Disusun oleh :
Arby Shafara Sekundaputra
Dokter Pembimbing :
dr. Arlyn Yuaninta, Sp. PD
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYARTA
2013
A. Identitas
Nama
: Tn. Biman
Umur
: 57 th
Alamat
Pekerjaan
: petani
B. Rangkuman Kasus
Seorang pria 57 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak bulan yang lalu. Pasen
mengeluh nafas berbunyi. Pasien juga mengeluh batuk kering disertai darah lebih dari 1
bulan, nyeri telan (+), dada panas (+), mual (+), muntah (+), nyeri uluhati (+), BAB
bercampur darah (+), nyeri saat BAB (-), BAK (+) normal . Riwayat merokok (+) 1
bungkus/hari
Vital Sign
TD
t
RR
N
GDS
: 150/70 mmHg
: 370C
: 36x/menit
: 115x/menit
: 140 mm/dl
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
: CM
Kepala
: CA +/+
SI -/-
Leher
: JVP
PKGB (+)
Thorak
Wheezing +/+
Ekstremitas
Diagnosa
: CPC
Terapi
: Infus D5%
12 tpm
Dexametason
3x1 A
Codein
3x1
Ambroxol
3x1
Ciprofloksasin 500mg
2x1
Mg(OH)2 syr
3xC1
Kalnex
3x1
Fentolin : pulmikort
1:1
asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOM bronkitis lanjut adalah contoh yang
paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia
alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan
vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik
memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul
respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnea dan
hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi.
Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan
curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea, juga ikut
meningkatkan tekanan arteria paru-paru..
Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan tekanan
arteria paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan
bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari
kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit
obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik
dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi
anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi
hipoksik dalam patogenesis kor pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai
tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak
sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit
obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan
perfusi-ventilasi.
2. Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama
dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya untuk: (1) mengoptimalkan
efisiensi pertukaran gas; (2) menurunkan hipertensi pulmonal; (3) meningkatkan
kelangsungan hidup; (4) pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya.
Terapi oksigen, mekanisme bagaimana oksigen dapat meningkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui. Ada dua hipotesis: (1) terapi oksigen
mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian
meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) terapi oksigen meningkatkan kadar
oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan organ vital
lain.
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik,
inhibitor ACE dan prostaglandin) pada sampai saat ini belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin.
Digitalis hanya diberikan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung
kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien kor pulonal dengan
fungsi ventrikel kiri yang menurun digoksin dapat meningkatkan fungsi ventrikel
kanan.
Diuretika diberikan jika ada gagal jantung kanan. Pemberian diuretika yang
berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia.
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi
untuk menurunkan hematokrit sampai nilai 59% hanya merupakan terapi tambahan
pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.
Terapi optimal kor pulmonal karena PPOK harus dimulai dengan terapi
optimal PPOK untuk mencegah atau memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal.
Terapi tambahan baru diberikan bila timbul tanda-tanda gagal jantung kanan.
Pada kasus diatas, penderita mendapat terapi fentolin dan pulmikort dimana kedua
obat tersebut merupakan terapi standar untuk PPOK, jadi penatalaksaan pada kasus
diatas sudah tepat.
F. Kesimpulan
Kor pulmonal kronikum dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu vasokontriksi
hipoksik dari pembuluh darah paru-paru dan obstruksi anyaman vaskuler paru-paru
Prinsip pengobatan CPC oleh karena PPOK dimulai dari pengobatan PPOK itu
sendiri, dan terapi tambahan diberikan bila telah muncul gejala gagal jantung kanan.
G. Daftar Pustaka
Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin, Antony S.
Fauci Denis L Kasper, edisi bahasa indonesia; Ahmad H. Asdie Prof. Dr.
Sp.PD, ke : prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi 15, volume3,
2002, hal 1222-1226
Soeparman dan Warpadji Sarwono : Ilmu Penyakit Dalam, jilid 2, cetakan ketiga,
FKUI, jakarta, 1998. Hal 882-889.
LEMBAR PENGESAHAN