Anda di halaman 1dari 251

Seri Manusia Harimau

Karya : S.B CHANDRA

EBook: Dewi KZ
Tiraikasih website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusianfo/
http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/
Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website

Dilahirkan di Mandailing, Tapanuli Selatan dan keluarga perantau


dan petualang. S.B.CHANDRA pernah berpetualang ke pedalaman
Malaysia, Aceh, Tapanuli, Sumatra Timur. Jambi dan mengikuti ilmu
mistik pada guru-guru amat terkenal seperti Inyiek Angku, Inyiek
Gadang, Baginda Samadun dan lain-lain. Telah pernah bekerja pada
beberapa harian dan menulis sejumlah buku, antara lain yang akan
terbit adalah:
* MANUSIA HARIMAU.
* MANUSIA HARIMAU MERANTAU LAGI

* MANUSIA HARIMAU MARAH.


* PETUALANGAN SI MANUSIA HARIMAU BAGIAN I & II.
* KUCING SURUHAN BAGIAN I & II.
* MANUSIA

HARIMAU

JATUH

CINTA BAGIAN I & II.

* MEMBURU SI MANUSIA HARIMAU.

SATU
KISAH YANG LALU:
Untuk membantu pembaca yang belum mengikuti kisah-kisah
Manusia Harimau yang telah dimuat berturut-turut dalam majalah
"Senang", kami muat keringkasan dari cerita "AKHIRNYA SI
MANUSIA HARIMAU JATUH CINTA" yang berakhir didalam "Senang"
no. 646 penerbitan 9 September yang lalu.
MANUSIA HARIMAU yang diceritakan sebagai pemegang peran
utama, berdasarkan kenyataan yang masih ada di Mandailing
Tapanuli Selatan adalah seorang anak muda usia sekitar tigapuluhan
yang bernama Erwin. Ayahnya, Dja Lubuk dan kakek (ompung kata
orang Tapanuli) telah lama meninggal. Namun begitu dalam
keadaan Erwin sangat memerlukan, salah seorang daripadanya,
kadang-kadang berdua bangkit dari kuburan mereka dan datang
memberi pertolongan. Hanya sesekali Dja Lubuk atau Raja Tigor
(ompung Erwin) tidak' mau datang, walaupun Erwin sangat
membutuhkan. Itu pernah terjadi ketika Erwin jatuh cinta pada
Safinah, adik Teuku Samalanga asal dari Aceh, seorang dukun
kenamaan di kota Palembang yang pernah dibantu oleh Erwin dalam
menyembuhkan seorang pasiennya, perawan Tionghoa bernama
Mei Lan. Erwin juga pernah menyelamatkannya ketika ia jatuh cinta
pada seorang perempuan sangat cantik yang punya kewajiban
untuk menyerahkan tiap suaminya kepada seekor ular raksasa,
setelah dua-puluh satu hari dinikmatinya, karena ular itulah yang

memberi rupa cantik kepadanya. Teuku Samalanga sangat sayang


kepada Erwin, yang diketahuinya mempunyai ilmu jauh di atas
dirinya, tetapi adiknya Safinah sama sekali tidak mencintai diri Erwin
yang diam-diam sudah sangat tergila gila kepadanya.
Manusia harimau itu kadang-kadang bertanya pada dirinya
apakah ini suatu hukum karma atas dirinya yang selalu menolak
cinta wanita yang sepenuh hati ingin jadi istrinya, walaupun sudah
mengetahui dan melihat bahwa ia pada waktu-waktu tertentu
berubah jadi harimau. Namun dalam perubahannya itu, hatinya
tetap lembut seperti biasa. Lain halnya kalau ia disakiti, maka dalam
wujudnya yang berubah, perangai dan hatinya pun berubah pula.
Oleh patah hati dan ingin menambah ilmu, karena merasa masih
ada kekurangan pada dirinya, Erwin mengembara ke Mandailing
lagi. Tak jauh dari Muara Sipongi ia menemukan guru, Tuan Syekh
Ibrahim Bantani yang memiliki seekor harimau loreng dan seekor
harimau kumbang yang dapat bekerja seperti manusia, memelihara
sebuah taman yang letaknya tak sangat jauh dari jalan raya, tetapi
hanya bisa dilihat oleh mereka yang direstui Tuan Syekh untuk
melihatnya. Di sana Erwin diuji lagi, sehingga ia mendapat ilmu-ilmu
baru.
Mei Lan dan Hasanah yang ditinggalkannya diam-diam di Lahat
dan Palembang, bersama ayah masing-masing mencari dia sampai
ke Mandailing, akhirnya sampai ke Medan. Kedua wanita itu
dibohongi oleh si manusia harimau dalam usahanya melepaskan diri
dari mereka. Di Medan si manusia harimau masih menyelamatkan
nyawa seorang bangsawan kaya, Teuku Halimah dari kematian oleh
perbuatan zalim seorang dukun yang akhirnya terpaksa dibunuh
mati oleh Erwin.
Ketika Erwin sampai di Palembang dan berkunjung ke rumah
Teuku Samalanga, yang dilihatnya dalam keadaan sedang berpesta,
ia menduga, bahwa sahabatnya itu akan menikah. Mereka
berpelukan mesra karena sama-sama gembira. Pada waktu itulah
Erwin mengetahui, bahwa yang akan kawin bukan sahabatnya,
tetapi Safinah yang dicintainya dalam berdiam diri. Ketika Teuku

masuk untuk memanggil adiknya, si Erwin Manusia Harimau pergi,


manibawa nasibnya, sampai ia tak kuat lagi berjalan dan masuk ke
dalam semak-semak di pinggir jalan.
0odwo0
TAK tahu berapa lama ia di sana dalam keadaan setengah sadar,
tanpa punya kekuatan untuk berdiri, walaupun dia makhluk
bernama manusia harimau yang dalam keadaan waiar sangat
perkasa.
Dalam hati ia masih memanggil-manggil ayahnya Dja Lubuk,
ompungnya Raja Tigor dan sahabat ayahnya Datuk nan Kuniang di
kuburan Kebayoran Lama. Dia hanya sanggup menyebut namanama mereka di dalam hati, karena ia sudah tak kuasa bicara.
Tetapi ia sadar, apa yang membuat dia sampai membawa diri
dengan berjalan kaki ke daerah Jambi. Tanpa mengetahui apa yang
akan dilakukannya di sana.
Kemudian ia tertidur di bawah guyuran hujan lebat yang
membuat ia basah kuyup. Untunglah hujan itu hanya sebentar, la
tertidur terus sampai parak siang dan subuh yang kemudian disusul
oleh warna agak merah diufuk timur, tanda sang surya akan
menerangi alam di belahan bumi yang telah meninggalkan malam.
Ketika ia bangun dengan perut lapar dan coba mengingat-ingat
apa yang telah terjadi ia merasakan ada dengusan napas tak jauh
dan kepalanya. Diangkatnya mata ke atas, dua harimau telah duduk
di sana. Entah sudah berapa lama. la segera menandai bahwa
kedua macan ini adalah piaraan Teuku Samalanga yang pernah
berhadapan dengannya di hutan tak jauh dari Muara Bungo, ketika
ia bersama orang Aceh itu hendak melihat jenazah Menora, adik
kandung Teuku dan Safinah yang bunuh diri setelah digagahi oleh
Mohamad Husni, orang kaya yang menantu dukun Abduh di Lahat.
Husni telah ditewaskan oleh kedua harimau, milik Teuku Samalanga.
Harimau itu memandang ramah pada Erwin. Dan Erwin yang
pada saat itu tidak punya daya apa pun hanya berserah. Kalau

kedua harimau itu berniat jahat atas dirinya mereka dengan mudah
dapat melakukannya, karena Erwin tidak memiliki ilmu dan kekuatan
seperti kalau dirinya normal. Tetapi kedua harimau itu menjilati
muka dan tangannya dengan lidah mereka yang panas. Kemudian
pakaiannya. la rasa dirinya dibalikkan, karena mereka tak bisa bicara
untuk menyuruh dia membalik. Seluruh pakaiannya yang basah pun
dijilati. Entah dari mana datangnya tetapi setelah ia sadar, dilihatnya
Ada buah pisang yang banyaknya tidak kepalang tanggung. Satu
tandan. Juga ada buah rambutan yang diketahuinya memang
sedang musim. Kedua harimau itukah membawanya? Mungkin,
tetapi mungkin juga Tuan Syekh Ibrahim Bantani yang kemudian
berdiri di sisi Erwin. Dengan janggutnya yang putih dan pandangan
penuh wibawa. Tuan Syekh kah yang membawa buah-buahan itu?
Perutnya yang lapar membuat dia tidak lagi bertanya, tetapi
langsung memakan apa yang ada. Pisang raja masak di pohon itu
menghilangkan rasa lapar. Dia tahu, pisang raja enak untuk
sarapan. Haus dilepaskannya dengan rambutan berkualitas yang
mudah, ditanggalkan dari bijinya dan punya banyak air.
Sesudah itu baru Erwin menyusun jari dan berkata: "Guru. Akan
tamatkah riwayatku?"
Guru yang berasal dari Banten dan meninggal di Muara Sipongi,
Mandailing, meletakkan ujung tongkatnya di atas rusuk Erwin yang
masih belum bangkit. Kini manusia harimau itu duduk, mencium
lutut Tuan Syekh Ibrahim.
"Enak saja kau! Terlalu mudah hidup ini bagiku, kalau sampai di
sini riwayatmu tamat. Kau telah mengalami banyak musibah,
mengalami banyak bencana fisik dan batin, tetapi apa yang kau
rasakan hari ini barulah awal pula dari rentetan nasib yang telah
menantikan dirimu. Kau kehilangan orang yang kau cintai, wajar.
Karena ia tidak mencintai dirimu. Dan kau terlalu mementingkan
harga diri, suatu tanda bahwa kau memang berhak untuk hidup
lebih lama di dunia ini. Kau masih menghendaki dirinya. Sebelum dia
kawin telah kutawarkan kepadamu kekuatan untuk membuat dia
cinta padamu. Tetapi kau menolak, karena kau tak mau cinta hasil

tenngn lain. Kau ingat?" tanya Tuan Syekh. Erwin mengangguk.


"Kau masih cinta padanya?"
Dan si manusia harimau mengangguk lagi.
"Mencintai wanita yang sudah selama tiga malam jadi istri syah
suaminya?"
Erwin menganguk lagi.
"Kalau begitu kau mulai kehilangan harga diri. Kau mau
merebutnya dari tangen suaminya? Kalau mau, kuberi kau
kekuatan, tetapi antara kau dan aku tidak ada hubungan lagi.
Terserah padamu!"
Erwin diam. Dia disuruh memilih. Dia merasa masih mencintai
Safinah yang sudah jadi Nyonya Daud Ali, juga asal dari Aceh. la
dan Safinah sudah berkenalan sejak masih duduk di sekolah
menengah dulu.
"Aku masih mencintainya guru, tetapi aku akan berusaha
melupakannya, karena ia sudah jadi istri orang lain!"
"Bagus. Kau harus berhasil. Kalau gagal, ada bencana
menantikan dirimu. Berat kau menghadapinya. Aku doakan supaya
kau berhasil. Dalam hal itu aku hanya bisa mendoakan karena kau
yang punya diri, kau yang punya hati dan kau pula yang punya
masalah."
"Aku akan berhasil Guru!"
"Semoga. Aku pun tidak tahu. Kalau godaan atau dendam lebih
kuat dari imanmu, kau akan gagal. Nah, sudah. Aku akan kembali."
"Tuan Syekh, boleh aku menitip salam untuk kedua pengurus
istana Guru?"
"Mereka turut kemari, ingin bertemu denganmu yang mereka
nilai sangat baik budi," kata Tuan Guru yang sebenarnya telah
dikebumikan itu. Dan seekor harimau loreng besar serta harimau
hitam pekat m segera pula berada di dekat Erwin. Empat harimaui

dengan seorang guru merupakan suatu kumpulan yang cukup


meriah. Erwin memperoleh semangat hidupnya kembali.
"Bangkitlah Erwin, kau akan sampai di Jambi dalam tempo
menghabiskan sepiring nasi. Hematkan uangmu. Beli di sana
sepesalinan. Kau memerlukannya," kata Tuan Guru. Tak lama
kemudian dia raib bersama dua harimau setianya. Yang piaraan
Teuku Samalanga masih menunggui Erwin sebentar, sampai ia
berdiri. Dielusnya kepala kedua harimau yang sudah jadi sahabatnya
itu. Dan kedua binatang liar yang sudah jinak pada manusia
harimau itu menjilati tangannya, mengakui kebesarannya di atas diri
mereka. Setelah itu Erwin mulai berjalan, tetapi suatu kantuk tibatiba menyerang, tak terlawan. Ketika ia terbangun, dan waktu
tertidur dan terbangun itu lamanya memang hanya sepanjang
waktu menghabiskan sepiring nasi, ia telah berada di pinggiran kota
Jambi.
Seorang gadis kecil tak dikenal, menegurnya:
"Bang Erwin, ayahku menyuruh aku membawa abang ke rumah!"
Manusia harimau itu heran mendengar, karena sepanjang tahunya
ia tidak punya siapa-siapa di Jambi.
"Tetapi siapa kau gadis kecil? Siapa namamu?" tanya Erwin yang
terbengong-bengong mengetahui tadi dirinya sudah di pinggiran
Jambi dan kini ada pula seorang anak tak dikenal mengajaknya ke
rumah. Kota apakah ini?
"Abang lupa padaku?" tanya bocah yang mengaku bernama
Yatun.
Walaupun merasa ragu-ragu, tetapi si manusia harimau menurut,
la sadarkan diri sejak ia terbebas dari kantuk tadi. Bahwa ia Erwin,
anak Dja Lubuk, yang baru melarikan diri dari Palembang karena
gadis yang dicintainya kawin dengan laki-laki lain.
Gadis kecil itu selama perjalanan memegangi tangan Erwin,
seakan-akan takut orang muda itu melarikan diri, sehingga masuk
sebuah pekarangan yang ditanami banyak pohon buah-buahan, di
antaranya pisang dan rambutan yang sedang berbuah. Persis

seperti yang dimakannya pagi itu. Di tengah-tengah kebun ada


sebuah rumah, model lama, seperti yang masih banyak terdapat di
daerah Jambi.
"Naiklah," kata Yatun kepada tamunya. Dan Erwin menurut.
Hanya didalam hati ia bertanya siapa gerangan yang meminta dia
datang. Orang itu mestinya mengenal dia. Tetapi bagaimana pula
orang ini tahu bahwa dia akan masuk ke kota itu, walaupun
sekiranya mengenal dia.
Setelah duduk di ruang tengah, seorang wanita setengah baya
menyugukan secangkir kopi kepadanya. Juga secangkir gula pasir
dengan kata-kata:
"Belum diberi gula, karena saya tak tahu takarannya." la masuk
lagi dan tak lama kemudian ke luar dengan sepiring ketan dan
sepinggan kecil kelapa yang telah diparut.
Aneh di rumah orang yang kelihatan kampungan ini, pikir Erwin.
Memberi kopi tanpa dibubuhi nula dulu. Seperti yang pernah
dialaminya ketika ia menginap di hotel mewah di Medan.
Karena Erwin tidak juga memulai minum atau mencoba ketan
yang dihidangkan, maka perempuan tadi yang rupanya mengetahui
ke luar lagi dan mempersilakan ia minum. Katanya: "Bukan kah
sejak kemarin nak Erwin tak makan dan pagi tadi hanya makan
pisang dan rambutan. Belum minum Apakah nak Erwin lebih suka
teh panas?"
Erwin kian heran, tetapi tanpa tanya mulai minum kopi yang
belum diberi gula. "Tak suka gula " tanya perempuan itu. Barulah
Erwin sadar, bahwa perempuan itu mengetahui semua, sampai
sampai bahwa ia sejak tadi belum menaruh gula di dalam kopi.
"Suka,"
jawab
Erwin
sambil
memasukkannya ke dalam kopi.

menyendok

gula

dan

"Ketannya," wanita itu menawarkan. Dan Erwin mengambil dua


sendok, diletakkan di piring kecil kosong yang tersedia.
"Suka dengan srikaya?" tanya wanita yang lalu masuk lagi ke

dalam dan kemudian meletakkan se piring srikaya, yang biasa


dipakai kedai-kedai kopi kota itu pada roti panggang.
Agak lama kemudian baru datang seorang laki-laki, sudah agak
tua. Bercelana komprang hitam dengan kaos oblong putih. Serba
bersih, rupanya dia bersalin pakaian dulu.
"Apa kabar nak Erwin? Boleh kupanggil anak?" tanya laki-laki itu,
yang tidak memperkenalkan diri lebih dulu.
"Silakan Pak," dan setelah diam sejurus barulah Erwin bertanya,
siapakah bapak yang berilmu sangat tinggi itu.
"Aku tidak punya ilmu tinggi. Nak."
"Mustahil. Bapak mengetahui namaku dan tahu aku akan datang.
Malah menyuruh Yatun menjemput aku. Aku berbahagia sekali
berkenalan dengan Bapak. Aku yakin akan dapat menambah ilmu
yang sekedar sekuku ini dari Bapak. Aku baru ditimpa musibah,"
kata Erwin tanpa ditanya.
"Itu bukan musibah. Itu suatu cobaan. Kau tidak mendapatkan
Safinah! karena kalian berdua bukan jodoh. Dan kau sudah diuji lagi
dengan cobaan lain!" kata laki-laki yang mengatakan dirinya
bernama Teuku Abidin, paman Teuku Samalanga.
Mendengar siapa orang itu, tidak heranlah Erwin mengapa ia
dapat melakukan apa yang semula terasa sangat aneh baginya.
Erwin bertanya apakah cobaan lain yang sedang diujikan atas
dirinya itu.
"Sudah berlalu dan sudah selesai. Lebih baik kalau tidak
diceritakan," kata Teuku Abidin. Tetapi Erwin menunjukkan rasa
tidak puas, karena Teuku juga tadi yang menyebut-nyebut ujian
baru yang sedang menimpa dirinya.
Maka diceritakanlah oleh Teuku Abidin, bahwa pagi itu suami
Safinah telah tiada lagi. Erwin mendengar dan memandang heran.
Tak mengerti.
"la telah dibunuh kemenakanku, Teuku Samalanga yang sangat

sayang padamu, la telah melakukannya karena tak mampu


mengendalikan diri," kata Teuku Abidin.
0odwo0
DUA
ERWIN tidak percaya pada telinganya. Mustahil. Cukup lama dia
diam terperangah oleh keterangan Teuku Abidin. Sahabatnya,
Teuku Sama-langa jadi pembunuh? Dan yang dibunuh adik iparnya
sendiri yang baru tiga hari nikah dengan adik kandungnya, satusatunya saudara yang tinggal setelah Menora mati bunuh diri!
"Sukar diterima akal, orang muda?" tanya Teuku Abidin.
"Bukan sukar, tak masuk akal, Pak!"
"Di dunia ini selalu terjadi hal yang tidak masuk akal. Bagi orang
sepintar anak, bukanlah sesuatu yang mengherankan mestinya. Atas
dirimu sendiri terjadi berbagai hal yang mestinya tidak terjadi
karena tidak masuk akal."
Erwin mengingat masa lampaunya." Memang banyak terjadi
kenyataan yang sebenarnya tidak masuk akal.
"Tetapi apa sebabnya. Pak?"
"Karena bagi kami, hutang nyawa bayar nyawa. Dan hutang itu
harus dibayarnya kepada yang berhak menerimanya!"
Erwin semakin tidak mengerti. Teuku Abidin paham, bahwa dia
harus memberi penjelasan.
"Kau benar-benar mau tahu?" tanya orang tua itu.
"Tentu, karena Teuku sahabatku. Lebih dari itu, ia saudaraku!"
"Dan kau cinta pada adiknya. Safinah!" Erwin tunduk. Bukan
malu, sedih, karena wanita itu tidak menghendaki dirinya.
Kau benar-benar sanggup mendengarnya?"
Erwin hanya memandang. Tak mengerti, mengapa pula Teuku

Abidin mengajukan pertanyaan begitu


"Daud Ali telah membunuh istrinya. Dia harus membayar untuk
itu!"
"Siapa Daud Ali?"
"Suami Safinah!"
"Tidak," jerit Erwin tak kuat menguasai diri. Dan ia menangis
seperti anak kecil. Tidak berusaha menekan tangis itu.
Kisah ini lebih buruk dari mimpi terburuk. Menyebabkan seorang
manusia harimau pun seperti tak punya daya dan kekuatan. Seperti
tidak punya iman sama sekali, padahal sudah dipesankan oleh Tuan
Syekh Ibrahim Bantani, bahwa masih banyak lagi kenyataankenyataan menyedihkan menghadang dirinya. Inilah salah satu
daripadanya. Tetapi mengapa sampai terjadi bunuh membunuh.
Baginya, lebih baik Safinah hidup bersama laki-laki lain dan dia
berputih mata, daripada wanita tercintanya itu harus berputih
tulang.
Daud Ali itu memang sangat pantas dibunuh. Kalau dia punya
dua nyawa, kedua dua nyawanya harus dicabut," kata Teuku Abidin
yang rupanya sangat setuju dengan pembunuhan atas diri laki-laki
yang tadinya jalan menantu bagi dirinya, karena Teuku Samalanga
kemenakannya.
Setelah agak reda, Erwin bertanya mengapa sampai terjadi
pembunuhan ganda itu. Dan Teuku Abidin menceritakan, bahwa
kisah itu didengarnya dari Yatun, anak kecil yang menegur dan
membawa Erwin ke rumah itu. la semakin heran. Yatun, anak kecil
itu yang membawa berita. Menurut Teuku Abidin pembunuhan itu
terjadi menjelang subuh. Bagaimana pula Yatun datang dari
Palembang membawa berita ke Jambi.
"Yatun penghubungku dengan kemenakanku!" mengertilah
Erwin, bahwa gadis kecil itu sebenarnya makhluk halus suruhan.
Dengan setenang mungkin Teuku Abadi n menceritakan, bahwa
drama itu dimulai hanya sehari sejak Safinah dan Daud Ali

melangsungkan pernikahan. Dari orang-orang bermulut usil Daud


mendengar, bahwa Safinah sebenarnya diwaktu yang akhir telah
menjalin hubungan dengan seorang muda amat pintar bernama
Erwin. la tak punya apa-apa, tetapi memiliki kepandaian dukun lalu
ditampung oleh Teuku Samalanga karena kasihan kepadanya. Ada
kabar, bahwa kemudian Erwin mempunyai banyak uang dari hasil
mengobati seorang perawan keturunan Tionghoa bernama Mei Lan.
Bukan hanya itu. Ketika Erwin pergi dari rumah Teuku Samalanga
setelah bercintaan dengan Safinah, anak perempuan yang telah
diobatinya itu tergila gila kepadanya dan mencari dia sampai ke
Tapanuli dan Medan, kemudian dibawanya kembali ku Palembang.
Cerita ini membakar hati Daud Ali ia bertanya kepada Teuku
Samalanga yang menegaskan kepadanya bahwa kalau ada cerita
begitu pasti datangnya dari orang yang iri hati kepadanya.
Diceritakannya bahwa Erwin seorang laki-laki yang sangat sopan
dan tinggi ilmunya. Rendah hati dan tak pernah menyusahkan siapa
pun. Buat sementara ia menerima apa yang dikatakan oleh Teuku
Samalanga.
Tetapi dia tidak hanya percaya kepada keterangan Iparnya
Tiupan dari orang-orang luar juga diterimanya. Apalagi setelah
diketahuinya memang suatu kenyataan Mei Lan jatuh cinta kepada
Erwin sampai mencari-cari dia ke Penyabungan dan Medan. Erwin
mempunyai guna-guna yang amat kuat untuk memikat dan
menundukkan wanita.
Pada malam kedua Daud Ali bertanya kepada Safinah, siapakah
yang bernama Erwin? Oleh istrinya diceritakan apa adanya. Persis
seperti yang diceritakan oleh abangnya.
"Kau suka padanya ya?" tanya Daud.
"Suka, dia baik dan banyak menolong abangku!" jawab Safinah.
Jawaban ini membuat darahnya mendidih. Suka padanya
diartikannya seperti menyenangi atau mencintai.
"Kau telah pernah berbuat dengan dia, ya?"

Safinah tersentak, karena tidak menyangka akan keluar


pertanyaan seperti itu. Dia tahu maksud suaminya. Dia dituduh
telah berbuat serong dengan Erwin miskin yang tidak punya dosa
itu. Namun begitu, ia kendalikan dirinya sambil bertanya apakah
maksud Daud dengan "telah berbuat" itu.
"Jangan berpura-pura, kau tahu maksudku, la dukun dan dia
telah membuat kau jatuh cinta kepadanya!"
"Abang menuduh aku! Jahat, kejam, busuk! Dia orang baik,
sangat baik. Aku memandangnya sebagai saudara sendiri dan begitu
pula dia terhadap diriku! Jangan abang punya pikiran kotor," dan
karena sakit hati dia meneruskan: "Mungkin dia jauh lebih baik dan
mulia dari abang. Walaupun dia hanya seorang miskin yang tidak
punya apa-apa!" Setelah itu Safinah keluar kamar, mengunci diri di
dalam kamar lain. Daud membiarkan. Dia menyangka, bahwa itu
hanya suatu cara untuk menutupi dosa. Banyak orang pandai
berbuat begitu. Dia juga pandai.
Keesokan harinya Safinah tidak bicara apa pun. Tidak dengan
Daud, juga tidak dengan abangnya. Hatinya sakit. Dia tahu, bahwa
suami kurang ajarnya itu tetap mencurigai dia. Kalau dia merasa
menyesal akan kata-katanya, tentu ia minta maaf.
"Mukamu kusut tampaknya Saf." kata Teuku Samalanga. "Ada
apa?"
Safinah tak kuat menahan airmata. Lalu diceritakannya tuduhan
Daud Ali. Sakit hati Teuku Samalanga mendengar penghinaan kotor
itu, tetapi suatu kekuatan membuat dia sanggup bersabar dan
membujuk adiknya. "Sudahlah, dia emosi oleh hasutan orang-orang
yang membenci diriku. Kau yang dijadikan korban. Nanti dia akan
sadar, bahwa dia sangat keliru dan meminta maaf padamu!" kata
nya.
Malam itu, atas anjuran dan bujukan abangnya. Safinah kembali
tidur bersama Daud Ali. Tetapi orang ini rupanya tetap terbakar di
dalam hati. la masih saja percaya akan hasutan yang sampai ke
telinganya, la tidak dapat tidur, begitu pula Safinah.

