EBook: Dewi KZ
Tiraikasih website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusianfo/
http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/
Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website
HARIMAU
JATUH
SATU
KISAH YANG LALU:
Untuk membantu pembaca yang belum mengikuti kisah-kisah
Manusia Harimau yang telah dimuat berturut-turut dalam majalah
"Senang", kami muat keringkasan dari cerita "AKHIRNYA SI
MANUSIA HARIMAU JATUH CINTA" yang berakhir didalam "Senang"
no. 646 penerbitan 9 September yang lalu.
MANUSIA HARIMAU yang diceritakan sebagai pemegang peran
utama, berdasarkan kenyataan yang masih ada di Mandailing
Tapanuli Selatan adalah seorang anak muda usia sekitar tigapuluhan
yang bernama Erwin. Ayahnya, Dja Lubuk dan kakek (ompung kata
orang Tapanuli) telah lama meninggal. Namun begitu dalam
keadaan Erwin sangat memerlukan, salah seorang daripadanya,
kadang-kadang berdua bangkit dari kuburan mereka dan datang
memberi pertolongan. Hanya sesekali Dja Lubuk atau Raja Tigor
(ompung Erwin) tidak' mau datang, walaupun Erwin sangat
membutuhkan. Itu pernah terjadi ketika Erwin jatuh cinta pada
Safinah, adik Teuku Samalanga asal dari Aceh, seorang dukun
kenamaan di kota Palembang yang pernah dibantu oleh Erwin dalam
menyembuhkan seorang pasiennya, perawan Tionghoa bernama
Mei Lan. Erwin juga pernah menyelamatkannya ketika ia jatuh cinta
pada seorang perempuan sangat cantik yang punya kewajiban
untuk menyerahkan tiap suaminya kepada seekor ular raksasa,
setelah dua-puluh satu hari dinikmatinya, karena ular itulah yang
kedua harimau itu berniat jahat atas dirinya mereka dengan mudah
dapat melakukannya, karena Erwin tidak memiliki ilmu dan kekuatan
seperti kalau dirinya normal. Tetapi kedua harimau itu menjilati
muka dan tangannya dengan lidah mereka yang panas. Kemudian
pakaiannya. la rasa dirinya dibalikkan, karena mereka tak bisa bicara
untuk menyuruh dia membalik. Seluruh pakaiannya yang basah pun
dijilati. Entah dari mana datangnya tetapi setelah ia sadar, dilihatnya
Ada buah pisang yang banyaknya tidak kepalang tanggung. Satu
tandan. Juga ada buah rambutan yang diketahuinya memang
sedang musim. Kedua harimau itukah membawanya? Mungkin,
tetapi mungkin juga Tuan Syekh Ibrahim Bantani yang kemudian
berdiri di sisi Erwin. Dengan janggutnya yang putih dan pandangan
penuh wibawa. Tuan Syekh kah yang membawa buah-buahan itu?
Perutnya yang lapar membuat dia tidak lagi bertanya, tetapi
langsung memakan apa yang ada. Pisang raja masak di pohon itu
menghilangkan rasa lapar. Dia tahu, pisang raja enak untuk
sarapan. Haus dilepaskannya dengan rambutan berkualitas yang
mudah, ditanggalkan dari bijinya dan punya banyak air.
Sesudah itu baru Erwin menyusun jari dan berkata: "Guru. Akan
tamatkah riwayatku?"
Guru yang berasal dari Banten dan meninggal di Muara Sipongi,
Mandailing, meletakkan ujung tongkatnya di atas rusuk Erwin yang
masih belum bangkit. Kini manusia harimau itu duduk, mencium
lutut Tuan Syekh Ibrahim.
"Enak saja kau! Terlalu mudah hidup ini bagiku, kalau sampai di
sini riwayatmu tamat. Kau telah mengalami banyak musibah,
mengalami banyak bencana fisik dan batin, tetapi apa yang kau
rasakan hari ini barulah awal pula dari rentetan nasib yang telah
menantikan dirimu. Kau kehilangan orang yang kau cintai, wajar.
Karena ia tidak mencintai dirimu. Dan kau terlalu mementingkan
harga diri, suatu tanda bahwa kau memang berhak untuk hidup
lebih lama di dunia ini. Kau masih menghendaki dirinya. Sebelum dia
kawin telah kutawarkan kepadamu kekuatan untuk membuat dia
cinta padamu. Tetapi kau menolak, karena kau tak mau cinta hasil
menyendok
gula
dan
tenang kembali.
Kepada Teuku disuguhkan minum. Komandan, seorang Kapten
Polisi yang memeluk agama Hindu, I Made Dirganta, memberinya
petuah. Bahwa tunangan hidup adalah kematian dan tidak seorang
pun dapat mengelakkan diri daripadanya. Bahwa yang mati
sebenarnya hanya jasad, sedangkan roh akan menempati dunianya
yang baru. Bagi yang baik telah tersedia nirwana. Pada suatu hari
semua roh akan bertemu kembali. Perceraian oleh kemati an hanya
perpisahan sementara antara orang yang ingin duluan pergi dan
orang tersayang yang ditinggalkan.
Tak kurang dari enam jam kemudian baru Teuku Samalanga
diminta keterangan, la berterus terang, bahwa ialah yang
membunuh iparnya Daud Ali, karena ia membunuh adiknya Safinah,
la tidak mau menerangkan apa yang menjadi sebab. Bukan saja
karena ia yakin bahwa tuduhan Daud tidak benar, tetapi mulutnya
malu menceritakan fitnah yang amat rendah itu.
Atas pertanyaan Polisi, mengapa Teuku tidak melaporkan saja
kejahatan yang dilakukan oleh Daud, karena ia pasti akan ditangkap
dan diadili lalu dihukum sesuai dengan kesalahannya, dengan datar
Teuku menyahut: Mungkin saya salah. Tetapi saya menganut
paham kuno, bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Dia berhutang nyawa kepada saya, karena saya yang kehilangan
adik, maka dia harus membayar kepada saya. Hanya itu, lain tidak!"
Dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa menyesal.
Atas budi baik Polisi, Teuku yang tampak tak berdaya diberi ijin
untuk mengurus penguburan jenazah adiknya. Kemudian
dimasukkan ke dalam sel tahanan, la tenang-tenang saja, seperti
bukan dia yang baru melakukan pembunuhan. Imannya sudah
kembali. Semua sudah berlalu menurut takdir. Semua harus
diterima begitu pula segala resikonya.
0odwo0
CERITA itu membangkitkan amarah harimau di dalam tubuh
"Tak mungkin, sahabatku. Aku kini orang tahanan. Aku telah jadi
pembunuh!"
"Tidak, Teuku mesti ikut bersamaku. Nanti malam kuambil!" kata
Erwin lalu ia pergi. Menuju pekuburan tempat Safinah dan Daud Ali
dimakamkan. Ada yang harus dikerjakannya di sana.
0odwo0
TIGA
DENGAN sekecak bunga mawar dan dahlia segar Erwin
memasuki kuburan. Walaupun hari mendung berat, pertanda langit
akan runtuh menyiram bumi, Erwin mudah saja menemukan jalan.
Semua tampak jelas olehnya, karena mata harimaunya sedang
berfungsi. Bagi harimau tiada malam yang gelap.
Penduduk Palembang heran melihat cuaca yang mendadak
berubah. Siangnya panas terik, lalu selepas senja bintang-bintang
bertaburan. Karena memang musim kemarau. Menebalnya awan
yang membuat bintang gemintang tak tampak lagi, diiringi oleh
angin agak kencang dan hujan gerimis membuat banyak orang
memberi komentar menurut pengetahuan dan kepercayaan masingmasing.
Apakah karena malam pertama bagi dua manusia yang mati
dibunuh, tidur di dalam bumi? Apakah perubahan itu suatu tanda
bahwa alam pun turut berduka cita?
Tiba di makam Safinah, Erwin berlutut, berdoa sambil
membiarkan airmata mengalir deras bagaikan air dari hulu yang tak
terbendung. Hatinya sangat sedih. Kehilangan wanita kedua yang
benar-benar dicintainya. Kepada siapa ia tidak pernah berani
menyampaikan perasaan yang terpendam, tetapi ia dibunuh mati
karena dituduh berbuat tidak senonoh oleh orang yang tiga malam
menjadi suaminya, la, yang biasanya mempunyai firasat tajam,
mengapa tidak pernah menduga bahwa Safinah akan mati tidak
wajar di tangan orang yang dirasuki pikiran buruk sehingga berbuat
seperti iblis?
"Ampuni aku. Safinah, orang dungu dan makhluk hina yang
diam-diam mencintaimu. Seharusnya aku tidak pernah sampai ke
rumahmu, tidak pernah mengenalmu, sehingga kau tidak sampai
menemukan nasib yang tidak seharusnya menjadi nasibmu. Aku
diburu perasaan salah, seolah-olah aku menjadi penyebab
kematianmu. Kau yang begitu bersih dan cantik, yang seharusnya
dengan kebahagiaan menikmati hidup karena ia menjadi hakmu,"
ucap Erwin dengan perasaan bersalah, walaupun ia tidak pernah
berbuat sesuatu yang melanggar hukum dan adat terhadap
perempuan yang amat malang itu.
Tanpa diduganya terdengar suara mengatakan pelan dengan
nada membujuk: "Tenanglah Bang Erwin. Ini semua penentuan
nasib. Kalau namanya penentuan Bang, kita tidak dapat
mengelakkannya. Abang tidak punya salah apa pun. Akulah yang
bersalah karena tidak tahu, bahwa Abang mengasihi diriku. Maafkan
aku Bang? Abang mau kan?" Suara itu suara Safinah. Entah arwah
Safinah yang berkata, entah hanya khayalan telinga Erwin.
Diciumnya papan nisan yang ditanam di bagian kepala Safinah
dengan perasaan tidak menentu, la merasa kehilangan, sangat
kehilangan.
Kemudian ia mohon kekuatan kepada Tuhan, lalu berdiri. Di saat
itu terdengar suara berbisik di telinganya: "Lakukan, lakukan. Kau
harus memperlihatkannya. Hatimu akan tenang setelah kau
melakukannya!" Dan diluar dugaan, tetapi sesuai dengan
harapannya setelah mendengar bisikan itu, ia berubah wujud, la
telah jadi Erwin bertubuh harimau. Lalu ia berjalan menurut kata
hati dan langkah kaki. Berhenti di sebuah kuburan yang juga baru.
Kuburan Daud Ali.
la berdiri di sisi kuburan yang penuh diselimuti karangan bunga
dari banyak sahabat dan beberapa keluarga, menyatakan duka cita
yang dalam atau sekedar turut berduka cita atas kepergiannya.
Melihat itu kebencian dan amarah Erwin menggantikan rasa sedih
jawab
Erwin
menyeringai.
Tanda
suatu
yang
membunuh.
Aku
baru
tadi
dapat
manusia biasa. Saya sangat simpati pada Pak Mayor, maka saya
beranikan diri berkata begitu. Bukan maksud saya mencampuri
tugas dan panggilan hati Bapak. Maafkan, kalau kata-kata saya itu
salah," kata Erwin dan ia pun hilang dari pandangan Mayor Polisi
Karnadi. Tentu saja dia jadi sangat heran. Apakah orang ini juga
semacam Teuku Samalanga yang bisa hilang dan bisa pula jadi
harimau?
Sambil memutar otaknya perwira Polisi itu meneruskan
pemeriksaan di rumah Teuku Samalanga. Dia mulai berpikir, janganjangan Teuku itu pun ada di antara mereka. Bukankah dia dapat
menghilang dari tempat ia dikurung tanpa tampak oleh seorang
Polisi pun yang cukup banyak jumlahnya menjaga di sana. Ataukah
Teuku bisa pula meru bah mukanya atau sekurang-kurangnya
membuat orang melihatnya sebagai orang lain?
Walaupun ia dukun terkenal, tidak ada barang-barang
mencurigakan di rumahnya. Setengah jam kemudian Mayor itu
memerintahkan anak buahnya pulang. Hanya menempatkan
beberapa petugas berjaga-jaga di sana. "Kalau-kalau ia datang lagi,"
katanya.
Tiga petugas Polisi yang berjaga-jaga di rumah Teuku merasa
tidak enak hati, kuatir kalau orang Aceh yang bisa jadi harimau itu
datang lalu membunuh mereka satu demi satu. Kemudian
mengeluarkan isi perut mereka sebagaimana ia telah mengeluarkan
isi dada dan perut mayat yang sudah dikubur.
0odwo0
Dengan kekuatan ilmu Tuan Syekh Ibrahim Bantani, dalam waktu
singkat Erwin dan Teuku Samalanga sudah berada di rumah Teuku
Abidin di Jambi. Paman dan kemenakan berangkulan. Teuku
Samalanga menceritakan, bahwa apa yang terjadi adalah berkat
kekuatan gaib yang ada di dalam diri Erwin. Dia sendiri sudah
pasrah untuk diadili. Karena dia memang telah membunuh.
"Pak" kata Erwin kepada Tuan rumah:
"Teuku Samalanga bukan membunuh atas kehendak hatinya.
LIMA
SUARA orang memberi salam membuat Teuku Mahidin pergi ke
pintu depan. Dia mempersilakan tamunya masuk. Setelah orang itu
di dalam, Erwin langsung menubruk dan mencium tangan.
"Amang," katanya. Dan orang itu mengelus-elus rambutnya,
membuat Teuku Mahidin dan kemenakannya keheranan. Yang
datang itu tak lain daripada Dja Lubuk dalam keadaan seperti
manusia utuh. Jelas tua dengan misainya yang putih bersih, mata
tajam menghias wajahnya yang tampan penuh wibawa.
"Inilah ayahku," kata Erwin. "Telah sejak lama kudengar
kebesaran Tuan," kata Teuku Mahidin. "Pertemuan yang tidak
kuduga ini sangat membahagiakan."
