Pendahuluan
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala penykit yang
disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan dalam
cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, serta air susu ibu.
Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang yang hidup dengan HIV, dan
95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang dimana HIV belum menjadi prioritas
karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 6,1 juta
ODHA, sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 90.000 130.000 ODHA. Bila angka
kelahiran di Indonesia 2,5% maka setiap tahun akan ada 2.250 3.250 bayi yang lahir
dari ibu yang HIV positif. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama
dalam kandungan, persalinan, dan menyusui, sedangkan hanya 10% ditularkan melalui
transfusi darah tercemar HIV maupun cara lainnya. Resiko bayi tertular HIV dapat
ditekan hingga 90%, bila ibu mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) selama masa
kehamilan. Dengan demikian pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak atau PMTCT
menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada pada usia subur, lebih
dari 90% kasus HIV ditularkan dari ibu. Anak yang dilahirkan akan menjadi yatim piatu,
dan anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan tumbuh kembang karena lebih sering
mengalami infeksi bakteri maupun virus, belum lagi hukuman sosial bagi anak tersebut.
Pada tahun 1994, Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) Protokol 076
mendemonstrasikan three part regimen of zidovudine (ZDV) dapat menurunkan resiko
penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV positif kepada janin untuk virus HIV tipe 1
(HIV-1) hingga 70%. Regimen tersebut termasuk ZDV oral yang diberikan pada usia
kehamilan 14 34 minggu dan dilanjutkan selama kehamilan, dilanjutkan dengan ZDV
intravena selama persalinan, dan pemberian ZDV oral untuk bayi, selama 6 minggu
setelah dilahirkan.
Sejak tahun 1994, telah dilakukan pengembangan untuk mengetahui patogenesis serta
pengobatan dan monitoring infeksi HIV-1. Kecepatan perkembangan virus pada semua
tahap infeksi HIV-1, lebih cepat dari yang pernah diketahui sebelumnya; virion plasma
diperkirakan memiliki paruh waktu hanya 6 jam. Maka dari itu, pengobatan intervensi
difokuskan pada kombinasi agresif regimen antiretroviral untuk memaksimalkan
penekanan replikasi virus, meningkatkan kembali fungsi imun, dan menurunkan
hambatan penurunan daya tahan tubuh. Pada saat ini telah tersedia ARV poten, yang
menghambat enzim protease HIV-1. Penggunaan kombinasi inhibitor protease dengan
nucleoside analog reverse trancriptase inhibitors (NRTIs), tingkat plasma HIV-1 RNA
ditekan untuk jangka waktu yang lebih lama, sampai pada tingkat yang tidak terdeteksi
oleh pemeriksaan yang ada.
2. Pengelolaan HIV / AIDS di Indonesia
Pada saat ini kurang dari 5% ODHA di negara berkembang yang membutuhkan ARV
dapat terjangkau. Pedoman pengobatan antiretroviral memberikan informasi mengenai 4S
yaitu starting, substituting, switching, dan stopping, yang merupakan saat yang tepat
untuk memulai terapi (starting), memilih obat yang harus diteruskan bila harus
mengganti regimen pengobatan (substituting), alasan untuk mengganti seluruh regimen
(switching), dan saat menghentikan antiretroviral (stopping)
1. Prasyarat
Pemberian terapi antiretroviral (ARV) menurut Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan, dan Pengobatan bagi ODHA, Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesahatan
Republik Indonesia tahun 2003, umumnya mempunyai persyaratan tertentu,
misalnya jumlah CD4 < 200 sel/mm3 , namun pemberian ART pada ODHA hamil
dengan tujuan pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya tidak
memperhatikan persyaratan tersebut di atas.
Secara umum, sebelum memulai pengobatan antiretroviral, sebaiknya tersedia
layanan dan fasilitas khusus, karena terapi yang rumit dan biaya yang tinggi, dan
juga memerlukan pemantauan yang intensif.
Layanan tersebut terdiri dari :
1. Layanan konseling dan pemeriksaan sukarela (Voluntary Counseling and
Testing / VCT) untuk menemukan kasus yang memerlukan pengobatan
dan layanan konseling tindak lanjut untuk memberikan dukungan
psikososial berkelanjutan.
