Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri Sendi
1. Pengertian
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau
yang berpotensial untuk menimbulkan kerusakan jaringan (Dharmady, 2004).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,
2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
Sendi adalah pertemuan antara dua tulang atau lebih, sendi memberikan
adanya segmentasi pada rangka manusia dan memberikan kemungkinan
variasi pergerakan diantara segmen-segmen serta kemungkinan variasi
pertumbuhan (Brunner & Sudarth, 2002).
Nyeri sendi adalah suatu akibat yang diberikan tubuh karena pengapuran
atau akibat penyakit lain.
2. Etiologi
Penyebab utama penyakit nyeri sendi masih belum diketahui secara pasti.
Biasanya merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal
dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor
infeksi seperti bakteri, mikroplasma dan virus.
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab nyeri sendi
yaitu:

a.

Mekanisme imunitas.

Penderita nyeri sendi mempunyai auto anti body di dalam serumnya yang di kenal sebagai faktor
rematoid anti bodynya adalah suatu faktor antigama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan
IgG titer yang lebih besar 1:100, Biasanaya di kaitkan dengan vaskulitis dan prognosis yang buruk.
b.

Faktor metabolik.
Faktor metabolik dalam tubuh erat hubungannya dengan proses autoimun.

c.

Faktor genetik dan faktor pemicu lingkungan.


Penyakit nyeri sendi terdapat kaitannya dengan pertanda genetik. Juga dengan masalah lingkungan,
Persoalan perumahan dan penataan yang buruk dan lembab juga memicu pennyebab nyeri sendi.

d.

Faktor usia.
Degenerasi dari organ tubuh menyebabkan usia lanjut rentan terhadap penyakit baik yang bersifat akut
maupun kronik (Brunner & Sudarth, 2002).

3. Patofisiologi

Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian diartrodial atau sinovial merupakan
kunci untuk memahami patofisiologi penyakit nyeri sendi. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan.
Setiap sendi sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai kisaran
gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal. Kartilago
artikuler membungkus ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk
gerakan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresikan cairan kedalam
ruang antara-tulang.

Cairan sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan pelumas yang memungkinkan
sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat. Sendi merupakan bagian tubuh yang sering
terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri sendi.

3 hingga kelainan
Meskipun memiliki keaneka ragaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi

multi sistem yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan degenerasi dalam derajat
tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat pada persendian yang mengalami
pembengkakan. Pada penyakit reumatik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi
yang merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan
sinovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun.

Sebaliknya pada penyakit nyeri sendi degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang
sekunder.pembengkakan ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih
besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit yang lanjut. Pembengkakan dapat berhubungan
dengan pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari karilago artikuler yang mengalami
degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat (Brunner & Sudarth, 2002).

4. Manifestasi Klinis
Ada banyak sekali sebab mengapa persendian sakit, nyeri sendi dapat merupakan gejala tunggal atau
menjadi bagian banyak gejala lain yang dialami. Manifestasi nyeri sendi dapat bervariasi, seperti
kelembutan atau tidak nyaman ketika di sentuh, pembengkakan, peradangan, kekakuan, atau
pembatasan gerakan.
5. Penatalaksanaan
Sendi yang meradang di istirahatkan selama eksaserbasi, periode- periode istirahat setiap hari, kompres
panas dan dingin bergantian, aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya, atau steroid sistemik,
pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium (Corwin, 2001).
B. Lanjut Usia
1. Pengertian
Lanjut Usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur
enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik

dan psikologis yang semakin menurun. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang
4 disertai adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Nugroho, 2000).
Menurut WHO dan Undang- Undang No 13 Tahun 1998 menjelaskan lansia adalah sesorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut WHO dalam (Nugroho, 2000) lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan ( middle age), ialah kelompok usia 45 tahun sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (ederly) , antara 60 tahun - 74 tahun.
c. Lanjut usian (old ), antara 75 tahun - 90 tahun.
d. Usia sangat tua ( very old), diatas 90 tahun.
Berdasarkan Smith dan Smith dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009) menggolongkan usia lanjut
menjadi tiga, yaitu : young old (6574 tahun) ; middle old ( 75-84 tahun); dan old ( lebih dari 85 tahun).
Setyonegoro dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009) menyebutkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah
orang yang berusia lebih 65 tahun, selanjutnya terbagi dalam usia 70 - 75 tahun ( young old) ; 75 - 80 tahun
( old ), dan lebih dari 80 tahun ( very old ).
2. Perubahan fisiologi pada lanjut usia dengan nyeri sendi
Perubahan Fisiologis Muskuloskeletal (Otot). Lansia Menua merupakan proses alamiah yang akan
dialami oleh setiap individu. Hal ini ditandai oleh penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap
perubahan - perubahan terkait usia. Perubahan tersebut diantaranya adalah perubahan fisik, mental, sosial,
dan spiritual yang akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pada usia di atas 60 tahun. Perubahan fisik
yang disebabkan oleh umur salah satunya adalah perubahan pada otot lansia (Rokim, 2009).
Perubahan ini dapat menyebabkan mobilitas lansia terganggu, terutama jika terjadi pada otot tungkai
bawah. Beberapa perubahan fisiologis pada otot lansia akan dijelaskan di bawah ini. Secara alamiah

aliran darah ke otot berkurang sebanding dengan bertambahnya umur seseorang. Hal ini menyebabkan
jumlah
5
oksigen, nutrisi, dan energi yang tersedia untuk otot ikut menurun, sehingga menurunkan kekuatan otot
manusia. Penurunan pencapaian suplai tersebut juga dipengaruhi oleh serat otot rangka yang berdegenerasi,
sehingga terjadinya fibrosis ketika kolagen menggantikan otot. Penurunan massa tonus dan kekuatan otot
menyebabkan otot lebih menonjol di ekstremitas yang juga menjadi kecil dan lemah. Perubahan struktur otot
pada penuaan sangat bervariasi, yaitu: terjadinya atrofi dan menurunnya jumlah beberapa serabut otot dan fibril,
meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril, dan sklerosis pada otot (Brunner & Sudarth, 2002).
Perubahan - perubahan tersebut juga dapat menjadi dampak negatif, yaitu: menurunnya kekuatan otot,
menurunnya fleksibilitas, meningkatkan waktu reaksi dan menurunkan kemampuan fungsional otot yang dapat
mengakibatkan perlambatan respon selama tes refleks tendon. Usia 60 tahun terjadi kehilangan kekuatan otot
total sebesar 10-20% dari kekuatan yang dimiliki pada umur 30 tahunan. Pemerosotan ini dimulai sekitar umur
40 tahun, dan semakin dipercepat di tahun ke-60 usia seseorang. Penurunan kekuatan otot - otot pada tungkai
bawah dapat dilihat pada orangtua ketika sedang melakukan gerakan aktifitas naik tangga (kesulitan dalam
melakukannya), kekakuan tungkai pada saat berlari-lari. Tulang kehilangan density fcairan) dan makin rapuh.
Pinggang, lutut dan jari- jari pergelangan terbatas dan persendian membesar dan menjadi kaku (Brunner &
Sudarth, 2002).
Serabut-serabut otot mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban otot-otot kram dan menjadi
tremor. Salah satu penyakit lansia yang mengganggu sistem muskulokeletal adalah nyeri sendi yang merupakan
suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri
karena

