Anda di halaman 1dari 12

Komplikasi Transfusi Darah dan Penanganannya

Reaksi hemolitik
Reaksi yang terjadi biasanya adalah penghancuran sel darah merah donor oleh antibodi resipien
dan biasanya terjadi karena ketidakcocokan golongan darah ABO yang dapat disebabkan oleh
kesalahan mengidentifikasikan pasien, jenis darah atau unit transfusi. Pada orang sadar, gejala
yang dialami berupa menggigil, demam, nyeri dada dan mual. Pada orang dalam keadaan tidak
sadar atau terbius, gejala berupa peningkatan suhu tubuh, jantung berdebar-debar, tekanan darah
rendah dan hemoglobinuria. Berat ringannya gejala tersebut tergantung dari seberapa banyak
darah yang tidak cocok ditransfusikan.
Reaksi non hemolitik
Reaksi ini terjadi karena sensitisasi resipien terhadap sel darah putih, trombosit atau protein
plasma dari donor. Gejalanya antara lain demam, urtikaria yang ditandai dengan kemerahan,
bintik-bintik merah dan gatal tanpa demam, reaksi anafilaksis, edema paru, hiperkalemia dan
asidosis.
Infeksi
Resiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal antara
lain; angka kejadian penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang dilakukan, kekebalan
tubuh resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Beberapa infeksi yang biasa terjadi adalah virus
hepatitis, HIV, Citomegalovirus, bakteri stafilokokus, yesteria dan parasit malaria.
Penanggulangan komplikasi transfusi :
1. Stop transfusi
2. Naikan tekanan darah dengan cairan infus, jika perlu tambahkan obat-obatan.
3. Berikan oksigen 100%
4. Pemberian obat-obatan diuretik manitol atau furosemid
5. Obat-obatan antihistamin
6. Obat-obatan steroid dosis tinggi

SAMPAI SINI SAJA TESAAAAAAAAAAAAAAA

Transfusi darah masif jarang dilakukan, lebih-lebih sebab permintaan darah hampir selalu
tersendat-sendat. Kalau terjadi perdarahan banyak dan persediaan darah kurang, yang diberikan
ialah cairan pengganti darah.
Kadang-kadang transfusi darah masif dapat dilakukan sebab persediaan darah cukup dan kadangkadang donor juga cukup banyak. Seandainya persediaan darah cukup, maka pemberian suatu
transfusi masif bukan tanpa risiko untuk terjadinya macam-macam komplikasi, sehingga
diperlakukan alat tambahan untuk memudahkan kita memantau selama pemberian transfusi
masif tersebut. Alat tambahan tersebut antara lain ialah EKG, analisis gas darah, dan CVP.
Selain risiko, penyediaan alat-alat dan pemeriksaan analisis gas darah yang berulang merupakan
beban biaya tambahan bagi penderita.
DEFINISI

Transfusi darah masif adalah pemberian darah dengan kecepatan lebih dari 30 ml/kg BB/jam
( 2 ), atau dapat juga dikatakan pemberian darah secara mendadak lebih dari 1,50 kali perkiraan
jumlah darah penderita (5, 8).
KEGUNAAN

Transfusi darah disini digunakan untuk :


1. Memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen.
2. Mempertahankan volume darah (1, 8).
KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi :
I. Reaksi imunologi
II. Reaksi non imunologi
III. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah masif.
I. REAKSI IMUNOLOGI
A. REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK

Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius dan terdapat pada
satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi (8).
1. Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien.
Hal ini bisa terjadi dengan cara :
a. Reaksi transfusi hemolitik segera
b. Reaksi transfusi hemolitik lambat.
2. Lisis sel resipien oleh antibodi darah transfusi secara masif.
Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang
label atau membaca label pada botol darah.
Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan
vena leher , nyeri kepala, nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi,
hipotensi, hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan ikterus.
Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan memerlukan perhatian khusus
dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain.
Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tibatiba meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine menjadi
coklat kehitaman sampai hitam dan mungkin berisi hemoglobin dan butir darah merah. (8).
Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan
untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah :
a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti pemberian 40 mEq
Natrium bikarbonat.
b. Furosemid
Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang cocok.
Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu
penderita perlu diberi oksigen.
Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialisis (8).
Cara menghindari reaksi transfusi :
Untuk mengerjakan ini perlu dilakukan :

a. Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya darah donor dan resipien.
b. Memilih tips dan saringan yang tepat.
c. Pada transfusi darurat :
Banyak situasi terjadi dimana kebutuhan darah sangat mendesak sebelum dilakukan pemeriksaan
cocok tidaknya darah secara lengkap. Dalam situasi demikian tidak perlu dilakukan pemeriksaan
secara lengkap, dan jalan singkat untuk melakukan tes bisa dikerjakan sebagai berikut :
1. Type-Specific, Partially Crossmatched Blood
Bila kita menggunakan darah un-crossmatched, maka paling sedikit harus diperoleh tipe ABORh dan sebagian crossmatched.
2. Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood.
Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka tipe ABO-Rh harus sudah ditentukan selama
penderita dalam perjalanan ke rumah sakit.
3. O Rh-Negatif (Universal donor) Uncrossmatched Blood
Golongan darah O kekurangan antigen A dan B, akibatnya tidak dapat dihemolisis baik oleh anti
A ataupun anti B yang ada pada resipien. Oleh sebab itu golongan darah O kita sebut sebagai
donor universal dan dapat digunakan pada situasi yang gawat bila tidak memungkinkan untuk
melakukan penggolongan darah atau crossmatched. Tetapi bagaimanapun juga pemberian
darah golongan inipun bukan tanpa resiko ( 1).
B. REAKSI TRANSFUSI NON HEMILITIK
1. Reaksi transfusi febrile
Tanda-tandanya adalah sebagai berikut :
Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual, batuk yang tidak produktif.
2. Reaksi alergi
a. Anaphylactoid
Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah transfusi.
b. Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka penderita
sembab.
Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus disetop.

Alergi yang berat jarang terjadi dan ini kita sebut reaksi anafilaksis, dengan tanda-tanda sebagai
berikut : sesak nafas, hipotensi, edema larings, nyeri dada, dan shok. Reaksi anafilaksis ini
disebabkan karena transfusi IgA kepada penderita yang kekurangan IgA dan telah terbentuk anti
IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe kerusakan sel darah merah, kejadiannya sangat cepat dan
biasanya terjadi sesudah mendapat transfusi darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita
yang menunjukkan tanda-tanda reaksi anafilaksis bila perlu mendapat darah, harus diberi sel
darah merah yang telah dibersihkan dari semua sisa donor IgA, atau dengan darah yang sedikit
mengandung protein IgA (1).
II. REAKASI NON IMUNOLOGI
A. Reaksi transfusi Pseudohemolytic
Termasuk disini ialah lisis terhadap sel darah merah tanpa reaksi antigen-antibodi. Hemolisis ini
dapat terjadi akibat obat, macam-macam keadaan penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan
dextrosa hipotonis, panas yang berlebihan dan kontaminasi bakteri.
B. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan.
C. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi
D. Virus hepatitis.
Risiko terkena hepatitis sesudah transfusi merupakan keadaan klinik yang penting. Tes untuk
HBV (Hepatitis B Virus), penyaringan untuk Non-A dan Non-B juga bisa mengurangi risiko
terkena transmisi penyakit tersebut (5,8,9).
E. Lain-lain penyakit yang terlibat pada terapi transfusi misalnya malaria, sifilis, virus CMG dan
virus Epstein-Barr parasit serta bakteri.
F. AIDS.
III. KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRANSFUSI DARAH MASIF
1. DILUTIONAL COAGULOPATHY
Darah simpan yang diberikan secara masif sering kekurangan faktor V dan VIII (1,2,8). Mutu
atau derajat faktor V pada darah simpan sampai 21 hari sekitar 30% atau lebih, sedangkan derajat
yang dibutuhkan untuk hemostasis antara 15-50%. Derajat faktor VIII pada darah simpan 21 hari
berkisar antara 15-50%.
Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya untuk menyamakan penggunaan FFP pada transfusi
masif. Kenyataannya darah simpan kurang dari 10 hari masih bisa memberikan faktor koagulasi
yang cukup pada penderita.