2. Layanan konseling kepatuhan untuk memastikan kesiapan pasien
menerima pengobatan oleh konselor terlatih dan meneruskan pengobatan
(dapat diberikan melalui pendampingan atau dukungan sebaya).
3. Layanan medis yang mampu mendiagnosis dan mengobati penyakit yang
sering berkaitan dengan HIV seta infeksi oportunistik.
4. Layanan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan laboratorium
rutin seperti pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah. Akses ke
laboratorium rujukan yang mampu melakukan pemeriksaan CD4
bermanfaat untuk memantau pengobatan
5. Ketersediaan ARV dan obat infeksi oportunistik serta penyakit terkait lain
yang efektif, bermutu, terjangkau, dan berkesinambungan.
2. Penilaian klinis
Sebelum memulai pengobatan, perlu dilakukan :
Riwayat penyakit :
Berat badan
Tanda vital
Kulit: herpes zoster, sarkoma kaposi, dermatitis HIV, pruritc papular eruption
(PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track), atau jejas sayatan.
Limfadenopati
Pemeriksaan psikologis:
Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah (terutama fungsi hati)
dan fungsi ginjal
Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis:
Foto toraks
Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopis
Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) tergantung adanya
pemeriksaan dan sumber daya
Kreatinin serum dan atau ureum darah untuk menilai fungsi ginjal pada awal
Glukosa darah
Pemeriksaan lain bila perlu, seperti: bilirubin serum, lipid serum, dan amilase
serum
Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi terlatih di laboratorium yang menjalankan
program jaga mutu. Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang
dipakai untuk menegakan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul keraguan,
pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan.
Tabel 1. Klasifiaksi Klinis Infeksi HIV pada Oang Dewasa (WHO)
Stadium
Gambaran Klinis
Asimptomatik
Limfadenopti generalisata
II
III
IV
Kandidiasis orofaringeal
Toksoplasmosis otak
Kriptokokosis ekstrapulmonal
Skala Aktivitas
Asimptomatik, aktivitas
normal
Simptomatik, aktivitas
normal
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV
Keterangan :
HIV wasting syndrome: berat badan turun > 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain
Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu aktivitas hidup sehari hari dan bertambah buruk dalam beberapa
minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit lain selain HIV
Gambaran Klinis
Asimptomatik
Limfadenopati generalisata
Gagal tumbuh (failure to thrive) atau penurunan berat badan yang berat tanpa
II.
III
diketahui penyebabnya
Ensefalopati progresif
Keganasan
Keterangan:
Penurunan berat badan >10% jika baseline atau kurang dari persentil 5 dari grafik berat badan pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 1 bulan tanpa
penyebab ataupun penyakit lain
1. Persyaratan lain
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4, sebagai indikator pengobatan ARV pada infeksi
HIV simptomatik digunakan limfosit total 1200/mm3, dan pada pasien asimptomatik jumlah
limfosit total kurang berkolerasi dengan jumlah CD4.
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak
dianggap perlu sebelum dimulainya ARV dan tidak direkomendasikan WHO sebagai
tindakan rutin dalam pengambilan keputusan pengobatan.
Dosis
Nucleoside RTI
Abicavir (ABC)
Didanosine (ddl)
Lamivudine (3TC)
Stavudine (d4T)
Zidovudine (ZDV atau
AZT)
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF)
Nevirapine (NVP)
Protease Inhibitors
Indinavir/ritonavir (IDV/r)
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) (533 mg / 133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EVP atau
NVP)
Nelfinavir (NFV)
Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila
ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV
sekitar 15 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25
35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 24 bulan maka resiko
terinfeksi meningkat menjadi 30 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui
plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak
semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam
kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini
dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit pada plasenta, atau
pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan
bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses
persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin
lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih
rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi pada sekitar 10
20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih. Atas dasar tersebut, ibu dengan
infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu
pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di negara maju sekitar 15
25%, sedangkan di negara berkembang 25 45%, dihuungkan dengan kebiasaan
menyusui yang tinggi di negara berkembang.