adanya endapan kristal, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya6kadar asam urat di
dalam darah (hiperurisemia) (Rokim, 2009).
C. Karakteristik lanjut usia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia
adalah:
1. Usia
Usia mempunyai pengaruh pada lansia dalam setiap cobaan, hal ini di dukung denngan teori aktivitas
yang menyatakan bahwa hubungan antara sistem sosial denga individu bertahan stabil pada saat
individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua. Membutuhkan suatu kompensasi terhadap
kehilangan, seperti pensiun dari peran sosial karena menua (Noorkasiani, 2009). Menurut (Wahyuni,
2013) usia mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam pemenuhan pelayanan kesehatan, hal ini
mungkin dikarenakan lansia mengalami perubahan atau kemunduran dalam berbagai aspek
kehidupannya, baik secara fisik maupun psikis.
2. Jenis kelamin
Perbedaan gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan
berdampak pada bentuk adaptasi yang digunakan (Darmojo, budi, & pratomo, 1999). Lansia wanita
lebih siap dalam menghadapi masalah dibandingkan lansia laki - laki, karena wanita lebih mampu
menghadapi masalah daripada laki- laki yang cenderung lebih emosional. jenis kelamin adalah
perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran
mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Wahyuni, 2013).
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah. Jika individu
berpendidikan tinggi maka semakin banyak

pengalaman hidup dilaluinya, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. (Noorkasiani,
2009).
4. Pekerjaan

Masalah usia lanjut merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Oleh karena itu para usia lanjut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kependudukan dan merupakan unsur penting dalam proses pembangunan ekonomi (Hardywinoto, 2007)
5. Status perkawinan
Umur harapan hidup pada lansia wanita lebih tinggi daripada lansia pria, jumlah penduduk lansia wanita
yang mempunyai status menikah lebih kecil dari pada penduduk lansia pria. Menurut Email salim
(1984), yang dikutip oleh (Hardywinoto, 2007), jumlah penduduk lansia wanita yang berstatus menikah
hanya 25 % dibandingkan denganjumlah penduduk lansia pria yang besarnya 84%, karena tingkat
pendidikan mereka rendah dan partisipasi angkatan kerja golongan ini tidak tinggi mereka harus
menanggung beban ekonomi lebih berat setelah suaminya meninggal. Banyak diantara mereka tidak
dapat hidup secara mandiri lagi dan terpaksa menjadi tangunggan anak serta keluarganya (Henniwati,
2008).
D. Dukungan Keluarga
1. Pengertian
(Friedman, 1998) mengemukakan, keluarga meupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan
klien penerima asuhan keperawtan, keluarga berperan dalam menentukan cara assuhan keperawatan
yang diperlukan bagi angggota yang mengalami masalah kesehatan. Bila salah satu dari anggota
keluarga mengalami masalah kesehatan, maka sistem di dalam keluarga akan teganggu. Burgess dkk
(1963) dalam Friedman (1998), mengemukakan tentang definisi keluarga adalah sebagai berikut :

a.

Keluarga terdiri dari orang- orangyang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan8ikatan adopsi.

b.

Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama- sama dalam iktan satu rumah tangga atau, jika
mereka hidup secara terpisa, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebuah rumah mereka.

c.

Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga
seperti suami- istri, ayah dan ibu, saudara kandung.

d.

Penggunaan kultur yang sama didalam keluarga.


2. Tugas dari sebuah keluarga menurut Friedman,(1998) adalah:

a.

Mengenal masalah, keluarga dituntut mampu mengenali masalah kesehatan yang terjadi dikeluarga.

b.

Mampu mengambil keputusan yang tepat bila menemukan masalah pada keluarga tersebut.

c.

Merawat anggota keluarga.

d.

Memelihara lingkungan.

e.

Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.


3. Fungsi Dukungan Keluarga

(Friemand,1998) mengemukakan bahwa fungsi keluarga sebagai sistem pendukung bagi anggotanya.
Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan
dan bantuan jika diperlukan. Terdapat empat dimensi dari dukungan keluarga yaitu: a. Dukungan informasi.
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar) informasi tentang dunia.
Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang
diberikan dapat menyumbangkan sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini
adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Dukungan informasi dari