Satu yang harus diingat ialah bahwa penggunaan FFP yang berlebihan menambah transmisi
penyakit pada penderita, misalnya hepatitis dan AIDS (2).
Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya sesudah penderita mendapat transfusi banyak
dan cepat dengan menggunakan campuran ACD. Ini terjadi bila kita memberikan darah 20-30
unit, dan untuk penderita debil dan anak kecil lebih berkurang lagi (6). Manifestasi kliniknya
yaitu terdapatnya oozing pada daerah operasi, perdarahan pada gusi, petechiae dan
echymosis. Untuk mengatasi ini biasanya penderita mendapat darah ACD lagi. Selama
pemberian darah masif tetap dengan bahan-bahan yang kekurangan faktor-faktor pembeku, maka
selama itu pula perdarahan akan timbul, dan demikian selanjutnya hingga merupakan lingkaran
setan.
Etiologi kecenderungan perdarahan ini kemungkinan adalah terjadinya dilutional
thrombocytopenia, kekurangan faktor-faktor labil, dan DIC (5).
Tujuan terapi disini ialah untuk mempertahankan faktor-faktor V dan VIII mendekati 30%, sebab
20% faktor V dan 30% faktor VIII diperlukan untuk hemostasis penderita yang dioperasi (5).
Untuk mempertahankan faktor V dan VIII pada derajat 30% maka kepada penderita diberikan 23 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk tiap 10 unit packed cells dan transfusi plasma protein
fracyion (1,6). Setiap pemberian 5 unit darah perlu diperiksa jumlah platelet (6).
Trombositopenia.
Pada penderita yang mendapat transfusi darah 10 unit atau lebih sering terjadi trombositopenia
dan penderita perlu mendapat platelet (6).
a. Perdarahan selama operasi sering terjadi pada penderita dengan kadar platelet kurang dari
100.000/ cumm (4,6,8). Untuk mempertahankan jumlah platelet antara 50.000-100.000/cumm,
maka penderita diberikan platelet konsentrat sebanyak 6-8 unit tiap pemberian 20 unit darah,
kalau tidak bisa, penderita dapat diberi darah segar yang umurnya kurang dari 6 jam.
b. Tiap unit platelet konsentrat menambah jumlah platelet sebanyak 10-12 ribu/cumm pada
penderita muda dengan berat badan 70 kg.
c. Darah segar dapat mempertahankan kadar platelet pasca operasi di atas 90 ribu/cumm.
Perdarahan yang hebat akibat trombositopenia pada transfusi masif mulai terjadi sesudah
transfusi 10 unit darah atau lebih. Jadi tidak rasional bila kita memberi darah lama pada penderita
yang mendapat transfusi sebanyak 10-15 unit.
2. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)
a. DIC sukar diidentifikasi pada penderita yang mendapat transfusi masif. DIC merupakan
kombinasi antara perdarahan dan trombosis, suatu hal dua kejadian yang bertentangan. Untuk
membantu keadaan yang bertentangan ini, kecenderungan perdarahan diterapi dengan
antikoagulan, yaitu heparin. Pada jaringan hipoksia yang asidotik dengan bendungan aliran
darah, baik langsung ataupun lewat pelepasan beberapa toksin akan terjadi pelepasan

tromboplastin jaringan. Picu ini akan mempengaruhi proses koagulasi, menghasilkan faktor I, II,
VII, VIII dan platelet.
Seandainya trombus dan fibrin mengendap pada mikrosirkulasi organ-organ vital, maka akan
terganggu aliran darahnya.
Sesudah terjadi aktivasi sistem koagulasi yang tidak normal maka trombus dan fibrin akan
mengendap pada mikrosirkulasi (5). Untuk mengatasikeadaan hiperkoagulasi, maka sistem
fibrinolitik diaktifkan sehingga melarutkan fibrin yang berlebihan. Keadaan ini disebut
fibrinolisis sekunder. Fibrinolisis primer dapat juga terjadi pada waktu transfusi masif dengan
tujuan untuk mengaktifkan sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada fibrinolisis primer
sejumlah besar plasmin atau aktivator fibrinolitik dilepaskan, yang menyebabkan larutnya
penjendalan dan fibrin (5).
Diagnosis didasarkan atas analisis laboratorium terhadap faktor koagulasi, platelet, dan hasil
fibrinolisis.
b. Tujuan utama terapi ialah untuk :
- menghilangkan penyebabnya
- mempertahankan volume normal
- mengganti faktor-faktor pembekuan yang cukup, dengan demikian penderita dapat melanjutkan
proses koagulasi.
Jangan memberikan terapi berlebih karena akan menyebabkan pembekuan yang meluas.
Terapi adalah berupa :
- Fresh Frozen Plasma dan platelet concentrate
- Heparin : Penggunaannya pada DIC masih kontroversial tetapi dapat mencegah terjadinya
mikrotrombi.
- EACA : Penggunaannya sangat jarang, terutama pada fibrinolisis primer.
3. INTOKSIKASI SITRAT (KOMPLIKASI YANG JARANG TERJADI)
Sitrat mengikat kalsium dengan akibat terjadinya hipokalsemi, dan hipokalsemi ini jarang terjadi.
Pemberian kalsium sebaiknya dibatasi sampai didapatkan bukti adanya depresi miokard dan pada
EKG terdapat tanda-tanda hipokalsemi, yaitu terjadinya pemanjangan interval QT (1,7).
Konsentrasi ionisasi kalsium serum akan tetap normal bilamana kecepatan infus tidak lebih dari
30 ml/kg BB/jam (2,3).