"Tak Tuan duga, karena aku dipanggil secara mendadak oleh
anakku Erwin. Biasanya Tuan tahu apa yang akan terjadi. Walaupun
Tuan tidak biasa mereklamekan diri, tetapi banyak di antara orangorang yang mengenal nama dan ingin berkenalan dengan Tuan.
Oleh karenanya aku merasa beruntung dapat berhadapan langsung
dengan Tuan. Aku juga merasa berhutang budi kepada TeukuTeuku berdua, yang telah menyukai dan menyayangi anakku.
Karena kita sudah seperti satu keluarga, tak ada buruknya kalau kita
bicara terbuka. Kepada Teuku Samalanga yang abang langsung
almarhumah Safinah, aku menyatakan sangat bersedih atas
musibah yang menimpa dirinya. Sekaligus juga menimpa diri Erwin.
Sudah pernah diceritakannya tentang cintanya kepada adik Teuku,
tetapi dia tidak berani berterus terang, karena kuatir akan beban
hati yang akan dipikulnya. Tindakannya atas kuburan Daud Ali
adalah suatu pelampiasan sakit hati yang seharusnya dapat
dibendung. Tetapi tiap manusia punya kelemahannya, apalagi yang
sekedar makhluk tak menentu seperti kami," kata Dja Lubuk
merendahkan diri. Dan berterus terang. "Tidak kuceritakan pun
Teuku Mahidin akan atau sudah tahu bahwa aku dan anakku dan
ayahku semuanya hanya setengah manusia!" Mendengar ini Erwin
yang akhir-akhir ini selalu mencurahkan air-mata, kembali tak dapat
la
kelainan dirinya dan tahu diri pula. la menerima segala nista dan
cerca. Sambutannya hanya kata-kata lembut, bahwa rupanya itu
bukan buatannya. Su dah nasib maka ia jadi begitu, tetapi dia tidak
akan menyusahkan siapa pun. Dan sampai ia dewasa memang
Darwis tidak pernah mengganggu sesama manusia. Dan oleh
kemahaadilan dan kemahasayangan Tuhan kepada hamba-Nya,
Darwis pun dapat jodoh. Beristri dan sudah punya anak empat
orang, ketika penulis mengunjungi dan mendengar ceritanya. Yang
ada dihati penulis hanya rasa kasihan. Entah mengapa ia menolak.
Andaikata dia menerima, maka ia akan jadi seperti Erwin. Belum
tentu akan seperti Dja Lubuk dan Raja Tigor yang punya segudang
ilmu sehingga mampu bangkit lagi setelah dikuburkan. Bukan untuk
menyusahkan manusia, tetapi juga berkali-kali terpaksa mengamuk
dan membunuh, karena Erwin yang anak dan cucu mereka
diperlakukan tidak adil. Manakala ia dianiaya dan hendak dibunuh.
"Siapakah Tuan Syekh Ibrahim Bantani itu?" tanya Teuku
Hamidin.
"Orang pintar dari Banten yang terkenal mempunyai banyak
cendekiawan dibidang ilmu gaib. Meskipun ia sangat pandai, ia
masih ingin mengenal dan belajar lebih banyak. Itulah yang
membawanya ke Mandailing, la melihat banyak persamaan, tetapi
juga banyak yang berbeda. Di sana dia belajar dan mengajar,
menerima dan memberi. Ditakdirkan Tuhan dia tutup usia di sana,
di sebuah kampung tak lauh dari Muara Sipongi dan dikebumikan di
sana." Teuku Mahidin mengajukan rupa-rupa pertanyaan dan
akhirnya meminta supaya dia juga boleh ikut ajar kepada orang
hebat dari Jawa itu. "Kurasa tidak usah," kata Dja Lubuk. "Teuku
sudah mempunyai sangat banyak. Bahkan mempunyai pesuruh
yang anak kecil Yatun itu." Mendengar ini Teuku Mahidin merasa
kagum atas kepintaran Dja Lubuk, la begitu banyak tahu.
Mengetahui yang rasanya tak masuk akal akan sampai diketahuinya.
Tiba-tiba saja anak perempuan kecil yang membawa Erwin dari
pinggir kota ke rumah Teuku Mahidin telah hadir di sana, mencium
tangan Dja Lubuk lalu duduk bersimpuh, la tahu bahwa ia
orang berilmu tinggi itu berlalu saja, karena yang sedang dudukduduk di sana bukan orang-orang iseng yang mencari lawan.
Tiadanya sambutan membuat kedua pendatang yang berpakaian
serba hitam itu malah penasaran.
"Aku rupanya salah sangka Koto," kata yang seorang, "bukan bau
harimau cuma bau cirik (kotoran) kucing." Mendengar itu telinga
Erwin yang duluan merasa merah. Itu suatu penghinaan. Sudah
pasti. Kedua orang padat berisi ini tentu orang-orang kenamaan di
lingkungan Bukittinggi, bahkan mungkin di seluruh Minangkabau.
Tetapi sikap mencari musuh yang mereka perlihatkan telah
merupakan pertanda, bahwa orang-orang ini juga tergolong orang
yang sombong dan barangkali juga takabur.
Berkata Dja Lubuk dengan tenang, "Kami hanya menumpang
duduk di tanah Tuan-tuan yang amat subur dan indah ini. Kami
menyampaikan hormat kami, kami memanglah hanya sehina yang
Tuan-tuan katakan. Tidaklah pantas kami kecil dan hina ini menjadi
lawan Tuan-tuan!"
Yang dipanggil dengan Koto menyambut Tuek, orang-orang ini
menyindir kita. Pura-pura merendahkan diri, tetapi sebenarnya
menantang dengan cara mereka. Mereka masuk tanah kita tanpa
ijin, kurang ajar pula, apakah kita biarkan mereka pergi tanpa suatu
cenderamata?" Tanpa menunggu jawaban si Datuek (datuk). Koto
melompat dengan kaki melayang di udara menuju muka Dja Lubuk.
Suara celananya yang berselengkang lebar khas jago-jago pencak
dan silat Minang memecah kesepian. Kasihan, maksudnya tidak
kesampaian. Tanpa menggeser duduk. Lubuk mengangkat tangan
kanannya menolak tendangan maut yang ditujukan pada dirinya.
Karena sambutan ini tidak disangka sama sekali oleh Koto, maka
terkejut dan terjengkang ke belakang. Tetapi tidak terhempas, la
putar badan ke arah kiri, tangan kanan menyentuh tanah dengan
sangat ringannya dan tubuhnya sudah berdiri tegak lagi, siap untuk
serangan kedua.
"Inyo barani malawan Tuek. Rupo-ruponyo ngarai mananti
bangkai!" kata Koto dengan sombong, tetapi sudah menilai agak lain
yang dikatakan ayahnya masih hijau itu ternyata tidak sehijau yang
diakui. Tetapi bagaimanapun kagetnya tentu saja orang sehebat
Datuk tidak akan jadi surut langkah olehnya, la langsung menyerang
Erwin. Dan pukulan pertamanya tepat mengenai dada kanan
manusia harimau muda itu.
"Biar pun waang harimau sati, aden indak gan-ta," katanya
setelah melihat Erwin termundur beberapa langkah, la langsung
memukul bertubi-tubi, ada yang kena, ada pula yang ditepiskan oleh
anak Dja Lubuk. Bahkan ada pukulan Erwin yang masuk ke rusuk
dan muka Datuk garang itu.
Koto yang belum bebas dari kagetnya bersiap memperhatikan
Dja Lubuk yang juga hanya sebagai penonton saja duduk di bangku.
Dia tidak berkata, tidak tegang, hanya matanya memandangi Koto
dengan dingin, sedingin hawa menjelang subuh itulah.
Pertarungan antara Erwin dengan Datuk bertambah sengit, sebab
Datuk pun ternyata bukan hanya besar omong melainkan juga besar
tenaga. Kecepatan tangan dan kakinya tak kan mungkin terkalahkan
oleh pesilat Cina mana pun juga, walaupun film-film unjuk hebat
Cina bisa membuat orang biasa merasa minder dalam adu tenaga.
Erwin kewalahan. Lebih berat menghadapi Datuk daripada
bertempur dengan Ki Ampuh di masa-masa lalu.
"Datuk hebat sekali' kata Lubuk memuji dengan hati tulus. Tetapi
dia juga senang melihat anaknya dapat lawan tangguh. Dari orang
semacam Datuklah didapat pengalaman dan kemudian mengukur
diri. Sudah dapat menyamai, masih di bawah atau sudah mampu
mengatasi. Itulah yang ingin diketahui oleh Dja Lubuk. Makhluk
yang hidup dua kali itu melihat jelas, bahwa kedua petarung itu
mempunyai tekad yang sama. Keluar sebagai pemenang. Yang satu
menyadari, bahwa ia dan ayahnya akan dilempar, ke ngarai kalau
sampai kalah. Yang lainnya akan merasa sangat malu dan hina
kalau ditumbangkan di negeri sendiri, apalagi tadi sudah
mengeluarkan/kata-kata yang begitu sombong dan angkuh.
Berkata Dja Lubuk kepada Koto yang belum bergerak memulai
serangan baru, apakah dia mau mencoba permainan beberapa jurus
dengan dia yang sudah tua renta. Jagoan dari dataran Minang itu
merasa ditantang, suatu kepantangan bagi tiap pasilek kawakan
untuk menolak.
"Sebenarnya aku kasihan kepadamu harimau bersemangat
kucing, tetapi ibarat orang mengaji yang harus sampai tamat, maka
aku juga akan menyudahi apa yang tadi sudah kumulai. Tetapi
sebelum kau dan anakmu menemui ajal di bumi kami, aku ingin
tahu, apakah yang membawa kalian sampai kemari?"
"Menemui Maharaja Ular Sakti di ngarai kalian ini," jawab Dja
Lubuk.
Koto merasa aneh mendengar, la hanya mengetahui, bahwa ular
raksasa itu hanya semacam dongeng, tak ada orang yang pernah
bertemu berhadap-hadapan.
Kata Dja Lubuk "Tuan tentu ingin tahu, apakah kami bertemu.
Malu bertanya gelap di berita. Tuan garang. Biarlah kukatakan. Kami
telah bertemu. Itulah yang dinamakan rejeki. Tuah dan untung elok
berada di pihak kami! Mata beliau seperti lampu mobil menyala
terang, tetapi berwarna hijau berkilauan. Kalau kalian pergi ke
bawah, barangkali masih akan melihat bekas tempat beliau lalu!"
Hati Koto goncang. Belum ada pendekar Minang yang berhasil
bertemu, walaupun telah beberapa banyak mencobanya. Itulah
makanya memandang kisah itu hanya sebagai dongeng. Kini orang
luar datang dan langsung berjumpa. Kalau si tua yang harimau ini
tidak berdusta, pastilah dia orang luar biasa. Di dalam hati Koto
mengakui, patutlah serangan pertamanya tadi sama sekali tidak
mengejutkannya dan bahkan menepiskannya dengan satu tolakan
ringan saja.
Dja Lubuk berdiri, tidak mengambil gaya seperti akan bertempur.
Dia hanya berdiri tenang, menanti apa yang akan datang.
"Bersiaplah hai harimau berupa manusia," kata Koto.
"Kau hebat. Tuan Koto. Sejak mula tiba tadi kalian telah
menyindir kami sebagai harimau. Itu tandanya kalian orang-orang
Dja
Lubuk
dan
anaknya,
bukan
hanya
cedera.
"Bunuh Koto, bunuh," teriak Datuk ketika harimau itu mengambil
ancang-ancang lalu melompat menuju Datuk, yang cepat
merendahkan diri sementara Koto menusuk dan menarik pisaunya
ke samping tubuh si harimau. Harimau itu menggeram keras, tetapi
luka itu tidak cukup dalam untuk mengurangi tenaganya. Itu sudah
suatu prestasi bagus dan menambah semangat Koto. Datuk juga
besar hati karena ia dapat mengelakkan serangan si harimau. Kalau
kaki binatang dengan kukunya yang sangat tajam dan kuat sampai
dapat merobek muka atau bahunya maka dia akan binasa, setidaktidaknya cacat untuk seumur hidup.
Datuk dan Koto cepat mengambil posisi menghadapi sang
harimau kembali, sebab tahu bahwa mereka kini yang jadi sasaran
amarah. Raja rimba itu pasti bertekad untuk membunuh mereka, la
tidak segera menyerang, khawatir akan terjadi seperti tadi lagi.
Meleset, malah ia yang terluka. la mengendurkan otot-ototnya
berjalan setengah lingkaran. Datuk dan Koto menyesuaikan gerak
langkah mereka dengan si raja rimba. Dja Lubuk dan Erwin mundur
untuk memberi ruang gerak kepada kedua pendekar yang telah
melonjak semangatnya itu. Demi kehormatan dan terutama demi
keselamatan.
Pada waktu itu pula terjadi keanehan, sekurang-kurangnya bagi
Koto dan Datuk. Di sana sini telah berdiri harimau-harimau yang
tentu baru datang. Dan mereka hanya memandangi, mungkin
dengan perasaan tegang. Entah mengharapkan kemenangan si raja
entah mendoakan kematiannya, kalau ia raja yang tidak disukai. Di
dunia manusia dan hewan sama saja. Yang jahat dan serakah dibenci, diharapkan lekas mampus. Yang disayangi dan dihormati
hanya yang adil dan punya timbang rasa terhadap yang tidak sekuat
dia.
Setelah mendapat posisi yang baik harimau itu berdiri tenang
dulu, memandang sabar ke depan dan juga ke sekitarnya sehingga
jelas baginya, bahwa anggota masyarakat daerahnya sedang
menonton. Dia yang tahu dirinya disukai atau tidak, juga menyadari
selesai.