keluarga dalam bentuk nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi 9 diharapkan dapat
memberikan perasaan nyaman dan suasana yang kondusif di lingkungna keluarga sehingga daoat
mendukung progran pengobatan anggota keluarga yang menderita sakit (Friedman, 1998).
b. Dukungan penilaian.
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan
masalah, sebagai sumber dan vasidilator identitas angggota keluarga diantaranya memberikan support,
penghargaan, perhatian. Perhatian anggota keluarga berupa support dan penghargaan diharapkan dapat
memberikan efek psikologis yang positif sehingga lansia memiliki semangat untuk beraktivitas sehari- hari
(Friedman, 1998).
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan yang berupa penyediaan materi yang dapat memberikan
pertolongan langsung, keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya : kesehatan
penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dan kelelahan.
Ketersediaan berbagai fasilitas yang nyaman di dekat penderita gagal ginjal harus semaksimal mungkin
dapat disediakan oleh keluarga sebagai wujud dukungan instrumental. Kebutuhan asupan gizi yang baik,
makanan, minumna dan tempat istirahat yang nyaman merupakan fasilitas yang minimal bisa dirasakan oleh
lansia di dalam rumahnya (Friedman, 1998).
d. Dukungan emosional
Dukungan emosional adalah bentuk dukungan yang memuta individu memiliki perasaan nyaman, yakin,
diperlukan dan dicintai oleh suumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan
lebih baik. Keluarga sebagai tempat

yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi.
1
0

Aspek- aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi,
adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Perhatian terhadap keluhan- keluhan
yang dirasakan oleh lansia yang disampaikan kepada keluarga harus mendapatkan respon yang baik.
Sehingga lansia merasa diperhatikan dan tidak merasa diacuhkan sehinggga timbul keyakinan dan
semangat untuk menjalani aktifitas kesehariannya (Friedman, 1998).
4. Faktor- faktor yang mempengaruhi Dukungan Keluarga
Feiring dan Lewis (1984) dalam (Friedman, 1998) mengemukakan, faktor yang mempengaruhi dukungan
keluarga antara lain :
a. Bentuk keluarga.
Terdapat bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil
secara kualitatif mengambarkan pengalaman - pengalaman perkembangan. Anak- anak yang berasal dari
keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak- anak dari keluarga yang besar.
Dukungan yang diberikanoleh keluarga khususnya orant tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.
Ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya
dan juga egosentris dibandingkan ibu- ibu yang lebih tua.
b. Tingkat sosial ekonomi.
Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dantingkat pendidikan.
Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mugkin ada, sementara
dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih ototjrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial
menengah mempunyai tigkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tiggi daripada orang tua
dengan kelas sosial bawah.

E. Obat

11

1. Pengertian
PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993 mengemukakan bahwa obat (jadi) adalah sediaan atau paduanpaduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi.
Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah
penyakit pada manusia atau hewan (Ansel (1985).
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka
farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini
dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai
gejala penyakit (Universitas Indonesia, 2000).
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau
memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa
mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan,
mencegah suatu penyakit (Universitas Indonesia, 2000).

2. Penggolongan Obat

1
2

Obat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:


a.

obat bebas, merupakan obat yang ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan tepi lingkaran
berwarna hitam. Obat bebas umumnya berupa suplemen vitamin dan mineral, obat gosok, beberapa
analgetik-antipiretik, dan beberapa antasida. Obat golongan ini dapat dibeli bebas di Apotek, toko obat,
toko kelontong, warung (Notoatmodjo, S 2007).

b.

obat bebas terbatas, merupakan obat yang ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan tepi
lingkaran berwarna hitam. Obat-obat yang umunya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat
batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetikantipiretik), beberapa suplemen vitamin dan mineral, dan obat-obat antiseptika, obat tetes mata untuk
iritasi ringan. Obat golongan ini hanya dapat dibeli di Apotek dan toko obat berizin (Ansel (1985).

c.

obat keras, merupakan obat yang pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya
terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obat keras
merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke
dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat darah
rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa obat ulkus lambung. Obat
golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter (Notoatmodjo, S 2007).

d.