Juga Teuku Samalanga tidak dapat memeramkan mata di


kamarnya. Hatinya merasa tidak enak saja.
Menjelang subuh terdengar suatu jeritan dari kamar Safinah
Teuku terkejut, bangkit. Jerit itu hanya sekali lalu senyap. Jantung
Teuku berdebar keras ia mendatangi kamar adiknya, memanggilmanggil nama Safinah. Tiada jawaban. Dipanggilnya Daud, tiada
sahutan. Kecurigaan Teuku semakin besar, ditendangnya pintu
sehingga terbuka.
Teuku terpekik, melihat tubuh adiknya bersimbah darah di
tempat tidur.
Daud bersiap dengan pisau yang digunakannya untuk membunuh
istrinya itu, sementara Teuku yang mendobrak kamar dalam
keadaan siap atas segala kemungkinan pun tak ayal lagi mencabut
rencong yang sudah terselip di pinggangnya.
"Dia perempuan jahanam. Menipu aku. Kau juga tahu dia menipu
aku," kata Daud. Kedua laki-laki yang sama-sama dari Aceh itu
berhadapan. Sudah tahu apa yang akan dilakukan. Karena keduaduanya merasa kehormatan dirinya ditabrak. Satu di antara mereka
harus mati dan sama-sama menebus dengan nyawa.
Ternyata Teuku bukan lawan bagi Daud, yang memang
keturunan Aceh, tetapi tanpa isi khusus didalam dadanya. Lain
halnya dengan Teuku yang sangat marah sehingga menjadi ganas
dengan ilmu segunung di dalam dirinya.
Beberapa tikaman Daud mudah dielakkannya. Kemudian ujung
rencongnya menembus dada Daud di sebelah kiri, tepat merobek
jantungnya, la jatuh terjangkang. Teuku masih menikamnya
beberapa kali lagi, walaupun tusukan pertama tadi sudah
mengantarkan Daud ke alam lain. Dari mana ia tidak pernah akan
bisa kembali lagi.
Setelah itu ia memeluk adiknya yang telah tak bernyawa.
Meskipun biasanya punya iman teguh, menghadapi saudara tunggal
yang direnggut paksa nyawanya itu Teuku Samalanga menangis,
hampir meraung-raung. Sama halnya dengan Erwin di Jambi ketika

mendengar bahwa Safinah sudah tidak ada lagi.


"Mestinya kau membunuh binatang itu Dik, karena dialah yang
mestinya mati. Kini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kau
tinggalkan aku jadi sebatang kara," kata Teuku Samalanga dalam
tangisnya, la bagaikan anak kecil. Apa yang terasa, dikeluarkannya.
Tak disadarinya dua orang pembantu telah berdiri di belakangnya,
ikut menangis seperti kehilangan saudara sendiri. Karena mereka
sangat sayang kepada Safinah, yang tak pernah memperlakukan
mereka sebagai orang yang digaji. Mereka tidak tahu, mengapa
sampai ada dua mayat terbujur di sana. Siapa membunuh Safinah
dan siapa yang membunuh Daud Ali. Mereka sangat terkejut dan
sedih, karena keluarga Teuku terkenal sebagai tetangga yang baik
dan ramah. Mereka juga tahu bahwa dia seorang berpengetahuan,
tetapi tidak pernah mau menyalahgunakan ilmunya, la malah
dipandang sebagai orang alim yang tidak pernah meninggalkan
perintah agamanya.
Menjelang pagi orang tambah banyak. Polisi pun sudah datang.
Mereka sangat terperanjat dan tak mengerti bagaimana duduk
persoalan. Mereka ajukan pertanyaan kepada Teuku yang sudah
reda, tetapi ia tidak memberi jawaban. Tak kuasa atau tak mau.
Masih terlintas di dalam benak Polisi apakah suami istri itu
bersepakat untuk mati bersama. Kalau tidak begitu halnya, pasti ada
orang lain yang membunuh mereka. Orang lain itu mungkin pencuri,
mungkin orang yang berdendam. Belum terpikir bahwa Teuku
Samalanga tersangkut dalam drama itu.
Ketika akhirnya Polisi bertanya kepada Teuku apakah ia mau
turut ke kantor untuk membantu Polisi dalam melacak pembunuh
yang merenggut dua nyawa itu, ia hanya mengangguk. Tetapi baru
beberapa langkah berjalan ia telah kembali ke jenazah adiknya,
memeluk dan menciuminya, la menangis lagi tersedu-sedu, tanpa
mengeluarkan kata.
Komandan Polisi yang bijaksana tidak langsung mengajukan
pertanyaan kepada Teuku. la tahu bahwa orang yang baru
kehilangan adik itu tentu sangat sedih dan panik. Perlu waktu untuk

tenang kembali.
Kepada Teuku disuguhkan minum. Komandan, seorang Kapten
Polisi yang memeluk agama Hindu, I Made Dirganta, memberinya
petuah. Bahwa tunangan hidup adalah kematian dan tidak seorang
pun dapat mengelakkan diri daripadanya. Bahwa yang mati
sebenarnya hanya jasad, sedangkan roh akan menempati dunianya
yang baru. Bagi yang baik telah tersedia nirwana. Pada suatu hari
semua roh akan bertemu kembali. Perceraian oleh kemati an hanya
perpisahan sementara antara orang yang ingin duluan pergi dan
orang tersayang yang ditinggalkan.
Tak kurang dari enam jam kemudian baru Teuku Samalanga
diminta keterangan, la berterus terang, bahwa ialah yang
membunuh iparnya Daud Ali, karena ia membunuh adiknya Safinah,
la tidak mau menerangkan apa yang menjadi sebab. Bukan saja
karena ia yakin bahwa tuduhan Daud tidak benar, tetapi mulutnya
malu menceritakan fitnah yang amat rendah itu.
Atas pertanyaan Polisi, mengapa Teuku tidak melaporkan saja
kejahatan yang dilakukan oleh Daud, karena ia pasti akan ditangkap
dan diadili lalu dihukum sesuai dengan kesalahannya, dengan datar
Teuku menyahut: Mungkin saya salah. Tetapi saya menganut
paham kuno, bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Dia berhutang nyawa kepada saya, karena saya yang kehilangan
adik, maka dia harus membayar kepada saya. Hanya itu, lain tidak!"
Dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa menyesal.
Atas budi baik Polisi, Teuku yang tampak tak berdaya diberi ijin
untuk mengurus penguburan jenazah adiknya. Kemudian
dimasukkan ke dalam sel tahanan, la tenang-tenang saja, seperti
bukan dia yang baru melakukan pembunuhan. Imannya sudah
kembali. Semua sudah berlalu menurut takdir. Semua harus
diterima begitu pula segala resikonya.
0odwo0
CERITA itu membangkitkan amarah harimau di dalam tubuh

Erwin. Meskipun Daud Ali sudah dibunuh, tetapi ia tidak merasa


puas. Jahanam itu harus lebih daripada dibunuh. Karena dia.
Safinah meninggal. Dan mulut kotornya pula yang membuat Teuku
Samalanga sampai masuk tahanan. Entah nasib apa yang akan
menimpa dirinya. Bukan tak mungkin keluarga Daud Ali akan
mencari jalan supaya orang tahanan itu mendapat siksaan,
sebagaimana konon dapat dilakukan melalui orang-orang yang tidak
mengindahkan citra Polisi. Bukan tidak ada oknum Polisi yang mau
berbuat yang jahat demi uang. Uang, duit! Selalu bisa membuat
manusia menjadi iblis. Uang bisa membuat orang girang, juga bisa
bikin orang celaka, bahkan tewas!
"Saya mau ke Palembang," kata Erwin kepada Teuku Abidin.
"Untuk apa?"
"Untuk melihat sahabatku." la memberi salam kepada Teuku
Abidin, mohon doanya agar ia selamat.
"Kau akan kembali lagi ke mari anak muda?"
"Mungkin. Adakah perlunya? Bapak orang hebat. Kalau tak Bapak
bimbing aku ke mari aku tentu tak tahu, bahwa sahabatku dan
adiknya ditimpa musibah!"
Lalu berangkatlah Erwin ke Palembang pada petang hari itu juga.
Dengan bantuan Tuan Syekh Ibrahim Bantani, hanya setengah
jam kemudian dia sudah berada di Palembang. Dan dia berada di
depan Kantor Polisi tempat Teuku Samalanga ditahan.
Tanpa pikir ia langsung saja masuk setelah lebih dulu membaca
mantra yang diajarkan ayahnya Dja Lubuk. Dia lewat saja di
hadapan para petugas Polisi, tak seorangpun menanyai atau
menahannya. Seolah-olah ia tidak kelihatan.
Tak lama kemudian dia sudah sampai di muka sel tahanan Teuku
Samalanga. la menangis melihat sahabatnya. Dia menangis karena
teringat kepada Safinah.
"Mari kita pergi," kata Erwin.

"Tak mungkin, sahabatku. Aku kini orang tahanan. Aku telah jadi
pembunuh!"
"Tidak, Teuku mesti ikut bersamaku. Nanti malam kuambil!" kata
Erwin lalu ia pergi. Menuju pekuburan tempat Safinah dan Daud Ali
dimakamkan. Ada yang harus dikerjakannya di sana.
0odwo0
TIGA
DENGAN sekecak bunga mawar dan dahlia segar Erwin
memasuki kuburan. Walaupun hari mendung berat, pertanda langit
akan runtuh menyiram bumi, Erwin mudah saja menemukan jalan.
Semua tampak jelas olehnya, karena mata harimaunya sedang
berfungsi. Bagi harimau tiada malam yang gelap.
Penduduk Palembang heran melihat cuaca yang mendadak
berubah. Siangnya panas terik, lalu selepas senja bintang-bintang
bertaburan. Karena memang musim kemarau. Menebalnya awan
yang membuat bintang gemintang tak tampak lagi, diiringi oleh
angin agak kencang dan hujan gerimis membuat banyak orang
memberi komentar menurut pengetahuan dan kepercayaan masingmasing.
Apakah karena malam pertama bagi dua manusia yang mati
dibunuh, tidur di dalam bumi? Apakah perubahan itu suatu tanda
bahwa alam pun turut berduka cita?
Tiba di makam Safinah, Erwin berlutut, berdoa sambil
membiarkan airmata mengalir deras bagaikan air dari hulu yang tak
terbendung. Hatinya sangat sedih. Kehilangan wanita kedua yang
benar-benar dicintainya. Kepada siapa ia tidak pernah berani
menyampaikan perasaan yang terpendam, tetapi ia dibunuh mati
karena dituduh berbuat tidak senonoh oleh orang yang tiga malam
menjadi suaminya, la, yang biasanya mempunyai firasat tajam,
mengapa tidak pernah menduga bahwa Safinah akan mati tidak
wajar di tangan orang yang dirasuki pikiran buruk sehingga berbuat

seperti iblis?
"Ampuni aku. Safinah, orang dungu dan makhluk hina yang
diam-diam mencintaimu. Seharusnya aku tidak pernah sampai ke
rumahmu, tidak pernah mengenalmu, sehingga kau tidak sampai
menemukan nasib yang tidak seharusnya menjadi nasibmu. Aku
diburu perasaan salah, seolah-olah aku menjadi penyebab
kematianmu. Kau yang begitu bersih dan cantik, yang seharusnya
dengan kebahagiaan menikmati hidup karena ia menjadi hakmu,"
ucap Erwin dengan perasaan bersalah, walaupun ia tidak pernah
berbuat sesuatu yang melanggar hukum dan adat terhadap
perempuan yang amat malang itu.
Tanpa diduganya terdengar suara mengatakan pelan dengan
nada membujuk: "Tenanglah Bang Erwin. Ini semua penentuan
nasib. Kalau namanya penentuan Bang, kita tidak dapat
mengelakkannya. Abang tidak punya salah apa pun. Akulah yang
bersalah karena tidak tahu, bahwa Abang mengasihi diriku. Maafkan
aku Bang? Abang mau kan?" Suara itu suara Safinah. Entah arwah
Safinah yang berkata, entah hanya khayalan telinga Erwin.
Diciumnya papan nisan yang ditanam di bagian kepala Safinah
dengan perasaan tidak menentu, la merasa kehilangan, sangat
kehilangan.
Kemudian ia mohon kekuatan kepada Tuhan, lalu berdiri. Di saat
itu terdengar suara berbisik di telinganya: "Lakukan, lakukan. Kau
harus memperlihatkannya. Hatimu akan tenang setelah kau
melakukannya!" Dan diluar dugaan, tetapi sesuai dengan
harapannya setelah mendengar bisikan itu, ia berubah wujud, la
telah jadi Erwin bertubuh harimau. Lalu ia berjalan menurut kata
hati dan langkah kaki. Berhenti di sebuah kuburan yang juga baru.
Kuburan Daud Ali.
la berdiri di sisi kuburan yang penuh diselimuti karangan bunga
dari banyak sahabat dan beberapa keluarga, menyatakan duka cita
yang dalam atau sekedar turut berduka cita atas kepergiannya.
Melihat itu kebencian dan amarah Erwin menggantikan rasa sedih

yang mendera hatinya oleh ke-matian Safinah. Di atas pusara


wanita yang disayanginya itu hanya ada taburan bunga dan dua
karangan, satu di kepala dan satu di kakinya. Otak manusia waras di
dalam tubuh harimau berkata, bahwa banyaknya karangan bunga di
pusara seseorang baru meninggal, tidak mesti berarti bahwa orang
itu manusia baik yang patut dihormati. Erwin malah berpikir bahwa
Erwin tidak layak mendapat unjuk simpati demikian besar, karena ia
hanya seorang pembunuh yang melakukannya semata-mata oleh
prasangka dan tuduhan kotor yang tidak benar sama sekali.
"Kau tidak berhak mendapat penghormatan ini orang buas," desis
Erwin lalu menyingkirkan semua itu dengan kasar, la marah dan
dendam pada laki-laki yang tidak dikenal bahkan belum pernah
dilihatnya itu. Dendam, walaupun dia sudah menebus kejahatannya.
Tidak banyak kebencian dan dendam seperti ini.
"Untunglah bunga-bunga ini tidak dapat menolongmu di akhirat,"
kata Erwin dengan suara cukup keras. Akan kedengaran, kalau ada
orang di dekat-dekat sana. Tetapi kata-kata itu saja tidak cukup
untuk melampiaskan amarah dan membalaskan sakit hati.
"Baru abang Safinah yang menghukum kau Daud. Aku belum,"
kata Erwin lagi, diselang-seling dengan dengusan. Lalu ia mulai
menggali dengan dua tangannya yang kini mempunyai kekuatan
ganda. Ditambah dengan kebencian dan amarah, pekerjaan itu jadi
ringan saja. Setelah kain kafan mayat Daud tampak, ia langsung
mengangkat dan melemparkannya ke luar lobang. Erwin keluar dari
tempat Daud dibaringkan, dilepaskannya kain kafan penutup tubuh
yang sudah sangat dingin dan kaku. Sehingga telanjang dengan
hanya kapas di sana sini.
Manusia harimau merobek dada mayat, mengeluarkan isinya.
Seperti pernah dilakukannya di Ujungpandang atas seorang laki-laki
yang sangat dibencinya. Karena orang itu telah menyebabkan kematian adik sahabatnya Nazaruddin. Sahabat yang akhirnya tewas
pula di Jakarta, dibunuh oleh Sabri-na yang cindaku, perempuan
cantik asal daerah Kerinci yang bagi sementara masyarakat cukup
terkenal oleh harimau-harimau liarnya. Lebih terkenal lagi oleh

harimau jadi-jadian. Sabrina yang ayu tetapi bernasib malang,


kadang-kadang dihantui da-haga darah. Sama halnya dengan
korban kecanduan obat bius, ia tak mampu menguasai diri, kalau
sifat harimau sedang merasuk otak dan seleranya, la mampu
mengisap habis darah bayi, hanya dengan memandangi anak kecil
tak berdosa itu. Telah beberapa anak jadi korbannya. Ibu dan ayah
si anak tidak menyangka atau mencurigai dirinya, karena ia begitu
ramah, kelihatan penuh rasa sayang terhadap anak-anak yang
tergolong masih bayi.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, setengah sadar Erwin
berkata: "Kini aku telah membunuh mayatmu. Kau pantas menerima
hukuman yang lebih dari ini karena Safinahku tidak pernah bisa
kembali lagi." Dari sana Erwin pergi sekali lagi ke pusara Safinah.
"Aku telah membunuhnya lagi untukmu, karena dia yang
menyebabkan kau mati dan dia juga yang menyebabkan abangmu
jadi orang tawanan. Aku tak mampu menghidupkan kau kembali
Safinah sayang, tetapi aku akan membebaskan saudaramu yang
juga amat kusayang." la berjalan sampai ke pintu kuburan, berharap
dirinya jadi manusia utuh kembali. Tetapi keinginannya tidak
terkabul. Lebih setengah jam ia duduk atau mondar mandir gelisah.
Bertanya dalam hati, apakah ia telah berbuat terlalu kejam terhadap
Daud yang sudah jadi mayat? Apakah ini pembalasan pula atas
dirinya? Tetapi dihiburnya diri: "Mustahil. Dia pantas mendapat
ganjaran itu!" Kemudian ia berpikir: "Apakah seharusnya dia
melakukan lebih daripada itu? Mungkin. Barangkali Safinah ingin
agar muka Daud juga dihancurkan saja?" Erwin berbalik hendak
merusak muka mayat yang sudah tidak punya isi perut itu. Tetapi
satu perintah membuat dia terhenti.
"Jangan Erwin. Kau telah lebih dari membalas dendam," kata
suara Raja Tigor, kakek yang amat mencintainya. "Pergilah.
Bukankah kau ada janji pada Teuku Samalanga!" la tahu, suara itu
harus dipatuhi, kalau ia tidak mau celaka. Suara itu juga membuat
dia langsung keluar dari kuburan dalam keadaan bertubuh harimau,
la jalan di pinggir, tetapi sorot lampu mobil yang datang arah
berlawan-an menimpa dirinya. Tak lama kemudian, mobil itu

berhenti. Sipengemudi melihat harimau loreng bertubuh besar itu. la


injak rem, supaya kendaraan itu berhenti. Entah karena gugup,
entah memang begitu yang baik menurut jalan pikirannya.
Tandanya ia menghormati nenek belang. Tetapi ia tidak ingat
mematikan lampu sementara si manusia harimau juga tidak
menghindar dari sorotan lampu yang amat kuat dan terang itu. Ada
tiga menit, sipengemudi yang baru pulang bersama istrinya dari
sebuah pesta memandangi harimau itu dengan jan-tung berdebar
keras, yang bisa copot atau mendadak tidak berfungsi lagi.
Untunglah jantung dua insan itu tidak berhenti bekerja, sehingga
jelas melihat apa yang sebenarnya mereka tidak akan percayai kalau
tidak karena melihatnya sendiri. Harimau itu berubah jadi manusia,
terus berjalan, melewati mobil yang belum juga digerakkan lagi.
Pengemudi yang seorang pedagang cukup besar di kota Palembang
mengerling, ketika manusia yang menjelma jadi harimau lewat di
samping kanannya. Makhluk itu tidak menoleh, tidak menghiraukan
kehadiran mobil itu.
Setelah harimau atau manusia itu berjarak dua puluh meter,
barulah ia mampu menjalankan mobilnya. "Kau melihatnya tadi
Ma?"
"Sudahlah jangan mengomongi dia. Dia mungkin mendengar dan
mengejar kita," sahut istrinya yang ketakutan. Tentu saja dia juga
melihatnya.
Hujan yang tadi sudah berhenti kini turun lagi dalam bentuk
gerimis.
Setibanya di depan Kantor Polisi tempat Teuku Samalanga
ditahan, ia berhenti dan seperti tadi pula dia langsung saja masuk.
Kini pun tak ada yang menegurnya. Karena mereka tidak
melihatnya. Mereka telah ditaklukkan ilmu perabun. Si manusia
harimau tidak ingin dirinya dilihat oleh orang-orang yang tidak perlu
melihat. Kalau mereka tidak dirabunkan dan melihat Erwin pasti
akan timbul bencana. Akan berjatuhan korban. Karena Polisi tidak
akan membiarkan dia masuk dan Erwin tidak akan mau dicegah
masuk. Untuk apa mencederai diri para penjaga keamanan ini,

selama mereka tidak bertindak di luar hukum. Mereka tidak


menyiksa Teuku Samalanga. Mungkin orang Aceh itu punya suatu
kekuatan yang membuat para petugas yang selalu galak dan tidak
berani atau tidak bergerak untuk menyakiti dia. Erwin ingat masa
lalunya di Jakarta, la pernah ditangkap, lalu disiksa sampai babak
belur. Tetapi diselamatkan oleh ayahnya Dja Lubuk yang membunuh
dua penyiksa lalu membawa Erwin keluar tanpa kelihatan.
Waktu itu pukul 22.20.
"Teuku," panggil Erwin pelan karena Teuku Samalanga sedang
duduk di pembaringannya bersandar ke tembok dengan
memeramkan mata.
"Aku tak mau lari, Er. Akan jadi orang buruan. Tidak akan pernah
tenang," ujar Teuku yang sudah berdiri di belakang terali besinya.
Tetapi Erwin tidak menanggapi. Sebaliknya ia bercerita: "Aku telah
melakukannya Teuku!"
"Melakukan apa?"
"Membunuhnya!"
kepuasan.

jawab

Erwin

menyeringai.

Tanda

suatu

"Membunuh siapa?" tanya Teuku yang tidak mengerti.


"Siapa yang harus dibunuh. Jahanam Daud Ali!"
"Bukankah dia sudah mati."
"Ya, Teuku
melakukannya!"

yang

membunuh.

Aku

baru

tadi

dapat

Teuku yang jadi kian tak mengerti, bertanya apakah sebenarnya


maksud Erwin. Dan manusia harimau itu mengatakan, bahwa ia
telah ziarah ke pusara Safinah. Juga mendatangi kuburan Daud Ali.
Tidak diceritakannya apa yang telah dilakukannya. Teuku juga tidak
bertanya. Pun tidak memikirkan apa yang mungkin dilakukan Erwin.
Dianggapnya cerita Erwin itu sebagai suatu luapan amarah dan
Erwin sendiri tak mengerti apa yang dikatakannya. Seperti
berkhayal.

Erwin menegaskan kembali, bahwa kedatangannya adalah untuk


mengambil Teuku. Dia layak ditahan, karena perbuatannya itu
hanya bela diri. Bukankah Daud juga mempergunakan senjata.
"Tetapi aku belum diadili. Kalau Hakim memutuskan aku bebas,
barulah benar aku boleh keluar dari sini!" kata Teuku.
Erwin tertawa. Agak sinis tanpa mengatakan apa-apa.
Agak lama kemudian baru Erwin berkata, bahwa di Pengadilan
bukan tidak mungkin terjadi salah vonis. Bisa karena khilaf, bisa
juga karena ia harus berbuat begitu untuk orang lain. Kata Erwin dia
pernah mengetahui orang dihukum sebagai pembunuh, tetapi
kemudian ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak berdosa,
karena pembunuh sebenarnya memberi pengakuan.
"Aku sudah mengatakan kepada adik Safinah, bahwa aku akan
membebaskan Teuku dan ia sangat setuju. Aku bicara dengannya
tadi!"
Erwin membuka pintu sel seolah-olah tidak dikunci, menarik
lengan Teuku yang kini menurut tanpa protes, la ingin mengatakan
tak mau, tetapi ia tidak mampu mengatakannya. Yang jadi
kenyataan, ia berserah kepada Erwin.
Teuku pun tidak berkata apa-apa setelah ber-a di alam bebas.
Dia merasa kagum lagi. Banyak sekali kepandaian Erwin. Sedikit
sekali orang sangat pandai yang memiliki ilmu perabun. Si
pemegang ilmu harus yakin sepenuhnya, bahwa semua yang
bernyawa menjadi buta terhadap dirinya atau mereka. Tanpa
kemampuan pemusatan pikiran bulat, ilmu itu tidak akan punya
cukup kekuatan.
"Akan kemana kita Erwin?" tanya Teuku Samalanga.
"Istirahat dulu. Teuku perlu istirahat dan menenangkan pikiran.
Besok hari Kamis. Lepas sembahyang lohor kita berangkat!"
"Istirahat di mana dan berangkat ke mana?"
"Istirahat di rumah Teuku. Bawa apa yang perlu saja besok!"