Hipokalsemi dapat terjadi pada penderita dengan penyakit hati berat atau syok, karena
kemampuan memetabolisme natrium sitrat berkurang (8).
4. KEADAAN ASAM BASA
Bila larutan ACD diberikan pada darah, maka pH-nya akan menurun sampai 7.0, hal ini
disebabkan terutama karena keasaman larutan ACD. pH darah akan terus turun sampai kira-kira
6.5 sesudah sampai 21 hari disimpan, karena adanya glikolisis yang terus menerus dan
pembentukan asam laktat dan peruvat oleh metabolisme sel. Lagi pula karena botol atau kantong
plastik darah tidak memungkinkan terjadinya mekanisme pelepasan CO2, maka PaCO akan naik
dari 150 sampai 210 torr.
Howland dan Schweizer menganjurkan untuk tiap 5 unit darah ACD yang ditransfusikan perlu
diberikan 44.6 mEq natrium bikarbonat (5,6). Keasaman darah ACD hanya mempengaruhi
penderita yang dalam keadaan syok atau penderita dengan respirasi tidak normal, atau adanya
kompensasi dari ginjal. Miler berkesimpulan bahwa pemberian natrium bikarbonat secara
empirik tidak perlu dan bukan merupakan indikasi, sehingga tidak logis bila pemberian natrium
bikarbonat digunakan sebagai profilaksi untuk penderita yang tidak dapat kita perkirakan
keasamannya. Tiap pemberian natrium bikarbonat harus didasarkan atas hasil analisis gas darah
dan ini bisa dikerjakan setiap pemberian darah 5 unit (1,2,8).
Asidosis terjadi sebagai akibat hipoksia sel darah merah selama penyimpanan. Sesudah transfusi
ion hidrogen dikembalikan ke sel darah merah atau sebagai buffer oleh plasma resipien (8).
5. HIPERKALEMI
Darah dari bank darah berisi ion K antara 17-24 mEq/L pada penyimpanan 21-33 hari (1).
Hiperkalemia merupakan problem yang jarang terjadi. Pada darah simpan akan terjadi
pengurangan isi kalium pada eritrosit dan kenaikkan dalam plasma.
6. HIPOTERMI
Transfusi masif yang menggunakan darah dingin dapat meningkatkan pelepasan energi untuk
menaikkan temperatur tubuh, menaikkan pemakaian O2, afinitas hemoglobin dan O2, kebocoran
ion K dari sel darah merah dan kerusakan metabolisme sitrat.
Umumnya telah diketahui bahwa pemberian beberapa unit darah dingin akan menurunkan
temperatur resipien. Dengan cara memanaskan darah dari bank darah sesuai dengan panas tubuh
sebelum diberikan pada penderita, maka secara bermakna akan mengurangi angka kejadian
aritmi dan cardiac arrest selama transfusi masif. Walaupun Bayan menekan bahwa pemanasan
darah hanya untuk transfusi masif, banyak yang percaya bahwa whole blood yang diberikan
beberapa unit juga perlu dipanaskan bila diberikan selama operasi.
Suatu penurunan temperatur pada esofagus sebanyak 0.5 1 C dapat mengakibatkan penderita
menggigil sesudah operasi, sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan cardiac