Dengan perkembangan pengertian mengenai patogenesis penularan HIV-1 pada
perinatal, diketahui bahwa kebanyakan terjadi pada waktu mendekati persalinan.
Data tambahan, telah menunjukan keamanan jangka pendek penggunaan regimen
ZDV, pada pemantauan pada bayi dan wanita dengan penobatan PACTG 076.
Data dari hasil penelitian pada hewan, menunjukan potensi karsinogen
transplasental dari penggunaan ZDV, sehingga dibutuhkan pemantauan lanjut
pada anak dengan pemaparan antiretroviral in-utero.
2. Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi
Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh, dan
virulensi kuman.
Faktor ibu :
Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan
jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu
yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus menerus, kehilangan
berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
Mastitis
KPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi, episiotomi.
Faktor bayi :
Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi
dibawah usia 6 bulan
Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan dan
masa menyusui
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
Korioamnionitis
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Malnutrisi maternal
WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak,
yaitu :
1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita jangan
sampai terinfeksi HIV
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan sampai
tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia pada pasangan, hindari
hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal ini dilanggar, gunakan kondom.
Penyakit yang ditularkan secara seksual harus dicegah dan diobati dengan segera.
Jangan menjadi pengguna narkotika suntikan, terutama dengan penggunaan jarum
suntik bergantian.
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal standar.
Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien dengan HIV / AIDS
(ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular HIV, khususnya bila
menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal pencegahan penularan infeksi.
Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat menularkan HIV atau penyakit
lain yang terdapat dalam darah.
Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan
bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum kehamilan,
dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan pertama.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah wanita
muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.
2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :
1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak
mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan penting.
Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka yang
terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan
yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat
pelayanan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan
reproduksinya sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan
reproduksinya.
2. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak
antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat
adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka pemakaian
kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
1. Gantikan efek kontrasepsi menyusui
Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi
menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya meliputi empat hal,
mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
Menediakan diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak dengan
infeksi HIV positif
Toksisitas pengobatan, serta interaksi obat dengan obat lain yang diminum
Keuntungan menurunkan jumlah virus serta menurunkan resiko penularan HIV dari
ibu ke janin
Efek jangka panjang yang belum diketahui terhadap bayi bila menggunakan obat
ARV selama kehamilan
Informasi yang tersedia mengenai penggunaan obat anti HIV selama kehamilan
Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda pengobatan
sampai usia kehamilan 10 12 minggu. Setelah trimester pertama, ODHA hamil harus menerima
pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT). Pengobatan
tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah virus.
Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua nucleoside analog reserve
transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease inhibitor (PI), merupakan pengobatan
standar yang direkomendasikan untuk orang dewasa dengan infeksi HIV-1 yang tidak
hamil. Pada kehamilan tidak diperkenankan menggunakan regimen pengobatan ini.
Pemilihan pengobatan ARV pada wanita hamil dengan HIV positif, bergantung pada
beberapa pemikiran :
Keputusan penggunaan pengobatan ARV selama kehamilan harus dibuat oleh wanita hamil
setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai kegunaan yang sudah maupun belum
diketahui, maupun resiko bagi wanita tersebut dan bayinya.
Efek obat pada janin dan bayi baru lahir, termasuk potensi teratogenik, metagenitas,
maupun karsinogenitas
Farmakokinetik serta toksisitas obat yang ditransport melalui plasenta.
Akibat yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya bergantung pada obat itu
sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat janin terpapar, durasi paparan,
interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada janin, serta genetik ibu dan janin.
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health
Organization menyebutkan bahwa pengobatan ARV menurunkan replikasi virus dan
jumlah virus pada ibu, serta melindungi janin terhadap pemaparan virus HIV. Obat ARV
secara efektif mengobati infeksi HIV maternal serta mencegah penularan vertikal.
Pengobatan jangan disamakan dengan pencegahan (profilaksis). Pengobatan ARV
merupakan penggunaan antiretroviral jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV /
AIDS ibu, serta mencegah MTCT. Sedangkan profilaksis ARV merupakan penggunaan
antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi penularan HIV dari ibu kepada janin.