"Terlalu berbahaya bagiku Er. Nanti mereka akan tahu, bahwa


aku sudah lari!"
"Teuku tidak lari, aku yang melarikan. Jadi aku yang salah, kalau
mau dipersalahkan," jawab Erwin tenang-tenang.
"Kau hebat, bisa setenang ini!"
"Apakah akan membantu kalau kita gugup dan panik?"
Teuku tidak menjawab. Dia ingin sehebat Erwin.
"Teuku tak kurang hebatnya. Tiap manusia punya kekurangan
dan kelebihannya," kata Erwin. Dan Teuku mulai tenang. "Kita tak
usah terlalu gembira kalau sedang menang dan tak usah terlalu
sedih kalau sedang kalah!" Tetapi di dalam hati Erwin merasa,
bahwa ia hanya dapat berkata tidak selalu mampu bersikap begitu.
Beberapa jam yang lalu ia menangis seperti anak kecil di pusara
Safinah.
Sampai pagi tidak ada gangguan. Erwin dan Teuku sempat juga
tidur.
Tetapi keesokan paginya mereka sudah mendengar apa yang
menjadi buah pembicaraan hampir semua orang Palembang.
Kuburan Daud Ali dibongkar harimau. Perutnya dirobek dan seluruh
isinya dikeluarkan. Cerita lain bersumber dari pengusaha dan
istrinya yang melihat harimau besar berjalan dengan tenang
walaupun ditimpa sinar lampu mobil. Hewan itu kemudian berubah
jadi manusia yang berjalan tenang melalui mobilnya. Orang
mengaitkan dua kejadian ini. Kuburan dibongkar dan harimau
berubah bentuk jadi manusia. Tetapi banyak pula orang yang tidak
mau mempercakapkan-nya, takut terjadi sesuatu yang tidak mereka
ingini.
Bukan hanya itu. Seperti api menjilat lalang kering tersiar berita
bahwa Teuku Samalanga yang membunuh Daud Ali telah lenyap
dari tahanan. Tidak ada petugas yang melihat. Kunci sel tetap utuh.
Orang pandai itu bisa menghilang. Lalu dikaitkan lagi dengan
kuburan yang dibongkar harimau dan harimau yang jadi manusia.

Kesimpulan sebagian masyarakat Palembang tidak menyimpang


dari hukum akal. Teuku Samalanga menghilang dari tahanan, ke
kuburan Daud, berubah jadi harimau, membongkar kuburan,
merobek-robek dada dan perut mayat. Dia meninggalkan kuburan,
lalu berubah jadi manusia lagi. Tidak ada yang menyebut-nyebut
Erwin. Tidak ada.
0odwo0
EMPAT
KANTOR Kepolisian tempat Teuku Samalanga tadinya ditahan
yang paling sibuk. Dari yang berpangkat tertinggi sampai terendah
membicarakan kelenyapan pembunuh yang telah diketahui punya
profesi sebagai dukun. Dan bukan sembarang dukun. Telah banyak
orang ditolongnya. Banyak orang yang menyesali mengapa ia
sampai ditahan karena pembunuhan. Tetapi mereka juga yang
berpihak kepadanya, karena ia membunuh bukan karena kesadisan,
la membalas dendam karena adik kandungnya dibunuh oleh
suaminya. Banyak pemuda, duda, bahkan sejumlah suami
menyayangkan kematian Safinah. Mereka bukan hanya mengingini
dirinya tanpa pernah berhasil, tetapi karena ia seorang asal Aceh.
Dan gadis asli Aceh tidak banyak di kota mpek-mpek itu. Mereka
tidak pernah tahu, apa sebab pengantin baru itu dibunuh suaminya.
Tetapi mereka semua yakin, bahwa Safinah wanita bersih yang tidak
dapat dibawa arus kegilalaan yang melanda sementara gadis, janda
bahkan istri di jaman kian banyak manusia dikalahkan oleh syaitan.
Beberapa anggota Polisi yang biasanya ganas terhadap tersangka
yang belum tentu bersalah, merasa mujur sekali belum sampai
menyakiti Teuku. Kalau saja ia sampai disiksa, boleh dikatakan pasti
ia akan membalas. Boleh jadi isi perut mereka juga ikan dikeluarkan.
Mungkin sebelum dikubur, boleh jadi juga dikeluarkan dari
kuburannya untuk diperlakukan seperti Daud Ali yang bernasib sial
itu.
Tidak ada seorangpun petugas yang melihat Teuku meninggalkan

kantor itu. Tandanya ia punya ilmu perabun. Begitu keyakinan


mereka. Adanya orang kedua tidak pernah mereka bicarakan,
karena tidak pernah mereka lihat.
Jejak-jejak harimau di pekuburan baru kali itu didengar dan
dilihat penegak hukum dan masyarakat di Palembang. Berbondongbondong mereka ke sana untuk melihat bekas telapak yang cukup
jelas eh adanya hujan, walaupun hanya gerimis. Tanah diseputar
kuburan masih berlumpur oleh galian, penimbunan dan penggalian
kembali.
Baru setelah kejadian itu masyarakat mengetahui dengan
sangat keliru bahwa Teuku Samalanga seorang dukun hebat yang
juga harimau jadi-jadian. Mereka tidak tahu tentang dua harimau
piaraannya. Juga tidak tahu, bahwa sebenarnyalah dia manusia
biasa dengan banyak ilmu, tetapi tidak pernah berubah jadi
harimau.
Cerita itu pun sampai semuanya ke telinga Teuku dan Erwin.
"Maaf Teuku, karena ulahku Teuku jadi dituduh harimau jadijadian dan Teuku juga yang membongkar kuburan Daud Ali."
"Jadi kau yang membongkar dan itu yang kau namakan
membunuh dia sekali lagi? Mengeluarkan isi perutnya?" tanya
Teuku.
"Ya, karena dia membunuh adik Teuku yang tidak punya dosa
itu."
"Erwin, kau mencintai Safinah?"
"Jangan tanya Teuku. Aku mohon jangan ditanyai," kata Erwin
dan sekali lagi ia tidak kuat menahan airmata. la, yang begitu
perkasa dan punya hati cukup tegar untuk mengoyak dada dan
perut mayat, ternyata punya kelemahan manusia biasa. ^Karena dia
pun sebenarnya manusia biasa, yang kadang-kadang jadi harimau.
Diterimanya sebagai warisan dari ayahnya Dja Lubuk, karena ia
cinta pada ayahnya itu. Tak mau menyedihkan hatinya.
Erwin membawa Teuku yang dalam kesedihan dan kecemasan itu

ke rumah Mei Lan, karena ia berjanji akan kembali. Meskipun amat


girang atas kedatangan Erwin, namun anak dan ayah itu tak
terlepas dari keheranan, mengapa dan bagaimana Teuku Samalanga
yang dihebohkan itu ada bersama Erwin. Mereka dapat melihat
Teuku, karena Erwin membebaskan mereka dari kerabunan. Ada
gunanya mereka melihat Teuku. Guna jadi alasan mengapa Erwin
harus pergi lagi. Untuk mengurus sahabat terbaiknya.
Meskipun tahu Teuku telah ditahan karena membunuh iparnya,
dan tahu pula dari cerita yang sambung menyambung bahwa ia
telah melarikan diri, bahkan jadi harimau, namun Mei Lan tidak
menyinggung keanehan itu. Erwin senang atas kebijaksanaan Mei
Lan. Mengetahui, bahwa pembunuh yang jadi buronan itu tentu
dalam kekuatiran, Mei Lan dengan lapang hati mengijinkan Erwin
menguruskannya, walaupun ia tidak tahu bagaimana cara mengurus
harimau jadi-jadian yang mempunyai banyak kesalahan. Pengertian
itu membuat Erwin terharu. Gadis ini bukan hanya sangat sayang,
tetapi juga punya pikiran dewasa. Sekilas ia bertanya di dalam hati,
apakah Mei Lan yang lain keturunan ini sebaiknya jadi istri?
Barangkali dia inilah yang akan dapat menggantikan Indahayati
yang tetap mencintainya dengan sepenuh kasih, walaupun sudah
mengetahuinya, bahwa ia makhluk aneh yang kadang-kadang jadi
harimau. Indah yang bersama anak mereka tewas oleh kejahatan Ki
Ampuh, bukan takut kalau Erwin sedang mengharimau. la sedih,
merasa kasihan. Tetapi dia tidak pernah berubah sampai kejahatan
orang pintar dari Jawa itu merenggut nyawanya.
"Abang akan kembali, kan?" tanya Mei Lan.
"Tentu," jawab Erwin, malah menambahkan: "Mau kemana,
kalau tidak kembali ke sini Lanny?" Dan gadis itu senang mendengar
karena ia percaya.
"Kita akan kemana?" tanya Teuku Samalanga setelah Erwin
bersalaman dengan Mei Lan dan ayahnya.
"Kita lewat dari depan rumah Teuku. Untuk melihat. Aku punya
firasat bahwa di sana orang sedang ramai, karena satu regu Polisi
sedang memeriksa di bawah pengepungan yang ketat. Dan apa

yang dikatakan Erwin, memang benar terjadi. Di depan rumah, di


jalan raya dan di pekarangan tam pak kesibukan. Banyak orang, tua
muda, laki-laki dan wanita. Juga banyak Polisi berpakaian dinas.
Entah berapa banyak pula reserse yang berpakaian preman.
"Kita lalu di sana E r?" tanya Teuku. "Ya, untuk mendengar apa
yang mereka katakan!"
"Tetapi, terlalu besar resikonya bagiku. Kau sendiri tidak apa-apa,
karena kau tidak punya kesalahan."
"Sebetulnya akulah yang salah. Aku yang membongkar kuburan,
aku yang mengulangi pembunuhan atas orang yang sudah mati itu,
aku yang mengeluarkan isi perutnya. Aku yang dari harimau
berubah kembali jadi manusia. Teuku hanya korban dari
kejahatanku!"
"Jangan berkata begitu. Ilmumu yang sangat tinggi dan caramu
yang selalu bijaksana membuat mereka salah duga. Pikiran mereka
tidak bisa menjangkau kepintaran yang kau miliki Erwin.
Mengkhayalkan pun tidak. Kalau bisa seperti kau, aku juga ingin jadi
manusia harimau," kata Teuku Samalanga. Erwin senang
mendengar, karena kata-katanya membuktikan, bahwa ia sudah
mulai tenang dan dapat berkelakar walaupun dicampur keseriusan.
Erwin dan Teuku bergabung dengan segerombolan masyarakat
dan anggota Polisi berseragam di depan, di pekarangan, bahkan di
dalam rumah. Yang melayani petugas-petugas keamanan hanya
pembantu Teuku yang tinggal di sana bersama istrinya.
Memed menceritakan, bahwa majikannya pada malam itu masih
di sana, makan dan tidur di sana bersama sahabatnya Erwin. Tetapi
pagi jam 10.00 itu Memed sudah tidak lagi melihat Teuku dan Erwin
yang padahal juga ada di sana. Kekuatan ilmu era bu n yang dimiliki
Erwin memang boleh dika-ta sempurna.
Polisi hampir tidak percaya, tetapi Memed bersumpah-sumpah
bahwa dia berkata sebenarnya. Juga bahwa majikannya itu baru
pagi hari itu berangkat dari sana. Ditanya apakah ia mengetahui
sebagai orang dalam bahwa majikannya itu kadang-kadang jadi

harimau, ia mati-matian mengatakan, bahwa kalau benar ia bisa


begitu, maka ia belum pernah menyaksikannya dengan mata
sendiri. Baru pagi itu ia mendengar cerita orang-orang. Baginya
Teuku hanya manusia biasa. Memang dukun, tetapi dukun yang
benar-benar dukun, bukan palsu atau gadungan yang menipu
pasien-pasien yang justru sakit dan membutuhkan pertolongannya.
Ketakjuban dan rasa hormat Teuku Samalanga terhadap si
manusia harimau mencapai puncaknya, ketika dilihatnya Erwin
terlibat percakapan dengan seorang perwira polisi yang sudah
berpangkat Mayor.
Kata Erwin: "Pak Mayor, saya kenal Teuku Samalanga. la tidak
membantah bahwa dia membunuh Daud Ali. Sepanjang penilaian
saya, dia melakukannya karena terpaksa, la turut mati bersama
adiknya, sehingga mereka hapus dari dunia ini, atau dia membunuh
laki-laki ganas itu. Dalam membela diri dan mempertahankan
nyawanya tentu. Pak Mayor sudah melihat sendiri kemampuannya
dan ketegaran hati di dalam dadanya, la mampu menggali kuburan
dari orang yang sudah dibinasakannya karena menurut hematnya
sekedar nyawa bayar nyawa tidak cukup. Daud perlu diganjar lebih
berat, la telah melakukan itu. Kalau ia dikejar-kejar apalagi disiksa,
saya kuatir akan terjadi hal-hal yang lebih mengerikan lagi/'
"Anda siapa dan mengapa berkata begitu kepada saya?" tanya
Mayor Karnadi. Erwin menerangkan, bahwa dia sahabat dekat
Teuku Samalanga dan tahu bahwa Mayor Polisi Karnadi seorang
perwira yang tegas tetapi baik hati. la tidak mau sampai terjadi halhal yang tidak diingini atas seorang penegak hukum sebaik Karnadi
yang tidak terlalu mudah dijumpai pada masa ini. Keterangan Erwin
termakan oleh akal perwira itu. la memang seorang penegak hukum
yang baik dan berani. Tidak pernah mundur dalam melacak
penjahat yang bagaimanapun. Dan ia belum pernah gagal.
Dengan amat mengejutkan sang Mayor Polisi, Erwin: "Memang
Pak Mayor belum pernah gagal. Saya tahu Pak Mayor orang berani
yang tidak mau mengelak dalam mengemban kewajiban. Tetapi
dalam kasus ini Pak Mayor bukan berhadapan dengan penjahat atau

manusia biasa. Saya sangat simpati pada Pak Mayor, maka saya
beranikan diri berkata begitu. Bukan maksud saya mencampuri
tugas dan panggilan hati Bapak. Maafkan, kalau kata-kata saya itu
salah," kata Erwin dan ia pun hilang dari pandangan Mayor Polisi
Karnadi. Tentu saja dia jadi sangat heran. Apakah orang ini juga
semacam Teuku Samalanga yang bisa hilang dan bisa pula jadi
harimau?
Sambil memutar otaknya perwira Polisi itu meneruskan
pemeriksaan di rumah Teuku Samalanga. Dia mulai berpikir, janganjangan Teuku itu pun ada di antara mereka. Bukankah dia dapat
menghilang dari tempat ia dikurung tanpa tampak oleh seorang
Polisi pun yang cukup banyak jumlahnya menjaga di sana. Ataukah
Teuku bisa pula meru bah mukanya atau sekurang-kurangnya
membuat orang melihatnya sebagai orang lain?
Walaupun ia dukun terkenal, tidak ada barang-barang
mencurigakan di rumahnya. Setengah jam kemudian Mayor itu
memerintahkan anak buahnya pulang. Hanya menempatkan
beberapa petugas berjaga-jaga di sana. "Kalau-kalau ia datang lagi,"
katanya.
Tiga petugas Polisi yang berjaga-jaga di rumah Teuku merasa
tidak enak hati, kuatir kalau orang Aceh yang bisa jadi harimau itu
datang lalu membunuh mereka satu demi satu. Kemudian
mengeluarkan isi perut mereka sebagaimana ia telah mengeluarkan
isi dada dan perut mayat yang sudah dikubur.
0odwo0
Dengan kekuatan ilmu Tuan Syekh Ibrahim Bantani, dalam waktu
singkat Erwin dan Teuku Samalanga sudah berada di rumah Teuku
Abidin di Jambi. Paman dan kemenakan berangkulan. Teuku
Samalanga menceritakan, bahwa apa yang terjadi adalah berkat
kekuatan gaib yang ada di dalam diri Erwin. Dia sendiri sudah
pasrah untuk diadili. Karena dia memang telah membunuh.
"Pak" kata Erwin kepada Tuan rumah:
"Teuku Samalanga bukan membunuh atas kehendak hatinya.

Dipaksa membunuh orang telah membunuh adiknya dan akan


membunuhnya pula. Tiada ayat yang menitahkan agar kita
menyerahkan nyawa kita secara sukarela kepada orang yang
hendak membunuh kita. Saya rasa itu bukan hanya suatu
kebodohan, tetapi juga suatu dosa jika nyawa yang hanya satu
diberikan kepada orang sejahat dan sejahil Daud Ali."
"Yatun menceritakan, bahwa ia melihat nak Erwin membongkar
kuburan Daud lalu melakukan pembunuhan untuk kepuasan diri nak
Erwin sendiri. Betulkah itu?" tanya Teuku Mahidin.
"Kalau sudah Yatun berkata begitu, tentu betullah begitu/' jawab
Erwin dan Tuan rumah tidak meneruskan pertanyaan mengenai
peristiwa itu. Dia semakin tahu, bahwa Erwin benar-benar sangat
tinggi dalam ilmu gaib yang tak dapat diuraikan dengan hukum akal,
walaupun segala kekuatan di dunia ini sebenarnya dapat diusut asal
mulanya dan mengapa mampu mencapai kedahsyatan yang begitu
menakut dan mengherankan.
"Sekarang apa rencana nak Erwin?" tanya Teuku Mahidin. "Kalau
sudi tinggallah di sini selama belum bosan."
Erwin menerima ajakan Tuan rumah, la ingin membantu Teuku
seberapa bisa, tetapi ia belum punya ijazah untuk menurunkan ilmu,
sekedar menambah yang amat diperlukan Teuku Samalanga.
"Bolehkah aku mengikutmu saja Erwin. Mengembara seperti kau.
Aku sudah tidak punya siapa-siapa selain pamanku ini. Kedua adikku
sudah tiada," tanya Teuku. la ingat dan sangat sedih, tetapi tanpa
airmata. Pada Menora yang bunuh diri karena diperkosa Husni dan
pada Safinah yang dibunuh oleh suaminya yang menuduh dia
melakukan perbuatan terlarang yang sama sekali tidak pernah
terjadi.
"Jangan," kata Erwin. "Teuku manusia biasa yang penuh ilmu.
Akan kucoba memanggil ayahku. Aku hanya makhluk tidak normal
seperti yang telah Teuku ketahui."
0odwo0

LIMA
SUARA orang memberi salam membuat Teuku Mahidin pergi ke
pintu depan. Dia mempersilakan tamunya masuk. Setelah orang itu
di dalam, Erwin langsung menubruk dan mencium tangan.
"Amang," katanya. Dan orang itu mengelus-elus rambutnya,
membuat Teuku Mahidin dan kemenakannya keheranan. Yang
datang itu tak lain daripada Dja Lubuk dalam keadaan seperti
manusia utuh. Jelas tua dengan misainya yang putih bersih, mata
tajam menghias wajahnya yang tampan penuh wibawa.
"Inilah ayahku," kata Erwin. "Telah sejak lama kudengar
kebesaran Tuan," kata Teuku Mahidin. "Pertemuan yang tidak
kuduga ini sangat membahagiakan."
"Tak Tuan duga, karena aku dipanggil secara mendadak oleh
anakku Erwin. Biasanya Tuan tahu apa yang akan terjadi. Walaupun
Tuan tidak biasa mereklamekan diri, tetapi banyak di antara orangorang yang mengenal nama dan ingin berkenalan dengan Tuan.
Oleh karenanya aku merasa beruntung dapat berhadapan langsung
dengan Tuan. Aku juga merasa berhutang budi kepada TeukuTeuku berdua, yang telah menyukai dan menyayangi anakku.
Karena kita sudah seperti satu keluarga, tak ada buruknya kalau kita
bicara terbuka. Kepada Teuku Samalanga yang abang langsung
almarhumah Safinah, aku menyatakan sangat bersedih atas
musibah yang menimpa dirinya. Sekaligus juga menimpa diri Erwin.
Sudah pernah diceritakannya tentang cintanya kepada adik Teuku,
tetapi dia tidak berani berterus terang, karena kuatir akan beban
hati yang akan dipikulnya. Tindakannya atas kuburan Daud Ali
adalah suatu pelampiasan sakit hati yang seharusnya dapat
dibendung. Tetapi tiap manusia punya kelemahannya, apalagi yang
sekedar makhluk tak menentu seperti kami," kata Dja Lubuk
merendahkan diri. Dan berterus terang. "Tidak kuceritakan pun
Teuku Mahidin akan atau sudah tahu bahwa aku dan anakku dan
ayahku semuanya hanya setengah manusia!" Mendengar ini Erwin
yang akhir-akhir ini selalu mencurahkan air-mata, kembali tak dapat

membendung duka citanya,


suara.

la

menangis, tanpa mengeluarkan

"Kuharap jangan berkata begitu. Tuan Dja Lubuk. Segala


kekurangan yang pasti ada pada tiap insan yang hamba Allah pasti
ada gunanya atau ada penyebabnya. Tiada lain karena Tuhan itu
Maha Adjl dan Maha Penyayang. Tiada kebencian pada Tuhan, tiada
sifat membalas pada Nya. Orang tidak boleh melihat suatu
kenyataan hanya secara lahiriah sehingga ada manusia yang di
dalam hatinya lalu menyesali Tuhan. Lalu ber emosi dengan keluh
an "mana Keadilan Tuhan? Mana kasih sayang-Nya. Padahal
didalam hal atau kenyataan yang menyedihkan itulah letak keadilan
dan kemahapenya-yangan Allah. Orang mudah menyebut Allah,
padahal sebenarnya tidak atau sangat kurang mengenal Nya. Orang
mengadu dan memohon kepada N ya Kepada yang kurang atau
tidak dikenal. Orang berdoa tanpa mengetahui dan memenuhi
syarat-syarat dalam berdoa. Syarat-syarat itu sebenarnya mudah,
tetapi orang tidak mau sungguh-sungguh mempelajarinya!" kata
Teuku Mahidin yang rupanya punya ilmu mendalam tentang agama
dan berusaha mendekatkan diri pada Tuhan yang pasti ada dan
dapat dibuktikan tentang ada-IMya.
"Tuan, ahli agama, layak disebut guru besar," kata Dja' Lubuk.
Tetapi orang Aceh itu menjawab, bahwa apa yang telah diketahui
dan dikuasainya baru ibarat setitik air di telaga. Biasa, orang yang
benar-benar berilmu selalu merendahkan diri. Orang yang
berpengetahuan hanya secuil jugalah yang selalu ingin dipandang
sebagai orang sangat pandai.
Dja Lubuk menerangkan, bahwa ia datang atas panggilan Erwin
yang ingin menyelamatkan Teuku Samalanga dari penangkapan
pihak yang berwajib. Erwin belum mempunyai hak untuk
menurunkan apa yang dimilikinya. Dja Lubuk meminta Erwin
mengantarkan sahabatnya itu ke Muara Sipongi untuk menimba
sedikit ilmu dari Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
"Tuan baik sekali," kata Teuku Mahidin sambil menyatakan,
bahwa ia ingin berbuat apa saja yang mungkin dilakukannya untuk

membalas budi ayah dan anak itu.