obat narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU.RI No. 22
Th 1997

tentang Narkotika). Obat ini pada kemasannya ditandai dengan lingkaran1 yang didalamnya
terdapat palang (+) berwarna merah. e. obat narkotika bersifat adiksi dan penggunaannya
diawasi
3
dengan ketet, sehingga obat golongan narkotika hanya diperoleh di Apotek dengan resep dokter asli
(tidak dapat menggunakan kopi resep). Contoh dari obat narkotika antara lain: opium, coca,
ganja/marijuana, morfin, heroin, dan lain sebagainya. Dalam bidang kesehatan, obat-obat narkotika
biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetik/obat penghilang rasa sakit (UU.RI No. 22 Th
1997 tentang Narkotika)..
3. Peran Obat
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan.
Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat
juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena
penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat
atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara
umum adalah sebagai berikut: penepatan diagnosa, untuk pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,
memulihkan (rehabilitasi) kesehatan, mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu, peningkatan
kesehatan dan mengurangi rasa sakit (Ansel (1985).
F. Perilaku
1. Pengertian
Berdasarkan Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme
terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan
untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Suatu rangsangan tertentu akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoatmodjo.S., 2007).

Perilaku dilihat dari sudut pandang biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas1 organisme yang
bersangkutan. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu 4sendiri. Pandangan
behavioristik mengatakan bahwa perilaku sebagai respon terhadap stimulus, akan sangat ditentukan oleh
keadaan stimulusnya, dan individu atau organisme tidak akan mempunyai kemampuan untuk menentukan
perilakunya (Notoatmodjo.S., 2011).
Hubungan stimulus dan response akan bersifat mekanistis. Pandangan kognitif mengenai perilaku, yaitu
bahwa perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri individu itu ada kemampuan untuk
menentukan perilaku yang diambilnya (Yetti, A dan Eko, S, 2005).
Menurut Skinner (1938), dalam Notoatmodjo S., (2010) mengemukakan seorang ahli perilaku mengemukakan
bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut merespons, maka teori
Skinner ini disebut teori "S-O-R" atau Stimulus- Organisme-Respons. (Skinner, 1938), Skinner membedakan
adanya dua respons:
a. Respondent respons, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.
Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
Misalanya : makanan-makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang
menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya.
Respondent respons inijuga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah manjadi
sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.

b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang
1 kemudian diikuti
oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation
5 atau reinforcer,
karena memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya
dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya
(stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya
(Notoatmodjo S, 2010).
2. Jenis perilaku
Teori "S-O-R" tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Perilaku tertutup (Convert behavior).
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain
(dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Karena itu disebut Covert behavior atau
unobservable behavior.
b. Perilaku terbuka (Overt behavior).
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik
ini dapat diamati orang lain dari luar "observable behavior (Notoatmodjo,S 2005).
3. Teori Perilaku
Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu
berada. Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Hal ini ada
beberapa teori yang dikemukakan, antara lain : a. Teori naluri (instinct theory)
Menurut Mc Dougall seorang pelopor dari psikologi sosial, perilaku itu disebabkan oleh nurani, nurani
merupakan perilaku

yang innate, perilaku yang bawaan, dan naluri akan mengalami perubahan karena pengalaman.
Pendapat
1
Mc Dougall ini mendapat tanggapan yang cukup tajam dari F. Aulport yang menerbitkan
6 buku psikologi
sosial pada tahun 1924, yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu disebabkan karena banyak faktor,
termasuk orang-orang yang ada di sekitarnya dengan perilakunya.
b. Teori dorongan (drive theory)
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan atau drive
tertentu. Dorongan- dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong
organisme berperilaku. Bila organisme itu mempunyai kebutuhan, dan organisme ingin memenuhi
kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam diri organisme tersebut. Bila organisme berperilaku dan
dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan
tersebut. Karena itu teori ini menurut Hull juga disebut teori drive reduction.
c. Teori insentif (incentive theory)
Insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku. Insentif atau disebut juga sebagai
reinforcement ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcement yang positif adalah berkaitan dengan
hadiah, sedangkan reinforcement yang negatif berkaitan dengan hukuman (Notoatmodjo S, 2010).
d. Teori atribusi
Teori ini dikemukakan oleh Fritz Helder. Isinya menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku orang. Apakah
perilaku itu disebabkan oleh disposisi internal maupun eksternal (Yetti, A dan Eko, S, 2005).