Suatu kali tiga orang kuat kampung, bersekongkol mengeroyok si
Kalek. Tiga lawan satu mustahil mereka akan kalah. Tetapi
kemustahilan itu yang justru terjadi. Kalek dengan matanya yang
tajam, walaupun dalam gelap, sempat mengenali mereka. Yang
seorang bernama si Buyung Bagak, anak seorang Datuk yang
terkenal kaya sejak nenek moyangnya. Dia memang punya
kepandaian lumayan ditambah dengan mulut besar dan sikap
sombong. Ini juga bisa jadi modal dalam menghadapi orang tak
punya. Walaupun kebolehannya melebihi diri si orang kaya. Kedua
orang kawan Buyung Bagak juga pesilat-pesilat pemberani. Kalek
tahu bahwa mereka ini bukan sekedar mau mengganggu. Mereka
mau membunuhnya. Supaya Kalek yang menyakitkan mata mereka
itu, tinggal nama. Besok orang akan menanam tubuhnya yang
sudah binasa dan sukar dikenali.
"Kalek, akhirnya basuo juo. Kini baru ang ba-suo lawan nan
sabananyo!" bentak si Buyung Ba-gak. Harapannya bahwa si Kalek
akan gemetaran, tidak berhasil. Si Kalek sudah lama tahu bahwa
pada suatu saat orang ini akan menyergapnya. Dia sendiri berpikir
bahwa yang begitu tidak perlu terjadi. Dia terlalu tidak ada arti
untuk disingkirkan dengan cara yang begitu keji. Dia tahu diri, sadar
bahwa dia miskin dan tak pernah berani mengada-ada.
"Jangan Tuk," kata Kalek dalam bahasa Minang, walaupun orang
itu bukan Datuk, hanya anak seorang Datuk. "Saya terlalu kecil
untuk jadi lawan Datuk nan Bagak," katanya merendahkan diri guna
menghindari perkelahian.
"Jangan menyindir, monyet. Kau hendak mengatakan, bahwa aku
terlalu kecil untuk jadi lawanmu.
Begitu maksudmu. Jangan
berpura-pura!"
Bersamaan dengan itu Buyung Bagak melompat dengan satu
terjangan yang dengan mudah dielakkan oleh Kalek, sehingga si
garang hanya menendang tempat kosong. Kedua kawannya
menanti aba-aba untuk turut ambil bagian.
untuk dibunuh!"
"Hmm, mau dihukum berkepanjangan? Itu perkara kecil! Kata
Tuan hendak diubah jadi binatang. Boleh. Bukan kerja berat.
Bahkan lebih mudah daripada membunuh. Dijadikan cacing? Atau
ular? Atau kita jadikan babi?"
Si Buyung Bagak berpikir. Betapa hebatnya orang ini. Bisa
mengubah manusia jadi binatang apa saja.
"Atau kita jadikan anjing supaya dia melolong sepanjang malam.
Lebih-lebih di waktu bulan penuh," tanya Sutan Imbalo.
"Kalau dijadikan anjing, penduduk akan dihantui bunyi
lolongannya. Selalu takut dan susah tidur. Paling kasihan anak-anak.
Tak akan berani keluar rumah. Saya ingin dia dijadikan harimau!"
kata Buyung Bagak.
Sutan Imbalo merasa aneh. Dijadikan harimau? Bukankah itu
lebih berbahaya, katanya kepada anak Datuk nan Diateh.
"Mungkin tetapi saya senang kalau sampai dapat melihat dia jadi
harimau. Apalagi kalau dia dapat bicara seperti manusia," kata
Buyung Bagak. Dia membayangkan, bagaimana akan senangnya
berhadapan dengan si Kalek yang mungkin akan minta-minta
ampun supaya dijadikan manusia kembali. Dan dia akan
mengatakan, bahwa si Kalek harus bersyukur, masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan tak usahlah macam-macam lagi, mau
jadi manusia segala. Dia lebih pantas jadi harimau daripada
manusia. Untuk diburu dan ditembak, lalu kulitnya yang diisi akan
dipajang di ruang tamu rumahnya di kota. Oh, betapa akan
senangnya dia.
"Kalau memang itu yang akan membuat Tuan merasa senang,
saya akan melakukannya. Tetapi sebagai harimau tentulah dia akan
merupakan binatang buas yang berbahaya. Dia akan ingin makan
daging segar!"
"Itu kan soal mudah. Dia bisa menangkap babi hutan atau rusa
kalau cukup cepat larinya!" kata Buyung Bagak.
Bersamaan dengan derita yang tak terhalau itu proses atas tiap
makhluk bernyawa berjalan terus atas dirinya. Perut yang sudah
sekian hari tak mendapat isi merasa lapar. Datanglah kebutuhan
mendesak untuk makan. Dan kini ia ingin makan daging segar,
walaupun ia masih dapat mengingat bahwa biasanya ia makan nasi,
kadang-kadang hanya dengan sepotong cabe dan sejemput garam
ber kuahkan air panas.
Mulailah si Kalek harimau bergerak mencari makan. Dan yang
berhasil diterkamnya adalah seekor anak babi hutan yang sedang
sakit. Masih disadarinya, bahwa ia tidak boleh makan babi. Haram
hukumnya. Tetapi kemudian pikirannya ber balik
Itu dulu. Tatkala dia masih manusia! Bukankah dia kini sudah
bukan manusia lagi. Dia hanya seekor harimau. Tidak punya
pantangan. Masih terlintas pula rasa kasihan. Tetapi rasa yang biasa
dimiliki oleh manusia normal ini pun lenyap, dikalahkan oleh
keinginan untuk hidup. Sepotong demi sepotong mangsanya itu
berpindah tempat ke perutnya.
Memang dia ingin hidup. Harus hidup, kalau ia tidak mau
menerima hasil oleh kejahatan manusia dengan pasrah seterusnya.
Meskipun sudah berubah wujud dan golongan dari manusia ke
hewan buas, ia masih mampu dan berkepanjangan mempunyai
dendam yang kian hari kian membara. Si Kalek miskin sudah bukan
lagi makhluk berhati lembut, la telah menjadi pembenci yang ingin
mencari kedamaian lagi melalui suatu pembalasan yang setimpal.
Itulah makanya ia selalu mengintai kesempatan bila kiranya si
Buyung Bagak lalu di daerah kawasannya untuk memburu babi,
sebab ia termasuk orang yang suka melakukan perburuan. Entah
guna olahraga, entah karena adanya nafsu membunuh yang
bergolak di dalam dadanya, la akan menerkamnya, walaupun
mereka sedang beramai-ramai dan besar kemungkinan ia akan
tewas oleh peluru dan tombak mereka. Untuk itu kadang-kadang
pada malam hari ia sampai masuk kampung sehingga dihebohkan
masyarakat bahwa kini sudah ada Inyiek Balang yang berani
memasuki kawasan penduduk. Agar tiap orang berhati-hati. Dan
akan berubah Iddi harimau. Dalam hal ini uang dan kekuatan tidak
dapat dipisahkan.
Orang tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi pada suatu pagi
masyarakat kampung Sianok, Bukittinggi telah menemukan mayat
yang pasti diterkam lalu dicabik-cabik harimau di jalanan kampung
itu, padahal tempat itu tidak pernah dimasuki harimau. Penduduk
merasa lebih aneh lagi karena ternyata si harimau mengeluarkan
jantung dan otak mangsanya lalu meletakkannya kira-kira lima
meter dari mayat. Orang tahu, bahwa yang mati itu pesihir dari desa
Kamang.
0odwo0
Mendengar kisah harimau yang baru mereka lumpuhkan itu, Dja
Lubuk dan Erwin termenung, sementara bagi Datuk dan Koto cerita
itu hanya merupakan cerita aneh penuh kehebatan yang amat
menarik. Mungkin keharuan Dja Lubuk dan anaknya disebabkan
keadaan diri mereka yang tidak normal. Setelah mengucapkan
terima kasih kepada pengungkap kisah, mereka mohon diri.
Belum jauh melangkah, Dja Lubuk berkata kepada anaknya,
bahwa ia bermaksud kembali ke hutan mencari harimau yang
mereka kalahkan tadi. la menganjurkan anaknya untuk meneruskan
perjalanan ke Palembang, tetapi Erwin pun rupanya ingin kembali,
la mengusulkan kepada ayahnya agar ia saja yang kembali mencari
si Kalek, sementara ayahnya lebih baik kembali ke Tapanuli.
Ternyata ayah dan anak punya maksud sama, kedua-duanya
hendak mencari Kalek. Kedua pendekar Minang yang dianjurkan
untuk kembali saja ke Bukittinggi, karena mereka masih mau masuk
hutan lagi, juga menyatakan ingin ikut. Rupanya mereka
menyesuaikan diri dengan Dja Lubuk dan Erwin yang diharap akan
menurunkan beberapa kepandaian kepada mereka.
"Kami yang melukainya, kami mau mohon maaf," kata Datuk
yang dapat menebak apa sebab Dja Lubuk dan anaknya mau
kembali mencari harimau yang berasal dari manusia itu.
menimpanya bertubi-tubi.
"Kau hendak pergi, Kalek?" tanya Dja Lubuk
y(ing sangat paham akan gelagat itu. "Pergilah dengan tenang.
Semua kita akan pergi."
Mengerti akan perasaan Dja Lubuk dan tahu ipa yang akan
terjadi, air mata Kalek semakin deras mengalir, seperti hendak
dihabiskan semua, sebab setelah ini dia tidak akan menangis lagi.
Erwin membaca surat Yasin, napas si Kalek mengendur, ia
mengatupkan mata. Bukan hanya Erwin, kedua pendekar Minang itu
pun tak kuasa menahan air mata, dapat merasakan kesedihan
harimau yang manusia itu. Bersamaan dengan kepergi-an
nyawanya, tubuh harimau itu secara perlahan berubah menjadi
manusia kembali. Ketika tubuh telah berubah sempurna, nyawa pun
telah tiada. Si Kalek tak sempat berkata-kata.
Mereka semua takjub, terlebih lebih Datuk dan Koto. Selama ini
mereka hanya pernah mendengar cerita. Kini mereka saksikan
dengan mata sendiri. Suatu kenyataan yang tidak dapat dimengerti,
tetapi juga tidak dapat dibantah.
Keempat orang itu berunding. Ada satu kesamaan, yaitu mayat
itu harus dikuburkan.
"Bagaimana yang baik?" tanya Dja Lubuk. "Kita kuburkan di sini?"
Datuk dan Koto tidak menjawab, tetapi Erwin berpendapat
bahwa sebaiknya mayat itu diantarkan ke keluarganya. Agar mereka
tahu kematian si Kalek dan mereka yang menguburkan mayatnya.
Walaupun akan timbul tanda tanya yang tak terjawab, tetapi
mereka pasti akan mendapat semacam kelegaan, bahwa Kalek telah
meninggal. Dan bukan mati tanpa tentu rimbanya.
Mereka tunggu hari malam diselingi dengan bacaan doa, agar
dosa-dosa si Kalek diampuni dan rohnya diterima di yaumil mahsyar.
Pada malam hari mereka usung mayat si Kalek, diletakkan
dengan khidmat di surau kampung kediamannya. Pada waktu sholat
kepada teman juga penghinaan kepada dirinya. Itu salah satu dari
pertanda kawan sejati.
Angku Pasaman pun bukan orang yang membiarkan tantangan
berlalu tanpa reaksi, la penganut setia pepatah orang Sumatera
Barat "Kato baja-wab, gayung basambuik" maka ia menantang balik
'Saya orang biasa, yang lain itulah yang seharusnya turun, sebab
bukan di dalam bis ini tempatnya," lalu katanya kepada pengemudi
"Pir, berhenti sebentar. Ada yang mau turun hendak masuk ke
rimba!" Jelas Angku Pasaman sudah tahu, bahwa yang
dimaksudkannya dengan "lain" itu adalah harimau ldi jadian. Itu
yang dikenal di sana. Manusia harimau boleh dikata jarang sekali
disebut, karena memang hanya ada beberapa di daerah Minang.
Datuk yang tadi sudah menanggapi jadi tambah panas. Terang
yang dimaksud orang usil itu Dja Lubuk atau anaknya, yang tidak
menanggapi, karena mampu menahan diri. Sesudah Angku
Pasaman menyebut rimba pun mereka diam saja.
Supir menghentikan bis, suasana kian mencekam. Para
penumpang biasa tidak berani buka mulut. Mereka semua
ketakutan, entah apa yang akan terjadi. Dua orang sudah saling
menantang didengar orang banyak. Apa hanya sampai di kata-kata
saja? Bagi yang punya harga diri akan sangat memalukan.
Datuk berdiri, bukan untuk langsung turun, te-tapi menarik
tangan Angku Pasaman sambil berka-ta, "Tuan tentunya orang
bagak, mari kita coba!"
Orang yang ditarik, bertahan tidak mau turun. Dja Lubuk
menyuruh Datuk duduk, yang dipatuhi tanpa tanya. Semua orang,
termasuk Angku Pasaman menyangka, bahwa orang tua berambut
dan berjanggut serta bermisai putih itu tentulah ayah orang yang
menantang. Dja Lubuk memalingkan pandang kepada Angku
Pasaman, sehingga mata mereka bertemu. Hati orang itu
bergoncang, matanya tak kuat bertatapan dengan Dja Lubuk, la
tunduk, menimbulkan rasa heran sekaligus mengetahui bahwa
orang tua itu bukan orang sembarangan.
Berkata Dja Lubuk kepada supir bis "Bung supir, suruh kenekmu
menurunkan kopor hitam Angku ini. Beliau ingin turun di sini saja."
Membangkitkan kagum semua penumpang, Angku Pasaman
tanpa menjawab barang sepatah kata pun, bangkit lalu turun. Kenek
menurunkan kopornya. Betul kopor itu berwarna hitam, membuat
semua orang tambah heran. Sudah pasti orang itu bukan mau turun
di sini, di tengah rimba yang terkenal menyimpan banyak harimau
dan gajah.