"Bapak Dja Lubuk," kata Teuku Samalanga, 'bolehkah orang luar
Mandailing menuntut ilmu untuk sewaktu-waktu diperlukan bisa
berubah jadi harimau?"
Dja Lubuk tertawa. Diterangkannya, bahwa kalau sekiranya ada
ilmu untuk itu, maka ia sudah pasti tidak memilikinya, la, ayahnya
dan anaknya menjadi makhluk yang secara mudah dikatakan orang
"manusia harimau" bukan dari mempelajarinya, tetapi menerimanya
sebagai warisan turun temu run.
Teuku Mahidin memandang Erwin, lalu menge-uarkan apa yang
terlintas menjadi pertanyaan di dalam hatinya. "Bagaimana dengan
Erwin kelak Tuan Dja Lubuk?"
Kini manusia harimau yang bangkit dari kuburannya di
Mandailing itu memandang anaknya. "Sebenarnya terserah kepada
yang harus menerima warisan!"
"Ijinkan aku bertanya," kata Teuku Mahidin lagi. "Apakah itu
berarti, bahwa yang jadi pewaris dapat menolak?"
Diterangkan oleh Dja Lubuk, bahwa penolakan boleh saja. Boleh
jadi karena malu untuk jadi penerus, mungkin juga karena takut.
Malu, karena kelainan dari manusia normal itu sama sekali bukan
suatu kehormatan. Takut, karena manakala di tengah orang ramai
berubah ujud, mungkin akan dikeroyok dan dibunuh oleh orang
banyak. Penolakan bukan tidak ada resikonya. Bahkan sudah pasti
akan ada buntutnya. Diceritakan oleh orang berilmu gaib sampai
setelah kematiannya itu, bahwa sampai sekarang di perbatasan
Mandailing dengan Pasaman masih ada seorang laki-laki yang
mukanya persis harimau. Menakutkan. Tetap begitu, siang dan
malam. Dia tidak pernah berubah rupa, tetapi menyandang muka
harimau. Selebihnya manusia biasa. Dia sekolah, sampai tamat
sekolah menengah tingkat pertama, la dijauhi oleh kebanyakan
kawan-kawannya, karena jijik. Ada yang karena takut. Tetapi ada
anak-anak bengal yang berani menyoraki dan menghinanya, karena
tahu bahwa dia tidak akan melakukan perlawanan, la tahu akan

kelainan dirinya dan tahu diri pula. la menerima segala nista dan
cerca. Sambutannya hanya kata-kata lembut, bahwa rupanya itu
bukan buatannya. Su dah nasib maka ia jadi begitu, tetapi dia tidak
akan menyusahkan siapa pun. Dan sampai ia dewasa memang
Darwis tidak pernah mengganggu sesama manusia. Dan oleh
kemahaadilan dan kemahasayangan Tuhan kepada hamba-Nya,
Darwis pun dapat jodoh. Beristri dan sudah punya anak empat
orang, ketika penulis mengunjungi dan mendengar ceritanya. Yang
ada dihati penulis hanya rasa kasihan. Entah mengapa ia menolak.
Andaikata dia menerima, maka ia akan jadi seperti Erwin. Belum
tentu akan seperti Dja Lubuk dan Raja Tigor yang punya segudang
ilmu sehingga mampu bangkit lagi setelah dikuburkan. Bukan untuk
menyusahkan manusia, tetapi juga berkali-kali terpaksa mengamuk
dan membunuh, karena Erwin yang anak dan cucu mereka
diperlakukan tidak adil. Manakala ia dianiaya dan hendak dibunuh.
"Siapakah Tuan Syekh Ibrahim Bantani itu?" tanya Teuku
Hamidin.
"Orang pintar dari Banten yang terkenal mempunyai banyak
cendekiawan dibidang ilmu gaib. Meskipun ia sangat pandai, ia
masih ingin mengenal dan belajar lebih banyak. Itulah yang
membawanya ke Mandailing, la melihat banyak persamaan, tetapi
juga banyak yang berbeda. Di sana dia belajar dan mengajar,
menerima dan memberi. Ditakdirkan Tuhan dia tutup usia di sana,
di sebuah kampung tak lauh dari Muara Sipongi dan dikebumikan di
sana." Teuku Mahidin mengajukan rupa-rupa pertanyaan dan
akhirnya meminta supaya dia juga boleh ikut ajar kepada orang
hebat dari Jawa itu. "Kurasa tidak usah," kata Dja Lubuk. "Teuku
sudah mempunyai sangat banyak. Bahkan mempunyai pesuruh
yang anak kecil Yatun itu." Mendengar ini Teuku Mahidin merasa
kagum atas kepintaran Dja Lubuk, la begitu banyak tahu.
Mengetahui yang rasanya tak masuk akal akan sampai diketahuinya.
Tiba-tiba saja anak perempuan kecil yang membawa Erwin dari
pinggir kota ke rumah Teuku Mahidin telah hadir di sana, mencium
tangan Dja Lubuk lalu duduk bersimpuh, la tahu bahwa ia

berhadapan dengan orang-orang sangat pandai, sementara dirinya


sendiri hanya seorang pesuruh yang melakukan segala apa yang
diperintahkan Teuku Mahidin kepadanya. Tingkah lakunya seperti
kanak-kanak biasa, sehingga bagi orang yang tidak mengenal apa
dia sebetulnya pastilah akan menyangka bahwa ia tak lebih daripada
seorang anak seperti anak-anak lainnya.
"Setelah Teuku bertemu dengan Tuan Syekh, insya Allah Teuku
tidak akan dikenal lagi oleh hamba hukum yang ditugaskan
menangkap Teuku.. Satu saja pantangnya, yang Teuku tentu selalu
mengamalkannya. Jangan Takabur dan sombong. Sebab yang Maha
Kuasa hanya Tuhan jua!" kata Dja Lubuk. Kepada anaknya dia
berpesan untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Tuan
Syekh.
"Aku mohon diri sekarang," katanya kepada Tuan rumah lalu
bangkit memberi salam, la menuju pintu, dipandangi oleh semua
yang tinggal, sebab ia minta supaya jangan diantarkan. Dari jarak
beberapa meter, ketika Dja Lubuk sudah tiba di ambang pintu
Teuku Mahidin mohon agar manusia harimau itu sudi sesekali
mampir berbincang-bincang. Dja Lubuk me-lnsya Allah kan tanpa
menoleh, sebab sebaiknya ia tidak menoleh lagi. Ketika menuruni
tangga ia pun raib.
Yang tinggal saling pandang. Teuku Mahidin juga yang memecah
kesepian: "Ayahmu hebat sekali Erwin. Aku beruntung bisa
berhadapan dengan beliau. Dan aku akan tambah beruntung lagi
manakala boleh bertemu dengan kakekmu Raja Tigor!"
Di ruangan itu seperti bertiup angin, disusul oleh suara: "Sejak
tadi aku hadir di sini. Mengikuti pertemuan kalian yang sangat
berkesan. Pada suatu hari nanti kita bertemu Teuku Mahidin. Kini
aku mau pergi menyusul anakku sebab dia pasti menunggu
kedatanganku. Kami mau sama-sama kembali ke Mandailing."
Terdengar langkah-langkah menuju pintu. Mereka semua tahu,
bahwa itulah Raja Tigor yang oleh berbagai sebab yang hanya dia
mengetahui, belum mau memperlihatkan diri. Sesuai dengan pesan
ayahnya, Erwin dan leuku Samalanga berangkat sehabis magrib. Dja

Lubuk juga menyuruh mereka berjalan kaki. Tidak menumpang


kendaraan, juga tidak secara gaib.
Ketika Erwin menoleh, Erwin jadi agak terkejut oleh kehadiran
dua harimau mengikuti mereka. Seekor loreng dan yang lainnya
hitam pekat, milik Tuan Syekh. Seolah-olah ditugaskan untuk
mengawal Erwin dan sahabatnya.
Setelah menyerahkan Teuku kepada Tuan Syekh, manusia
harimau itu mohon diri. Berpesan guru besar dari Jawa itu: "Ingat,
masih banyak bahaya menghadangmu. Tabahkan hati, kuatkan
iman. Turutkan kehendak kakimu!" Setelah mencium tangan Tuan
Syekh, anak Dja Lubuk keluar dari taman impian yang hanya
tampak oleh mereka yang boleh melihatnya.
Dengan sebuah bis Erwin kembali ke arah Selatan, menuju kota
Bukittinggi dimana ia menginap tiga malam untuk tidur di ngarai
tanpa tikar dan selimut. Sudah sejak lama ia mendengar tentang
kehadiran seekor ular di sana, panjangnya melebihi li mabelas
meter, sudah bertahun-tahun tidak kelihatan, tetapi menurut orangorang yang percaya dan mungkin mengetahui masih ada di sana.
Beberapa penduduk kampung Sianok dan Koto Gadang pernah
didatangi dalam mimpi sekedar memberitahu bahwa ia masih
bermukim di sana dan berpesan agar jangan sampai melakukan
pembakaran guna menghindari akibat yang tidak akan
menyenangkan. Di jaman pendudukan Jepang, jelas ada tiga orang
serdadu Jepang yang turun ke ngarai itu tidak pernah kembali.
Bukan karena menuruni ngarai, tetapi karena mereka turun untuk
mencari si ular raksasa yang tidak mereka percayai ada di sa-na
Konon terdengar beberapa banyak letusan, karena ketiga serdadu
itu membawa senjata, termasuk sebuah senapan mesin ringan dan
cukup banyak granat. Letupan-letupan granat juga terdengar oleh ]
masyarakat di atas lembah bersungai itu. Pada ke- 1 esokan paginya
ada beberapa penduduk Sianok yang masih melihat ular amat besar
itu bergerak pelan ke suatu tempat di dinding ngarai, berhutan agak
lebat. Kata orang hutan itu berfungsi sebagai penutup lobang yang
menghubungkan ngarai dengan danau Singkarak yang terletak

indah di pinggir jalan raya antara Padangpanjang dengan Solok.


Erwin mau menghabiskan waktunya tiga ma- I lam kedinginan,
karena ingin memiliki geliga yang dapat diberikan ular itu melalui
ludahnya, la tahu bahwa kalau bertemu dengan ular itu mungkin ia
akan tewas disamping kemungkinan binatang itu dapat dijadikan
teman, karena Erwin tiada maksud buruk. Sebenarnya ia sudah
tidak membutuhkan geliga yang katanya akan membuat semua
musuh gentar dan tak kan berani menyusahkan dirinya. ! Dengan
ilmu yang sudah dimilikinya, lebih-lebih setelah diisi lagi oleh Tuan
Syekh Ibrahim Ban tani ia akan berani menghadapi siapa atau apa
pun yang akan menjahilinya. Tetapi mengingat peringatan ayah,
ompung dan Tuan Syekh sendiri bahwa masih sangat banyak
bahaya menghadang dirinya, maka ia ingin memperkuat benteng
dengan geliga yang banyak jadi sebutan itu. Dua malam menahan di
ngin tanpa hasil membuat Erwin mulai hilang harapan. Tidak ada
suatu tanda pun tentang kehadiran seekor ular besar di sana. Tetapi
ia mau mencukupkan sampai tiga malam. Setelah itu ia akan
menganggap bahwa kisah itu hanya isapan jempol. Hanya mau
dijadikan dongeng kanak-kanak yang mengasyikkan.
Tetapi ketika ia pada petang hari turun ke tempatnya menanti
untuk tidur malam terakhir, ia terkejut melihat tanah yang akan
tenggelam seperti parit besar yang tidak seberapa dalamnya.
Ranting-ranting pun banyak berpatahan. Dan parit itu panjang
sekali. Dia menye lu surinya, sehingga sampai ke dinding tebing
yang berhutan agak lebat itu. la mau meneruskan, karena
penasaran tetapi satu suara yang amat dikenalnya, suara Syekh
Bantani melarang. "Jangan kau langgar kawasannya Erwin. Yang
satu ini tak terlawan olehmu dan oleh kita beramai-ramai sekali
pun." Erwin mundur sementara hari sudah gelap.
Ketika ia mau merebahkan diri dengan harapan alau kalau ular
itu keluar dari daerah miliknya, ia jadi terkejut sekali, karena di
hadapannya jelas ada tiga orang serdadu berpakaian seperti tentara
Jepang yang dilihatnya di gambar-gambar perang Asia Timur Raya.
Tiba-tiba ketiga serdadu itu menjerit-jerit, lalu hilang.

Erwin hanya bisa menduga, bahwa ketiga serdadu itulah roh


Jepang yang hilang tahun 1943 di sana. Badan mereka sudah
berpindah ke perut ular yang menguasai kawasan itu. Barangkali ia
sekedar mau memperlihatkan kebesarannya. Bagaimanapun
hebatnya Jepang di waktu itu, dapat menaklukkan
Malaya, Filipina, Singapura dan Indonesia dalam waktu sangat
cepat, mereka jangan coba-coba menentang dirinya.
Kekuasaannya itu memang dibuktikannya pada awal tahun 1944
ketika penguasa Jepang di sana mengirim selusin tentaranya untuk
mencari ketiga serdadu yang hilang itu. Ini pun semuanya tidak
kembali. Penasaran, seorang Mayor Jepang mengepalai satu
pasukan lagi dengan membawa senjata berat. Yang mereka
temukan duabelas mayat yang sudah hampir lumat. Tewas karena
diremukkan oleh ular yang merajai ngarai itu.
0odwo0
ENAM
ERWIN merasa bahwa ia tidak akan mungkin bertemu dengan
ular raksasa yang telah datang lalu pergi lagi dengan hanya
meninggalkan bekas tempat ia berlalu, la sudah mendengar dan
akan mematuhi seruan Tuan Syekh Ibrahim Bantani, bersiap untuk
meninggalkan ngarai yang tidak mau menerima kedatangannya.
Tetapi begitu ia melangkah terdengar olehnya suatu resekan dari
semak-belukar yang diperkirakan menutupi lubang pertapaan sang
raja ular. la memandang ke sana, rasa takut dan ingin tahu
bercampur menjadi satu. Kemudian tampak olehnya dua lampu
besar berwarna hijau memancarkan cahaya berkilauan. Walaupun ia
tidak biasa mengenal kalah tanpa bertarung, sekali ini kakinya tidak
dapat digerakkan, la terus mamandangi cahaya itu. Mata sang ular
sakti, la mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, sehingga jelas tampak
oleh Erwin. Seperti memperlihatkan diri. Semacam suatu show
untuk Erwin bahwa cerita tentang dirinya bukan dongeng, la tidak
suka kenyataan diceritakan sebagai dongeng kelak. Biar Erwin

menyampaikan kepada masyarakat sekitar, bahwa ia benar-benar


ada. Dan ia memperlihatkan diri kepada sang manusia harimau,
supaya makhluk itu tahu bahwa ada yang tak kalah hebatnya dari
dia.
"Berilah aku sesuatu Maharaja," pinta Erwin. Untuk jadi
kenangan, bahwa aku telah benar-benar bertemu dengan Tuan.
Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih atas kebaikan budi
Tuan ini. Maharaja." Sorot mata ular itu berubah jadi redup, tetapi
tetap memancarkan sinar terang. Erwin berharap sang Maharaja
mengatakan sesuatu, tetapi ular itu hanya menggelengkan kepala,
mungkin sebagai isyarat mengatakan bahwa ia tidak dapat berkatakata, karena ia bukan manusia ular. Berlainan dengan Erwin yang
manusia harimau.
Pelan-pelan ia merendahkan kepalanya kembali, lalu sorotan itu
pun hilang. Meskipun ular itu telah raib, Erwin tetap saja berdiri di
sana, seolah-olah belum puas dengan apa yang telah nyata-nyata
disaksikannya dengan mata sendiri.
Dengan langkah gontai tetapi hati puas ia berjalan, melalui
batang air yang hanya sedalam mata kaki hingga lutut, la mendaki
jalan, maksud hati dari atas ngarai akan ke Aur Tajungkang. Hawa
dan angin yang menusuk tulang sudah tak terasa olehnya. Apakah
ia satu-satunya makhluk yang pernah melihat Maharaja ular itu?
Tentu tidak. Tetapi mungkin yang melihat, mati kejang karena
terkejut dan takut. Serdadu-serdadu Jepang yang hilang dan
bergelimpangan mayatnya di sana tentu pernah melihatnya, tetapi
tak sempat membawa cerita karena tidak diberi kesempatan untuk
itu.
Ketika ia melalui panorama, darimana orang pada siang hari atau
terang bulan dapat menikmati ih mandangan yang indah, terdengar
olehnya langkah-langkah di sampingnya. Ketika ia menoleh batulah
diketahuinya bahwa ayahnya Dja Lubuk teluh berada di
sampingnya.
"Kau beruntung telah melihatnya. Aku pun telah turut beruntung.
Sekali ini aku menumpang mujur, karena dia sebenarnya hanya

memperlihatkan diri kepadamu. Itulah satu pertanda dan bukti igi


tentang kebesaran Tuhan. Suatu bukti bahwa Tuhan mempunyai
kesanggupan yang tidak terbalas. Dan hanya Dialah yang memiliki
ketidakterba-tasan itu. Malaikat tidak, nabi pun tidak. Apalagi kita
yang hanya makhluk-makhluk hampir tidak bermakna," kata Dja
Lubuk. Selalu arif, selalu bijaksana memilih kata-kata yang paling
tepat. Yang tak tersangkal kebenarannya.
"Ayah, bagaimana caranya mencari dan mendapatkan
ketenangan di dalam hidup? Kadang-kadang sangat meletihkan.
Rasanya tidak kuat lagi," tanya Erwin.
"Tiada ketenangan bagi siapa pun yang masih menghadapi dan
turut dipengaruhi atau mempengaruhi berbagai arus di permukaan
bumi ini. Sebab tiap orang terlibat di dalamnya. Maksud amang,
ketenangan tanpa gangguan. Bagaimanapun kecukupan, bahkan
kaya rayanya seseorang dengan keluarga yang semuanya sangat
bahagia
dan
mencintainya
pada
waktu-waktu
tertentu
ketenangannya pasti terganggu. Entah oleh anak yang mendadak
berubah tingkah. Katakanlah oleh pengaruh lingkungan. Bisa juga
seorang istri setia atau suami jujur tergoda oleh orang lain, diluar
perkiraannya semula. Ada suatu kekuatan yang merobohkan
kesetiaan. Di antaranya termasuk iblis atau setan yang selalu
pegang peranan. Sudah selalu kuceritakan kepadamu, bahwa iblis
memang punya tugas untuk menggoda manusia, menguji
keimanannya. Yang terkalahkan oleh iblis pasti orang yang belum
kuat imannya. Itulah gunanya orang mengamalkan ajaran
agamanya, di antaranya i m a n di dalam dirinya."
Erwin bertanya apakah semasa hidupnya sang ayah juga banyak
mengalami ketegangan, gangguan dan penderitaan.
"Bukan hanya semasa hidup, setelah mati pun aku masih seperti
ini. Orang wajar tidak seperti aku dan ompungmu. Yang tidak
pernah mati hanya roh manusia. Yang namanya tubuh atau
kerangka, tempat kedudukan hayat selagi masih hidup, akan habis
dimakan bumi. Dia menjadi tanah, karena asalnya pun dari tanah
jua. Hanya tulang-belulang yang tinggal, bisa berumur sampai

ratusan bahkan jutaan tahun. Sampai sekarang masih ditemukan


sisa-sisa tengkorak manusia purba dari jutaan tahun yang silam
Tetapi aku tidak hanya tinggal roh. Kau lihat amangmu ini. Bisa kau
raba, bisa memeluk dan dipeluk, mencium dan dicium. Bisa bicara,
seolah-olah ia tidak mati, padahal ia sudah pernah mati. Apakah aku
hidup kembali? Tidak, tetapi sewaktu-waktu aku bangkit dari
kematian itu," kata Dja Lubuk. Tenang, jelas bagaikan uraian guru
kepada murid. Dan Erwin mendengarkan dengan airmata
membasahi pipi. la begitu sedih dan terharu.
"Kuteruskan tentang ketenangan yang tidak pernah abadi bagi
manusia yang masih hidup. Suaml istri yang kaya raya, tidak
kekurangan suatu apa pun. Dengan anak-anak yang manis. Baik
rupa maupun perangai. Yang kesemuanya sangat men-i intai orang
tua dan mendapatkan limpahan kasih yang tiada taranya. Pada
suatu saat Tuhan memanggil salah seorang anak atau si ayah atau
ibu untuk pulang, karena masanya hidup di dunia sudah berakhir.
Kau dapat membayangkan, bagaimana pedih perasaan dan sedih
hati orang yang diting-lialkan, yang sebenarnya tidak mau berpisah
dengan yang pergi, padahal mereka semua tahu, bahwa perpisahan
itu pada suatu ketika pasti datang. Itu sudah suatu kemestian
karena begitulah janji Tuhan pada saat seorang insan yang hanya
hamba Allah diberi kesempatan hidup di dunia. Tuhan memberinya
akal, kekuatan dan kelengkapan lainnya. Tuhan menyediakan
agama untuk dihayati lan diamalkannya. Memberi janji bagi tiap
hamba-Nya yang baik, bahwa ia akan mendapat imbalan indah yang
abadi untuk dunia lain yang abadi."
Apa yang dijelaskan Dja Lubuk sangat meresap ke dalam hati,
walaupun sebagian daripadanya bukan hal-hal yang belum
diketahuinya. Terpikir olehnya, kalau yang tinggal dari orang mati
hanya roh, sementara ayah dan kakeknya dapat mengun lunginya
dalam wujud bernyawa dan bertubuh bia a, untuk apa kedua orang
yang dicintainya itu melakukannya? Apakah karena permintaannya
yang dikabulkan ataukah oleh suatu penentuan nasib yang tidak
dapat diingkari. Apa yang dipikirkan Erwin diketahui oleh Dja Lubuk,
sebagaimana ia dalam banyak hal dapat membaca pikiran orang,

yang juga menurun kepada anaknya itu.


"Aku bisa bangkit lagi dari kematian bukan karena aku
menghendakinya. Tetapi karena penentuan. Oleh penentuan ini aku
dapat menemuimu kalau perlu. Andaikata aku tidak ditakdirkan bisa
bangkit lagi dalam wujud seperti sekarang tentu aku tak mungkin
lagi bersua dan berkata-kata dengan kau Erwin."
"Dan menyelamatkanku dari segala bencana/' kata Erwin
menambahkan, karena ayahnya sengaja tidak mau menyebutkan
kenyataan itu.
Erwin diajak ayahnya kembali ke panorama yang terletak di bibir
ngarai mengambil tempat duduk di sebuah bangku yang sengaja
disediakan di sana bagi para pengunjung untuk menikmati
keindahan alam. Dan bagi mereka yang hendak menikmati duduk
berdampingan dengan kekasih di tengah suasana teramat
menyenangkan yang hanya Tuhan mampu menciptakannya.
"Pada waktu menjelang fajar atau senja cantik sekali di sini, Er,"
kata Dja Lubuk. Seperti manusia biasa. Kalau orang melihatnya
pada waktu itu, takkan ada yang mungkirynenyangka, bahwa ia
manusia harimau. Lebih-lebih, tidak akan ada yang menduga bahwa
ia manusia telah meninggal yang bangkit dari kuburnya. Kalaupun
dikatakan demikian masih sulit mencari manusia yang mau percaya.
Padahal suatu kenyataan.
"Ayah, mengapa orang-orang lain tidak bangkit lagi setelah
meninggal?"
"Karena mereka tidak menyimpang dari yang wajar. Tetapi pasti
ada orang-orang lain yang seperti aku dan kakekmu. Dan Datuk nan
Kuniang. Begitu pula Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Sudah tentu ada
lagi yang lain, yang tidak kita kenal. Mayat-mayat yang ditakdirkan
bisa hidup kembali lalu bangkit dari kuburnya, mendatangi tempat
atau orang-orang tertentu bukan hanya terjadi di negeri kita, tetapi
juga di barat. Aku dulu mendengar cerita, bahwa kuburan Belanda
tidak pernah ada hantunya. Yang berhantu hanya kuburan orang
Islam. Aku heran, tetapi semula aku percaya. Ternyata itu tidak

benar, kuburan Belanda juga ada hantunya. Dalam perantauan aku


pernah sampai ke kota Pangkalan Brandan. Ketika melalui kuburan
Belanda, aku ingat betul malamnya malam Minggu. Kulihat ada asap
mengepul dari daerah pekuburan itu. Jelas kelihatan karena hari
sedang terang bulan. Juga ada suara anjing melolong panjang dari
sana. Karena aku tidak lekas takut dan ingin tahu, maka aku
mendekati kuburan yang sekelilingnya ditanami bambu. Memang
benar dari sebuah kuburan ada keluar asap berwarna kuning yang
menjulang cukup tinggi. Tidak ada api. Kucoba mencari anjing yang
melolong. Tidak ada. Agak lama aku mengintai. Sampai asap itu
menipis dan merendah, lalu hilang. Kupikir habis sampai sekian.
Kiranya belum. Dari kuburan itu, keluar manusia. Seorang wanita
bergaun putih. Mukanya pun putih seluruhnya, seputih gaun yang
dikenakannya!
Erwin mendengarkan dengan penuh perhatian, walaupun ia
sudah menemukan berbagai macam pengalaman yang sangat
muskil di masa lalunya yang belum mencapai tiga puluh tahun.
"Amang, bahaya apa lagi yang akan menghadang diriku? Aku
bukan takut, tetapi kalau boleh lebih suka hidup tanpa terlalu
banyak ketegangan. Apakah tidak mungkin begitu Amang?"
"Sudah kukatakan tadi mengenai ketenangan hidup!" kata Dja
Lubuk. Setelah diam sejenak ia berkata pelan, "Aku mencium
peristiwa yang tidak kita harapkan Erwin."
"Oh, kau hebat orang tua," kata satu suara yang sudah berdiri
tidak jauh dari mereka, la bersama seorang kawannya.
"Koto, kau mencium bau aneh?" tanya yang seorang.
"Ya, aku tak tahu apakah penciuman kita sama. Tetapi aku
mencium bau harimau. Apakah berani harimau datang ke sekitar
sini?" Suara orang itu menyindir. Dja Lubuk dan Erwin tahu, bahwa
merekalah yang disindir. Mereka yang dimaksudkan. Kata-kata itu
menjelaskan, bahwa yang datang berdua itu bukan manusia seperti
manusia lainnya. Paling sedikit manusia berkepandaian tinggi.
Erwin dan ayahnya diam tidak menyahuti. Mereka harap kedua

orang berilmu tinggi itu berlalu saja, karena yang sedang dudukduduk di sana bukan orang-orang iseng yang mencari lawan.
Tiadanya sambutan membuat kedua pendatang yang berpakaian
serba hitam itu malah penasaran.
"Aku rupanya salah sangka Koto," kata yang seorang, "bukan bau
harimau cuma bau cirik (kotoran) kucing." Mendengar itu telinga
Erwin yang duluan merasa merah. Itu suatu penghinaan. Sudah
pasti. Kedua orang padat berisi ini tentu orang-orang kenamaan di
lingkungan Bukittinggi, bahkan mungkin di seluruh Minangkabau.
Tetapi sikap mencari musuh yang mereka perlihatkan telah
merupakan pertanda, bahwa orang-orang ini juga tergolong orang
yang sombong dan barangkali juga takabur.
Berkata Dja Lubuk dengan tenang, "Kami hanya menumpang
duduk di tanah Tuan-tuan yang amat subur dan indah ini. Kami
menyampaikan hormat kami, kami memanglah hanya sehina yang
Tuan-tuan katakan. Tidaklah pantas kami kecil dan hina ini menjadi
lawan Tuan-tuan!"
Yang dipanggil dengan Koto menyambut Tuek, orang-orang ini
menyindir kita. Pura-pura merendahkan diri, tetapi sebenarnya
menantang dengan cara mereka. Mereka masuk tanah kita tanpa
ijin, kurang ajar pula, apakah kita biarkan mereka pergi tanpa suatu
cenderamata?" Tanpa menunggu jawaban si Datuek (datuk). Koto
melompat dengan kaki melayang di udara menuju muka Dja Lubuk.
Suara celananya yang berselengkang lebar khas jago-jago pencak
dan silat Minang memecah kesepian. Kasihan, maksudnya tidak
kesampaian. Tanpa menggeser duduk. Lubuk mengangkat tangan
kanannya menolak tendangan maut yang ditujukan pada dirinya.
Karena sambutan ini tidak disangka sama sekali oleh Koto, maka
terkejut dan terjengkang ke belakang. Tetapi tidak terhempas, la
putar badan ke arah kiri, tangan kanan menyentuh tanah dengan
sangat ringannya dan tubuhnya sudah berdiri tegak lagi, siap untuk
serangan kedua.
"Inyo barani malawan Tuek. Rupo-ruponyo ngarai mananti
bangkai!" kata Koto dengan sombong, tetapi sudah menilai agak lain