4. Perilaku Kesehatan 1. Pengertian

1
7

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang
berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta
lingkungan (Notoatmodjo S, 2010). Unsur-unsur dalam perilaku kesehatan. Perilaku terhadap sakit dan
penyakit merupakan respons internal dan ekstrenal seseorang dalam menanggapi rasa sakit dan
penyakit, baik dalam bentuk respons tetutup (sikap, pengetahuan) maupun dalam bentuk respons
terbuka (tindakan nyata). Perilaku terhadap sakit dan penyakit dapat diklasifikasikan menurut tingkat
pencegahan sebagai berikut:
a.

Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (healt promotion behavior).


Perilaku seseorang untuk memelihara dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap masalah
kesehatan. Sebagai contoh, melakukan senam pagi setiap hari jum'at bagi pegawai negeri,
kebiasaan sarapan pagi, makan-makanan bergizi seimbang, dan melakukan meditasi.

b.

Perilaku pencegahan penyakit (healt prevention behavior). Segala tindakan yang dilakukan
seseorang agar dirinya terhindar dari penyakit, misalnya imunisasi pada balita, melakukan 3M,
dan pendekatan spiritual untuk mencegah seks bebas pada remaja.

c.

Perilaku pencarian pengobatan (healt seeking behavior). Perilaku ini menyangkut upaya atau
tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan, mulai dari mengobati
sendiri (self-treatment) sampai mencari bantuan ahli. Contohnya individu pergi ke pelayanan
kesehatan saat

sakit, membeli obat dari warung atau toko obat, dan berobat ke pelayanan tradisional.
1
8

d.

Perilaku pemulihan kesehatan (healt rehabilitation behavior). Pada proses ini, diusahakan agar sakit
atau cacat yang diderita tidak menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi
optimal secara fisik, mental, dan sosial. Sebagai contoh, penderita DM melakukan diet dengan
mengurangi konsumsi makanan manis, dan melakukan kontrol rutin seminggu sekali.

e.

Perilaku terhadap pelayanan kesehatan.


Perilaku ini merupakan respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan modern dan atau
tradisional, meliputi respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan kesehatan, perilaku terhadap
petugas, dan respon terhadap pemberian obat-obatan. Respons ini terwujud dalam bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, dan penggunaan fasilitas, sikap terhadap petugas, dan obat-obatan
(Notoatmodjo,S 2003).

2. Klasifikasi perilaku kesehatan.


Menurut Becker (1979) seperti dikutip (Notoatmodjo,S 2003), perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan diklasifikasikan sebagai berikut: a. Perilaku hidup sehat
Perilaku hidup sehat merupakan perilaku yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatannya. Hal ini mencakup makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak
merokok, tidak minum- minuman keras dan narkoba, istirahat cukup, mengendalikan stres. Selain itu,
perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan (misalnya, tidak gonta-ganti pasangan,
adaptasi dengan lingkungan).

b.

Perilaku sakit

1
9

Perilaku ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit,
pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan usaha-usaha untuk
mencegah penyakit.
c.

Perilaku peran sakit


Perilaku peran sakit adalah segala aktivitas individu yang menderita sakit untuk memperoleh
kesembuhan. Dari segi sosiologi, orang sakit mempunyai peran yang meliputi hak dan kewajiban
orang sakit. Perilaku peran sakit meliputi hal- hal berikut:
1.

Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

2.

Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau penyembuhan penyakit yang
layak.

3.

Mengetahui hak (misalnya, memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan) dan


kewajiban orang sakit (memberitahu penyakitnya pada orang lain terutama petugas kesehatan,
tidak menularkan penyakitnya pada orang lain).

3. Perilaku Masyarakat Sehubungan dengan pencarian Pelayanan Kesehatan.


Menurut Notoatmodjo,S (2007) masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan
tidak merasakan sakit (disease but no illness) tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut.
Respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut:
a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action).
Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka
sehari-hari. anggapan bahwa tanpa bertindak gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya,
fasilitas kesehatan yang

diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak
2 responsive, dan
sebagainya, akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.
0
b.