Tetapi ia turun tanpa protes.
Setiba di bawah, Angku Pasaman berdiri terbo-doh-bodoh, mulai
diselapi perasaan takut, karena ia bukan pawang harimau walaupun
banyak kepandaian. Dan dia sadar, bahwa orang tua yang
mengatakan dia mau turun di situ jauh lebih hebat dari dirinya.
"Jalan, bung supir," pinta Dja Lubuk. Bis itu bergerak.
Tetapi setelah lebih kurang dua puluh meter, Dja Lubuk meminta
supir supaya berhenti lagi. Semua orang heran, apa pula lagi yang
akan dilakukan orang yang pasti punya kekuatan luar biasa ini.
Dja Lubuk turun, tak ada seorangpun yang berani bertanya. Juga
Erwin tidak. Setiba di bawah, Dja Lubuk memandang ke arah Angku
Pasaman yang berdiri kebingungan, tak tahu akan berbuat apa. Dja
Lubuk memanggil dengan tangannya. Orang yang turun bukan atas
kemauan sendiri tadi, datang. Berdiri di hadapan Dja Lubuk seperti
orang bisu.
"Naiklah," kata Dja Lubuk. Dan orang itu naik tanpa kata.
la duduk kembali di tempatnya tadi, dipandangi semua
penumpang, tetapi tak seorangpun mengajukan pertanyaan. Mereka
sudah paham. Bahwa ilmunya ditundukkan oleh orang tua yang
impaknya hanya manusia sederhana saja.
Atas permintaan Dja Lubuk, bis berjalan lagi. Supir dan kenek
pun tahu, bahwa bersama mereka rida seorang manusia yang
pandai luar biasa. Dia pasti punya ilmu penunduk (pitunduek).
kota Muara Bungo. Apakah benar ini orangnya? Bukan tak mungkin
dia ! hanya mengaku-ngaku anak Dja Lubuk dengan ha- i rapan
orang takut kepadanya karena nama Dja Lubuk cukup disegani oleh
mereka yang mengenal kisahnya. Ketika Kapten Polisi Kahar berpikir
bahwa mungkin orang ini hanya omong kosong, mendadak
terdengar suara harimau di penginapan itu. Semua orang terkejut,
juga Kapten Kahar. Tetapi ia segera paham, bahwa orang yang
disangka mencuri itu berkata benar. Yang mengaum itu Dja Lubuk,
ayah Erwin yang selalu hadir dimana anaknya terjepit. Kapten Kahar
tidak akan mundur dalam menjalankan tugas, tetapi dia akan
berhati-hati. Dia tahu tentang beberapa anggota Polisi yang tewas
di Jakarta.
"Kapten," kata Erwin. "Sebelum Kapten membawa kami ke
Kantor Polisi, saya punya usul. Yang jadi masalah pencurian dan
siapa yang mencuri. Bagaimana kalau Kapten perintahkan agar
semua orang yang menginap di hotel ini dan semua petugasnya
berkumpul. Siapa tahu. Kapten akan mendapat pencurinya di sini.
Barangkali kawan-kawan saya, barangkali saya. Tetapi barangkali
juga orang lain yang ada di antara kita!"
"Saya rasa tidak perlu Pak Kapten," kata Dirham. "Sudah pasti
mereka. Usulnya itu hanya suatu muslihat licik untuk mengibuli Pak
Kapten dan kita semua!"
"Saya tidak percaya kepada mereka, tetapi usulnya itu bukan
usul yang pasti tak berguna. Kalau dia licik, akan kita ketahui juga
kelicikannya!" kata Kapten Nasution dan ia memerintahkan
bawahannya untuk mengumpulkan semua tamu dan petugas
penginapan. Setelah semua berkumpul, pihak penegak hukum
secara singkat menceritakan apa yang mereka sudah ketahui.
Seorang tamu kemalingan dan tiga tamu lainnya disangka menjadi
pencurinya, karena mereka tidak memiliki apa-apa. Menyangka saja
bukan merupakan kekuatan untuk menahan seseorang, apalagi
membawanya ke pengadilan.
"Bapak kan tahu caranya, bagaimana membuat maling mengakui
perbuatannya," kata Dirham. Tamsir menguatkan. Kedua orang ini
lumayan.
"Saudaraku Siti Alus," kata Erwin. "Semua manusia yang ada ini
percaya, bahwa kau tidak akan mau berdusta. Kau akan menikam
siapa saja yang coba menumbangkan kejujuranmu dengan kekuatan
hitam yang ada padanya."
Suasana sangat hening, tetapi terasa mencekam. "Siti Alus,
tolong jawab pertanyaanku ini. Apakah si pencuri uang dan barang
saudagar Tamsir ada di antara kami yang hadir, termasuk diriku?
Kalau ada, berdiri dan menjulanglah pelan-pelan." Suasana tambah
tegang dan beberapa wajah memperlihatkan rasa takut. Pucat.
Pisau yang diberi nama Siti Alus itu bergerak, pelan-pelan berdiri
sampai lurus di atas piring. Kemudian ia bergerak, naik. Semua
mata seperti tidak percaya akan apa yang mereka lihat! la seperti
mengatakan, bahwa si pencuri ada di antara mereka yang hadir.
0odwo0
LIMABELAS
PISAU itu kian tinggi dari piring sampai sebatas kepala Erwin dan
para hadirin yang duduk di sekelilingnya. Kemudian berhenti, tanpa
ada penahan dari atas, tanpa penunjang dari bawah.
"Yang mencuri uang dan perhiasan berharga milik Tamsir ada di
antara kita. Barangkali saya. Barangkali kepala keamanan yang
sangat keras menuduh saya!" kata Erwin dengan suara lantang
tetapi tenang.
"Bohong," teriak Dirham.
"Dia tidak menuduh, hanya mengatakan mungkin dia sendiri,
mungkin juga Saudara. Mengapa mesti marah!" kata Kapten Kahar.
Kata Erwin melanjutkan," Pisau ini boleh kita minta sekedar
menunjukkan pencurinya atau langsung menembus jantungnya!"
Tiba-tiba dua orang muda berpakaian parlente berteriak, "Kami
sombong,"
bentak
Erwin.
Kini
dengan
suara
kenal, tetapi selama itu kami sudah tahu betul siapa dan bagaimana
dia sebenarnya. Kami pun sudah mengenal ayah beliau yang
diterangkan beliau tadi!" kata Datuk.
"Tuan Dja Lubuk?" tanya sang Kapten.
"Ya, kami sudah bertemu, pernah seperjalanan, sudah
menyalamnya! Pak Kapten juga sudah?" Kedua orang itu bercerita
seperti dua orang sahabat. Kapten Kahar cukup tahu, bagaimana
pandangan masyarakat daerah di Minangkabau terhadap Datuk
mereka.
"Saya belum pernah bertemu, tetapi ada juga mendengar
ceritanya," kata Kapten Kahar. "Ingin saya bertemu dengan orang
hebat itu!"
"Lebih dari hebat Pak," kata Datuk. "Tetapi punya hati sehalus
sutera. Itulah yang membuat kami sangat heran. Kekerasan,
kejujuran dan kelembuta n bergabung di dalam satu diri!"
Orang ramai jadi tidak lagi memikirkan si Tamsir yang kecurian,
tetapi seluruh perhatian mereka beralih kepada cerita Datuk tentang
Dja Lubuk. Kebetulan tidak ada seorang pun di antara mereka
selain Kapten Kahar yang pernah mendengar kisah tentang diri
manusia harimau itu.
Sebuah auman lagi. Singkat tetapi keras, la menunjukkan
kehadirannya.
"Tuan," teriak Datuk tanpa sengaja. "Tampillah Tuan Guru
supaya dilihat oleh orang-orang ini!" Dan Datuk dengan sepenuh
hati ingin agar Dja Lubuk memperlihatkan diri supaya mereka tahu,
siapakah Erwin dan mereka berdua yang tadi dituduh mencuri, la
akan bangga, kalau Dja Lubuk tampil di sana.
Tanpa memberi isyarat, tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah
lingkaran orang-orang yang masih duduk itu, suatu makhluk yang
hanya pernah dilihat oleh Datuk, Koto dan tentunya Erwin yang
anak kandungnya. Seluruh tubuhnya harimau. Hanya kepala
merupakan seorang laki-laki tua tetap ganteng dan berwibawa
dengan mata yang tak ter tentang oleh siapa pun: Dja Lubuk!
Semua orang berubah jadi pucat. Beberapa wanita yang juga
tamu hotel, menyertai suami atau orang tua gemetar lalu pingsan.
Kapten Kahar Na-sution tidak luput dari terkejut dan seperti sukar
percaya akan apa yang dilihatnya. Padahal ia sudah mendengar
kisah tentang Dja Lubuk si manusia harimau yang meninggal dan
dikuburkan di Mandailing tetapi kadang-kadang bangkit lagi untuk
tampil di tempat yang perlu. Sampai-sampai di Pulau Jawa.
"Kau petugas yang baik Kahar. Mengabdilah dengan sebersih hati
untuk bangsa dan negara. Jangan lupa kampung halaman. Lihatlihat juga ke sana bagaimana keadaannya!"
"Terima kasih Ompung Guru," sahut Kahar dengan suara jelas
tetapi bergetar, la memang sudah lama tidak pulang ke
kampungnya. Tetapi dia mendengar, bahwa Mandailing masih
sangat ketinggalan. Banyak penduduknya yang miskin dan melarat.
Pada waktu itu juga datang niat di dalam hatinya untuk pulang
sebentar ke Mandailing pada kesempatan pertama.
"Bagus," kata Dja Lubuk, "niatmu itu saja pun sudah sangat
bagus. Menandakan kau belum lupa pada asalmu!"
Kahar Nasution heran dan kagum. Dja Lubuk benar-benar
keramat, pikirnya.
"Bolehkah saya maju menyalam Ompung Guru?" tanya Kapten
Kahar.
Manusia bertubuh harimau atau harimau berkepala manusia itu
tertawa lalu berkata. "Kalau kau tidak jijik menjamah tanganku yang
berbulu dan berkuku tajam-tajam ini, maka akulah yang mestinya
berterima kasih. Mendapat kehormatan disa lam oleh seorang
Nasution asal Mandailing yang sudah Kapten Polisi. Kudoakan, pada
akhir tahun ini kau sudah akan naik pangkat jadi Mayor, Kahar!
Kapten Kahar bergerak dengan mengingsut ke ah Dja Lubuk.
Sebelum ia sampai, makhluk itu telah berubah menjadi seorang tua
biasa. Kepala yang sama dengan tubuh manusia sepenuhnya.
meminta pendapatnya.
Ketiga orang yang tadi berjalan kaki, kini masuk ke dalam jip
Kapten Kahar. Tidak bertanya akan ke mana. Cara Erwin ini pun
menimbulkan rasa senang kepada Kahar. Erwin tidak ragu-ragu.
Rumah yang disinggahi atau dimasuki tak lain dari rumah Kahar
sendiri. Bukan rumah mewah dengan pekarangan besar. Rumah
sederhana, tetapi terasa sejuk ketika Erwin dan kedua kawan
seperjalanannya masuk.
Yang keluar dari dalam setelah mereka dipersilakan duduk,
seorang perempuan berusia sekitar lima puluh dan seorang gadis
dua puluhan dengan paras elok. Sebenarnya kedua wanita itu heran
siapa pula yang dibawa Kahar dan dipersilakan duduk di ruang tamu
yang biasanya hanya dijadikan tempat menerima kawan-kawan
sejawat atau pejabat-pejabat. Atau keluarga mereka. Tak biasa
mereka melihat tamu-tamu kumuh begitu diterima di ruangan itu.
Erwin, bahkan Datuk dan Koto merasa bahwa kedatangan mereka
mengherankan kedua wanita itu. Tetapi sebodo amat, bukan
mereka yang ingin datang dan bukan mereka pula yang merasa
punya keperluan!
"Ini Ibu dan ini Dinar, adikku," kata Kahar.
Tak ada yang mengulurkan tangan untuk berkenalan Erwin dan
kawan-kawannya khawatir kedua wanita itu menganggap mereka
tak tahu diri. Ibu Kahar dan Dinar memang tidak merasa layak
memberi salam.
"Ini Saudara Erwin, Mak. Orang Mandailing!" kata Kahar. Tetapi
perkataan Mandailing, daerah asal yang sama, tidak menggerakkan
perubahan pada Ibu Kahar yang janda dan Dinar yang perawan
banyak penggemar.
Melihat suasana kikuk itu Kahar merasa malu kepada Erwin,
tetapi ia juga tidak punya cukup keberanian untuk menyuruh Ibu
dan adiknya menyalam tamu-tamu, yang disadari oleh Kahar, tidak
punya lahiriah yang layak untuk dihormati. Tetapi Kahar meminta
Ibu dan adiknya itu duduk, yang tidak dapat ditolak, walaupun tidak
Erwin pun terdiam sejenak. Apa yang dikatakan iblis itu mungkin
benar, tetapi perbuatan dukun itu tetap merupakan kejahatan di
negara hukum ini. Meskipun banyak orang tidak menghiraukannya.
"Tetapi tetap bukan hakmu untuk menganiaya sesama manusia,"
kata Erwin. Membesarkan hati keluarga Hasbi dan memberi harapan
kepada Kapten Kahar.
Hasbi tertawa terbahak-bahak lalu berkata "Bodoh, kau orang
baik mau membela kejahatan. Berarti kau berpihak kepada
kejahatan."
Erwin menguatkan hati supaya jangan terpengaruh oleh hasutan
iblis yang sebagian berdasar kebenaran itu.