terhadap orang yang dikatakannya akan jadi bangkai guna makanan


ngarai.
0odwo0
TUJUH
KOTO bersiap dengan kedua kaki d ipentangkan lebar tetapi
sebagai terpaku di bumi dan berkata lantang, "Apa lagi, berdirilah.
Lebih terhormat tewas dalam bertarung daripada mati konyol indak
malawan," Koto mencampur aduk bahasa Indonesia dengan dialek
daerahnya.
"Jangan, Tuan," kata Dja Lubuk lembut. "Kami kemari untuk
menikmati alam Tuan yang milik Allah, bukan hendak mengadu
nyawa. Tuan lihat, aku sudah terlalu tua sementara anakku ini
masih terlalu hijau bagi Tuan-tuan!"
Tetapi kata-kata halus ajakan damai tidak menggugah hati Koto
dan Datuk untuk mengurungkan maksud. Malah Koto berkata keras,
"Kucing busuk. Kok indak ka malawan kan tidak menepis
tendanganku!"
"Tapi Tuan sendiri mengatakan, bahwa yang begitu namanya
mati konyol yang sangat hina!" sahut Dja Lubuk. Tidak kasar, tetapi
dengan suara datar. Tidak lagi selembut tadi.
"Kok baitu, malawan namonyo. Indak salah den lai," hardik Koto
yang menuduh Dja Lubuk melawan dan tidak salahnya lagi
bertindak.
Tetapi apa yang tidak diduga Koto, Datuk, dan bahkan Dja Lubuk
telah terjadi dalam waktu kurang dari sepersepuluh detik. Erwin
melompat tanpa mengambil ancang-ancang dan tendangannya telak
mengenai muka Koto yang sedang bersiap untuk menyerang Dja
Lubuk. Tidak ada waktu untuk mengelak, bahkan tidak mendapat
waktu untuk melakukan gerakan refleks bagi seorang sangat ka
wakan semacam dia. la terjungkal dan kali ini jatuh erdebab dengan
punggung terhempas. Bukan hanya dia, Datuk pun terkejut. Anak

yang dikatakan ayahnya masih hijau itu ternyata tidak sehijau yang
diakui. Tetapi bagaimanapun kagetnya tentu saja orang sehebat
Datuk tidak akan jadi surut langkah olehnya, la langsung menyerang
Erwin. Dan pukulan pertamanya tepat mengenai dada kanan
manusia harimau muda itu.
"Biar pun waang harimau sati, aden indak gan-ta," katanya
setelah melihat Erwin termundur beberapa langkah, la langsung
memukul bertubi-tubi, ada yang kena, ada pula yang ditepiskan oleh
anak Dja Lubuk. Bahkan ada pukulan Erwin yang masuk ke rusuk
dan muka Datuk garang itu.
Koto yang belum bebas dari kagetnya bersiap memperhatikan
Dja Lubuk yang juga hanya sebagai penonton saja duduk di bangku.
Dia tidak berkata, tidak tegang, hanya matanya memandangi Koto
dengan dingin, sedingin hawa menjelang subuh itulah.
Pertarungan antara Erwin dengan Datuk bertambah sengit, sebab
Datuk pun ternyata bukan hanya besar omong melainkan juga besar
tenaga. Kecepatan tangan dan kakinya tak kan mungkin terkalahkan
oleh pesilat Cina mana pun juga, walaupun film-film unjuk hebat
Cina bisa membuat orang biasa merasa minder dalam adu tenaga.
Erwin kewalahan. Lebih berat menghadapi Datuk daripada
bertempur dengan Ki Ampuh di masa-masa lalu.
"Datuk hebat sekali' kata Lubuk memuji dengan hati tulus. Tetapi
dia juga senang melihat anaknya dapat lawan tangguh. Dari orang
semacam Datuklah didapat pengalaman dan kemudian mengukur
diri. Sudah dapat menyamai, masih di bawah atau sudah mampu
mengatasi. Itulah yang ingin diketahui oleh Dja Lubuk. Makhluk
yang hidup dua kali itu melihat jelas, bahwa kedua petarung itu
mempunyai tekad yang sama. Keluar sebagai pemenang. Yang satu
menyadari, bahwa ia dan ayahnya akan dilempar, ke ngarai kalau
sampai kalah. Yang lainnya akan merasa sangat malu dan hina
kalau ditumbangkan di negeri sendiri, apalagi tadi sudah
mengeluarkan/kata-kata yang begitu sombong dan angkuh.
Berkata Dja Lubuk kepada Koto yang belum bergerak memulai
serangan baru, apakah dia mau mencoba permainan beberapa jurus

dengan dia yang sudah tua renta. Jagoan dari dataran Minang itu
merasa ditantang, suatu kepantangan bagi tiap pasilek kawakan
untuk menolak.
"Sebenarnya aku kasihan kepadamu harimau bersemangat
kucing, tetapi ibarat orang mengaji yang harus sampai tamat, maka
aku juga akan menyudahi apa yang tadi sudah kumulai. Tetapi
sebelum kau dan anakmu menemui ajal di bumi kami, aku ingin
tahu, apakah yang membawa kalian sampai kemari?"
"Menemui Maharaja Ular Sakti di ngarai kalian ini," jawab Dja
Lubuk.
Koto merasa aneh mendengar, la hanya mengetahui, bahwa ular
raksasa itu hanya semacam dongeng, tak ada orang yang pernah
bertemu berhadap-hadapan.
Kata Dja Lubuk "Tuan tentu ingin tahu, apakah kami bertemu.
Malu bertanya gelap di berita. Tuan garang. Biarlah kukatakan. Kami
telah bertemu. Itulah yang dinamakan rejeki. Tuah dan untung elok
berada di pihak kami! Mata beliau seperti lampu mobil menyala
terang, tetapi berwarna hijau berkilauan. Kalau kalian pergi ke
bawah, barangkali masih akan melihat bekas tempat beliau lalu!"
Hati Koto goncang. Belum ada pendekar Minang yang berhasil
bertemu, walaupun telah beberapa banyak mencobanya. Itulah
makanya memandang kisah itu hanya sebagai dongeng. Kini orang
luar datang dan langsung berjumpa. Kalau si tua yang harimau ini
tidak berdusta, pastilah dia orang luar biasa. Di dalam hati Koto
mengakui, patutlah serangan pertamanya tadi sama sekali tidak
mengejutkannya dan bahkan menepiskannya dengan satu tolakan
ringan saja.
Dja Lubuk berdiri, tidak mengambil gaya seperti akan bertempur.
Dia hanya berdiri tenang, menanti apa yang akan datang.
"Bersiaplah hai harimau berupa manusia," kata Koto.
"Kau hebat. Tuan Koto. Sejak mula tiba tadi kalian telah
menyindir kami sebagai harimau. Itu tandanya kalian orang-orang

luar biasa. Apa yang Tuan-tuan katakan memang benar. Tanda


pintar tetapi juga tanda kejam. Bukan kehendak kami menjadi
begini, tetapi nasib jualah yang menentukannya. Adakah manusia
dapat mengelak dari nasib yang sudah ditentukan baginya? Melebihi
nabi, melebihi malaikat, melebihi wali Allah?"
Mendengar Dja Lubuk menyebut nama Allah, Koto jadi bingung,
la tidak menyangka, bahwa makhluk-makhluk yang manusia
harimau ini dapat begitu pandai bicara mengenai insan dan Tuhan.
"Serangan Tuan Koto, aku sudah siap!" pinta Dja Lubuk.
"Sudah siap?" tanya Koto heran.
"Sudah sejak tadi. Atau salahkah caraku ini?" tanya Dja Lubuk
yang sangat terasa merupakan ejekan bagi Koto.
Koto melompat tinggi, hampir tiga meter di udara, tetapi ia
berbalik lagi tanpa menyerang. Dia heran melihat Dja Lubuk tidak
mengubah posisi, seperti tahu, bahwa lompatannya itu hanya
sebagai suatu manuvre belaka. Tadinya dia mengharapkan Dja
Lubuk akan mengambil sikap menyambut atau menyerang. Kiranya
ia bertenang-tenang saja tiada beranjak dari tempatnya berdiri.
Rupanya orang ini tidak memerlukan persiapan.
Koto bergerak dengan langkah mundur sampai sejauh enam
meter dari Dja Lubuk. Kali ini ia berkata, "Aku akan benar-benar
menyerang, bersiaplah harimau." Tetapi Dja Lubuk tetap saja tidak
mengadakan persiapan. Seperti meremehkan peringatan dari orang
gagah itu. Tubuh Koto melayang di udara, gayanya seperti s/ow
motion. Dja Lubuk menekuk lututnya sedikit, kemudian mengangkat
tubuh, bagaikan terbang vertikal tak kurang dari enam meter di atas
bumi. Di ketinggian itu ia membalik lalu menerkam Koto yang sudah
siap menantikannya di bawah. Koto tidak percaya pada matanya,
tetapi mata itu juga belum pernah menipu dirinya. Yang turun
menuju dirinya bukan lagi si orang tua tetapi sudah harimau besar
dengan kepala orang tua itu. Ini tidak masuk akal. Yang
diketahuinya, manusia itu bisa berubah jadi harimau. Semacam jadijadian atau cindaku. Bukan manusia dengan tubuh harimau.

Oleh kejut dan heran, Koto tidak ingat untuk menghindar.


"Matilah aku sekali ini," pikir Koto yang sudah pasrah kepada
nasib. Tetapi Dja Lubuk tidak menerkam dengan kedua kaki
depannya yang pasti akan mampu mengoyak-ngoyak dan
menamatkan riwayat Koto. la hanya berdiri di hadapan pendekar itu
dengan membentangkan kedua tangannya.
"Keadaanku ini bukan kemauanku. Tuan," kata Dja Lubuk
kembali dengan kata-kata lembut, yang kian membingungkan tetapi
juga serta merta membuat pendekar itu bersedih. Makhluk ini dapat
membunuhnya, tidak membunuh. Dapat berkata kasar, tetapi justru
bicara dengan lembut.
Seperti ada kekuatan yang memerintah, Koto menjatuhkan diri
menyusun kesepuluh jari tanda mengaku salah dan mohon ampun.
Erwin dengan Datuk masih bertarung.
"Tampar kepalanya dengan tangan kirimu, Erwin," kata Dja
Lubuk. Melaksanakan tidak semudah memberi perintah. Setelah
bertarung beberapa lama lagi, barulah Erwin mampu memukul
kepala Datuk dengan tamparan tangan kiri. Dan pesilek kawakan itu
serta merta jatuh. Pemandangan gelap dan kepala pusing. Rupanya
letak kelemahan sang pendekar di pipi kanan dan harus dipukul
dengan tangan kiri.
Datuk terkejut melihat Koto telah menyusun sembah. Hatinya
panas. Mengapa pula si pengecut ini mengaku kalah. "Bangkit Koto,
bunuh dia!"
"Ampun Datuk," kata Koto. "Beliau bukan mencari lawan." Kini
Datuk memandang ke Dja Lubuk. Baru sekarang pula ia melihat
yang tidak pernah diduganya. Sama sebagaimana Koto juga tidak
menduga. Harimau besar itu mempunyai kepala manusia. Bukan
sekedar harimau, seperti yang banyak terdapat di beberapa tempat.
Terutama sekali di daerah Kerinci.
Erwin mendekati ayahnya. Mereka memandang Koto dan Datuk.
Bukan dengan muka garang. Sekarang Datuk juga merasa, bahwa

benar-benarlah kedua pendatang yang sangat aneh itu bukan


mencari lawan. Dan sama sekali tidak punya maksud buruk. Tidak
pula pendendam. Kalau mau, mereka dapat membinasakan diri Koto
dan Datuk tanpa mengeluarkan banyak tenaga lagi. Hanya tinggal
pukulan-pukulan terakhir. Akan jadi mayatlah mereka di sana.
Akal sehat mendapat kemenangan dalam diri Datuk, la pun
menyusun jari lalu memberi hormat Kini Dja Lubuk dan Erwin juga
memberi hormat dengan cara yang sama. Kedua orang kawakan
Minang itu kian kagum. Sudah banyak pengalaman mereka di dalam
pertempuran. Di berbagai medan laga. Yang sengaja diatur sebagai
tempat mengukur kekuatan antar pendekar-pendekar daerah atau di
tempat-tempat yang oleh keadaan terpaksa dijadikan medan laga.
Yang begitu hanya terjadi kalau dua orang atau kelompok yang
bermusuhan
tiba-tiba
bertemu
dan
sama-sama
hendak
memperlihatkan keunggulan masing-masing. Datuk dan Koto sudah
banyak sekali berhadapan dengan lawan. Secara persahabatan guna
menambah pengalaman masing-masing, sekaligus menilai siapa
yang lebih unggul. Berkali-kali pula sudah bertarung dengan
kelompok yang memang bermusuhan dengan mereka. Tidak selalu
mereka menang. Dan kalau kalah, mereka mendapat perlakuan
yang amat menjatuhkan martabat mereka. Senjata mesti
diserahkan, begitu pula destar yang merupakan mahkota di kepala
tiap pesilat.
"Kami mohon maaf, telah bersikap tidak sopan terhadap Tuantuan yang seharusnya kami perlakukan sebagai tamu," kata Datuk.
Kesadaran dan sportivitasnya masih boleh dipuji.
"Kesalahpahaman biasa terjadi di antara orang-orang yang belum
saling kenal," kata Dja Lubuk yang berubah kembali jadi manusia.
"Lagi pula Tuan-tuan hanya menjaga agar negeri Tuan-tuan jangan
sampai dinodai oleh pendatang-pendatang yang hendak merusak!"
Kata-kata Dja Lubuk kian menambah rasa malu pada Koto dan
Datuk. Belum pernah mereka bertemu dengan makhluk-makhluk
yang mempunyai hati serendah ini.
"Sudikah Tuan-tuan menerima kami sebagai murid? Kami ini

orang-orang kasar yang masih harus banyak belajar. Belajar adat


dan belajar ilmu!" kata Datuk. Tetapi sebagai biasa, Dja Lubuk
menolak dengan mengatakan, bahwa ia bukan guru. la dan anaknya
hanya petualang-petualang yang bernasib malang.
"Apakah yang Tuan-tuan tuntut dari kami? Kami wajib membayar
hutang." Datuk dan Koto menyangka, bahwa sekurang-kurangnya
Dja Lubuk akan meminta destar dan pisau yang selalu terselip di
pinggang. Yang sudah biasa dibasahi oleh darah lawan-lawan
mereka yang ditundukkan. Mungkin meminta supaya mereka
menanggalkan seluruh pakaian. Hanya boleh bercelana dalam saja.
Supaya semua orang tahu, apa yang telah terjadi atas diri mereka.
"Tak ada yang kami pinta. Kami bersyukur, di antara kita tidak
sampai terjadi pertikaian yang berkepanjangan. Betapa sayang,
kalau sampai ada di antara kita yang harus berpisah dengan nyawa.
Kami hanya mohon ijin untuk diperkenankan meneruskan
perjalanan kami!" kata Dja Lubuk.
Mendengar ini kedua pendekar yang malu, bingung dan amat
terharu itu secara bersamaan menyalam Dja Lubuk dan anaknya.
"Tuan, limpahkanlah sedikit sifat mulia yang ada pada diri Tuantuan, supaya kami mulai kini dijauhkan dari kesombongan dan
keangkuhan!" kata Datuk dan Koto.
Dja Lubuk memegang tangan anaknya. Datuk dan Koto terkejut
heran, karena keduanya mendadak hilang dari pandangan.
Sesungguhnya mereka hanya pergi meneruskan perjalanan.
"Kau harus menemui Mei Lan, anakku. Kau telah berjanji
kepadanya," kata Dja Lubuk. "Dia tidak akan tentram sebelum
melihat kau kembali."
0odwo0
DELAPAN
LENYAPNYA

Dja

Lubuk

dan

anaknya,

bukan

hanya

mengherankan, tetapi sangat mengecewakan Datuk dan Koto. Sikap


para tamu yang begitu lembut dan pemaaf terhadap mereka yang
mulanya sangat sombong, kasar dan angkuh telah membuat kedua
pendekar itu merasa sangat berhutang budi. Bukan hanya nyawa
mereka dibiarkan utuh menunggui diri, tetapi secara langsung
mereka mendapat pelajaran bagaimana sebaiknya sifat dan
kelakuan insan-insan yang kesemuanya sama-sama hamba Allah di
permukaan bumi ini.
"Kita harus menemukan beliau-beliau Koto," kata Datuk,
"walaupun kita terpaksa keluar dari daerah ini. Tidak selesai kalau
kita tidak mendapat tanggapan. Kita tadi mohon limpahan sifat-sifat
yang baik. Beliau pasti akan memenuhinya, tetapi tentu tidak
dengan cara semudah itu!"
Tiap manusia, siapa pun dia ada kelebihan dan ada pula
kekurangannya. Begitulah Koto dan Datuk yang seperguruan pada
seorang guru yang dikenal sakti di daerah Bukit Apit punya pula
beberapa ilmu yang tidak semua orang pandai memiliki.
Sambil menengadahkan kedua belah tangannya dan menyebut
nama gurunya "Inyiek Jambang," Koto membaca mantera sambil
mengikutkan gerak kaki sesuai kehendak kaki itu sendiri.
"Beliau-beliau tidak kelihatan, tetapi masih ada di sekitar sini.
Setidak-tidaknya belum jauh. Kau cium?" tanya Datuk yang juga
membaca mantera seperti rekannya. Memang benar, sebagaimana
ketika baru tiba tadi mereka mencium bau harimau, kini pun mereka
mencium bau itu kembali. Dan kehebatan mereka mencium
diimbangi oleh hadirnya kembali Dja Lubuk dan Erwin sambil
bertanya:
Kupuji ketajaman hidung Tuan-tuan. Tetapi mengapa Tuan-tuan
begitu ingin bertemu kembali dengan kami?"
Sesuai adat, kedua pendekar terkenal kawakan itu mengatur
sembah sambil berkata: "Kami tadi telah berlaku kurang ajar. Tetapi
Inyiek sangat ber-murah hati, begitu juga anak Inyiek. Bolehkah
kami mengetahui nama Inyiek yang mulia?"

Dja Lubuk juga mengatur jari tanda membalas hormat.


Jawabnya: "Jangan sebut aku dengan yang mulia. Sebab aku dan
keturunanku semua bukan orang mulia. Kami hanya dusun tak
bermakna dengan nasib serupa ini pula!"
"Maafkan kami Inyiek. Bagi kami kemuliaan seseorang tidaklah
selalu terletak pada keturunan, melainkan dan terutama pada
sifatnya. Sifat-sifat itu ada pada Inyiek dan sukar didapat pada
kebanyakan orang yang dianggap mulia karena darah dan
keturunan!" kata Datuk.
Dja Lubuk tertawa. dia bisa menerima tafsir kata mulia para
pendekar Minang itu. Dalam hati ia bersyukur, bahwa orang-orang
ini tidak terlalu buruk. Yang mau melihat dan mengakui kesalahan
atau kesilapan masih termasuk orang baik dan mungkin akan
menjadi orang yang sangat baik di kelak kemudian hari.
"Apa yang dapat kulakukan untuk Tuan-tuan?" tanya Dja Lubuk.
"Berilah kami ijin mengikuti perjalanan Inyiek selama tujuh hari.
Limpahkan apa yang boleh disedekahkan kepada kami yang masih
amat bodoh ini!" kata Datuk merendah.
"Mengikuti aku, walaupun hanya sehari berarti berjalan dengan
makhluk yang sudah mati!" sahut Dja Lubuk. Kedua pasilek itu
tampak tak percaya.
"Cuma ditakdirkan aku sewaktu-waktu bangkit kembali. Bukan
untuk menyusahkan orang," dan tanpa ditanya Dja Lubuk
menerangkan lagi: "Untuk anakku ini. Yang dalam hidupnya selalu
dilanda badai, walaupun ia selalu berusaha mengelakkannya. Itulah
yang dinamakan nasib. Tapi jangan kalian pikir anakku ini pun
sudah pernah mati pula, la hampir sama dengan Tuan-tuan!"
"Maksud Inyiek, kalau kami boleh batanyo?" kata Koto.
"Dia tidak sesempurna kalian!" "Kami jadi semakin tidak paham.
Sudilah Inyiek menjelaskan," pinta Datuk.
"Tak penting. Kalian manusia sempurna. Anakku tidak. Kalian
telah melihat aku tadi," kata Dja Lubuk. Tanpa dia memandang ke

bumi. Terharu. Kedua pendekar itu kira-kira mengerti, walaupun


belum yakin betul, apakah tafsiran mereka benar.
Dan mereka tidak berani bertanya lagi mengenai Errwin. Akan
tidak sopan. Bisa melukai hati orang-orang budiman itu.
Tetapi Koto beralih ke hal lain. "Kami yang masih bodoh akan
bahagia sekali kalau boleh mengetahui nama Inyiek. Untuk kami
sebut manakala kami terjepit!" Dia berterus terang, walaupun Dja
Lubuk sama sekali tidak pernah menggambarkan bahwa ia akan
sudi membantu kalau dibutuhkan.
"Tuan bijak bersari. Seperti semua cendekiawan Minang. Bijakbijak dalam berkata, bijaksana dalam berbuat!" kata Dja Lubuk,
sementara Erwin sejak tadi hanya mendengarkan. Diam-diam dia
belajar mengenai sifat pendekar daerah ini. Yang bisa beringas,
tetapi juga bisa memulihkan keadaan kembali.
"Kami tidak bijak Inyiek. Kalau kami bijaksana tidak akan terjadi
sengketa yang seharusnya tidak pernah ada. Itulah bukti bahwa
kami masih bodoh. Ceroboh dalam kata, ceroboh pula dalam
perbuatan!"
Dja Lubuk menyebutkan namanya. Juga nama anaknya yang
amat sederhana itu. Pendekar-pendekar Minang itu pun
menyebutkan nama. Datuk nan Budiman dan Bahar Sutan
Mangkuto.
Ketika Koto dan Datuk mengatakan siapa guru mereka. Dja
Lubuk mengangguk-anggukkan kepala sambil menerangkan, bahwa
dia selalu mendengar nama besar yang terkenal sampai ke
Mandailing itu. "Beliau orang saleh," kata Dja Lubuk. "Tak pernah
mencederai sesamanya. Nyamuk yang menggigit dihalaunya dengan
hembusan. Tidak sampai hati beliau membunuh!"
Apa yang dikatakan Dja Lubuk memang benar. Begitulah sifatsifat Inyiek Jambang yang sudah tiada, tetapi selalu jadi sebutan.
Secara gaib dan tidak sesuai dengan hukum logika biasa, mendadak
berdirilah di sana seorang berpostur tinggi, janggut putih panjang
dengan misai lebat melengkung ke bawah, sama dengan misai Dja