Pengobatan dengan antiretroviral selama kehamilan, bila ada indikasi, akan
meningkatkan kesehatan wanita, serta menurunkan resiko penularan HIV terhadap janin,
dan direkomendasikan dalam situasi sebagai berikut:
1. Jika tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk mencatat jumlah CD4, serta
menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:
Bila pengobtana ARV sudah diindikasikan pada kehamilan, maka harus segera dilaksanakan.
Terkadang pengobatan ditunda sampai setelah trimester pertama. Wanita hamil yang memperoleh
pengobatan ARV membutuhkan perawatan serta monitoring berkelanjutan antara program HIV /
AIDS lokal. Bila terjadi koinfeksi dengan TB, maka dibutuhkan pengobatan tambahan serta
penatalaksanaan klinis dibutuhkan untuk meminimalkan efek samping.
1. Pengobatan Antiretroviral pada Kehamilan di Indonesia
Prinsip pengobatan antiretroviral pada wanita usia subur atau wanita hamil harus
didasarkan atas kebutuhan dan persyaratan ARV seperti telah disebutkan. Kehamilan dan
menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal toksisitas obat terhadap ibu maupun
anak, pemilihan obat antiretroviral, serta pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya.
Regimen lini pertama yang direkomendasikan untuk kelompok ini adalah:
Pilihan ARV bagi ODHA yang masih mungkin hamil, atau adanya kehamilan yang belum
dapat dipastikan atau kehamilan muda, maka obat ARV yang diberikan harus aman untuk
kehamilan trimester I. Untuk kelompok tersebut harus dihindari pemberian EFV karena
bersifat teratogenik. Wanita yang menerima pengobatan ARV namun tidak ingin hamil,
harus menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai untuk mencegah
kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan EFV dapat tetap menjadi NNRTI pilihan.
Wanita yang telah melakukan pengobatan ART dan kemudian hamil, harus tetap
meneruskan pengobatan ARV, namun bila menggunakan EFV, maka harus dihentikan dan
diganti dengan NVP.
Pada umumnya, ODHA hamil lebih dianjurkan memulai pengobatan ARV setelah melalui
trimester I, namun bila berada pada tahap AIDS lanjut, pemberian terapi segera akan
lebih baik diabndingkan dengan resiko apapun pada janinnya. Pengobatan dengan dua
NRTI seperti d4T/ddl tidak diperbolehkan pada kehamilan, dan hanya digunakan bila
tidak ada pilihan lain, sebab kombinasi tersebut memberikan resiko tinggi terjadinya
asidosis laktat pada wanita hamil.
Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP atau ruam kulit yang
berat jarang terjadi, dan cenderung terjadi pada wanita dengan CD4 tinggi
(>250sel/mm3). Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok wanita hamil,
namun belum diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi toksisitas tersebut.
ODHA wanita yang pernah memperoleh NVP profilaksis atau 3TC dosis tunggal PMTCT
harus dianggap memenuhi kriteria untuk mendapat regimen yang mengandung NNRTI
dan harus memperoleh akses ARV seumur hidup hingga tersedia data pasti pada masalah
ini.
Banyak negara yang telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga obat
jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA wanita yang belum membutuhkan ARV bagi
dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan bila belum memenuhi kriteria
klinik pemberian ARV. Penggunaan kombinasi yang sangat aktif tersebut diharapkan
akan mencegah penularan perinatal kepada bayi. Namun demikian, intervensi ini juga
memberikan resiko toksisitas obat kepada ibu dan bayinya dalam keadaan ibu masih
cukup sehat dan belum membutuhkan ARV.
Pada suatu kondisi dimana mengharuskan memilih suatu PI selama kehamilan, maka
SQV/r atau NFV merupakan pilihanterbaik karena cukup aman untuk ibu hamil.