"Aku tidak pernah dan tidak akan pernah berpihak kepada
kajahatan. Aku hanya akan coba membebaskan orang ini dari
penyakitnya yang tidak wajar. Kalau hukum yang berlaku di negeri
ini kelak akan menindak dia, aku akan turut gembira," kata Erwin
polos. Orang-orang yang mendengar ucapan Erwin, termasuk
Kapten Kahar kini mengetahui, bahwa orang muda potongan dusun
pedalaman itu, tidak setolol yang mereka sangka mengenai
kejadian-kejadian di negara ini.
Terdengar suara hingar-bingar, yang bukan suara manusia tanpa
kelihatan apa-apa. Suara iblis dan n dan setan yang dikirim oleh
dukun kawakan.
"Siapa namamu orang sangat pandai tetapi juga sangat jahat?"
tanya Erwin. Hasbi menjawab, "Cari sendiri, kalau kau pintar. Aku
sudah mengetahui namamu. Si Erwin, anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor. Musuh besarmu Ki Ampuh yang terkutuk menjadi babi. Kau
pernah jatuh cinta setengah mati, tetapi tiada berbalas. Kini
perempuan itu sudah mati dibunuh suaminya. Adakah penjelasanku
yang salah?" Suara itu sangat lantang, satu persatu kata dapat
ditangkap. Lalu kata Hasbi yang mewakili iblis kepada hadirin,
"Sudah kalian dengar. Begitulah kisah tentang orang dungu yang
mau melawanku ini!"
Erwin malu sekali, la paham bahwa uraian dukun kawakan itu
dikalahkan dan sama sekali tak kan mau mengalah, maka ia telah
meminta bantuan gurunya. Yang hendak dibunuh sebenarnya Erwin,
tetapi bentengnya tak tertembus oleh iblis yang dikirim Maribun ke
kamar pemuda kampung itu. Dan sudah terbiasa di dalam
menembakkan ilmu gaib, orang yang tidak dimaksud menjadi
korban, karena ilmu atau pesuruh yang ditugaskan tidak mampu
membayar sasarannya.
Ketika Erwin dan Datuk menghadapi Koto de ngan perasaan
sangat terpukul, terasa ada hembusan angin. Tak lama kemudian
disusul oleh suatu jeritan melengking. Dja Lubuk, ayah Erwin telah
berdiri di sana dalam bentuknya sebagai manusia. Orang tua itu
bergerak cepat kian kemari, seperti orang gila gayanya, karena
lawannya tidak tampak.
"Obati dia," bentak Dja Lubuk. Tetapi dia hanya disambut dengan
gelak cemooh oleh lawannya. Kelihatan Dja Lubuk berkeringat dan
napasnya turun naik buru-memburu. Nasib baik bagi si manusia
harimau, tanpa sengaja terpukul olehnya kelemahan dukun yang
tidak kelihatan itu. Dugaan Erwin bahwa yang masuk kamar itu iblis
kiriman, mungkin benar. Tapi Dja Lubuk bertarung dengan si dukun
sendiri, la atau suruhannya tak mampu melawan pertahanan Erwin,
maka Koto yang dibunuh kawannya pun jadilah, pikir Maribun. Erwin
pasti akan sangat sedih dan panik. Bagi Maribun lebih mudah
mengalahkan orang panik dan gugup da ripada musuh yang dengan
tenang mengatur lang kah dan sepak terjangnya.
Tiba-tiba Dja Lubuk berhenti bersilat dengan napas yang
terengah-engah. Selama pertarungan] yang bagaikan tanpa lawan
itu ia beberapa kali jatuh berdebap. Tidak diragukan lagi bahwa
musuh ini mempunyai kekuatan luar biasa. Rupanya hd ruk-pikuk di
kamar Erwin itu terdengar juga oleh Kapten Kahar yang lalu
bergegas ke sana. Datuk membuka pintu dan perwira itu segera
mengetahui bahwa Koto telah meninggal dunia. Sebabnya b<Iiim diketahui secara pasti, tetapi bukan oleh serangan jantung
mendadak. Dja Lubuk sudah pergi dengan berpesan kepada
anaknya agar sangat waspada.
0odwo0
SEMBILANBELAS
DUA orang penyambut jenazah di liang lahat yang paling
terkejut, tetapi ular itu tidak mengganggu. Orang-orang di atas pun
tidak ada yang dikejar, la berlalu dari lubang itu dengan tenang,
diikuti oleh puluhan pasang mata. Mereka jadi herani lagi, ketika
mendadak ular itu hilang begitu saja. Badannya sebesar lingkaran
betis orang gemuk, sementara panjangnya diperkirakan tak kurang
dari empat meter. Bukan ular sendok. Warnanya hijau dan kuning
mengkilap.
Seorang pengantar jenazah berbisik kepada Erwin, "Pertanda
apakah itu, dukun kawakan?" Erwin tidak mengenalnya, dan ia
bertanya dengan bibirnya mencibir sinis. Anak Dja Lubuk tidak
menjawab. Tetapi ia tahu, bahwa orang itu bukan sekedar bertanya.
Melihat Erwin diam saja, rupanya ia tidak puas lalu menambahkan,
"Kalian turun-temurun manusia harimau, hah! Ayahmu si Dja Lubuk
itu, hebat juga." Kini tanpa menunggu jawaban ia berlalu. Tidak ada
orang memperhatikannya, juga Erwin tidak. Tetapi sesaat kemudian
diketahuinya bahwa orang misterius itu sudah tak ada lagi di antara
mereka.
Setelah ular menghilang, jenazah Koto diturunkan. Kelihatan
sebagian besar dari mereka ingin bergegas, terutama yang berada
di liang kubur. Penimbunan pun dipercepat. Yang tak kurang
berpikirnya daripada Erwin adalah Kapten Polisi Kahar. Apakah
artinya ini semua dan apakah lagi yang bakal terjadi? Kemarin
malam ada ular kecil tetapi dengan bisa mematikan masuk kamar
lalu membunuh Koto. Kini keluar seekor ular besar dari liang kubur,
tetapi tidak mengganggu. Meskipun tak masuk akal sementara
orang yang tidak pernah melihat keajaiban semacam itu, tetapi bagi
Kapten Kahar sudah semakin jelas bahwa cerita-cerita seperti itu
bukan khayalan.
Ketika orang tak dikenal berbisik pada telinga Erwin tadi, hanya
DUAPULUH
MEMANG bagi yang melihat, menjadi lemasnya Dinar merupakan
tanda kemenangan Erwin dalam bentuk dirinya yang sangat
mengerikan itu. Tetapi mereka sudah tidak takut, karena ialah
menjadi harapan dan pejuang mereka dalam menghalau jin yang
bersarang di dalam tubuh gadis itu. Dalam hati Erwin berharap agar
ia segera menjadi manusia biasa kembali, karena sesungguhnyalah
ia sangat malu dengan keadaannya yang seperti itu. Tetapi
harapannya tidak terkabul dan ia tidak dapat semaunya mengubah
diri jadi harimau atau jadi manusia kembali.
Erwin memandang sedih ke sekelilingnya seperti mau melihat
dan membaca muka dan hati mereka masing-masing. Dia kasihan
kepada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mengharapkan belas kasihan
dari mereka. Bahkan dialah yang kasihan kepada mereka, karena
telah membuat mereka terkejut dan semula tentu ketakutan.
Siapalah orangnya yang tidak akan ketakutan melihat seorang
manusia mendadak berubah jadi harimau berkepala manusia.
Melihat Erwin memandang, semua yang hadir menundukkan kepala.
Rasa kasihan, rasa hormat dan mungkin juga masih bercampur lagi
dengan sedikit rasa takut yang mereka ketahui tidak pada
tempatnya, tetapi tidak dapat dibuang begitu saja dari perasaan.
Mungkin di luar sadar, Erwin berkata, "Aku menyesal, kalau
keadaanku ini membuat kalian semua merasa takut. Kalian tahu,
aku tidak punya maksud untuk menakuti kalian. Tetapi aku juga
tidak mampu melawan nasib yang telah ditentukan bagi diriku!"
Yang mendengarkan semua terharu. Ibu Kahar bergerak maju,
memegang dan mencium tangan Erwin dalam bentuk kaki depan
harimau.
Kahar membiarkan, agak lega atas sikap Ibunya yang
menunjukkan kekhilafan penilaian terhadap diri Erwin. Si manusia
harimau juga terharu.
Dalam keadaan mengharimau itulah Erwin memakai sebagian
dari kemampuannya untuk mengembalikan Dinar kepada gadis
normal. Pelan-pelan ia membuka mata dan beruntung sekali, ia
Perempuan yang tidak berpikiran stabil itu terkejut dan kini takut
melihat Erwin yang mungkin marah dan melakukan pembalasan, la
tidak lagi lari seperti pernah dilakukannya tadi, juga tidak minta
maaf karena pikiran buruknya dibaca oleh Erwin. Tetapi ia menangis
tersedu-sedu, menimbulkan tanda tanya lagi pada keluarganya yang
ada di sana. Apakah yang dipikirkannya sehingga manusia harimau
itu sampai berkata agar dia jangan berpikir begitu?
"Mengapa Abang berkata begitu kepada Mama?" tanya Dinar.
Erwin tidak menjawab, tetapi meneruskan usahanya dalam
memulihkan jalan pikiran dan keadaan tubuh Dinar.
Erwin kian gelisah, walaupun keadaan Dinar terus membaik
secara perlahan, karena dirinya belum juga kembali jadi manusia.
Rupanya hal ini dilihat dari jauh oleh dukun berilmu sangat tinggi
Maribun yang mengirim ular dan jin ke rumah Kapten Kahar dan
pekuburan tempat tubuh Koto disimpan untuk selamanya. Karena
dia bukan hanya hebat dalam ilmu gaib tetapi juga cerdik berpikir,
maka ia buru-buru menelepon ke Kantor Polisi bahwa di rumah
Kapten Kahar sedang bersembunyi seekor harimau yang lebih ganas
dari harimau biasa. Kalau tidak segera dibinasakan, maka ia akan
mengambil banyak korban di Lubuk-linggau. Dia juga menceritakan,
bahwa harimau yang lain daripada siluman itu tela h melakukan
teror di Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, Medan, dan Palembang.
Komandan jaga tidak percaya, karena rumah yang disebutkan
pelapor adalah tenpat tinggal seorang perwira Polisi. Tanpa raguragu Maribun menjelaskan, bahwa dalam soal ini tidak ada kaitan
dengan jabatan Kapten Kahar, tetapi makhluk yang sangat
berbahaya itu sedang bersembunyi di sana. Mungkin juga dilindungi
oleh Kapten itu. Polisi sebagai pelindung masyarakat harus
mengambil tindakan.
"Kalau tidak percaya, datanglah kemari. Yang melapor ini
Maribun! Kalian tidak kenal? Apakah orang semacam aku membuat
laporan palsu?" kata Maribun dengan nada mulai marah.
Maribun memang cukup dikenal. Bukan hanya sebagai dukun,
bahwa harimau yang dicarinya itu memang ada. Perwira itu merasa
dipermainkan tetapi ia berhenti dan menoleh.
"Kamu juga melihatnya?" tanya Mayor Ahmad Buang.
"Ya, tadi memang lalu dari pekarangan ini. Melompat ke
pekarangan orang sebelah. Itu harimau piaraan namanya Pak," kata
Erwin berlagak tahu.
"Mengapa kau tahu dia harimau piaraan?" tanya Buang.
"Karena tak kan ada harimau rimba sampai menyasar kemari.
Jadf, kesimpulan saya yang bodoh, harimau piaraan. Mungkin di
sekitar sini ada dukun memelihara atau ada orang yang mewarisi
harimau!" kata Erwin.
Mayor itu kembali dan bertanya kepada Kapten Kahar apakah dia
boleh duduk sebentar lagi.
"Silakan Pak Mayor," kata Kahar.
"Kamu seperti orang banyak tahu, siapa namamu?"
"Bujang," jawab Erwin. Kahar dan Datuk yang sudah ikut serta
pula di sana hanya mendengarkan. Walaupun hanya sedikit, tetapi
mereka merasa geli juga.
"Namamu hampir sama dengan namaku. Ahmad Buang, Mayor
Polisi." la minta "Bujang" meneruskan ceritanya. Maka dijelaskanlah
oleh Erwin, bahwa dia berasal dari Kerinci dan di sana masih
lumayan banyak harimau jadi-jadian. Ada juga orang yang
memelihara atau mewarisi harimau. Harimau yang dipelihara dapat
disuruh oleh pemiliknya, kata Erwin. Dan Mayor itu tidak ragu-ragu,
karena cerita begitu sudah biasa juga didengarnya. Lalu dia
mengambil kesimpulan, bahwa cerita Maribun memang bukan
omong kosong belaka.
"Apa yang dikatakan Tuan Maribun itu memang benar, Pak
Mayor," kata Erwin membuat orang dari Kepolisian itu semakin
heran akan kepandaian lelaki kampungan itu, "tetapi harimau itu
tidak bersembunyi di sini. Dugaan Pak Mayor bahwa Kapten Kahar
0odwo0
Erwin berniat untuk menyelesaikan urusannya malam itu juga.
Supaya ia bisa meninggalkan Lubuklinggau atau berkubur di
buminya, la tahu bahwa Maribun tentu bersiap menantikan
kedatangannya. Dukun itu memandang Erwin hanya menyempitkan
dan mengotori daerah yang selama ini dikuasainya.
Sampai menjelang tengah malam Erwin men doa dan membaca
berbagai mantra. Yang begitu di lakukan juga oleh Maribun dengan
caranya. Tidak sama dengan Erwin karena ia mempergunakan ilmu
hitam yang amat tangguh, mengandalkan berbagai urunan yang
terdiri atas jin, setan, iblis, dan ular.
Sampai tengah malam Maribun sia-sia menantikan kedatangan
Erwin. la tak dapat lagi melihat apa yang sedang dikerjakan Erwin.