Lubuk. Pipinya agak cekung matanya tidak garang tetapi


memancarkan sinar yang membuat manusia biasa tak mampu
menentangnya, la berbaju teluk belanga putih dengan celana model
pesilat berwarna hitam, kain sarung Bugis tersilang dari bahu kanan
ke pinggul kiri. Di kepalanya yang kenal dengan pisau cukur kalau
agak panjang sebuah songkok model Aceh yang hanya tampak
ujungnya karena dibalut pula dengan sebuah handuk besar yang
selalu putih bersih dan tanpa setitik noda pun.
Dja Lubuk dan Erwin sendiri yang punya begitu banyak ilmu pun
tak bebas dari rasa terkejut. Dja Lubuk dan Inyiek Jambang
berpandangan, sama-sama tersenyum dan bersalaman. Dua insan
yang telah meninggal berjumpa seperti dua orang biasa yang masih
hidup normal. Tetapi di antara keduanya toh ada perbedaan yang
tidak sedikit, namun tak terlihat oleh mata kasar. Kalau Inyiek
Jambang merasakan tangan yang tak ubahnya tangan manusia
hidup, dapat dipegang, dapat diraba maka yang demikian tidak
dirasa oleh Dja Lubuk, la melihat dan menjabat tangan guru sakti
Bukit Apit itu, tetapi tidak merasa apa-apa.
"Memang kita tak sama Dja Lubuk. Tetapi hati kita tak berbeda.
Dja Lubuk bangkit dalam ujud seperti dulu karena ananda yang
amat dicintai. Aku tidak dapat seperti itu. Tetapi ada satu hal yang
tak berbeda. Aku pun mencintai tiap hamba Allah. Ingin kedamaian
dan ketentraman di antara semua manusia. Tetapi keinginan kita
tidak akan tercapai ama manusia masih mempunyai hati sirik,
serakah dan tidak sudi menerima kebenaran!" kata Inyiek Jambang.
Lama mereka berbeka-beka, tentang dunia yang fana dan dunia
lain yang baqa. Inyiek Jambang juga berkata, bahwa Erwin banyak
menderita rli dalam hidupnya, masih banyak lagi tantangan yang
menghadangnya. Tetapi Erwin telah dan masih akan banyak
menyelamatkan manusia, la meletakkan tangannya di atas kepala
Erwin. Terasa dingin. Memang lain dengan elusan tangan ayahnya.
Lalu kepada Dja Lubuk ia meminta agar suka memberi sesuatu,
apa saja, untuk kedua muridnya Datuk dan Koto. Pelajaran yang
diberikan Dja Lubuk dengan kata-kata dan cara menghadapi mereka

telah merubah mereka jadi orang-orang yang tidak lagi akan


seburuk tadinya. Merasa setaraf dengan guru besar sakti itu Dja
Lubuk menerima.
Erwin mencium tangan Inyiek Jambang, walaupun ia tidak
merasa menyentuh sesuatu dan memohon sesuatu yang dapat
dikaruniakan kepadanya.
"Kau sudah mempunyai banyak Nak," kata Inyiek. "Sebenarnya
tak ada yang luar biasa padaku untuk diturunkan kepadamu,
walaupun aku suka sekali untuk memenuhi keinginanmu. Tetapi aku
mempunyai ini sekedar untuk kenang-kenangan bahwa kau
kupandang sebagai cucuku. Cucu orang tua yang pernah ada di
tanah Minang ini," lalu Inyiek Jambang memberi Erwin sebuah
tasbih.
la mengucapkan selamat jalan kepada Dja Lubuk dan Erwin
dengan permohonan untuk bersedia disertai oleh kedua muridnya.
Lalu berjalanlah kedua manusia harimau dan kedua pendekar itu.
"Kami akan ke Palembang," kata Dja Lubuk yang menambahkan
bahwa ia tidak akan turut sampai ke kota itu. Mengantar Erwin ke
perbatasan.
"Ijinkanlah kami turut Tuan," pinta Datuk dan Mangkuto.
Dja Lubuk mengangguk dengan menerangkan, bahwa mereka
hanya akan berjalan kaki dan itu cukup jauh. Tetapi kedua pendekar
itu, walaupun heran mendengar, tetap mau ikut. Sekaligus apakah
mereka dapat menyamai Dja Lubuk dan anaknya ataukah nanti
manusia harimau Mandailing itu akan memperlihatkan hal-hal baru
yang belum dapat mereka ramalkan.
Mereka mengambil jalan pintas sehingga dalam tempo tidak lama
tiba di Solok lalu menuju Sawah Lunto. Dalam perjalanan di daerah
yang cukup banyak binatang buasnya inilah, Koto dan Datuk
mempersaksikan apa yang belum mereka lihat. Beberapa kali
mereka bertemu dengan harimau dewasa yang besar yang
mengejutkan dan mengecilkan semangat Koto dan Datuk, karena

mereka tidak dipersiapkan guru untuk menghadapi harimau,


walaupun mereka punya kepandaian pencak dan silat yang sangat
tinggi. Anehnya tidak ada satu pun dari harimau itu yang
menunjukkan amarah apalagi tanda-tanda mau menerkam. Mereka
menyingkir, memberi jalan kepada Dja Lubuk yang jalan di depan.
Ada di antaranya yang sujud memberi hormat.
Dalam hati Koto dan Datuk timbul keinginan amat besar untuk
nanti mohon diberi ilmu penunduk harimau kepada Dja Lubuk atau
anaknya Erwin. Tetapi tatkala pikiran itu timbul, mendadak mereka
semua mendengar geram seekor harimau. Hanya geramnya, sang
raja rimba tidak menampakkan diri.
Mereka semua yakin, bahwa tidak akan terjadi suatu apa pun,
karena dua orang yang ditakuti harimau telah memperlihatkan
kelebihan mereka. Dja Lubuk dan Erwin sendiri pun tidak kuatir.
Juga tidak ada firasat.
Tetapi tiba-tiba harimau itu menggeram lebih keras, entah apa
maksudnya. Melawan kekuatan Dja Lubuk yang gaib atau meminta
supaya mereka jangan melewati kawasannya. Tetapi mereka hanya
mau lalu, tidak punya niat lain.
Tiba-tiba harimau yang hampir sebesar lembu dewasa itu
memperlihatkan diri. Belum pernah Dja Lubuk dan Erwin apalagi
kedua kawan mereka melihat raja hutan sebesar itu.
la tidak tunduk oleh tatapan Dja Lubuk. Di situ manusia harimau
itu mengetahui, bahwa harimau ini bukan harimau biasa. Bahkan
barangkali bukan piaraan seseorang. Untuk pertama kali selama
riwayat hidup dan setelah matinya Dja Lubuk merasa apa pun yang
dihadapinya ini, punya sesuatu di dalam dirinya yang membuat dia
merasa kuat kuasa dan tidak mau tunduk kepada siapa pun yang
punya kekuatan melemahkan semangat perlawanannya.
"Kami hanya menumpang lewat, mengambil jalan pintas," kata
Dja Lubuk, seperti biasanya lembut karena tidak ingin mencari
lawan. Harimau itu mendengus keras. Matanya tetap memandang
lurus ke mata Dja Lubuk, sehingga orang asal Tapanuli itu kian

menyadari bahwa ia berhadapan dengan harimau yang ingin


bertarung. Mau menguji kekuatan sampai dimana benarkah
kehebatan orang Mandailing yang berani masuk kawasannya itu.
Yang sudah menundukkan dua pendekar dan bersahabat dengan
Inyiek Jambang. Dia belum dikalahkan dan dia tidak sebersahabat
Inyiek Jambang.
Mendadak harimau sangat besar itu bergerak ke arah kanan,
melewati Dja Lubuk yang berdiri tenang di tempatnya. Kini raja
rimba itu menghadapi dua pendekar bersama Erwin. Mungkin ia
mau memilih lawan yang tidak sekeras Dja Lubuk dulu. la menatap
Erwin yang juga menujukan matanya ke si harimau. Tetapi ia segera
merasa, bahwa sinar si punya kawasan lebih kuat. Harimau itu
bersiap-siap untuk menerkam. Koto dan Datuk tidak dapat melawan
rasa cemas. Jelas yang seekor atau yang satu ini lain. Menantang.
Harimau melompat seakan-akan hendak menerkam Erwin, tetapi di
udara ia merubah sasaran, menuju Datuk, yang mungkin
diketahuinya tidak punya kekuatan khusus terhadap dirinya. Tetapi
mata Erwin secepat kilat menangkap rubah gerakan, la
menghadang, melindungi Datuk, sehingga harimau yang lihay itu
terbentur pada pukulan Erwin. Raja rimba itu tidak terpental. Erwin
lah yang terjangkang ke belakang. Hanya bisa cepat mengelakkan
kuku-kuku sang raja dengan menggerakkan tubuhnya ke arah kiri.
Terkaman yang meleset ini membuat si raja hutan kian marah, la
menyerang lagi, kali ini Koto yang dijadikan sasaran. Pendekar itu
terpekik, tetapi ia masih luput dari maut. Juga karena Erwin cepat
mengambil tindakan, la menangkap kaki harimau yang sedang
menerkam ke arah Koto. Kaki itu dipelintir dan ditarik Erwin sekuat
tenaga, membuat binatang ganas dan sangat kuat itu menggeram
karena menjadi kian marah. Dja Lubuk hanya memperhatikan. Mau
melihat sampai dimana kemampuan anaknya. Kekuatan makhlukmakhluk perkasa selalu dicoba oleh yang merasa lebih kuat.
0odwo0
SEMBILAN

DJA LUBUK berpikir, siapakah kiranya yang punya harimau ini.


Ataukah dia seseorang yang oleh suatu sumpah atau kutukan
menjadi harimau penuh di luar kemauannya. Apakah dia ini pun
nanti akan berbalik punya sikap bersahabat seperti Datuk dan Koto
yang pada mulanya menyerang dia dan anaknya, karena dianggap
punya keberanian masuk ke kawasan mereka tanpa minta ijin
mereka terlebih dahulu? Tetapi Datuk dan Koto akhirnya jadi
sahabat karena mereka tak kuasa melawan Dja Lubuk dan Erwin.
Apakah ia dan anaknya dapat mengalahkan penguasa daerah ini?
Belum tentu. Bukan
saja
belum
tentu
dapat dikalahkan.
Kemungkinan mereka tidak akan keluar dari tempat ini juga ada.
Tak ada yang punya kekuatan tak terbatas di dunia ini, siapa atau
apa pun. Sebab, yang mempunyai tenaga tanpa ada batasnya hanya
DIA Yang Satu.
Harimau itu marah sekali. Dia pasti telah selalu bertarung dengan
sesamanya untuk menentukan siapa yang raja. Boleh jadi pula
dengan orang-orang gagah yang berani melanggar kekuasaannya.
Ataukah dia kadang-kadang masuk kampung untuk mengadu
tenaga dengan yang dinamakan jago harimau-harimau pilihan
punya kebiasaan mengintip orang berlatih atau berguru silat.
Melihat cara dan gaya mereka menyerang serta mengelakkannya.
Harimau yang pintar sangat mengetahui, bahwa kalau ia sampai
berhadapan dengan pandai silat kawakan, maka ia benar-benar
harus punya ilmu pula. Mereka tahu, bahwa pandai silek yang punya
semangat tinggi, tidak mudah dikalahkan. Mereka bisa meletihkan
harimau dengan kepintarannya mengelakkan serangan. Kalau
harimau letih kian marah, maka serangannya sudah tidak teratur
lagi. Jika sudah sampai begitu, maka terbukalah kesempatan bagi si
pendekar untuk membunuhnya dengan pisau yang tak pernah
tertinggal di rumah atau di gelanggang. Jantungnya akan tembus
atau sepanjang perutnya akan robek. Kalau sampai begitu, maka
betapa besar pun kekuatannya, ia akan tewas. Kematian harimau
besar oleh keunggulan seorang anak manusia akan menjatuhkan
citra raja rimba. Akan berkurang rasa segan manusia kepada
mereka.

Selama dia berhadapan dengan lawan, belum pernah mengalami


kakinya ditarik dari bawah ketika dia sedang melayang di udara.
Karena tarikan ini jadi bertentangan dengan arah lompatnya maka
terasa sakit. Apalagi dipelintir pula. Tahulah ia bahwa lawannya ini,
meskipun kelihatan masih sangat muda mempunyai sesuatu yang
jarang dimiliki oleh pendekar lain. Dan ini harus benar-benar
diperhitungkan oleh sang harimau yang mau menjaga martabat
bangsa dan kawasannya.
Dia yang rupanya bisa menahan diri, dia tidak langsung
menerjang lagi. la pergi beberapa meter jauhnya dari manusiamanusia itu. Dia berdiri di sana menghadapi Erwin, karena hanya
dia yang menahan dan menyerang. Yang lainnya tidak
dimasukkannya dalam perhitungan. Diam-diam dia juga kagum
pada sikap mereka. Ada empat orang, tetapi hanya satu yang
bertarung. Yang lain tidak mengeroyok. Padahal mata tajamnya
melihat jelas bahwa yang tua itu punya Umu dan yang dua orang
lainnya pasti pendekar Minang. Itu mudah dikenalnya, karena
sedaerah atau katakanlah senegeri.
Dja Lubuk dan Erwin juga tahu, bahwa harimau itu sedang
berpikir dan berhitung, cara apa yang terbaik dilakukannya. Mundur
berarti pengecut. Meneruskan perkelahian tidak boleh sembarangan. Yang dihadapi jelas bukan lawan yang mudah mengalah
bahkan mungkin tidak mudah atau tidak dapat dikalahkan. Karena
badannya luar biasa besar, sehingga menjadi yang amat dihormati
bangsanya di kerajaannya itu, ia merasa wajib mempertahankan
martabatnya, la harus mampu mengalahkan para pendatang itu. Dia
tahu resiko-nya. Mungkin harimau itu pun berharap supaya orangorang mengambil langkah mundur lalu meneruskan perjalanan.
Dalam hal demikian barangkali ia akan membiarkan. Dia tidak kalah,
malah sudah memaksa mereka pergi.
Celakanya, Erwin tidak mau berspekulasi. Khawatir harimau itu
malah jadi menyangka mereka takut. Harimau senang menerkam
orang takut. Dari cara harimau itu menyerang, dapat diketahui
bahwa dia sangat mengenal orang yang paling lemah

mempertahankannya. Makanya dia memilih Datuk dan Koto.


Memang dia bukan harimau biasa. Dia pasti punya kelebihan dari
harimau lain. Apakah dia berasal dari manusia atau memang
harimau liar, yang pasti dia banyak isi.
Erwin meminta Datuk dan Koto menyingkir ke belakang ayahnya.
Dan kedua orang itu menurut, karena itulah yang terbaik.
"Kami hanya mau menumpang lalu Rajo Ba-lang, tetapi kalau
Rajo tidak mengijinkan, silakanlah membinasakan kami," kata Erwin.
Mungkin harimau itu mengerti apa yang dimaksud Erwin yang
sambil berkata mengambil sikap untuk menyambut serangan.
Si harimau masih berdiri saja, seperti ragu-ragu, atau
menimbulkan kesan pada lawannya bahwa dia ragu-ragu. Supaya
lawannya agak lengah. Menerkam musuh yang lengah jauh lebih
mudah dari yang sedang bersiap siaga.
"Aku menunggu, kalau itu yang Rajo ingini," kata Erwin. Kini
menantang.
Harimau itu mengeram, rupanya dia menahan emosi. Supaya
jangan menerkam dulu. Menanti kesempatan yang agak baik. Dan
untuk itu dia berpikir.
Pelan-pelan harimau itu membalik, seperti hendak pergi. Dan
Erwin juga menyangka bahwa dia lebih suka memilih jalan damai.
Seperti Datuk dan Koto di Panorama tadi.
Tetapi pada detik-detik berikut, raja rimba itu mendadak
berputar, merendahkan badan lalu melompat ke arah Erwin. Yang
memang tidak menyangka harimau punya akal selicik itu. Dia belum
pernah menemukan lawan seperti ini. Dja Lubuk dan kedua
pendekar Minang juga kaget, karena mereka pun menyangka,
bahwa harimau itu tidak ingin meneruskan pertarungan.
Erwin melempar diri ke kiri, tak urung kaki depan kanan hewan
itu sempat juga menampar ke arah dirinya. Erwin yang tadi sudah
mengenal cara menyerang si perkasa hutan sempat pula
menangkap kaki kanan itu di atas kuku, pasti pergelangan kakinya

itu. Sekali dia pelintir, sehingga binatang itu hilang keseimbangan.


Dengan tenaga dalam Erwin menolakkan binatang itu sehingga
terhempas berdebab ke bumi. Dja Lubuk menarik napas lega dan
bangga. "Hebat kau anakku," gumamnya. "Sudah melebihi aku."
Sang raja hutan bangkit dengan
hati penuh amarah dan
dendam, tetapi sekaligus tambah menyadari bahwa dia berhadapan
dengan lawan yang sangat tangguh. Yang benar-benar di luar
perhitungannya. Sekali lagi, tanpa diduga oleh Erwin dan Dja Lubuk,
harimau itu melangkah ke arah lain lalu melompat ke tubuh Koto
yang berdiri di belakang Dja Lubuk. Tetapi sekali lagi ia kecewa,
karena Dja Lubuk segera menarik Koto sehingga si raja rimba
menerkam tempat kosong. Koto gemetar, begitu pula Datuk. Kedua
orang ini lebih takjub, karena si harimau dengan sengaja mencari
mangsa yang diyakininya dapat dibinasakan. Kedua pesilek itu kini
menganggap bahwa harimau yang seekor ini pun bukan harimau
biasa. Jangan-jangan seperti Dja Lubuk yang sudah mereka
saksikan sendiri bagaimana dia dari manusia biasa berubah jadi
harimau berwajah manusia. Tetapi di samping rasa takut, mereka
juga masih punya harga diri. Bagaimanapun mereka pendekar yang
punya nama cukup tenar. Akan sangat memalukan, kalau hanya
berlindung pada Dja Lubuk dan Erwin. Mereka harus melawan,
walaupun harus ditebus dengan nyawa. Rasa malu dan harga diri
inilah yang membuat kedua murid Inyiek Jambang sekarang
mengambil sikap untuk membela diri. Si raja hutan melihat. Kedua
pendekar senegerinya itu telah bersiap dengan jarak satu meter di
antara masing-masing. Kedua-duanya pula memegang pisau,
tandanya punya hasrat untuk merobek dada atau perut si harimau
kalau terbuka kesempatan untuk itu.
Lain yang terpikir oleh Dja Lubuk dan Erwin. Karena kedua orang
itu dipercayakan Inyiek Jambang kepada mereka untuk turut sama
berjalan, mereka tidak mau sampai terjadi sesuatu atas diri Datuk
dan Koto.
Bagi si harimau, membinasakan seorang raja pun rupanya sudah
akan lumayan daripada ia mungkin tewas tanpa menimbulkan

cedera.
"Bunuh Koto, bunuh," teriak Datuk ketika harimau itu mengambil
ancang-ancang lalu melompat menuju Datuk, yang cepat
merendahkan diri sementara Koto menusuk dan menarik pisaunya
ke samping tubuh si harimau. Harimau itu menggeram keras, tetapi
luka itu tidak cukup dalam untuk mengurangi tenaganya. Itu sudah
suatu prestasi bagus dan menambah semangat Koto. Datuk juga
besar hati karena ia dapat mengelakkan serangan si harimau. Kalau
kaki binatang dengan kukunya yang sangat tajam dan kuat sampai
dapat merobek muka atau bahunya maka dia akan binasa, setidaktidaknya cacat untuk seumur hidup.
Datuk dan Koto cepat mengambil posisi menghadapi sang
harimau kembali, sebab tahu bahwa mereka kini yang jadi sasaran
amarah. Raja rimba itu pasti bertekad untuk membunuh mereka, la
tidak segera menyerang, khawatir akan terjadi seperti tadi lagi.
Meleset, malah ia yang terluka. la mengendurkan otot-ototnya
berjalan setengah lingkaran. Datuk dan Koto menyesuaikan gerak
langkah mereka dengan si raja rimba. Dja Lubuk dan Erwin mundur
untuk memberi ruang gerak kepada kedua pendekar yang telah
melonjak semangatnya itu. Demi kehormatan dan terutama demi
keselamatan.
Pada waktu itu pula terjadi keanehan, sekurang-kurangnya bagi
Koto dan Datuk. Di sana sini telah berdiri harimau-harimau yang
tentu baru datang. Dan mereka hanya memandangi, mungkin
dengan perasaan tegang. Entah mengharapkan kemenangan si raja
entah mendoakan kematiannya, kalau ia raja yang tidak disukai. Di
dunia manusia dan hewan sama saja. Yang jahat dan serakah dibenci, diharapkan lekas mampus. Yang disayangi dan dihormati
hanya yang adil dan punya timbang rasa terhadap yang tidak sekuat
dia.
Setelah mendapat posisi yang baik harimau itu berdiri tenang
dulu, memandang sabar ke depan dan juga ke sekitarnya sehingga
jelas baginya, bahwa anggota masyarakat daerahnya sedang
menonton. Dia yang tahu dirinya disukai atau tidak, juga menyadari

apa yang diharapkan oleh harimau-harimau lain itu. Mereka semua


akan tambah takut dan tunduk kepadanya kalau dia keluar sebagai
pemenang, tetapi ia akan dipencilkan dan diejek kalau kalah dalam
pertarungan.
Ketika dia bersiap untuk menerkam, Erwin pun sudah mengubah
tempatnya berdiri, bersiap siaga. Ketika raja rimba yang amat
marah itu melompat ke arah Koto, ia pun turut melompat.
Kecepatannya melebihi si harimau, la memagutkan tangannya eraterat ke leher raja hutan itu, ketika ia masih di udara, sehingga Koto
sempat mengelak dan bahkan merunduk menikamkan pisaunya ke
perut si harimau. Untung tikaman itu tidak mengenai kaki Erwin
yang kedua-duanya menjepit perut si harimau dengan kuat, supaya
ia jangan sampai dilemparkan oleh binatang yang tidak menyangka
akan dapat serangan secara itu. Kedua tangan Erwin dicekikkan
dengan seluruh tenaga ditambah tenaga dalam.
Ketika tiba di tanah harimau itu mengerahkan segenap tenaga
untuk membebaskan diri, tetapi tidak berhasil. Cekikkan Erwin
membuat harimau itu mulai sulit bernapas, tambah sesak karena
cekikan itu mengencang terus.
Datuk dan Koto mau datang membantu, tetapi Dja Lubuk
melarang.
"Tidak adil kalau dia dikeroyok. Biar mereka selesaikan berdua!"
kata si manusia harimau tenang. Harimau-harimau yang jadi
penonton kelihatan tegang melihat adegan yang belum pernah
mereka saksikan. Mereka pasti selalu melihat pertarungan antar
sesama harimau yang saling bermusuhan atau berebut betina, pun
mungkin pernah melihat bangsanya bertempur dengan manusia.
Yang dibekali ilmu atau yang tidak berdaya sama sekali. Tetapi
belum pernah melihat seorang manusia melompati harimau yang
sedang menerkam lalu mencekik lehernya sehingga raja yang
terkenal sangat kuat itu melemah.
Inilah pertama kali Erwin mengeluarkan seluruh kekuatan
tersembunyi yang ada, yang hanya pada saat seperti itu pula baru
dapat dikerahkan. Harimau itu masih berdaya upaya membebaskan

diri. Dengusnya pun sudah melemah, kemudian dia tak melawan. Di


waktu itu Erwin bukan mengetatkan cekikan, tetapi malah
melonggarkannya. Datuk dan Koto datang dengan pisau terhunus,
tetapi Dja Lubuk melarang. Jangan membunuh penguasa yang
sudah tidak berdaya itu. Si harimau pun tahu rupanya bahwa
lawannya itu tidak menghendaki nyawanya. Dengan begitu dia pun
sadar, bahwa ia masih hidup karena diperkenankan hidup. Mungkin
di dalam hati ia malah minta ditewaskan saja karena malu pada
masyarakat sebangsanya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya.
Yang amat mencengangkan Datuk dan Koto adalah tindakan
Erwin selanjutnya, la memberi minum binatang itu dari botol berisi
air putih yang dibawanya untuk persediaan di jalan. Dja Lubuk
senang memandangi sikap anaknya yang sama dengan dia, penuh
kasih sayang kepada tiap makhluk yang dikarunia nyawa oleh
Tuhan. Yang memberi hak hidup bagi tiap insan dan makhluk.
Setelah Erwin dan Dja Lubuk mengelus-elus kepala si raja rimba
yang dikalahkan. Datuk dan Koto turut berbuat sama, walaupun
belum mengerti benar, mengapa binatang yang begitu ganas dan
terang-terangan hendak membunuh mereka masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan dengan begitu punya kesempatan
lagi untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tiada
berdosa.
Di Sawahlunto mereka mendapat cerita dari seorang yang sudah
sangat lanjut usia, bahwa memang di sana ada seekor harimau luar
biasa besar, yang selalu murka, la sangat membenci manusia,
karena dia pun asalnya manusia yang jadi harimau karena
perbuatan manusia juga. Namanya dulu si Kalek.
0odwo0
SEPULUH
SEMASA hidupnya si Kalek ini seorang pesilat dan pendekar
terkenal juga di daerah Sawahlunto sampai ke Solok dan Sijunjung.
Tetapi dia hanya seorang miskin. Sudah sejak kecilnya begitu.

Bahkan turun-temurun. Yang diketahui orang, sejak kakeknya


memang mereka keturunan orang miskin. Dari dulu anak beranak
hanya berkuli di ladang, sawah atau kebun orang. Mereka rajin,
tetapi penghasilan mereka hanya cukup untuk makan dan
barangkali setahun sekali ganti pakaian baru. Kakeknya juga pesilat,
juga terkenal ke daerah sekitar, la bahkan guru, tetapi tidak
menentukan bayaran bagi yang belajar padanya. Yang belajar pun
hanya anak-anak tidak mampu. Sesekali memberinya beras atau
sedikit uang. Dan kakek si Kalek sudah puas dengan keadaan
begitu. Ada orang yang menasihatkan dia untuk ke luar daerah,
menjadi guru, tetapi ia tidak mau meninggalkan kampung
halamannya? Saya lahir di sini, akan berkubur di sini juga,"
jawabnya dan ia memenuhi janji, la meninggal di kampung tempat
ia dilahirkan dan dibesarkan, dikuburkan di sana. Menjadi buah bibir
masyarakat beberapa waktu lamanya, bahwa Pak Ipin tutup mata
dengan tenang sambil tersenyum. Sampai sudah dimandikan dan
akan dikafani ia tetap tersenyum. Seolah-olah ia puas hidup dan
puas meninggalkan dunia ini. Barangkali pun bukan sekedar seolaholah, tetapi sebenar-benarnya puas. la terima dunia sebagaimana
adanya, dan orang yang dapat berhati lapang begitu pastilah
merasakan kepuasan. Dan orang semacam itu pastilah pula merasa
bahagia.
Pak Ipin meninggalkan tiga orang anak, ketiga-tiganya laki-laki.
Yang tertua dan kedua jadi orang surau, yang ketiga, Binur
mengikuti jejak ayahnya, jadi pesilat. Seperti ayahnya, ia dan
istrinya juga hidup dari berkuli dan pemberian beberapa murid yang
sangat tidak seberapa jumlahnya, la pun rajin bekerja, merasa hidup
hanya pas-pasan. Orang pun menasihatinya untuk meninggalkan
kampung, merantau. Mengadu untung di negeri orang. Dengan
bekal kepintaran lumayan dalam ilmu persilatan ia bisa mencari
pekerjaan sebagai centeng atau sebagai guru silat. Di luar
kampungnya sendiri, mungkin ia akan diambil sebagai guru oleh
keluarga mampu yang tidak mengetahui bahwa ia turun-temurun
miskin. Masih banyak orang yang menilai kepintaran si miskin
seimbang dengan kemiskinannya, sehingga sulit mendapat

kemajuan dan perbaikan nasib.