Obat ARV sendiri memiliki potensi untuk menaikan atau menurunkan bioavailabilitas
hormon steroid dan kontrasepsi hormonal. Data yang terbatas menunjukan adanya
inetraksi antara beberapa obat ARV (terutama beberapa NNRTI dan PI) dengan hormon
kontrasepsi dan dapat mengubah keamanan aatu efikasi hormon kontrasepsi maupun
ARV. Belum diketahui apakah kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron suntikan
(mis: medroksiprogesteron asetetat dan norethisteron enentate) juga terancam efikasinya,
sebab metode ini memberikan kadar hormon yang lebih tinggi dalam darah dibanding
kontrasepsi progesteron lain maupun kontrasepsi oral kombinasi. Maka, bila wanita
dengan pengobatan ARV akan memulai ataupun meneruskan kontrasepsi hormonal, tetap
dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV dan juga
menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang dipakai.
Di negara berkembang terdapat beberapa regimen antiretroviral untuk mencegah
penularan dari ibu ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi
ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta
ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif mahal
dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup.
Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom Steven-Johnson, peningkatan
serum aminotransferase, serta hepatitis.
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam
selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk menurunkan
resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun labih mahal, sebab memerlukan
terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Mengingat harga obat relatif,
maka dipakai regimen yang paling sesuai dengan kondisi setempat.
Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi AZT
adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya bila terjadi
anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia, intoleransi
gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
Pemberian antiretroviral pada wanita hamil tidak menimbulkan resistensi terhadap
antiretroviral, karena pemberiannya hanya dalam waktu singkat, kurang dari 3 bulan.
Walupun diketahui ada kemungkinan terapi tunggal dengan nevirapine dapat
menimbulkan resitensi dengan cepat, namun sejauh ini belum ada bukti untuk itu.
Tabel 4. Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
Regimen bagi Ibu
Kondisi Klinis
ODHA dengan
1. indikasi ARV yang
mungkin dapat hamil
2.
atau
Regimen alternatif:
ODHA hamil namun
4. belum ada indikasi
ARV
Bila sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum
diketahui status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling
segera setelah persalinan (dengan persetujuan) dan ikuti butir 8
Bila positif:
*
Dikutip dari: "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli 2004
selama kehamilan. Kondisi pasien selama pengobatan dengan NVP harus diawasi sebab,
kehamilan dapat menimbulkan beberapa gejala awal toksisitas liver. Penggunaan NVP
juga memerlukan perhatian pada wanita yang belum pernah mendapat pengobatan anti
HIV serta pada wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3. Toksisitas liver lebih sering timbul
pada penderita tersebut.
Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui oleh FDA, namun tidak
direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif. Penggunaan
obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat lahir.
Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dapat menimbulkan toksisitas
mitokondrial, yang dapat menimbulkan timbunan asam laktat dalam darah. Timbunan ini
dikenal sebagai hyperlactemia atau asidosis laktat. Toksisitas ini dapat dipertimbangkan
bagi wanita hamil dan bayinya yang akan terpapar NRTIs secara in-utero.
Protease Inhibitors (PIs) dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah atau
hiperglikemia, timbulnya diabetes mellitus, atau memberatnya gejala diabetes mellitus,
serta diabetik ketoasidosis. Kehamilan juga merupakan faktor resiko untuk hiperglikemia,
namun belum diketahui apakah penggunaan PI meningkatkan resiko timbulnya
hiperglikemia yang berhubungan dengan kehamilan atau diabetes gestasional.
Enfuvirtide (T-20) merupakan satu satunya fusion inhibitor yang disetujui FDA, sangat
sedikit yang diketahui mengenai penggunaannya selama kehamilan.
2. Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka pemberian
pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi infeksi
HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005,
terdapat beberapa regimen pengobatan yang dapat menurunkan resiko penularan terhadap
bayi. Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
1. Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3 x
200 mg, atau 2 x 300 mg
2. Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
3. Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6
minggu setelah dilahirkan.
Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat pengobatan anti
HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal selama persalinan.
Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada keadaan
kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam maupun secara
operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus dibicarakan terlebih
dahulu selama kehamilan, seawal mungkin.
Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
Belum pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat zidovudine
selama kehamilan
Belum pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36 minggu atau
lebih
Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus dijadwalkan pada
kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.
Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV
positif dengan:
Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.
Persalinan pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV positif bila ketuban
sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari wanita
hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan pervaginam
dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea meningkatkan resiko
infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia, serta resiko lain yang berhubungan
dengan tindakan operatif. Bagi bayi, seksio sesarea meningkatkan resiko infant
respiratory disetress.
Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan seksio sesarea, dan
dilanjutkan setalah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus diberikan selama persalinan dan
setelah bayi lahir pada persalinan pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan adalah
meminimalkan kontak bayi terhadap darah ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan dengan
menghindari pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum maupun forsep.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus memdapat pengobatan
anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal dengan pemberian ZDV
selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian obat tambahan lainnya.
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang terjadwal untuk
menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan untuk melakukannya pada
usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keaadaan klinik yang diperkirakan paling baik
serta menghindari pecahnya ketuban. Pada wanita yang tidak terinfeksi virus HIV,
penatalaksanaan seksio sesarea tanpa mengetahui kematangan paru janin, menurut
ACOG, ditunda sampai pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat memasuki
persalinan, untuk mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin. Tindakan seksio
sesarea antara usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit perbedaan pada
kemungkinan peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang membutuhkan
ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan kejadian resiko persalinan
serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia kehamilan 39 minggu.
Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan seksio sesarea, pemberian
ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif, sesuai dengan standar dosis
rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang digunakan selama kehamilan harus
tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat persalinan, dan selama persalinan berlangsung.
Dengan meningkatnya morbiditas maternal akibat infeksi, perlu dipikirkan juga mengenai
pemberian antibiotik profilaksis perioperatif, walaupun belum ada penelitian mengenai
efisiensinya.
Pecahnya ketuban, meningkatkan kejadian penularan perinatal, pada wanita yang tidak
memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang memperoleh pengobatan ZDV,
penelitian menunjukan meningkatnya resiko penularan pada ketuban yang pecah 4 jam
atau lebih sebelum persalinan. Prosedur obstetri meningkatkan resiko pemaparan janin
terhadap darah ibu, seperti amniosintesis, serta monitoring secara invasif harus dihindari.
Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada indikasi. Jika terjadi ketuban pecah dini,
sebelum atau menjelang persalinan, perlu dilakukan tindakan untuk mempersingkat
waktu persalinan, seperti pemberian oksitosin, dapat dipikirkan
Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin :
Penularan HIV perinatal dapat diturunkan dengan tindakan seksio sesarea terencana,
pada wanita dengan tingkat RNA HIV-1 yang tidak diketahui, yang tidak memperoleh
pengobatan antiretroviral, atau hanya memperoleh ZDV profilaksis.
Wanita dengan tingkat HIV-1 RNA > 1000/ml, harus dikonsultasikan untuk
membicarakan mengenai tindakan seksio sesarea terencana untuk menurunkan resiko
penularan vertikal.
Penatalaksanaan pada wanita yang telah direncanakan untuk tindakan seksio sesarea
dan datang dengan ketuban pecah, atau datang dalam keadaan persalinan, harus
berdasarkan lamanya waktu ketuban pecah, jalannya persalinan, tingkat plasma HIV1 RNA, pengobatan antiretroviral sebelumnya, serta faktor klinis lainnya. Masih
belum jelas manfaat tindakan seksio sesarea yang dilakukan setelah ketuban pecah,
atau setelah persalinan berlangsung.
Wanita tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang masih
terbatas. Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan harus dihormati.