Rupanya lawannya itu mematahkan kemampuannya untuk melihat
dan membaca dari jauh.
Maribun merasa dirinya dalam bahaya. Jangan-jangan musuh
sudah berada di pekarangan ataukah sudah di dalam rumah?
Apakah Erwin mempunyai ilmu perabun yang dapat mengalahkan
keampuhannya terhadap kekuatan gaib semacam itu? Kegelisahan
Maribun meningkat ketika ia mulai merasa kantuk menyerang
dirinya. Dia membaca-baca, lalu minta dibuatkan kopi kental. Tentu
musuh sedang mengerjai dia dengan sepenuh kemampuan yang ida
padanya. Dan dugaan Maribun tidak keliru. Erwin mengerahkan
semua kekuatan batinnya untuk menaklukkan lawan, la ingin
pembalasan dapat dilakukan tanpa menimbulkan kehebohan atau
kegaduhan.
Pukul 01.30 tengah malam Erwin berkata kepada Datuk, bahwa
ia akan pergi sebentar, la akan kembali menjelang subuh, katanya.
"Aku ikut," kata Datuk.
"Jangan, biar aku saja yang menyelesaikan."
"Perkenankan sekali ini, Erwin. Aku tak mau membiarkan kau
pergi seorang diri sementara aku tinggal sendirian pula di sini. Aku
tak mau lagi berpisah denganmu, kecuali dipisahkan oleh maut."
"Baiklah kalau Datuk tak mau dilarang! Aku mau memohon dulu,"
lalu ia duduk bersila dengan kedua belah tangan di atas kedua
lututnya, la memohon restu dan bantuan dari jauh kepada Raja
Tigor, Dja Lubuk, Tuan Syekh Ibrahim Bantani, Datuk nan Kuniang
dan semua gurunya dalam ilmu pengobatan dan menangkis
serangan dari orang orang jahil. Hanya dari orang jahil, la sendiri
tidak akan pernah melakukan kejahatan, hanya melawan kejahatan
guna menegakkan pihak yang benar
0odwo0
Permohonan Erwin terkabul, la telah mempunyai tubuh dan
kekuatan harimau. Ditambah lagi dengan ilmu-ilmu gaib di dalam
dirinya sebagai manusia. Dengan kekuatan gabungan itu mereka
berangkat. Begitu mereka telah mencapai setengah perjalanan
turunlah hujan yang amat lebat, tetapi tidak dihiraukan oleh kedua
sahabat yang akan melaksanakan missi penuh bahaya. Dan hujan
ini menyebabkan tanah jadi becek dan meninggalkan jejak-jejak
kaki Erwin yang sudah jadi harimau itu. Disebelahnya kaki Datuk.
"Kita akan meninggalkan jejak," kata Datuk, yang dijawab oleh
Erwin, bahwa hal itu seperti di atur agar besok orang tahu, bahwa
seorang manusiai perkasa telah berjalan berdampingan di dalam
kota dengan harimau piaraannya. "Akan menghebohkan! kota besok
Datuk," kata Erwin. Datuk terhibur oleh kelakar itu.
Kedua sahabat itu memasuki pekarangan Maribun dalam curahan
hujan yang kian lebat, menidurkan hampir seluruh penduduk kota,
termasuk dukun kawakan yang diserang kantuk tak terlawan itu.
"Datuk menunggu di luar. Bersembunyi jugalah. Mana tahu ada
patroli lewat," kata Erwin, "Aku akan naik mengambilnya?"
"Dia tentu akan melawan, biarlah aku ikut, walaupun kehadiranku
tidak berarti," kata Datuk merendahkan diri. Tetapi Erwin
setelah
samping
menunjukkan
"Anak muda tak paham maksudku. Aku ingin agar anak muda
menggendong aku dan aku yang axan menunjukkan jalan!"
Erwin merasa heran, karena permintaan Maribun sangat aneh.
Apakah ia punya muslihat di belakang permintaannya itu? Tetapi ia
yang dikatakan kuat dan gagah, malu pula menolak permintaan
Tuan rumah, la seakan-akan minta balas budi afas kebaikan dan
keramahtamahannya. Maka Erwin pun menyatakan persetujuannya.
"Ingin tahu rasanya digendong harimau," kata Maribun seperti
seorang kawan yang sedang bermanja-manja.
"Baiklah, kalau itu akan menyenangkan hati "Tuan," kata Erwin.
la bergerak lebih dekat dengan berdiri atas kedua kaki
belakangnya. Tetapi kemudian ditanyanya sekali lagi, apakah benarbenar Maribun menghendaki itu. Setelah mendengar penegasan
Maribun ia membungkuk untuk menggendong orang yar/g akan
menjadi tandingannya dalam berebut dan mempertahankan nyawa.
Erwin yang sudah membungkuk untuk mengangkat Maribun
ternyata tak mampu melakukannya. Tubuh Maribun yang hanya
berukuran sedang itu terasa amat berat. Kalau semula ia
menyangka, bahwa untuk itu ia tidak perlu sampai mempergj nakan
tenaga, kini mulai mengerahkan tenaga. Tetapi ternyata sia-sia,
menuju
pintu
yang
tadi
begitu
mudah
menyebut nama orang sakti itu, tetapi kini ia malu berbuat begitu.
Tampak benar kelemahannya, la memandang ke arah Maribun.
"Mengapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Maribun, jelas
mengejek. Sambil berkata Maribun berdiri, tenang-tenang
melangkah ke arah tamunya yang mau pulang itu.
Erwin merasa terpojok. Malu bukan buatan. Tetapi tiada daya.
"Pulanglah, aku mau mengunci pintu. Mau tidur. Bukankah kita
sepakat untuk tidak bermusuhan?
Erwin memandang orang itu. Kini tidak lagi dengan mata
memancarkan rasa persahabatan. Sebab yang begitu akan
ditafsirkan sebagai minta dikasihani. Dan itu menjadi kepantangan
besar baginya
"Tak anak muda dengar? Aku mau tidur. Perulah pulang!"
Erwin memandang dengan penuh dendam, tapi juga merasa
bahwa orang itu mempunyai terlalu banyak ilmu.
"Kalau anak muda tak mau pulang, aku terpaksa menelepon
Polisi. Perbuatan Anda ini sudah sa ngat mengganggu!"
Erwin segera membayangkan, bahwa untuk kedua kalinya ia
akan dikepung Polisi dan sekali ini tidak akan lolos lagi. Memang
itulah rupanya maksud Maribun. la mau mempergunakan alat-alat
penegak hukum untuk menyingkirkan musuh yang telah
menyusahkan dirinya itu.
Dalam keadaannya seperti itu, kalau sampai dikepung oleh
orang-orang bersenjata, dia pasti akan ditembak. Mungkin
diberondong dengan senapan mesin. Betapa aibnya. Apakah ia
jauh-jauh merantau, sudah menjelajahi sekian banyak kota besar,
akhirnya akan mati terkapar di Lubuklinggau? Itu lah tujuan Maribun
dan itulah yang sangat ditakuti nya. la harus dapat menghindar.
"Anak muda lihat itu," kata Maribun sambil , menunjuk ke sebuah
meja di mana ada sebuah telepon. "Aku akan menelepon Polisi
sekarang."
sejenak.
"Tentu, sejak tadi aku ingin supaya diajak serta walaupun hanya
peranan yang tidak ada artinya," kata Datuk. Dia benar-benar
girang. Sejak berang kat dari rumah, dia seakan-akan penonton
saja. Tidak berguna sama sekali.
"Tolonglah gendong mayat ini. Akan kita antarkan ke satu
tempat," kata Erwin.
Pendekar Minang tidak bertanya ke tempat mana. la sangat
membatasi diri dalam bertanya, takut kalau-kalau tidak berkenan di
hati si manusia harimau.
Merekaperjalanan tanpa bicara lagi, sehingga di suatu tempat
Erwin merasa bahwa ia akan berubah lagi jadi manusia biasa.
Perubahan itu berjalan secara bertahap, disaksikan oleh Datuk yang
sangat bangga karena mempunyai sahabat lain daripada yang biasa
dipunyainya. Sejak Datuk menggendong mayat Maribun tadi, Erwin
berjalan atas empat kaki, sehingga jejak-jejaknya sama dengan
harimau biasa.
Kini mereka meneruskan perjalanan menuju jalan raya yang tak
jauh dari sana. Sebelum memulai jalan di atas aspal, Erwin mencuci
kaki di selokan, begitu pula Datuk.
Yang dituju sudah tak jauh dari sana. Rumah kediaman Mayor
Polisi Buang yang pada waktu itu masih menyelusuri jejak-jejak
yang ditinggalkan seekor harimau berkaki dua dan seorang laki-laki
yang diperkirakan pasti bukan Maribun.
Mayor dengan pasukannya sangat berhati-hati, kuatir harimau
aneh itu bersembunyi dan mendadak melancarkan serangan yang
mematikan. Kalau Maribun yang terkenal punya ilmu tinggi bisa
hilang dari rumahnya sendiri dan sejak pekarangan hanya
meninggalkan bekas dua kaki belakang harimau serta seorang
manusia tanpa alas kaki, yang belum dapat diketahui mengapa bisa
terjadi begitu, maka makhluk itu pasti dapat melakukan sesuatu
yang di luar dugaan.
masih ada dan tidak hanya sampai di situ. Yang juga sangat
mempengaruhi diri Mayor Polisi Buang adalah jejak manusia lain
lagi. Orang baru tentu. Berjalan bersama jejak kaki manusia yang
sudah ada sejak dari rumah Maribun. Dari manakah datangnya
orang baru ini? Dia seakan-akan menggantikan atau meneruskan
perjalanan si harimau, yang semula hanya berkaki dua, tetapi
kemudian menjadi empat.
Anak buah Perwira itu saling pandang dan memandang
Komandannya.
Dengan suara pelan dan kedengaran lesu Mayor Polisi itu kini
mengikuti jejak dua manusia. Apakah salah seorang dari kedua
orang itu dukun Maribun yang pedagang merangkap ahli sihir?
Mayor Buang dengan anak buahnya tadi ke rumah Maribun untuk
mengepung dan menangkap harimau yang konon dinamakan
harimau piaraan. Yang mereka ikuti kini jejak dua manusia. Yang
hendak dikepung dan ditangkap atau dibunuh kalau terpaksa adalah
harimau. Tidak perduli apakah itu harimau piaraan atau jadi-jadian.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di jalan raya yang beraspal.
Tidak ada bekas jejak berlumpur di aspal. Sehingga tidak
meninggalkan petunjuk ke arah mana mereka pergi. Mayor Polisi itu
benar-benar bingung, tidak mampu menduga atau mengkhayalkan
saja pun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Sudah sekian
lama dia di Kepolisian, baru kali ini menghadapi keanehan yang di
dalam buku pun belum pernah dibacanya. Lebih mudah meng
hadapi residivis yang sudah dikenal sangat sadis <m ripada
kenyataan semacam ini. Bisa membangkit kan syarat atau perasaan
gila. Mungkin lebih dar pada itu. Membuat orang jadi gila.
Mereka tidak segera meneruskan langkah. Kar na tidak tahu arah
mana yang akan diambil. Akhir nya Mayor Polisi itu memutuskan
untuk kembali ke kendaraan yang mengangkut mereka tadi. Yang
parkir tak jauh dari rumah Maribun.
0odwo0
dihadapinya, sekarang sudah ada pula orang kurang ajar yang tidur
atau tewas di depan pintu pagarnya. Apakah orang punya maksud
tertentu terhadap dirinya?
Segala pikiran itu menjadi lebih menimbulkan rasa ngeri di dalam
hatinya, karena yang tergeletak itu bukan lain dari Pak Maribun
yang pergi tanpa pamit dan sangat misterius dari rumahnya
Mampunya mata Polisi yang sangat terlatih, Mayor Polisi Buang
juga segera melihat luka-luka di lehernya, la memperhatikan lebih
dekat dengan mempergunakan lampu senter, karena luka itu pasti
bukan bekas disembelih. Itu jelas bekas tusukan. Tusukan lazimnya
dilakukan di dada atau di rusuk. Kalau perut biasanya di dodet.
Ditusuk sebelah kanan lalu ditarik ke kiri. Karena bagian tubuh tidak
mengeluarkan darah, berarti tiada tusukan, maka Mayor Buang
memeriksa "tusukan-tusukan" di leher itu lebih teliti. Bukan tusukan
pisau. Di pipi juga ada luka-luka berupa garis berdarah yang juga
bukan bekas tarikan dengan pisau. Jalurnya lebih lebar dan bukan
hanya satu, tetapi ada dua paralel. Bahkan ada yang ketiga, tetapi
sudah mengenai kuping.
"Apakah mungkin?" terlempar pertanyaan di dalam hatinya.
"Apakah kalian pikir mungkin?" tanyanya pula kepada Pardede
yang ikut di dalam mobilnya.
"Apanya yang mungkin. Pak?" tanya Pardede.
"Dicekik harimau!"
"Harimau tidak biasa mencekik," sahut Pardede.
"Coba periksa ini baik-baik. Saya juga tadinya berpikir, harimau
tidak dapat mencekik!"
"Memang tidak Pak. Harimau hanya menerkam. Biasanya
menerkam kuduk. Yang dimakan duluan adalah isi perutnya! Orang
ini tidak dilukai atau digigit. Perut atau dadanya tidak dikoyakkoyak. Tapi benar, luka di leher dan goresan di pipi ini bukan bekas
pisau. Ini bekas kuku. Dan pasti kuku harimau Pak! Apakah harimau
yang kita ikuti jejaknya tadi?" tanya Pardede.
kepentingan
keamanan
dan
ketenangan
perjalanan dan ada pula yang menginap. Semalam atau lebih. Bisa
dipenginapan, mungkin pula di rumah kaum kerabat atau kenalan.