Tetapi sama halnya dengan Pak Ipin orang muda yang berpikiran
sangat sederhana dan bahkan kolot ini pun tidak mau beranjak dari
kampung.halamannya. Diapun mungkin sangat keliru mempunyai
prinsip "di sini dilahirkan, maka di sini juga aku akan dikuburkan."
Dari hanya berdua dengan istrinya, Binur pun setelah beberapa
tahun dikaru nia anak. Seperti semufakat, dengan ayahnya ia juga
mendapat tiga orang anak, hanya saja tidak ketiga-tiganya laki-laki.
Yang tertua perempuan yang dua lainnya laki-laki. Yang bungsu
diberi nama si Kalek dan dialah yang belajar silat pada ayahnya.
Ternyata ia mempunyai bakat yang baik sekali. Lompatnya bisa
sejauh lompat harimau, berbaliknya secepat itu pula. Namanya
segera terkenal, lebih terkenal daripada ayah dan kakeknya. Daerah
yang dijangkau namanya lebih luas daripada yang pernah dicapai
kakeknya, I pin, dan ayahnya, Binur. la selalu diundang untuk
memperlihatkan
ketangkasannya
di
tempat-tempat
orang
mengadakan pesta perkawinan, khitanan atau upacara adat.
Beberapa perkumpulan silat di luar kampungnya mengundang dia
untuk adu kemahiran. Beberapa kali ia memperoleh kemenangan.
Kalau orang-orang yang berjiwa sportif kagum dan senang atas
kemenangan Kalek, karena mengangkat nama kampungnya, maka
tidaklah demikian halnya dengan anak-anak orang kaya atau
kalangan atas yang mempunyai hati khisit dan dengki. Mereka
menganggap tidak layak orang semiskin si Kalek mendapat
kemenangan. Tidak sesuai dengan derajatnya. Si miskin harus
kalah. Itulah yang layak bagi mereka. Dan yang kaya atau anak
orang bernama harus senang. Seolah-olah itulah hukum yang adil
dan harus berlaku.
Diam-diam beberapa orang, termasuk orang tua yang anaknya
kalah, merasa tidak senang dengan si Kalek. Dalam usianya yang
baru dua puluh empat tahun ia sudah pernah diundang ke
Mamnjau, sudah mengembara sampai ke Lubuk Sikaping. Sudah ke
Bonjol dan Rao. Malahan sudah pernah dua kali ke Tapanuli. Yang
sekali ke Gunungtua dan yang lainnya ke Kota Nopan. Di sana pun

ia memperoleh kemenangan, sehingga namanya kian tenar.


Mungkin dia belum berhadapan dengan yang dinamakan si Dja
Bopong yang terkenal sampai ke Aceh karena silat harimaunya.
Barangkali dia belum berkenalan dengan Ayam Kinantan Padangbolak yang dengan tangan kosong dapat menebas putus leher seorang
perampok yang mengganas ke kampungnya. Tetapi bagaimanapun
ia tentu diuji orang dengan bukan yang sembarangan. Dan ia
berhasil keluar sebagai pemenang, la membawa banyak
hadiah
sehingga Kalek dan saudara-saudaranya dapat membeli pakaian
yang baik dan mampu memperbaiki gubuk mereka yang sudah
hampir roboh.
Beberapa penduduk yang semula meremehkan si Kalek, kini
mengubah sikap. Sudah jelas ia mengangkat nama kampung, maka
selayaknyalah ia dihargai. Mereka adalah orang-orang yang mau
mengakui kenyataan dan mengubah cara yang tidak benar selama
ini. Tetapi tidak semua orang mau mengakui kenyataan. Orangorang sirik tetap saja sirik, bahkan bertambah benci kepada Kalek.
Mereka memikirkan cara bagaimana menyingkirkan orang yang
menusuk mata mereka itu. Betapa gila dan jahat! Orang yang hanya
se si Kalek, yang menang bertanding silat tanpa merugikan siapa
pun hendak dibinasakan. Mereka tidak tahan melihat orang yang
biasa miskin ini tidak bergubuk miring lagi. Mereka sakit hati melihat
kedua orang kakaknya bisa berganti baju dan kain yang lumayan.
Kalek tahu, bahwa ia di benci dan bahwa ada orang-orang yang
hendak meniadakannya dari kampung itu. Jalan yang paling aman
baginya ia pindah dari sana, kalau ia tidak mau dipindahkan orangorang berhati jahat itu ke dunia lain, dari mana ia tidak akan pernah
kembali.
Semula orang-orang busuk ini menyewa pesilat kampung lain
untuk menyergap si Kalek, tetapi sudah tiga kali gagal. Ketika
ketahuan, bahwa ada orang luar masuk kampung dan mencoba
membunuh si Kalek, maka si penyergap berkata, bahwa ia hanya
hendak mencoba sampai di mana kekuatan orang hebat itu.
Ternyata benar ia handalan. Dengan begitu saja, perkara jadi

selesai.
Suatu kali tiga orang kuat kampung, bersekongkol mengeroyok si
Kalek. Tiga lawan satu mustahil mereka akan kalah. Tetapi
kemustahilan itu yang justru terjadi. Kalek dengan matanya yang
tajam, walaupun dalam gelap, sempat mengenali mereka. Yang
seorang bernama si Buyung Bagak, anak seorang Datuk yang
terkenal kaya sejak nenek moyangnya. Dia memang punya
kepandaian lumayan ditambah dengan mulut besar dan sikap
sombong. Ini juga bisa jadi modal dalam menghadapi orang tak
punya. Walaupun kebolehannya melebihi diri si orang kaya. Kedua
orang kawan Buyung Bagak juga pesilat-pesilat pemberani. Kalek
tahu bahwa mereka ini bukan sekedar mau mengganggu. Mereka
mau membunuhnya. Supaya Kalek yang menyakitkan mata mereka
itu, tinggal nama. Besok orang akan menanam tubuhnya yang
sudah binasa dan sukar dikenali.
"Kalek, akhirnya basuo juo. Kini baru ang ba-suo lawan nan
sabananyo!" bentak si Buyung Ba-gak. Harapannya bahwa si Kalek
akan gemetaran, tidak berhasil. Si Kalek sudah lama tahu bahwa
pada suatu saat orang ini akan menyergapnya. Dia sendiri berpikir
bahwa yang begitu tidak perlu terjadi. Dia terlalu tidak ada arti
untuk disingkirkan dengan cara yang begitu keji. Dia tahu diri, sadar
bahwa dia miskin dan tak pernah berani mengada-ada.
"Jangan Tuk," kata Kalek dalam bahasa Minang, walaupun orang
itu bukan Datuk, hanya anak seorang Datuk. "Saya terlalu kecil
untuk jadi lawan Datuk nan Bagak," katanya merendahkan diri guna
menghindari perkelahian.
"Jangan menyindir, monyet. Kau hendak mengatakan, bahwa aku
terlalu kecil untuk jadi lawanmu.
Begitu maksudmu. Jangan
berpura-pura!"
Bersamaan dengan itu Buyung Bagak melompat dengan satu
terjangan yang dengan mudah dielakkan oleh Kalek, sehingga si
garang hanya menendang tempat kosong. Kedua kawannya
menanti aba-aba untuk turut ambil bagian.

"lyo hebat ang, Lek," kata Buyung, sudah berhadapan lagi


dengan Kalek.
"Saya mohon, saya tidak mau berkelahi dengan Datuk!" pinta
Kalek. Dalam hati si Buyung merasa senang dipanggil Datuk, namun
dia tetap mau membinasakan orang kecil yang dianggapnya orang
berlebih di kampungnya itu. Orang seperti si Kalek tidak boleh
tinggal di sana. Lain halnya kalau dia hanya kuli atau penarik pedati.
Tetapi si Kalek ini, menurut Buyung memang macam-macam. Mau
bersilat segala! Itu kan bukan untuk orang semacam dia.
Sekali lagi Kalek mengatakan, bahwa ia tidak mau berhadapan
dengan Buyung Bagak, tetapi anak orang kaya yang sangat
sombong itu berkata, "Kau takut? Aku ingin melihat darahmu
menyiram bumi ini Kalek. Dia pasti akan jadi lebih subur. Dan aku
tak rela kau turut menguras beras kampung ini."
Buyung Bagak memberi aba-aba, tetapi Kalek yang tajam mata
dan telinga, sejak tadi sudah tahu bahwa ada dua orang lagi yang
hendak membunuhnya. Tiga lawan satu, bukan suatu perkelahian
yang seimbang. Tetapi kalau sudah tidak dapat dielakkan, orang
mesti mempertaruhkan nyawanya kalau tidak mau mati dengan
embel-embel konyol.
Udin dan Itam serentak menyerang, tetapi Kalek mengelak
dengan gaya yang begitu rapinya sehingga kedua penyerang itu
nyaris bertubrukan. Buyung Bagak mencabut pisau belatinya, la
ingin pertarungan ini segera selesai. Dan cara yang paling singkat
tentulah dengan menusuk jantung Kalek dengan pisau yang sudah
pernah ditanam selama tujuh Jumat. Menurut orang pandai yang
menjam-pi dan menanamnya, tergores saja sudah akan
menimbulkan luka yang tidak akan bisa disembuhkan. Akan
membusuk dan akhirnya berulat.
Pertempuran sudah agak kacau. Sesekali tendangan Itam makan
rusuk si Udin. Pada satu kali tusukan Itam dengan dua jari sekeras
besi malah masuk tepat di bawah bahu Buyung Bagak. ia berteriak
kesakitan. Kalau jari itu berisi pasti akan menembus dan
meninggalkan dua lubang seperti dilanggar peluru. "Calieklah

kawan," hardik si Buyung. Maksudnya supaya si Itam melihat


kawan, jangan sembarang tusuk.
"Indak sangajo Tuan," sahut Itam, takut oleh salah tusuk itu.
Melawan
satu orang
mempunyai
bulat untuk

tiga orang tidak mudah, tetapi tiga orang menyerang


juga tidak mudah. Apalagi pandai silat yang telah
banyak pengalaman. Walaupun serangan dengan niat
membunuh baru sekali ini dialaminya.

Kalek menganggap, bahwa yang harus lebih dahulu dirubuhkan


adalah kedua orang bayaran Buyung Bagak, yang bagaimanapun
lebih suka selamat daripada jadi korban. Mereka tidak punya
kebenci-m sebesar yang dipunyai Buyung terhadap diri Kalek.
Mereka pun mau membantu Buyung karena diyakinkan, bahwa
mereka bertiga pasti dengan mudah dapat membinasakan orang
kecil ini. Dan tidak ikan ada perkara. "Itu dijamin," kata Buyung
yang merasa dapat turut menghitam-putihkan kampung itu seperti
ayahnya.
Dengan tenang sehingga terarah Kalek menyerang ke dua kawan
Buyung yang lebih banyak bermodal keberanian daripada
kepintaran. Beberapa tendangan dan pukulan Kalek tepat mengenai
sasaran. Perut, dada, leher dan kepala. Juga rusuk tidak luput dari
tendangan keras. Buyung juga mengetahui, bahwa Kalek
mengutamakan serangan kepada kedua orang bayarannya dan
mengapa dia bermuslihat begitu. Dan dugaannya memang tepat.
Karena tak lama kemudian yang seorang telah berteriak terus
terang bahwa dia tidak mau kehilangan nyawanya. Yang lainnya
juga tidak mampu bertahan lama. Padahal kedua-duanya, sama
dengan Buyung Bagak, juga sudah mempergunakan pisau hendak
membunuh lawan yang masih saja bertangan kosong itu. Tidak satu
pun sambaran atau tusukan pisau mereka yang memakan Kalek.
Pada suatu kesempatan hampir senjata makan tuan. Kalek berteriak
supaya orang-orang bayarannya jangan lari, tetapi tidak dihiraukan.
Kini tinggal Buyung Bagak sendiri. Mau lari juga karena
keyakinan tidak tersua dalam kenyataan, masih punya rasa malu.

Dalam bertarung dengan hati bimbang itulah Kalek menangkap


pergelangan-nya yang sedang menghunus pisau. Dengan teknik
tinggi ia membuat ujung pisau itu berbalik kepada pemegang dan
pada saat berikutnya mata pisau menggores lengannya, langsung
mengucurkan darah. Buyung pucat dan takut. Bukan oleh rasa sakit
tetapi oleh ingatan bahwa luka yang disebabkan pisau itu tidak
dapat disembuhkan. Akan membusuk dan berulat.
"Lain kali kita jumpa lagi," kata Buyung Bagak lalu lari. Kalek
tidak mengejar. Apa yang terjadi seharusnya cukup untuk jadi
pelajaran bagi ketiga orang penyerangnya itu. Meskipun tidak
sampai cedera, Kalek merasa sangat tidak tentram. Kehadirannya di
kampung itu pasti tidak akan tenang lagi. Buyung Bagak akan
penasaran sebelum membinasakan dia. Walau begitu ia bertahan.
Dengan dalih luka dalam suatu pertandingan persahabatan.
Datuk nan Diateh mengobati luka maknya Buyung Bagak. Dia pun
tahu, bahwa luka itu oleh percobaannya membunuh Kalek. Orang
yang terus ketakutan itu merasa heran, dalam tempo tiga hari
lukanya sudah kering. Bukan karena pengobatan yang hebat, tetapi
karena pisau itu sama sekali tidak punya kekuatan untuk
menimbulkan luka seperti yang dikatakan si penjampi dan
penanamnya selama tujuh Jumat.
Kali ini Buyung tidak mau gagal, la menemui pesihir yang akan
dapat membinasakan Kalek untuk selama-lamanya. Mau
bagaimanapun boleh. Kata orang, pesihir itu sangat luar biasa.
Sudah banyak buktinya. Buyung Bagak bersiul-siul karena orang
kecil yang menjadi duri di mata dan pikirannya itu akan binasa.
0odwo0
SEBELAS
ORANG setengah baya bertubuh kerempeng itu jangan
diremehkan. Sebab dialah Sutan Imbalo, orang terkenal dan ditakuti
yang konon bertempat tinggal di Kamang Bukittinggi, Kabupaten
Agam. Meskipun beralamat di kampung yang pernah sa-ngat

terkenal dengan durian tebal berwarna ke-emasan yang tak mudah


dilupakan oleh penggemarnya, namun tidak mudah orang
menemukannya di sana. Ketidakpastian di mana dia sebenarnya
selalu makan dan tidur membuat dia lebih terkenal lagi sebagai
manusia misterius dengan kepintaran amat tinggi dalam ilmu sihir
yang konon dipelajarinya di Tibet, la memang pernah tinggal di
kawasan itu, kemudian hijrah ke Nepal dengan serdadu Gurkha-nya
yang amat mahir mempergunakan kukri, pisau tebal membungkuk
yang dapat mengenai sasaran dari jarak berpuluh meter. Tepat di
jantung. Si pandai sihir ini juga jadi ahli batu-batuan dengan segala
macam cerita mengenai khasiat atau sialnya. Kalau ia duduk di
antara para pedagang batu-batuan Nepai yang berjejer di kaki lima
Penang, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok dan juga di kota-kota
besar Indonesia, maka sungguh susah membedakannya dari mereka
yang rata-rata punya wajah khas intara Cina dan Birma.
Buyung Bagak menyampaikan maksudnya tanpa banyak variasi,
la ingin agar orang, yang katanya tak tahu diri di kampungnya itu,
bernama si Kalek, dihukum supaya ia tahu adat.
"Jangan dimatikan," pinta Buyung seolah-olah orang yang selalu
punya rasa kasihan terhadap sesamanya.
"Hah, tidak dilenyapkan? Orang yang banyak lagak dan tidak
disukai lebih baik dibuang saja dari dunia ini," kata Sutan Imbalo.
"Jangan Sutan, kasihan. Dia pun memperoleh nyawanya dari
Tuhan, sama dengan kita. Tak baik membunuh sesama manusia!"
"Tuan terlalu pemurah. Pernahkah dia dulu berjasa pada Tuan
makanya tidak sampai hati melenyapkan dia?"
"Tidak, kepantangan saya menerima jasa dari orang semacam
dia."
Setelah berpikir sebentar. Sutan Imbalo bertanya, hendak
diapakan si Kalek yang tidak tahu adat ini.
"Diubah saja menjadi binatang! Saya dengar Tuan sanggup
melakukannya. Saya rasa itu pantas bagi dia. Tidak cukup penting

untuk dibunuh!"
"Hmm, mau dihukum berkepanjangan? Itu perkara kecil! Kata
Tuan hendak diubah jadi binatang. Boleh. Bukan kerja berat.
Bahkan lebih mudah daripada membunuh. Dijadikan cacing? Atau
ular? Atau kita jadikan babi?"
Si Buyung Bagak berpikir. Betapa hebatnya orang ini. Bisa
mengubah manusia jadi binatang apa saja.
"Atau kita jadikan anjing supaya dia melolong sepanjang malam.
Lebih-lebih di waktu bulan penuh," tanya Sutan Imbalo.
"Kalau dijadikan anjing, penduduk akan dihantui bunyi
lolongannya. Selalu takut dan susah tidur. Paling kasihan anak-anak.
Tak akan berani keluar rumah. Saya ingin dia dijadikan harimau!"
kata Buyung Bagak.
Sutan Imbalo merasa aneh. Dijadikan harimau? Bukankah itu
lebih berbahaya, katanya kepada anak Datuk nan Diateh.
"Mungkin tetapi saya senang kalau sampai dapat melihat dia jadi
harimau. Apalagi kalau dia dapat bicara seperti manusia," kata
Buyung Bagak. Dia membayangkan, bagaimana akan senangnya
berhadapan dengan si Kalek yang mungkin akan minta-minta
ampun supaya dijadikan manusia kembali. Dan dia akan
mengatakan, bahwa si Kalek harus bersyukur, masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan tak usahlah macam-macam lagi, mau
jadi manusia segala. Dia lebih pantas jadi harimau daripada
manusia. Untuk diburu dan ditembak, lalu kulitnya yang diisi akan
dipajang di ruang tamu rumahnya di kota. Oh, betapa akan
senangnya dia.
"Kalau memang itu yang akan membuat Tuan merasa senang,
saya akan melakukannya. Tetapi sebagai harimau tentulah dia akan
merupakan binatang buas yang berbahaya. Dia akan ingin makan
daging segar!"
"Itu kan soal mudah. Dia bisa menangkap babi hutan atau rusa
kalau cukup cepat larinya!" kata Buyung Bagak.

"Tetapi bisa juga manusia!" kata Sutan Imbalo.


"Itu terserah dia. Tetapi dia tidak akan mendapat aku. Setelah ia
jadi harimau, aku akan selalu membawa bedil untuk membunuhnya
tanpa perkara. Itu akan merupakan suatu kesenangan tersendiri
yang barangkali tidak pernah dirasakan orang lain. Membunuh
harimau yang manusia!"
Meskipun Sutan Imbalo selalu menerima macam-macam order
dari orang yang hendak merubuhkan lawannya, namun keinginan
manusia yang seorang ini terasa aneh, menyimpang! Ini orang
sinting yang sadis, pikirnya. Tetapi dia menyanggupi dan ia akan
melaksanakannya. Apa pun kelak yang akan terjadi, bukan lagi
menjadi tanggung jawabnya.
Segala persyaratan dipenuhi oleh Buyung Bagak. Termasuk bayi
yang tak boleh berumur lebih daripada tiga puluh tiga hari.
Walaupun diterangkan oleh tukang sihir bahwa bayi itu, sesuai
ketentuan, harus dibinasakan, la upah orang menculik seorang bayi.
Bagi si Buyung Bagak tidak ada syarat yang terlalu berat untuk
dipenuhi, asal saja si Kalek bisa menjadi harimau.
"Bila ia akan jadi si Balang?" tanya Buyung ketika semua
persyaratan sudah diadakannya.
"Dalam tempo tujuh hari, dihitung dari malam nanti," jawab
Imbalo.
0odwo0
Sejak malam itu memang benarlah si Kalek yang pendekar miskin
itu selalu merasa gelisah. Selalu kepanasan dan sulit tidur, padahal
kampungnya itu punya hawa dingin, terutama pada malam hari.
Terasa olehnya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Teringat oleh
si Kalek, bahwa apa yang dirasakannya itu mungkin buatan orang
jahil. Tetapi ia tidak punya cukup biaya untuk minta bantuan dukun
yang dalam hal-hal berat selalu meminta imbalan yang besar.
Meskipun belum tentu berhasil.

Tingkah lakunya sedikit demi sedikit pun berubah. Pada malam


ke empat terkena perbuatan sihir Sutan Imbalo ia mulai menggeram
geram. Terasa olehnya ketidakwajaran ini, tetapi ia tak kuasa
mencegahnya, la bahkan teringat kepada Buyung Bagak yang
disangkanya mungkin mempergunakan pandai sihir atau sekurangkurangnya dukun besar berilmu hitam. Karena pengeroyokannya
tidak berhasil.
Sementara si Kalek tak tentram dan kian khawatir merasakan
perubahan pada dirinya. Buyung Bagak yang mengetahui seluruh
perkembangan dari mata-matanya, menantikan hari ketujuh dengan
rasa tak sabar. Akhirnya ia akan menang dengan cara yang sangat
gemilang. Baginya hari terasa berlalu begitu lambat.
Pada malam ketujuh penyihiran, si Kalek bukan lagi hanya
menggeram-geram, tetapi sudah mulai mencakar-cakar, la terus
mundar-mandir bagaikan harimau di dalam kandang.
Menjelang subuh ia tak kuasa menahan dorongan hatinya, la
melompat dari jendela, berlari menuju hutan. Sampai di pinggir
hutan dirinya gemetar dan ia melihat perubahan yang amat
menyedihkan dan menakutkan, la menjadi harimau. Pikirannya
masih bekerja seperti manusia, la menangis sambil berguling-guling.
Tetapi hanya itulah yang dapat dilakukannya, la tak mampu
mengubah kenyataan, bahwa dia sudah bukan lagi si Kalek yang
pendekar miskin. Kini ia sudah jadi si Kalek yang harimau.
Tempatnya bernaung sudah bukan lagi gubuknya yang sudah
tidak miring untuk melindungi dirinya dari panas dan hujan, la sudah
jadi penghuni hutan, sama halnya dengan babi, ular, rusa, gajah
dan satwa lainnya. Tempatnya bergolek sudah berubah dari Tikar
pandan butut menjadi tanah dingin yang keras gersang atau
lembab dingin.
Beberapa hari dan malam ia menangisi nasib. Mengapa atas
dirinya yang hanya orang miskin dan tak pernah menyusahkan
orang lain harus ditim pahkan kejahatan yang menyebabkan derita
semacam ini?

Bersamaan dengan derita yang tak terhalau itu proses atas tiap
makhluk bernyawa berjalan terus atas dirinya. Perut yang sudah
sekian hari tak mendapat isi merasa lapar. Datanglah kebutuhan
mendesak untuk makan. Dan kini ia ingin makan daging segar,
walaupun ia masih dapat mengingat bahwa biasanya ia makan nasi,
kadang-kadang hanya dengan sepotong cabe dan sejemput garam
ber kuahkan air panas.
Mulailah si Kalek harimau bergerak mencari makan. Dan yang
berhasil diterkamnya adalah seekor anak babi hutan yang sedang
sakit. Masih disadarinya, bahwa ia tidak boleh makan babi. Haram
hukumnya. Tetapi kemudian pikirannya ber balik
Itu dulu. Tatkala dia masih manusia! Bukankah dia kini sudah
bukan manusia lagi. Dia hanya seekor harimau. Tidak punya
pantangan. Masih terlintas pula rasa kasihan. Tetapi rasa yang biasa
dimiliki oleh manusia normal ini pun lenyap, dikalahkan oleh
keinginan untuk hidup. Sepotong demi sepotong mangsanya itu
berpindah tempat ke perutnya.
Memang dia ingin hidup. Harus hidup, kalau ia tidak mau
menerima hasil oleh kejahatan manusia dengan pasrah seterusnya.
Meskipun sudah berubah wujud dan golongan dari manusia ke
hewan buas, ia masih mampu dan berkepanjangan mempunyai
dendam yang kian hari kian membara. Si Kalek miskin sudah bukan
lagi makhluk berhati lembut, la telah menjadi pembenci yang ingin
mencari kedamaian lagi melalui suatu pembalasan yang setimpal.
Itulah makanya ia selalu mengintai kesempatan bila kiranya si
Buyung Bagak lalu di daerah kawasannya untuk memburu babi,
sebab ia termasuk orang yang suka melakukan perburuan. Entah
guna olahraga, entah karena adanya nafsu membunuh yang
bergolak di dalam dadanya, la akan menerkamnya, walaupun
mereka sedang beramai-ramai dan besar kemungkinan ia akan
tewas oleh peluru dan tombak mereka. Untuk itu kadang-kadang
pada malam hari ia sampai masuk kampung sehingga dihebohkan
masyarakat bahwa kini sudah ada Inyiek Balang yang berani
memasuki kawasan penduduk. Agar tiap orang berhati-hati. Dan

membunuhnya pada kesempatan pertama. Suatu ketidakadilan bagi


penghuni rimba. Bagi mereka ada batas pemukiman. Tetapi bagi
manusia tidak. Mereka boleh masuk ke hutan semau dan seberani
hati.
Kadang-kadang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Mengambil
kayu, bahkan menebas hutan semau-maunya. Mencari binatang
buruan. Babi hutan ka-ena mereka merusak ladang dan tanaman
penduduk. Mencari rusa untuk dijadikan santapan. Untuk itu
manusia masuk ke kampung-kampung para a. Dalam istilah negara
bertetangga dinamakan melanggar perbatasan. Yang bisa
menimbulkan tembak-menembak, bahkan perang antar bangsa.
Sebenarnya yang dicari si Kalek hanya satu sa-ia. Buyung Bagak.
Lain tiada. Tetapi masyarakat tentu tidak tahu tujuan harimau besar
ini. Kalaupun tahu, paling-paling mereka saling tanya mengapa ia
mencari Buyung Bagak. Apa sebab dan asal mulanya. Namun, si
harimau akan tetap dibunuh, n orang kampung akan sengaja
menantikan dia untuk lebih cepat dibinasakan.
Karena kunjungan hewan itu kian sering kelihatan dan penduduk
semakin khawatir, maka dipasang perangkap di pinggir hutan.
Dengan umpan tentunya. Kambing. Kasihan hewan piaraan lemah
ini. Ditakdirkan untuk dipelihara, dibesarkan, disembelih
atau
diumpankan kepada harimau.
Tetapi perangkap tidak pernah mengena. Harimau cerdik rupanya
si pelanggar batas itu.
Pernah Buyung Bagak beberapa kali berburu. Dan tampak oleh si
Kalek, tetapi tidak terbuka ke patan baik untuk menerkam dan
membunuhnya, la bukan takut kehilangan nyawa. Itu resiko. Tetapi
ia tidak mau kehilangan nyawa tanpa membunuh Buyung Bagak.
Kematiannya akan menutup ua kesempatan membalas sakit hati.
Itulah yang sangat tidak dikehendakinya.
Pernah pula ia ditembak oleh rombongan Buyung, tetapi tidak
kena. la yakin, bahwa yang menembak itu orang yang membuatnya
jadi binatang. Bagaimana pun marah dan sakitnya hati, si Kalek

masih harus menahan emosi yang meluap.