out put. Pemberian darah hangat sesuai dengan panas tubuh juga dapat menghindari
menurunnya kecepatan metabolisme sitrat sehingga dapat mengurangi intoksikasi sitrat (6).
Transfusi dengan darah dingin sebanyak 5 unit dalam waktu 30 menit akan dapat menurunkan
temperatur 4 C. pada 33 C, hipotermi dapat menyebabkan asidosis metabolik dan depressi
cardiac out put. Perubahan posisi tubuh atau respirasi dapat menyebabkan cardiac arrest.
Darah harus dihangatkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada penderita dengan kecepatan
tinggi dan dalam jumlah besar (8).
7. Post transfusion hepatitis (PTH)
Penemuan yang penting yaitu adanya Australian Antigen (HAA) dan hubungannya yang positif
dengan hepatitis serum merupakan harapan baru untuk mengurangi PTH.
Kebanyakan darah yang diberikan adalah darah yang dibeli dari setiap orang sehingga penularan
hepatitis bisa saja terjadi.
Semua Palang Merah perlu mengetes dan meniadakan donor positifnya HAA. Virus cytomegalo
dapat menular lewat transfusi darah dan merupakan salah satu bagian yang bertanggung jawab
untuk terjadinya PTH. Bila bukti-bukti tampak meyakinkan, dimana dapat dideteksi bahwa darah
mengandung virus tersebut, maka transfusi dengan darah tersebut harus dihindari.
Cara lain untuk mengatasi PTH ialah dengan memberikan modifikasi gamma globulin intravena
sebelum pemberian darah (6).
DIAGNOSIS DAN TERAPI PERDARAHAN
Keberhasilan pengobatan tergantung pada kemampuan menentukan diagnosis penyebab problem
perdarahan. Penderita yang menerima transfusi masif dengan darah ACD akan mendapat
berbagai kelainan hasil laboratorium dan ini membuat kita mendapatkan kesukaran untuk
menentukan sebab-sebab yang jelas. Sebagai contoh trombositopeni mungkin merupakan akibat
dilutional coagulopathy yang akan terjadi selama transfusi masif, atau akibat dari DIC, atau
karena keduanya.
Perdarahan pada penderita dengan trombositopenia mungkin disebabkan oleh dilutional
coagulopathy dengan fibrinolisis primer.
Untuk membedakan ini perlu dideteksi derajad fibrinogen. Walaupun hal ini mudah dikerjakan
dikebanyakan rumah sakit; namun tidak dapat segera memberikan hasil, terutama pada malam
hari. Untuk menghadapi keadaan semacam ini, sesudah mendapatkan contoh darah untuk
menentukan jumlah platelet, derajat fibrinogen plasma, dan partial thromboplastin time (PTT),
kemudian kita periksa bekuan darah dalam hal ukuran dan stabilitasnya. Bila PTT naik secara
tidak normal dan tes yang lain normal maka perdarahan mungkin disebabkan oleh sangat
rendahnya faktor V dan VIII, dan ini bisa diterapi dengan FPP yang berisi semua faktor
koagulasi kecuali platelet.