Tidak mudah mengecek siapa-siapa saja pendatang dari luar kota.
Yang dipenginapan mungkin masih dapat dilihat dari buku
pendaftaran tamu. Tetapi yang bermalam di sahabat atau keluarga
sangat ulit karena pada umumnya yang datang dan yang mtnarima
mereka tidak mematuhi ketentuan. Tidak melaporkannya kepada
ketua lingkungan setempat
Setelah agak lama, Mayor Buang teringat juga kepada Bujang
yang menemui dia dengan cara aneh di rumah Kapten Polisi Kahar
Nasution. Diakah? Tidak mungkin. Tetapi mengapa pula tidak
mungkin? Dia yang mengatakan tidak mungkin harimau piaraan
bersembunyi di rumah Kapten Kahar. Dia juga yang mengatakan,
bahwa pelapor bernama Maribun itu mungkin mendapat
pembalasan dari si harimau. Dia menganalisa lebih jauh harimau
yang menewaskan Maribun bukan harimau biasa. Dia tidak
mempergunakan taring-taringnya. Tetapi apakah betul ada harimau
yang punya silat sifat manusia? Tidakkah pembunuhan itu dilakukan
oleh seorang yang sangat lihay, yang mempergunakan sarung
tangan berkuku harimau di ujung jari Alat pembunuh yang begitu
dapat dibuat. Kalau itu yang sebenarnya terjadi, maka pembunuh
itu bukan sembarangan. la pasti punya pengalaman dan punya
perhitungan bagaimana melakukan pembunuhan dengan risiko
sekecil mungkin. Dengan alat itu ia sudah pasti dapat menyesatkan
pikiran si pelacak dan penyelidik. Pada saat itu Buang berpikir, tak
kan ada harimau yang punya sifat manusia. Harimau piaraan adalah
harimau biasa yang diperintah oleh Tuannya dan membunuh
sasaran yang dimaksud sang majikan, la akan membunuh dongan
terkaman, gigitan sekuat tenaga di kuduk sehingga tulang leher
patah dan kemudian mengoyak ngoyak tubuhnya dengan kukukukunya.
"Pawang tak dapat memanggil harimau yang membunuh Pak
Maribun?" tanya Mayor Polisi itu. Sang pawang menyatakan tidak
sanggup, karena ilmunya seperti sudah dikatakannya hanya untuk
memanggil harimau biasa yang berdosa. Telah mencuri ternak besar
saya
kenal
baik
dengan
dia.
Kapten.
Tetapi
barangkali
hanya
pembunuh
yang
cerdik
dan
DUAPULUH TUJUH
MAYOR Polisi Buang tak menyangka, bahwa Erwin yang
dikenalnya sebagai Bujang, berani memberi jawaban secara itu.
Orang yang kelihatan kampungan ini tidak penyegan atau penakut
tanya Pak
Mayor Buang.
Oleh Erwin dijawab, bahwa yang menceritakan adalah iblis yang
disuruhnya itu sendiri. Kalau iblis sudah mau disuruh mengatakan
yang benar, maka ia tidak akan berdusta.
Mendengar jawaban ini. Mayor Polisi Buang tidak lagi
meneruskan pertanyaan. Sudah jelas baginya, bahwa yang
mengobati Dinar tentulah bukan sekedar bawa bekal untuk
pengobat pening kepala. Sudah jelas Erwin yang dapat menyuruh
iblis bicara, seorang dukun yang punya ilmu tinggi. Hanya saja ia
punya sifat untuk selalu merendahkan diri. Inilah manusia yang
punya isi lain dari yang dikesankan oleh pembawaan dan
penampilannya. Tidak banyak seperti Erwin. Dan tidak banyak
manusia harimau. Apalagi yang sampai mengembara ke kota.
Biasanya lebih suka tinggal di kampung.
Setelah cukup lama bercerita. Pak Mayor bertanya kepada Erwin
apakah ia dapat menolong untuk melihat siapakah gerangan yang
punya harimau piaraan. Benarkah kakek atau salah seorang keluar
ga Dinar dan harimau piaraan itu yang membunuh Maribun ataukah
orang lain yang memusuhi Maribun dan membunuhnya melalui
harimau.
Erwin menolak dengan halus, bahwa ia tidak berani mencampuri
urusan itu, karena ia tidak punya ilmu sampai setinggi itu.
"Mungkinkah harimau itu mengambil korban lain?" tanya Mayor
Buang.
Erwin tidak mampu memberi jawaban, karena ia tidak tahu
apakah ada lagi orang lain yang diincar oleh harimau piaraan itu.
Dan yang diterkam oleh harimau piaraan hanyalah orang yang
memusuhi pemiliknya tanpa alasan.
Merasa kehabisan bahan untuk ditanyakan kepada Erwin, barulah
Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah adiknya
sudah sembuh. Bawahannya itu mengatakan bahwa ia semula
sudah kehilangan harapan, la bersyukur kepada Tuhan dan
berterima kasih kepada Erwin, karena Dinar sudah boleh dikatakan
kepergiannya dari sel tahanan tidak kelihatan dan sama sekali tidak
meninggalkan bekas.
Penasaran atas kegagalan melihat lawannya melalui air, karena
menghitam pekat, Raden Sulaiman sekali lagi mengambil air putih
dengan membaca jampi-jampi agar itu tidak dapat dirusak oleh
siapa pun. Air yang pertama tadi bukan dia sendiri yang mengambil.
"Mari," kata Raden Sulaiman kepada Mayor Polisi Buang,
"mudah-mudahan permainan orang itu tidak akan terulang lagi.
Bagaimanapun ia pasti mempunyai kepandaian yang lumayan.
Apakah Pak Mayor Buang mempunyai sangkaan terhadap seseorang
yang diperkirakan melawan kita. Kalau kita ketahui, siapa yang
melawan kita sekarang, maka kita pun akan tahu siapa atau
harimau siapa yang membunuh almarhum Maribun,"
Pak Mayor tidak langsung menjawab. Khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bergoyangnya
rumahnya tadi. Yang itu dapat dijinakkan oleh Raden Sulaiman,
tetapi air yang menghitam itu, bagaimana itu bisa terjadi?
Raden Sulaiman mulai membaca-baca lagi. Air itu tetap putih
tidak berubah warna, la mengeluarkan sebilah pisau lipat kecil,
mencelupkan matanya ke dalam air. Warnanya tidak berubah.
Setelah itu ia memasukkan batunya yang berwarna merah tadi. Air
tidak juga berubah, la mulai yakin, bahwa lawannya tidak kuat
melawan tenaga yang dimasukkan melalui pisau lipatnya tadi ke
dalam air.
Raden Sulaiman membaca-baca lagi.
la berbisik dengan penekanan di sana sini "Kata jin yang
kukatakan. Siapa atau apa pun engkau, engkau tak akan punya
daya merendahkan martabatku. Engkau hanya hambaku. Akulah
yang kau pertuan." la tunduk mengkhusukkan diri, memusatkan
segala kekuatan batin menentang lawannya. Setelah merasa cukup
ia mengangkatkan kepala untuk melihat keadaan lawannya. Di luar
dugaan air putih itu berubah warna lagi. Sekarang merah seperti
darah.
udara dan air pun sudah tercemar. Kota itu bukan tempat untuk
kita. Juga tidak untuk banyak manusia yang semula menyangka
akan menemukan syorga di sana. Bagi kita kota-kota kecil yang
tentram lebih baik," ujar Ki Ampuh.
"Mungkin betul begitu," kata Erwin menghentikan usaha
pengkhusukan diri dalam menghadapi lawannya. "Dari mana kau
tahu aku ada di sini?"
Harian di Padang memberitakan tentang makhluk ajaib dengan
perangai aneh. Mengembara dari Jawa ke Tapanuli, lalu ke Medan
dan Minangkabau. Punya sifat seperti harimau, tetapi sangat baik
budi. Berita lain menceritakan hilangnya dua penduduk sebuah
kampung di sekitar Bukittinggi seorang di antaranya Datuk yang
dituakan di kampungnya. Rentetan berita itu meyakinkan kami,
Sabrina dan aku, bahwa orang yang bisa berbudi baik seperti itu
hanya kau."
Erwin tidak memberi reaksi. Selama perjalanan ia tidak membaca
koran, tidak tahu, bahwa kegiatannya sudah membuat wartawan
bisa menarik hasil.
Ki Ampuh menceritakan lagi, bahwa setelah mendengar kejadiankejadian di Lubuklinggau, ia dan Sabrina yakin, bahwa Erwin dan
kedua pesilat dari Minang itu tentu masih ada di kota itu.
Mereka juga sudah mendengar tentang penyihir yang tewas
dibinasakan harimau secara aneh. Sabrina lantas berkata, bahwa
harimau aneh yang membinasakan lawannya dengan cara yang
tidak pernah mereka dengar itu tentulah Erwin.
Bagi Sabrina yang betul-betul termasuk wanita memenuhi segala
persyaratan untuk dikatakan cantik, pintu selalu terbuka. Itulah
salah satu keuntungan orang cakep yang tidak dimiliki oleh wanita
yang sedang-sedang saja. Walaupun sebagai imbangannya, wanita
cantik lebih disukai maut daripada wanita yang biasa-biasa saja.
Tidak sukar bagi Sabrina untuk bertemu dengan Mayor Polisi
Buang di kantornya. Bukan terutama karena kecantikan wajahnya,
melainkan budi bahasa yang baik dan keagungan yang dipancarkan
"Aku senang dengan kalimat Anda itu. Kita sudah tak mungkin
bersahabat. Aku datang untuk bertarung denganmu Raden. Kuharap
dapat mene-waskanmu yang tak berguna bagi masyarakat."
0odwo0
TIGAPULUH SATU
BERBEDA dengan Maribun yang muridnya. Raden Sulaiman
mempunyai ilmu untuk menghadapi harimau, yang belum
diturunkannya kepada Maribun. Oleh tenaganya inilah maka Erwin
merasa dirinya seperti dibanting-banting, ketika penyihir kawakan
itu membanting boneka kain yang telah diludahinya. Dengan
peludahan ia menanggalkan ilmu Erwin. Pembantingan dihentikan
karena kedatangan babi hutan yang diluar dugaannya. Jiwa Raden
Sulaiman tergetar, karena baru kali ini ia menghadapi babi yang
tampaknya bertekad untuk bertanding dengan dirinya. "Engkau
Raden Sulaiman," katanya kepada dirinya, "takkan engkau akan sudi
digertak atau ditundukkan oleh seekor siluman hina yang babi ini.
Kalau hanya babi biasa, dengan memandanginya saja ia akan
memperoleh kemenangan. Si babi takkan mampu menghadapinya.
Tetapi yang ini pasti bukan babi biasa, la tahu semua maksud dan
apa yang sedang dikerjakan oleh sang penyihir yang tak mau diajak
berkompromi itu. Belum pernah menghadapi babi siluman tidak
berarti ia pasti kalah, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat
meramalkan kesudahan dari suatu pertempuran.
"Mana rantai keramatmu?" tanya Raden Sulaiman, karena ia tahu
bahwa kekuatan babi siluman biasanya terletak pada rantai yang
selalu dibawanya ke mana-mana. Tanpa rantai, seekor babi hutan
yang bukan babi biasa tidak akan mempunyai tenaga gaib.
"Tertinggal di rumah," sahut Ki Ampuh. "Tetapi baiklah kukatakan
terus terang, bahwa aku tidak memerlukannya. Aku tidak
mengandalkan rantai yang hanya benda mati, kawan. Aku mau
mem-binasakanmu dalam suatu perkelahian yang spor-tip. Samasama bertangan kosong. Aku sekarang mengharapkan hujan dan
ingin berbuat
karena dia juga ingin mendengar suara dan kata-kata orang sangat
hebat itu. Kalau seorang pandai dapat membanting musuhnya dari
jauh yang hasilnya sama saja kalau dia membanting secara yang
biasa, tentunya orang itu hebat sekali.
Hujan hanya tinggal gerimis. Kedua Perwira itu berangkat
menuju rumah Raden Sulaiman dengan menumpang jeep yang
digunakan Pak Mayor.
"Hebat sekali kawan Pak Mayor itu," kata Kapten Kahar.
"Mengapa Erwin tadi tidak diajak, supaya minta damai dengan
orang yang sudah terang punya kepandaian jauh di atas dirinya?"
"Betul juga, aku tadi tidak ingat."
Setelah dekat dengan rumah Raden Sulaiman, terdengar suara
tangis seperti meratap. Tangis khas terhadap orang kesayangan
yang mendahului, meninggal. Di depan rumah ada beberapa orang
memandangi sesuatu yang belum jelas.
Jantung Mayor Buang berdebar. Siapa yang dapat kecelakaan?
Tak mungkin Raden Sulaiman. Mungkin anaknya atau salah seorang
anggota keluarga yang lain.
Tetapi setelah turun dari jeep dan mendekati orang-orang itu
jelaslah, bahwa yang mati bukan lain daripada Raden Sulaiman.