Tindakan mengobati sendiri (self treatment)


Alasan orang atau masyarakat percaya kepada diri sendiri, dan karena pengalaman yang lalu usaha-usaha
pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan
keluar tidak diperlukan.

c.

Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy).


Masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding
masih menduduki tempat teratas disbanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Masyarakat yang
masih sederhana, masalah sehat- sakit adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguan- gangguan fisik.
Identik dengan pencarian pengobatan pun lebih berorientasi kepada sosial-budaya masyarakat dari pada
hal-hal yang dianggapnya masih asing. Dukun yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian
masyarakat, berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan
adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat dari pada dokter, mantri, bidan, dan
sebagainya yang masih asing bagi mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obatnya juga
merupakan kebudayaan mereka.

d.

Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung- warung obat (chemist shop) dan sejenisnya,
termasuk ketukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan

pada umumnya adalah obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
2
1

e.

Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau
lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan kedalam balai pengobatan, Puskesmas, dan
rumah sakit. Batas minimal masuk rumah sakit 3 hari yang mengalami sakit yang tidak kunjung
sembuh.

f.

Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private
medicine). Uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit sangat
berbeda pada setiap individu, kelompok dan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat
hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan, berdasarkan perbedan persepsi mempengaruhi
atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit
masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak
mau menggunakan fasilitas yang diberikan, (Notoatmodjo, S 2007).

4. Macam-Macam Perilaku Kesehatan.


a. Perilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokan menjadi dua, yaitu :
a) Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy
behavior), yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah atau
menghindar dari penyakit dan penyebab penyakit atau penyebab masalah kesehatan (perilaku
preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatkan kesehatan (perilaku promotif).
Contohnya, makan dengan gizi seimbang, olah raga teratur,

menghindari gigitan nyamuk, cuci tangan sebelum makan, dan sebagainya.

2
2

b) Perilaku orang-orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau
pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang atau anaknya bila sakit atau terkena
masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan yang dideritanya
(Notoatmodjo,S 2005). b. Rangsangan dari perilaku kesehatan terdiri dari 4 unsur pokok yaitu sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan, maka secara terinci perilaku kesehatan mencakup: 1)
Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif maupun
aktif yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakitnya. Perilaku ini sesuai dengan tingkat-tingkat
pencegahan penyakit, yaitu :
a.

Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion


behavior). Misalnya, makan makanan yang bergizi, olah raga dan sebagainya.

b.

Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) yang merupakan respons untuk
melakukan pencegahan penyakit. Misalnya : tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan
nyamuk demam berdarah, perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Termasuk juga perilaku
untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.

2)

c.

Perilaku sehubungan dengan rencana pengobatan (health seeking behavior), yaitu


2 perilaku untuk
melakukan atau mencari penyakitnya. Misalnya usaha-usaha mengobati sendiri3 penyakitnya atau
mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan.

d.

Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang
berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjurananjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya.

Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan.


Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obatobatnya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap, penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.

3)

Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior).


Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh
kita.

4)

Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior) adalah respons seseorang terhadap
lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku ini antara lain:
a.

Perilaku sehubungan dengan air bersih, air kotor, yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan,
teknik dan penggunaannya.
Perilaku sehubungan dengan limbah padat maupun cair, termasuk sistem pembuangan dan dampak pembuangan
limbah yang tidak baik

b.

.Perilaku sehubungan dengan rumah sehat, yang meliputi


ventilasi, pencahayaan, lantai dan sebagainya.

c.

Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang- sarang


nyamuk (vektor) dan sebagainya (Yetti, A dan Eko, S,
2005).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan.


Menurut Green (1980), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: faktor
predisposisi ( predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan
faktor penguat (reinforcing factor) (Notoatmodjo, S 2003; Green, 1980).
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang,
termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan dan nilai-nilai.
a.

Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Pada umumnya klien yang asam
urat atau tidak asam urat menganggap bahwa perilaku pencegahan
asam urat selama tidak dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng
(Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, S 2003).

b.

Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus
atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga
manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut.
Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon
terhadap stimulus tertentu

(Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999). Tingkatan respon adalah menerima


(receiving), merespon (responding), enghargai (valuing), dan
bertanggung jawab (responsible) (Sunaryo, 2004; Purwanto, 1999 ).
c.

Kepercayaan
Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu
akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit
yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya ( Green, 1980).

d.

Keyakinan
Suatu hal yang dianggap benar dan dianut sebagai aturan yang
dilakukan oleh masyarakat.

e.

Nilai-nilai
Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri
seseorang ( Green, 1980 ).

2. F aktor-faktor p endukung (enabling factors).


Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus
menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan
perubahan lingkungan yang baik (Green, 1980). Faktor pendukung
(enabling factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas.
Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan
terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau
faktor pemungkin.
3.

Faktor-faktor penguat atau pendorong (reinforcing factors). Faktor-faktor


pendorong (reinforcing factor) merupakan penguat terhadap timbulnya
sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian,
sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman
dan pandangan negatif

seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku.


Termasuk didalamnya adalah:
a.

Petugas kesehatan adalah sebagai narasumber bagi keluarga didalam


mengatasi masalah kesehatan dan melakukan bimbingan antisipasi kepada
keluarga sehingga dapat terwujud keluarga yang sejahterah, bertanggung
jawab memeberikan pendidikan tentang keperawatan keluarga kepada
sesama perawat dan tim kesehatan lain bila diperlukan (Mubarak: 2006)

b.

Keluarga adalah Kesatuan yang terdiri dari dua atau lebih individu yang
diikat hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Anggota keluarga tersebut
saling interelasi dan interdependensi untuk mencapai tujuan yang sama
(Mubarak: 2006).

c.

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang


berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu
sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok
tersebut (Mubarak, Santoso, Rozikin, & Patonah, 2006).

Masyarakat adalah suatu organisasi


manusia yang saling berhubungan
satu sama lain (Mubarak, Santoso,
Rozikin, & Patonah, 2006).G.
Kerangka Teori
Faktor presdisposisi:
1. Usia
2. Jenis
kelamin
3. Tingkat
pendidikan
4. Pekerjaan
5. Status
perkawinan
Faktor pendukung:
1. Dukungan
keluarga
a. Informasi
b. Penilaian
c. Instrumental
d. Emosional
Faktor pendorong:
1. Petugas
kesehatan
2. Keluarga

3. Kelompok
masyarakat

Bagan 1. Kerangka Teori penelitian


Sumber: (Friedman, 1998,
Hardywinoto (2007), (Notoatmodjo,
S 2003; Green, 1980) dimodifikasi.

Perilaku

penggunaan
nyeri sendi

obat

Bagan 2. Kerangka Konsep


I. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri atas :
1. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas atau independen merupakan suatu variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas dalam
mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2008). Variabel independen (bebas)
dalam penelitian ini adalah karakretistik lansia meliputi usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan, dukungan keluarga.

H. Kerangka Konsep
Variabel bebas

Variabel terikat

Variabel terikat (dependent variable)


Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi
atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung dari
variabel bebas terhadap perubahan (Hidayat, 2008). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah penggunaan obat nyeri sendi.

J. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1.

Ada hubungan antara usia dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.

2.

Ada hubungan antara jenis kelamin dengan penggunaan obat nyeri sendi pada
lansia.

3.

Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan penggunaan obat nyeri sendi
pada lansia.

4.

Ada hubungan antara pekerjaan dengan penggunaan obat nyeri sendi pada
lansia.

5.

Ada hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan obat nyeri sendi
pada lansia.

6.

Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan penggunaan obat nyeri sendi
pada lansia.

7.

Ada hubungan antara karakteristik lansia yang meliputi usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan dukungan keluarga
dengan penggunaan obat nyeri sendi pada lansia.

Anda mungkin juga menyukai