-sel itu membebaskan histamine dan zat kimia lain
yang menyebabkan reaksi alergi.
Regio Fc dari IgE terikat pada reseptor pada permukaan sel mast
dan basofil. IgE yang terikat ini bertindak sebagai reseptor antigen
yang menstimulasi produksinya sehingga terbentuk kompleks antigenantibodi yang memicu terjadinya respon alergi tipe cepat (anafilaksis)
melalui pelepasan mediator.
Pada orang dengan hipersensivitas alergi yang diperantarai
antibodi tersebut, IgE meningkat dengan cepat dan IgE dapat terdapat
pada sekresi eksternal. IgE serum juga meningkat secara tipikal selama
infeksi cacing.
2.6 Reaksi Hipersensitivitas
Respon imun, baik non spesifik maupun spesifik pada umumnya
menguntungkan

bagi

tubuh,

pertumbuhan kanker, tetapi

berfungsi

protektif

terhadap

dapat pula menimbulkan

infeksi

hal yang

atau
tidak

menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitifitas.


Hipersensitifitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitifitas terhadap antigen

yang pernah dipejankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitifitas terdidri


atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
1. pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi.
a. Reaksi Cepat, reaksi capat terjadi dalam hitungan detik, menghilang
dalam 2 jam. Ikatan silang antara allergen dan igE pada permukaan sel mast
menginduksi pengelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis local.
b. Reaksi Intermediet, reaksi intermedien terjadi setelah beberapa jam dan
menghilang setelah 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks
imun igG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel
NK/ADCC manifestasi reaksi intermediet dapat berupa.
Reaksi transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
Reaksi Arthus local dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulatif nekrotis, glomerulonephritis, artritis rheumatoid dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh igG dan kerusakan jaringan pejamu
yang disebabkan oleh sel neutrophil atau sel NK.
c. Reaksi lambat, reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah
terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktifitas sel Th. Pada
DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan ssel efektor makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh : reaksi lambat adalah
dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.
2. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
a. Reaksi Hipersentivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang
timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula diduga
bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit
tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh
Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang
berubah. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
a. Fase Sensitasi

Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai


diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik,
mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
c. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi
farmakologik.IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah
sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada
permukaan mastosit akan menetap untuk beberapa minggu.
Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah)
orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang
normal.
b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi
yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen
jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung
dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan
adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.
Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat
misalnya thyroid.
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah
akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya
adalah sebagai berikut :
a. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau
immune adherenceb. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K
(Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc

c. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen


3.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang
terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/
dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa
digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian
melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan
menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat
ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim
proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan
alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun).
Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa
adanya respons antibodi yang efektif.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif

4.

immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin


yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi
terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik
pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan
zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi
besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor
di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan
asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri,
dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan
protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat
dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah
berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini
menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan

sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa
(leishmaniasis, schitosomiasis)

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Imunologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang semua mekanisme imunitas
yaitu mekanisme fisiologis yang membantu mengenali materi asing (non self), berinteraksi,
menetralkan dan mengeliminasi dengan berbagai cara.
Saat materi asing memasuki tubuh maka tubuh memunculkan respon, yaitu respon
imunitas. Respon imunitas ada yang spesifik (dilakukan secara selektif oleh limfosit T dan B)
dan respon non spesifik (dilakukan berbagai komponen imun baik imun permukaan atau
komponen lain di dalam darah/serum).
Secara garis besar respon imun (baik yang spesifik maupun non spesifik bertugas
menjalankan fungsi pertahanan (defense) yaitu menghambat masuknya antigen, menetralkan
antigen dengan berbagai cara, fungsi homeostasis yaitu membersihkaan sel tubuh dari antigen
atau sel-sel yang sudah rusak akibat infeksi dan membuangnya melalui berbagai cara, fungsi
pengawasan (surveillance) yaitu menjaga adanya perubahan sel normal menjadi abnormal yang

ganas (tumor). Perubahan ini akan membuat sel normal yang semula dikenal sebagai self
menjadi non self yang harus segera disingkirkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wahab,samik.2002.Sistem Imun,Imunisasi dan Penyakit Imun.Jakarta:Widya Medika


2. Bratawidjaja Karnen Garna, Rengganis Iris.2009. Imunologi Dasar. Jakarta:FKUI
3. reaksi hipersensitivitas.Online: http://allergycliniconline.com/2012/02/01/imunologi-dasarreaksi-hipersensitivitas/. Diakses pada 8 maret 2014
4. http://allergycliniconline.com/2013/12/09/fungsi-dan-struktur-imunoglobulin/

Anda mungkin juga menyukai