Mayatnya belum diangkat atas nasihat beberapa orang agar
diperiksa oleh Polisi lebih dulu. Kejadian ini mirip dengan apa yang
telah menimpa diri Maribun. Bedanya hanya yang memangsa. Kalau
Maribun dibunuh harimau dengan cekikan, maka yang gurunya ini
ditewaskan dengan serudukan taring. Jelas benar kelihatan. Ada
beberapa luka yang sampai mengoyak dagingnya. Di paha, di perut,
di rusuk. Juga di dada. Rupanya mereka bergelut. Yang paling aneh
adalah tusukan taring pada lehernya. Kuku harimau yang
menyebabkan kematian Maribun. Sekarang tampaknya taring yang
membawa maut bagi Raden Sulaiman. Melihat jejak-jejak yang
kelihatan jelas di tanah yang becek itu, lawan Raden Sulaiman
adalah seekor babi hutan. Kalau bertaring sekuat dan sepanjang itu
pastilah babi hutan yang sangat besar. Semua ini sedikit pun tidak
Lubuklinggau membawa lebih banyak bencana daripada kotakota besar yang sudah pernah dikunjungi. Dijahili, dikepung dengan
satu tujuan. Menangkap hidup atau menembak mati dirinya. Dia
mengobat hati dengan adanya beberapa orang yang dengan izin
Tuhan dapat disembuhkannya.
la meninggalkan kota Lubuk petaka itu ke Palembang. Tidak
seperjalanan dengan Sabrina dan Ki Ampuh, tetapi setujuan dan
sesuai mufakat. Yang ditinggal antara lain dua keluarga penyihir
yang berurai air mata dengan hati dendam, mayat sahabat
seperjalanan Sutan Mangkuto dan Dinar yang menanggung cinta tak
bersambut.
la bertanya-tanya pada dirinya apa lagi yang menanti dirinya.
Apakah ia akan mati oleh kepungan?
0odwo0
TIGAPULUH TIGA
SEBAGIAN perjalanan ke Palembang ditempuh Erwin dan Datuk
dengan jalan kaki. Bukan karena tiada biaya, tetapi untuk selalu
mendekatkan diri dengan alam. Selama perjalanan mereka makan di
warung-warung kecil. Beberapa kali bertemu dengan binatang
rimba, tetapi tak ada yang mengganggu. Ada induk harimau yang
menyeberang jalan dengan dua anaknya. Yang amat mengesankan
dan menyenangkan adalah melihat persahabatan antar hewan. Dua
ekor harimau dewasa jalan seiring dengan seekor gajah besar yang
taringnya sedikitnya sudah satu meter panjangnya. Ada gambargambar di dalam buku memperlihatkan pertarungan antara gajah
dengan harimau. Mati-matian. Masing-masing punya senjata ampuh
untuk menyerang dengan tujuan menewaskan mangsanya. Tetapi
sepasang harimau dan gajah besar mungkin gajah tunggal ini
jelas sangat bersahabat dan akrab. Mereka bukan sekedar berlainan
suku. Mereka berlainan jenis, tetapi bermukim di dalam satu
wawasan.
Persamaan tempat bisa juga membuat mereka bersahabat.
yang akan terjadi? Apa maksud kedua harimau itu? Segala sesuatu
berlangsung seperti mengikuti ketentuan. Barangkali memang ada
peraturan dan ketentuan di antara mereka.
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bergerak. Pun tidak ada
yang mengaum. Apakah mereka masih menantikan kedatangan
yang lain? Apakah ini akan merupakan pertemuan keluarga ataukah
pertemuan kelompok yang kalau diibaratkan manusia berlainan
suku? Erwin semakin tertarik. Setelah menanti agak lama, belukar
terkuak lagi dan seekor harimau lain langsung masuk lapangan.
Betina. Tidak ragu-ragu seperti harimau jantan yang kedua tadi.
Dari urutan kejadian, sebodoh-bodoh orang pun akan menarik
kesimpulan, bahwa kedatangan ketiga harimau ini di sana bukan
secara kebetulan. Cara dan gaya mereka itu tentu menurut
peraturan yang mereka mufakatkan dan setujui bersama.
Harimau betina kembali ke pinggir lapangan, duduk. Dua ekor
yang jantan berdiri pada jarak kira-kira sepuluh meter. Mereka
saling pandang, kemudian terjadilah peristiwa itu. Keduanya
bergerak saling menerkam, kemudian seperti menjadi satu, gigitmenggigit dan cakar mencakar. Tambah lama pertarungan itu kian
keras. Terdengar dengus dan geram mereka, sungguh sangat
mencekam. Tidak perlu disangsikan, bahwa mereka sedang duel,
sama halnya dengan dua manusia berkelahi mati-matian.
Pertarungan itu mengerikan sekali.
Apa fungsi harimau betina itu di sana? Tidak mudah
memastikannya, tetapi jikalau hanya diduga maka orang akan
menduga, bahwa mereka bertarung memperebutkan si harimau
betina. Kedua-duanya ingin memiliki. Tidak bisa kompromi untuk
jadi kawan bersama. Di antara hewan pun berlaku cinta yang tidak
dapat dibagi-bagi, kalau cinta itu mencapai taraf "dia hanya
untukku". Nyawa tantangannya kalau ada yang berani coba-coba.
Barangkali begitulah yang telah terjadi di antara ketiga harimau
itu. Boleh jadi yang betina tidak dapat menentukan pilihan. Dia
sayang kepada kedua-duanya, sementara dia tidak boleh untuk
kedua-duanya. Maka diambillah jalan yang adil. Bertempur. Sang
putri untuk yang menang. Seperti yang banyak kita baca di dalam
kisah-kisah kerajaan masa lalu. Untuk mendapatkan seorang wanita,
seringkali anak bangsawan yang penguasa, para peminat harus
membuktikan dirinya yang terkuat, tersakti.
Kedua raja telah sama-sama luka dan darah yang mengalir
membuat mereka tambah beringas. Kalau salah satu merasa kalah
dan mau melarikan diri, mungkin ia tidak akan dikejar oleh yang
menang. Ataukah akan terus diuber dan ditewaskan, supaya ia
jangan merupakan ancaman bagi kehidupannya pada masa-masa
seterusnya. Suatu jalan pikiran yang benar. Yang kalah pada hari itu
mungkin akan menyiapkan diri untuk revanch. Kalau sudah
ditewaskan, selesai.
Tetapi pergumulan yang sangat menegangkan itu perlahan-lahan
mengendur juga, sebab kedua-duanya kehilangan dan kehabisan
tenaga.
Si macan betina menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Mungkin
baginya tidak ada pilihan lain daripada menanti siapa yang menang,
kalau memang dirinya jadi rebutan. Sebab, pertarungan itu bisa
juga oleh sebab lain. Soal wilayah kekuasaan atau barangkali antar
suku.
Pada suatu saat pertarungan maut itu berhenti. Walaupun tidak
ada yang menghentikan, tidak seperti dua petinju atau pegulat di
atas ring. Kedua harimau itu berhenti karena sudah tidak punya
tenaga lagi. Hanya napas mereka yang kelihatan turun naik, yang
kemudian juga terhenti. Tiada lagi napas, karena nyawa telah keluar
dari tubuh mereka yang tadinya tegap kuat. Tiada yang menang.
Kedua-duanya kalah. Tewas.
Harimau betina itu bergerak perlahan-lahan, menciumi kedua
raja yang telah mati. Kemudian ia berlalu dengan langkah gontai.
Walaupun begitu tidak dapat dipastikan apakah kedua raja rimba itu
tewas memperebutkan dia atau ada sebab-sebab lain yang harus
diselesaikan dengan duel gaya manusia itu.
Erwin, Datuk dan Ki Ampuh meneruskan perjalanan.
terobati oleh dukun dan dokter mana pun. Setelah mendengar nama
besar Aini maka ia ke Palembang. Perempuan muda yang ternyata
sangat ramah itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan
wajahnya menunjukkan rasa simpati.
Aini menawarkan minuman dan makanan kecil kepada Sabrina
dan keduanya kelihatan menjadi akrab. Tetapi setelah Sabrina
selesai dengan cerita dan menjawab semua pertanyaan Aini, wanita
itu dengan lembut berkata, "Mestinya kita dapat jadi sahabat. Aku
senang dengan Anda."
"Itulah harapan saya," kata Sabrina.
Dengan senyum Aini berkata, "Sayang maksud kedatangan Anda
tidak sebersih itu. Tidak ada keluarga Anda yang sakit keras. Anda
sedang mempelajari diriku untuk kepentingan sahabat Anda yang
pernah Anda cintai. Tak tahu apakah terhadap dirinya harus
dikatakan seorang atau seekor manusia harimau. Bukan hanya dia
sendiri. Kalian bertiga, kalau yang seorang dari Minang itu tidak
masuk hitungan. Nasihati si manusia harimau supaya meninggalkan
kota ini. Yang dicarinya sudah tidak ada dan tidak akan ada. Aku
tidak menyukai permusuhan, kecuali kalau eksistensiku diancam,"
katanya. Ternyata ia seorang cukup terpelajar. Pandai
mempergunakan perkataan eksistensi. Kenyataan bahwa dia itu
ada.
Sabrina terdiam. Dia bukan tidak memperhitungkan kepandaian
semacam itu. Tetapi mengapa tidak sejak semula ia
memperlihatkan, bahwa ia tahu apa maksud kedatangan Sabrina. la
begitu ramah. Tidak kelihatan dibuat-buat. Aktingnya sempurna.
Hanya pemain watak dapat melakukan sebaik itu.
Sabrina tidak bereaksi. Dia malu. Bagi sementara orang, malu
lebih dari segala-galanya. Orang ekstrim akan berkata, lebih baik
mati daripada malu.
"Saya tahu Anda malu, Sabrina. Tetapi dengan tulus kuminta
supaya Anda buang malu itu. Aku bisa mengerti, kesetiaan
seseorang terhadap kawannya. Aku pun akan berbuat sama untuk
orang yang kucinta. Aku mencintai banyak orang Sabrina, yang satu
cinta benar, yang lainnya suatu keharusan guna memelihara diri.
Anda mengerti? Aku minta bantuanmu, mengatakan kepadanya
supaya membuang jauh dendamnya itu. Waktu itu aku hanya
menjalankan tugas sebagai dukun. Tidak menyelidiki siapa yang
akan dipasang. Anda masih suka mengisap darah bayi Sabrina?"
tanya Aini dengan suara bersahabat. Tiada nada menyindir atau
mengejek.
"Anda tahu itu?"
"Itu makanya kutanyakan. Itu bukan keinginan hatimu Sabrina.
Jadi tak perlu merasa malu atau rendah diri. Itu dorongan nafsu
yang menyimpang. Mungkin juga dorongan iblis yang kadangkala
masuk ke dalam tubuh manusia. Kekuatan iblis itu hebat. Bilamana
dia telah mendorong, seringkah manusia terjerumus. Memukul,
mencuri, menipu, membunuh. Anda dengar? Membunuh. Semua
manusia normal tak kan mau membunuh. Sebab berat risikonya.
Yang membunuh itu bukan manusia Sabrina. Itu iblis, syaitan.
Tangan manusia yang digunakannya untuk melaksanakan. Dan si
manusia yang bersalah itulah yang dihukum. Bukan si iblis. Dia
sudah keluar lagi setelah maksudnya tercapai. Jahat dan licik,
bukan?" kata Aini memberi kuliah.
Sabrina tak dapat lain daripada kagum atas kepintaran dan
kecerdasan wanita itu. Dan dia yang selalu dapat menghadapi
segala macam lawan, merasa ditundukkan. Dia ingin mengatakan,
bahwa perempuan itulah yang selalu dirasuk iblis, tetapi mulutnya
tak kuasa bicara. Bagaikan dikunci.
"Pulanglah, katakan kepada si manusia harimau. Yang sudah
terjadi, biarlah berlalu. Apa yang kukatakan itu semua benar, sama
benarnya dengan apa yang Anda pikirkan sekarang. Bahwa diriku
selalu dikuasai iblis. Aku tidak membantahnya."
Sabrina tidak kuasa membantah. Perempuan itu hanya
mengatakan yang benar. Kemudian ia merasa haus. Bukan haus
biasa, la ingin darah. Sudah lama dia tidak mendapat.
untuk itu.
"Jadi ada kemungkinan, Er?" tanya Ki Ampuh.
"Kalau ke luar hidup, kita coba menghadap. Yang satu ini
barangkali sanggup!" kata Erwin.
"Kalau begitu, kita harus mengalahkan mereka," kata Ki Ampuh
bersemangat. Sementara itu kepungan tampak semakin rapat,
meskipun masih tidak mungkin melakukan pertempuran bersosoh
dalam jarak sangat dekat. Melihat para pengepung itu rata-rata
bersenjata parang, lembing dan pentungan, sekali lagi Erwin
meminta Datuk untuk menghindar. Dia tidak akan diserang, karena
hanya dialah yang tampak sebagai manusia. Mereka akan
menganggap dia sebagai tameng si manusia harimau agar tidak
diserang. Setelah berdebat singkat dan Erwin mengatakan, bahwa ia
membutuhkan Datuk untuk masa mendatang, maka diaturlah siasat
bagaimana Datuk menghindar tanpa dapat serangan. Dan siasat itu
berhasil. Ketika si manusia harimau lengah. Datuk secara takuttakut melarikan diri. Nasib sangat baik baginya, di antara para
penge-pung ada yang meneriakkan "lekas, lekas" dan mereka
memberi selamat kepadanya, karena ia bisa meloloskan diri.
Ketika pasukan Polisi datang, kelihatan mereka membawa
senjata cukup lengkap kalau sekedar menangkap atau membunuh
satu manusia harimau. Mereka itu tentu tidak segan-segan
menembak, pikir Erwin dan Ki Ampuh. Bukan jarang terdengar
berita tentang anggota Polisi atau orang bersenjata lainnya yang
gatal tangan serta punya selera membunuh, mempergunakan
senjatanya sampai menewaskan orang lain, yang seharusnya tidak
sampai perlu. Ada kalanya yang roboh itu malah tidak punya dosa
sama sekali. Tidak punya hubungan dengan penyebab pencabutan
senjata api.
Setelah melihat Datuk selamat, Erwin merasa lebih leluasa. Satu
kekhawatiran telah tiada. Para pengepung kian dekat. Aini yang jadi
penyebab terjadinya bencana ini turut melihat, bahkan mengatur
dari jarak yang agak jauh bersama kekasihnya Cek Kassim. Tetapi
bukan hanya dia wanita yang berperan. Dari suatu rumah turut