Bila bekuan darah pada test tube mengalami lisis didalam waktu 1 atau 2 jam, maka terjadi
fibrinolisis berlebihan. Untuk menghambat pembentukan plasmin dan mengurangi fibrinolisis
perlu pemberian Epsilon-aminocaproic acid (EACA). Penderita yang mendapat transfusi
dianjurkan diberikan EACA. Tetapi bila fibrinolisis merupakan akibat sekunder, karena kita ingin
mencegah terjadinya trombosis yang luas pada DIC, pemberian EACA justru akan memperberat
DIC.
Karena tes untuk membedakan fibronolisis primer atau sekunder biasa tidak siap pakai, maka
EACA hanya diberikan setelah heparinisasi dan setelah konsultasi dengan ahli-ahli yang
bersangkutan. Fibrinolisis biasanya terjadinya akibat sekunder DIC, setelah kita mengalami
keraguan yang lama dalam menetapkan pemberian EACA tanpa terlebih dahulu memberikan
heparin pada penderita.
Bila terdapat keadaan tiga serangkai, ialah trombositopenia, hipofibrinogenemi, dan lisis suatu
bekuan darah yang terjadi dalam waktu 2 jam, maka dipikirkan terjadinya suatu DIC. Bahkan
tanpa lisis bekuan, fibrinogen (<100 mg/100 ml) yang bukan akibat dilutional coagulopathy
sudah dianggap sebagai DIC.
Heparin dapat cepat memperbaiki jumlah platelet dan derajat fibrinogen serta dapat mengurangi
perdarahan. Pemberian heparin biasanya dimulai dengan dosis 30 unit/kg BB, dan diberikan
intravena.
Penentuan yang kedua terhadap platelet dan derajat fibrinogen dalam waktu 3 dan 4 jam
mungkin merupakan suatu indikasi pemberian heparin. Bila hasil-hasil pemeriksaan laboratorium
kembali normal dan intensitas perdarahan berkurang, pemberian heparin dapat disetop atau
dikurangi. Setelah pemberian heparin sering terjadi kehilangan faktor pembekuan seperti platelet
dan fibrinogen, sehingga perlu diganti dalam bentuk plasma, konsentrat platelet, atau darah
segar.
DIC yang baru saja terjadi dapat diterapi tanpa heparin, yaitu dengan cara menghilangkan
penyebab yang mempercepat terjadinya DIC. Heparin perlu diberikan pada syok dan DIC yang
berat dan lama. Jadi heparin hanya dipertimbangkan sebagai terapi tambahan dan bukan terapi
yang mujarab untuk penderita syok hipovolemi yang membutuhkan transfusi masif.
Menurut American Association of Blood Banks penderita hanya boleh mendapat komponenkomponen darah yang diperlukan. Contoh : bila penderita hanya membutuhkan platelet maka
sisa unit darah lainnya, misalnya eritrosit, plasma dan albumin dapat disimpan untuk penderita
lain (5).
Darah segar (kurang dari 6 jam penyimpanan) akan memberikan platelet paling banyak setiap
donor. 90% platelet didapat dari plasma yang merupakan setengah dari jumlah tiap unit darah.
Konsentrat platelet dapat disimpan dalam tempat sebesar 25 ml dan dapat memberikan 70-80%
yang terdapat pada setiap unit darah. Bila yang diperlukan hanya platelet dan bukan lisis maka
konsentrat platelet ini merupakan indikasi untuk diberikan pada penderita. Bila penderita dengan
hipovolemi juga memerlukan penggantian eritrosit, albumin, beberapa faktor koagulasi dan
platelet, maka secara praktis ialah dengan memberikan darah segar. Platelet yang disimpan pada

4 C harus dengan diberikan dalam waktu 6 jam setelah penyimpanan untuk dapat memberikan
kegunaan yang maksimal.
Pada transfusi sel darah merah diperlukan kecocokan antara donor dan resipien. Kita
menggunakan tipe dan saringan infus tertentu, sebab makin meningkatnya jumlah operasi elektif
yang biasanya tidak menggunakan darah. Pada operasi-operasi elektif darah hanya digunakan
pada keadaan tertentu saja. Ini memberikan beberapa keuntungan, ialah :
1. Mengurangi jumalh sel darah setiap harinya.
2. Mengurangi petugas Bank Darah.
3. Ongkos yang dibebankan pada penderita menjadi lebih rendah.
Untuk memantau penderita dengan transfusi masif diperlukan :
1. EKG untuk mengetahui perusahaan kalsium dalam darah.
2. CVP dan kateter urine untuk mengetahui keluarnya urine setiap jam.
3. Analisis gas darah untuk mengetahui PaO2, PaCO2, pH. Ketiga hal tersebut perlu dipantau
setiap pemberian 5 unit darah, untuk menentukan secara tepat berapa natrium biakrbonat yang
harus diberikan.
KESIMPULAN
I. Koagulasi
A. Pertimbangkan pemberian darah segar atau konsentrat platelet setelah pemberian darah 10
unit.
B. Memeriksa jumlah platelet dan bekuan untuk lisis sesudah tiap 5 unit darah ACD yang
diberikan.
C. Bila mungkin memantau partial thromboplastin time dan derajat fibrinogen plasma setiap
10 unit darah.
II. Pemberian darah sesegar mungkin, untuk menghindari sisa-sisa darah yang lewat saringan,
atau pertimbangkan penggunaan filter yang adekuat.
III. Hangatkan darah sebelum ditransfusikan.
IV. Analisis gas darah untuk menentukan PaO2, PaCO2, dan pH. Setiap pemberian 5 unit darah
perlu dipantau ketiga hal di atas untuk menentukan pemberian natrium bikarbonat secara tepat.

V. Memantau EKG terus-menerus untuk mengetahui adanya perubahan kalium dan kalsium
dalam darah, dan pengobatan hanya bila ada indikasi.
VI. Pemasangan CVP dan kateter urine untuk mengetahui jumlah urine yang keluar.
VII. Transfusi darah masif bisa juga terkena hepatitis, AIDS dan malaria.

Anda mungkin juga menyukai