Episiotomi rutin
Ekstraksi vakum
Ekstraksi cunam
Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah diambil
dari kulit kepala janin
Cuci
Tangan
Sarung
Kaca
Masker
Topi Celemek Gaun
Tangan
Mata
Sepatu
Pelindung
Pemeriksaan
fisik kulit utuh
Pemeriksaan
fisik kulit luka
Mengambil
sampel darah
Menyuntik
intravena
Membersihkan
luka / venaseksi
Kateterisasi
urine
Pemeriksaan
pelvis (vaginal
toucher)
Menolong
persalinan
Memandikan
bayi
Membersihkan
ruang
+/-
+/-
Mencuci
piring / alat
makan
+/-
Mencuci
pakaian
+/-
+/-
+/-
+/-
Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat mungkin harus sudah
dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah melahirkan. Perinatal HIV Guidlines
Working Group tahun 2005 menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita dengan HIV
positif, mendapat pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa. Pada orang dewasa
dilakukan pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah. Bayi menyimpan
antibodi ibu dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama beberapa bulan setelah
dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun akan
memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita HIV. Untuk tahun
pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk mencari antibodi HIV.
Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari ibunya, sehingga dapat diperiksa
antibodi HIV.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:
Antara 3 6 bulan
Bayi dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari pemeriksaan di atas.
Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan preliminary positif, harus
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan infeksi. Bayi dengan hasil
pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil
pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa ulang pada usia 15 18 bulan.
Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif harus dilakukan pemeriksaan
Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi harus diawasi juga dari tanda
anemia, yang merupakan efek samping negatif yang ditimbulkan pengobatan ZDV
selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi tersebut juga harus dilakukan
pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk
mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk mencegah penularan HIV dari
ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan 6 12 jam setelah bayi lahir.
Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus memperoleh pengobatan
untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP). Pengobatan yang direkomendasikan
adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan trimethoprim. Pengobatan ini harus
dimulai saat bayi berusia 4 6 minggu dan dilanjutkan sampai bayi diyakinkan HIV
negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV positif, maka pengobatan terus dilanjutkan.
Berikan penjelasan kepada pasien untuk dapat memperoleh perawatan kesehatan yang
sesuai serta pelayanan pendukung lainnya bagi ibu dan bayi :
Keluarga berencana
Case management
Wanita dengan HIV positif diharapkan tidak menyusui bayinya untuk mencegah penularan HIV
melalui ASI.
Selama masa postpartum dapat terjadi perubahan fisik dan emosional, bersamaan dengan
tekanan dan tanggungjawab untuk merawat bayi, dapat mempersulit dalam melanjutkan
pengobatan regimen ARV.
Perlu juga dibicarakan kepada pasien mengenai:
Hal yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang baik
Rasa depresi (banyak wanita yang mengalaminya setelah melahirkan)
Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab dapat
terjadi penularan HIV antara 10 20%, apalagi bila terdapat lecet pada payudara,
atau terdapat mastitis.
Sebaliknya bila tidak menyusui, bayi akan beresiko untuk salah gizi dan mudah
terserang penyakit infeksi termasuk HIV. Pada keadaan dimana ibu tidak bisa
membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan seperti tidak
tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat
diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak
aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 6 bulan, selanjutnya
segera disapih.
Sekitar 50 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6 bulan
pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif selama 6 bulan
mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapat
makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan tambahan pada usia < 6
bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini akibat kontak dengan makanan yang
terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang mengakibatkan
peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat masuknya HIV.
Pemberian ASI ekslusif selama 4 6 bulan mengurang morbiditas dan mortalitas
akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga berkaitan dengan
resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada payudara ibu. Cara lain
menghindari penularan HIV, dengan menghangatkan ASI di atas 66 C untuk
membunuh virus HIV dan mnyusui hanya dilakukan pada bulan bulan pertama
saja.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi,
kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak protein,
sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu tersebut
harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI sebaiknya
diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan dibandingkan botol.
Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus, dan air tidak
diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan peningkatan
angka kematian bayi.
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan pemberian
ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Sebelum mendapat pengobatan antiretroviral, ibu perlu mendapatkan konseling.
Sesuai protokol ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan
antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat
anaknya sampai cukup besar. Tanpa pengobatan antiretroviral dikhawatirkan usia
ibu tidak cukup panjang.
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18
bulan.
2. Kesimpulan
1. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of
the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan
vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta
keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan.
2. Perinatal
HIV
(24 Februari 2005)
Guidelines
Working
Group
Antara 3 6 bulan
Episiotomi rutin
Ekstraksi vakum
Ekstraksi cunam
Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18
bulan.