Buyung Bagak memang ingin membunuh harimau yang
diyakininya si Kalek. Dalam mimpi ia pernah menembak harimau itu
sampai tewas. Lalu dikuliti dan kemudian diopzet (diawetkan dengan
mengganti isi perut), diletakkan di gedung mereka di kota Padang.
Dia akan memberi nama harimau hasil tembakannya itu si Kalek.
Didukung oleh mimpi itu Buyung Bagak yakin, bahwa pada suatu
saat ia pasti akan merubuhkan binatang itu dengan peluru yang
dimuntahkan senapannya.
Tetapi bukan hanya Buyung yang punya keyakinan. Si Kalek pun
punya niat yang sama. Kalau Buyung sudah dirubuhkannya, ia rela
mati. Tak sabar lagi menanti D-day, hari si Kalek menerkam dan
mencabut nyawa Buyung Bagak, maka pada suatu malam hujan
gerimis ia kembali mendekati kampung, la sangat berhati-hati.
Bukan tak mungkin penembak sedang bersembunyi menantikan
kedatangannya. Kalau ia kelihatan dan tewas ditembak, maka
buyarlah semua maksud dan selama-lamanya dia tidak akan dapat
memaafkan dirinya.
Dia mengendap-endap. Pasang mata dan telinga. Telapaknya
yang besar tak terdengar menginjak bumi. Khas kemampuan
harimau, yang tidak dipunyai oleh manusia. Akhirnya ia sampai ke
dekat rumah Buyung Bagak. Bersembunyi di balik serumpun tebu.
Hari baru jam 9. Mungkin Buyung belum pulang atau akan pergi ke
rumah pacarnya.
0odwo0
DUABELAS
LAMA si Kalek bersembunyi di sana. Setelah ia hendak kembali ke
hutan untuk menanti lagi pada malam besoknya, tiba-tiba telinganya
yang tajam mendengar langkah-langkah yang kian lama kian
mendekat. Tidak sia-sia, pikirnya, la bersiap. Tetapi setelah kian
dekat, ia melihat bahwa yang datang itu bukan si Buyung Bagak,
melainkan ayah dan ibunya. Baru pulang dari pesta perkawinan.

Bukan mereka sasarannya, walaupun punya hubungan darah


langsung dengan Buyung. Kedua suami istri itu naik tangga dan
masuk rumah tanpa diganggu. Dan si Kalek menunggu lagi, karena
menurut perhitungannya orang yang dinantikan tentu akan datang.
Anak muda biasanya tidak buru-buru meninggalkan pesta, dimana
banyak gadis-gadis berkumpul. Sekurang-kurangnya untuk cuci
mata.
Akhirnya, menjelang pukul 12, yang dinantikan datang juga.
Si Kalek harimau bersiap. Kira-kira duapuluh meter dari
rumahnya mendadak Buyung Bagak berhenti, la memandang ke
sekeliling. Tidak biasanya dia begitu. Rupanya ada semacam
perasaan tidak enak. la ragu-ragu. Si Kalek menjadi tegang. Apakah
Buyung akan memanggil-manggil orang tua atau tetangga karena
merasa cemas tanpa sebab yang nyata? Mungkin ada dorongan
untuk itu, tetapi ia merasa malu. Pada mereka dan pada diri sendiri.
Bukankah ia terkenal bagak dan ditakuti orang sekampung?
Buyung melangkah lagi. Kini lebih cepat, ingin lekas sampai di
rumah. Si Kalek mengangkat tubuh bergerak cepat tanpa suara, la
menerkam Buyung tepat di kuduk, taring-taringnya yang tajam
langsung ditanamkan ke leher mangsanya. Oleh berat badan si
harimau. Buyung tersungkur dan karena kagetnya tak mampu
berteriak. Si Kalek memperkuat gigitannya dengan sepenuh tenaga
rahangnya dan ia tidak melepaskan Buyung sampai ia yakin, bahwa
musuhnya itu sudah mati, atau sekurang-kurangnya sekarat.
Kemudian ia membalik tubuh yang sudah kehilangan segala tenaga,
dipandanginya. Mungkin berhasrat untuk mengoyak dadanya lalu
mengeluarkan isinya. Setelah itu merusak mukanya.
Tetapi Kalek tidak melakukannya. Mungkin sisa-sisa kehalusan
sifat yang ada pada dirinya tidak mengijinkan. Bukankah ia
menghendaki kematian Buyung yang dengan kekuatan uangnya
telah membuatnya jadi harimau? Kini si Bagak sudah mati,
bukankah sudah cukup? Tetapi ada suatu maksud yang telah
direncanakannya yang dianggapnya perlu dilaksanakan, la
menggigit bahu kanan anak Datuk itu lalu menyeretnya sampai ke

tangga rumahnya. Setiba di tangga, Kalek tidak lantas kembali ke


hutan yang menjadi tempat tinggalnya, la menyandarkan tubuh
mayat itu, membetulkan letak kedua kakinya. Puas hatinya. Uang
memang selalu berkuasa, tetapi tidak untuk selamanya. Karena
uang hanya benda mati. Tidak mempunyai sifat abadi. Si Kalek
belum selesai dengan pekerjaannya, la menggeram-geram
memberitahu kehadirannya. Setelah yakin, bahwa orang tua Buyung
tentu mendengar, begitu pula tetangga dekat si Kalek menjauh.
Bersembunyi lagi. Rupanya ia mau melihat lanjutan hasil
pembalasannya. Dan dia melihat jendela rumah Datuk terkuak
sedikit. Tandanya orang sudah bangun. Begitu juga jendela rumah
Sutan Malano.
Datuk nan Diateh dengan istrinya merasa cemas. Tidak pelak
lagi, pasti ada harimau masuk kampung dan berada dekat sekali
dengan rumah mereka. Bukan kedatangan harimau yang mereka
cemaskan, tetapi si Buyung, anak mereka yang belum pulang dari
menghadiri pesta perkawinan. Dan dia tentu akan pulang.
Kecemasan meningkat jadi rasa takut. Datuk tidak mau
mempertaruhkan nasib Buyung Bagak. Sehebat-hebatnya dia
bersilat, kalau diterkam harimau pasti ia akan binasa. Bukan hanya
itu, mungkin akan diseret si raja hutan ke rimba untuk disantap
bersenang-senang.
Datuk membuka jendela dan berteriak memanggil tetangga
terdekat. Dilihatnya jendela rumah Sutan Malano terbuka dan
melemparkan caha ya terang menembus kegelapan malam yang
mence kam.
"Sutan," teriak Datuk. Yang dipanggil menya hut. Karena tahu
apa maksud panggilan itu, sebelum ditanya ia lebih dulu menjawab:
"Kami pun mendengar. Rasanya dekat benar!"
"Si Buyung belum pulang," kata Datuk. Sutan alano turut cemas,
karena di antara mereka masih ada hubungan keluarga. Datuk
mengajak Sutan bersama-sama ke tempat orang yang mengadakan
keramaian memeriahkan perkawinan. Dalam dialog melalui jendela,
mereka semufakat untuk sama-sama turun rumah dengan

membawa obor. Harimau takut pada api.


"Hati-hatilah Da," pesan istri Datuk yang semakin bingung.
"Harimau lapar selalu ganas. Belum tentu takut pada obor!"
Datuk menenangkan hati istrinya dengan mengatakan, bahwa ia
tidak pergi seorang diri. Ada Sutan Malano yang tentu akan ditemani
oleh anaknya Sayuti, sahabat dekat dan sebaya dengan Buyung
Bagak.
Pintu dibuka, tetapi begitu sampai di anak tangga bawah, Datuk
menjerit-jerit diiringi ledakan tangis dengan menyebut-nyebut nama
anaknya. Istrinya terkejut dan sebelum sampai melihat dia sudah
tahu apa yang terjadi. Pasti anak mereka. Begitu melihat Buyung
tersandar di anak tangga bawah perempuan malang itu menjerit
histeris lalu tidak sadarkan diri. Sutan Malano pun sudah tiba,
disusul oleh tetangga-tetangga lain.
Kampung itu jadi gempar. Dan kejadian mengerikan yang sangat
aneh itu jadi pembicaraan. Ada yang berbisik-bisik, tetapi ada pula
yang berterus-terang.
Ada yang menduga, bahwa Buyung diserang di tempat lain,
tetapi masih mampu membawa tubuhnya sampai ke rumahnya.
Malah ada yang menyangka, bahwa si harimau tak kuat menghadapi
kehebatan silat Buyung Bagak, sehingga ia melarikan diri tanpa
mencapai maksud yang sebenarnya, yaitu menyeret mangsanya
untuk dimakan di hutan. Mayat diangkat ke rumah.
Beberapa orang dengan bersenjatakan parang, tombak dan obor
mengikuti jejak harimau yang dimulai dari tangga rumah. Ketika
panik tadi mereka tidak sampai melihat jejak-jejak itu yang
sebenarnya kelihatan jelas, karena pada siang harinya turun hujan
dan tanah becek. Karena selain jejak, juga kelihatan jelas dua bekas
lain di antara jejak-jejak itu, mereka dapat menarik kesimpulan
bahwa penerkaman terjadi di tempat lain tetapi si raja hutan
menyeret tubuh Buyung di antara kaki kiri dan kanannya sampai ke
tangga rumah. Kini bulu kuduk mereka berdiri, tetapi bersamaan
dengan itu juga mendapat keyakinan, bahwa harimau itu hanya

menghendaki orang tertentu dan bukan pula harimau biasa.


Harimau biasa tidak akan membawa mayat korbannya sampai ke
tangga tempat kediamannya. Tetapi mereka tidak menyebut-nyebut
si Kalek, karena kejahatan itu sangat dirahasiakan oleh Buyung dan
ayahnya. Penduduk menyangka, bahwa Kalek diam-diam
meninggalkan kampung mencari selamat. Datuk pun tidak berani
menyebut-nyebut kemungkinan bahwa yang menyerang itu
barangkali si Kalek yang sudah disihir jadi harimau, karena segenap
penduduk akan membenci dan menjauhi dirinya. Perbuatan itu
sangat keji, terkutuk dan sangat ganas. Hanya beberapa orang
menduga, bahwa harimau yang datang dan membunuh Buyung
Bagak tentulah harimau yang pernah dilukai Buyung tatkala berburu
dan binatang itu datang membalas sakit hatinya. Itulah makanya
dipesankan kepada pemburu untuk tidak menembak harimau yang
tidak mengancam keselamatannya, karena lazimnya binatang buas
itu tidak akan menyerang manusia yang tidak mengusik diri serta
keluarganya. Dan kalau pemburu menembak harimau harus sampai
mati. Namun begitu masih ada satu bahaya. Kalau yang mati
ditembak seekor jantan dan yang betina tahu siapa yang
menembak, maka betina ini akan melakukan pembalasan kalau
terbuka kesempatan untuk itu. Begitu juga sebaliknya.
Datuk nan Diateh yakin bahwa yang membunuh anaknya si
Kalek. la menyesal telah berbuat sejahat itu terhadap orang yang
diketahuinya tidak punya kesalahan apa pun, bahkan mengangkat
nama kampungnya oleh kemahirannya bersilat. Tetapi kematian
anak tunggalnya itu juga membangkitkan dendam terhadap harimau
buatan penyihir yang disewanya, la meminta orang sekampung dan
penduduk dari kampung-kampung yang berdekatan untuk memburu
pembunuh anaknya. Oleh rasa segan kepada Datuk, banyak juga
yang mematuhinya sebagian dengan hati berat dan takut. Kuatir
harimau itu marah pula kepada mereka, karena mencampuri urusan
yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Ada yang sengaja
pergi dengan berbagai alasan, supaya jangan terlibat. Si Kalek yang
punya insting bahwa ia pasti akan diburu untuk dibunuh, sengaja
pula pindah dulu ke hutan lain sampai keadaan reda kembali.

Setelah beberapa kali berbu-ru tanpa hasil, orang kampung tak


bersedia lagi. Mereka memberi alasan, bahwa mungkin yang
menyerang itu harimau jadi-jadian, jadi tidak di hutan tempatnya.
Datuk yang yakin, bahwa harimau itu tak lain daripada si Kalek,
pergi ke Padang menghubungi pemburu profesional. Yang biasa
memburu harimau untuk mendapat kulitnya guna diperdagangkan.
Tak kurang dari lima pemburu menyediakan diri. Apalagi dengan
bayaran cukup tinggi yang dijanjikan Datuk. Tiap pemburu diberi
upah dan kepada yang menewaskan si pembunuh manusia akan
diberi pula hadiah tambahan yang melebihi harga seekor harimau.
Beberapa pawang juga ambil bagian, walaupun mereka tahu bahwa
harimau itu tidak akan dapat ditangkap melalui jerat atau perangkap
kalau ia memang bukan harimau biasa. Dan sebenarnya mereka
tahu, bahwa yang dikehendaki ini bukan harimau biasa. Turut serta
mereka hanya nasib-nasiban, kalau-kalau ilmu mereka melebihi
kepandaian dan akal si harimau.
Di tempat yang baru pun si Kalek tidak merasa aman lagi. Dan
karena tahu nyawanya sangat terancam oleh orang-orang yang
mengejar uang, maka ia tidak punya pilihan lain daripada
membunuh mereka. Seorang pawang dan dua pemburu diterkam
dan dikoyak-koyaknya. Setelah itu pemburu bayaran pun tidak
bersedia lagi. Tetapi si Kalek tetap curiga pada manusia yang masuk
ke kawasannya. Itulah sebabnya keempat orang yang datang dari
Bukittinggi itu dihadang dan diserang oleh si Kalek. Pakaian Datuk
dan Sutan Mangkuto yang serba hitam dan sangat dikenal oleh si
Kalek sebagai pakaian pendekar telah sangat menimbulkan
kecurigaan di hati harimau. Dia menilai bahwa yang terjahat di
permukaan bumi ini manusia. Walaupun manusia Iuga yang
terpintar dan terbaik.
Orang tua yang menceritakan riwayat harimau asal manusia
kepada Dja Lubuk, Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu
mengungkapkan, bahwa si Kalek tidak bekerja setengah-setengah.
Masih ada satu lagi yang harus dibinasakannya, yaitu pesihir yang
menerima tugas dan upah dari Buyung Bagak. Tanpa adanya pesihir
itu, biar pun si Bagak mempunyai segunung uang, si Kalek tidak

akan berubah Iddi harimau. Dalam hal ini uang dan kekuatan tidak
dapat dipisahkan.
Orang tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi pada suatu pagi
masyarakat kampung Sianok, Bukittinggi telah menemukan mayat
yang pasti diterkam lalu dicabik-cabik harimau di jalanan kampung
itu, padahal tempat itu tidak pernah dimasuki harimau. Penduduk
merasa lebih aneh lagi karena ternyata si harimau mengeluarkan
jantung dan otak mangsanya lalu meletakkannya kira-kira lima
meter dari mayat. Orang tahu, bahwa yang mati itu pesihir dari desa
Kamang.
0odwo0
Mendengar kisah harimau yang baru mereka lumpuhkan itu, Dja
Lubuk dan Erwin termenung, sementara bagi Datuk dan Koto cerita
itu hanya merupakan cerita aneh penuh kehebatan yang amat
menarik. Mungkin keharuan Dja Lubuk dan anaknya disebabkan
keadaan diri mereka yang tidak normal. Setelah mengucapkan
terima kasih kepada pengungkap kisah, mereka mohon diri.
Belum jauh melangkah, Dja Lubuk berkata kepada anaknya,
bahwa ia bermaksud kembali ke hutan mencari harimau yang
mereka kalahkan tadi. la menganjurkan anaknya untuk meneruskan
perjalanan ke Palembang, tetapi Erwin pun rupanya ingin kembali,
la mengusulkan kepada ayahnya agar ia saja yang kembali mencari
si Kalek, sementara ayahnya lebih baik kembali ke Tapanuli.
Ternyata ayah dan anak punya maksud sama, kedua-duanya
hendak mencari Kalek. Kedua pendekar Minang yang dianjurkan
untuk kembali saja ke Bukittinggi, karena mereka masih mau masuk
hutan lagi, juga menyatakan ingin ikut. Rupanya mereka
menyesuaikan diri dengan Dja Lubuk dan Erwin yang diharap akan
menurunkan beberapa kepandaian kepada mereka.
"Kami yang melukainya, kami mau mohon maaf," kata Datuk
yang dapat menebak apa sebab Dja Lubuk dan anaknya mau
kembali mencari harimau yang berasal dari manusia itu.

Tidak terlalu mudah mencari si Kalek yang luka, la tentu


bersembunyi. Tetapi akhirnya ketemu juga. Harimau itu tidak
menyangka, bahwa keempat orang itu akan kembali. Apakah mau
menyelesaikan dirinya yang baru luka? Sampai ia mati, karena
harimau luka sangat berbahaya? Tetapi ia heran ketika melihat Dja
Lubuk dan ketiga orang lainnya memberi hormat dengan menyusun
jari. Wajah mereka kelihatan terharu. Kalaulah si Kalek bisa bicara,
tentu ia akan bertanya.
Dja Lubuk yang mulai berkata lembut: "Kami kembali untuk
mohon maaf. Kami telah mendengar semua dari Angku Sati.
Sebenarnya engkau lengan aku dan Erwin, punya nasib buruk yang
sama," kata Dja Lubuk dengan suara lembut sambil mendekati si
Kalek yang terbaring karena sakit, la memegang kaki kemudian
mengelus kepala si Kalek dongan airmata membasahi pipi. Si Kalek
yang mengerti seluruh kata-kata Dja Lubuk pun tak kuasa liigi
menahan airmata yang sudah sejak tadi hendak terlepas dari
bendungannya. Erwin menyertai belaian Ayahnya terhadap si Kalek.
0odwo0
TIGABELAS
PERLAHAN-LAHAN tampang harimau yang tadinya ganas itu
berubah. Memperlihatkan kesedihan. Jelas sekali, walaupun ia
harimau, la memandangi mereka seakan-akan mengucapkan terimakasih, karena ada manusia-manusia yang mengerti dan
bersimpati kepada nasibnya. Kemudian tampak tenaganya kian
berkurang, tubuhnya melemas dan muka sedih itu mengesankan
kepasrahan. Seperti orang yang akan menyudahi hidupnya. Dan
memang benarlah si Kalek akan mati, sebagaimana tiap makhluk
bernyawa pada saatnya akan mati. Mungkin di dalam hati ia amat
sedih dan menyesal, karena ia tak mampu menyatakan terima kasih
dengan kata-kata yang dimengerti oleh orang-orang itu. Mungkin
juga ia ingin mohon maaf, karena ia telah salah sangka
menganggap mereka sebagai musuh. Walaupun kesalahdugaan itu
semata-mata akibat nasib buruk dan pengalaman pahit yang

menimpanya bertubi-tubi.
"Kau hendak pergi, Kalek?" tanya Dja Lubuk
y(ing sangat paham akan gelagat itu. "Pergilah dengan tenang.
Semua kita akan pergi."
Mengerti akan perasaan Dja Lubuk dan tahu ipa yang akan
terjadi, air mata Kalek semakin deras mengalir, seperti hendak
dihabiskan semua, sebab setelah ini dia tidak akan menangis lagi.
Erwin membaca surat Yasin, napas si Kalek mengendur, ia
mengatupkan mata. Bukan hanya Erwin, kedua pendekar Minang itu
pun tak kuasa menahan air mata, dapat merasakan kesedihan
harimau yang manusia itu. Bersamaan dengan kepergi-an
nyawanya, tubuh harimau itu secara perlahan berubah menjadi
manusia kembali. Ketika tubuh telah berubah sempurna, nyawa pun
telah tiada. Si Kalek tak sempat berkata-kata.
Mereka semua takjub, terlebih lebih Datuk dan Koto. Selama ini
mereka hanya pernah mendengar cerita. Kini mereka saksikan
dengan mata sendiri. Suatu kenyataan yang tidak dapat dimengerti,
tetapi juga tidak dapat dibantah.
Keempat orang itu berunding. Ada satu kesamaan, yaitu mayat
itu harus dikuburkan.
"Bagaimana yang baik?" tanya Dja Lubuk. "Kita kuburkan di sini?"
Datuk dan Koto tidak menjawab, tetapi Erwin berpendapat
bahwa sebaiknya mayat itu diantarkan ke keluarganya. Agar mereka
tahu kematian si Kalek dan mereka yang menguburkan mayatnya.
Walaupun akan timbul tanda tanya yang tak terjawab, tetapi
mereka pasti akan mendapat semacam kelegaan, bahwa Kalek telah
meninggal. Dan bukan mati tanpa tentu rimbanya.
Mereka tunggu hari malam diselingi dengan bacaan doa, agar
dosa-dosa si Kalek diampuni dan rohnya diterima di yaumil mahsyar.
Pada malam hari mereka usung mayat si Kalek, diletakkan
dengan khidmat di surau kampung kediamannya. Pada waktu sholat

subuh orang sudah akan mengetahuinya.


Setelah itu, kedua manusia harimau dan kedua pendekar
meneruskan perjalanan. Kini tidak lagi berjalan kaki. Mereka naik bis
yang hampir penuh oleh penumpang. Setelah jalan beberapa kilo,
seorang penumpang berkata, "Ada yang lain di dalam bis ini."
Semua penumpang memandang dan menunggu kelanjutan katakatanya. Rupanya dia orang berisi. Dja Lubuk dan anaknya saling
pandang, seolah-olah mengatakan, bahwa mereka harus bersiap.
Seorang penumpang lain, yang tertarik tetapi tak mengerti apa
maksud orang tadi dengan kalimatnya bertanya apakah yang lain
itu. Penumpang lain yang umumnya orang Minang tak bertanya.
Mereka hanya tahu, bahwa yang berkata itu tentunya seorang pintar
sehingga mengetahui ada yang "lain". Yang "lain" itu bica macammacam. Bisa palasiek (semacam kuntilanak pengisap darah
terutama darah bayi dan kanak-kanak), bisa cindaku, yaitu harimau
jadi-jadian seperti ayah Sabrina yang dikeroyok orang di
kampungnya, bisa juga seorang pencopet yang tercium oleh orang
pandai itu.
Pertanyaan tidak dijawab. Datuk dan Koto tahu, bahwa yang
dimaksud orang sekampungnya atau sedaerahnya itu tentulah
mereka, terutama sekali Dja Lubuk dan anaknya. Merasa
tersinggung oleh un\uk pandai orang orang tadi maka Datuk
berkata, "Kalau ada yang tidak berkenan di hati Angku, turun
sajalah di sini!"
Bagi yang mula-mula buka suara dan kemudian ternyata bergelar
Angku Pasaman, tanggapan Datuk jelas merupakan tantangan. Dan
ia lalu menyangka, bahwa orang inilah yang rupanya "lain" itu. Dia
salah seorang di antara empat penumpang yang baru naik.
Penumpang-penumpang lain mulai gelisah. Si orang pandai
ditantang oleh orang yang merasa tersinggung. Mereka pun lalu
menyangka bahwa Datuklah orang yang "lain" itu. Kalau bukan dia,
mengapa pula dia harus merasa tersinggung dan menanggapi, pikir
mereka. Dja Lubuk dan Erwin diam saja. Dalam hati mereka
merasa'senang kepada kawan yang menganggap penghinaan

kepada teman juga penghinaan kepada dirinya. Itu salah satu dari
pertanda kawan sejati.
Angku Pasaman pun bukan orang yang membiarkan tantangan
berlalu tanpa reaksi, la penganut setia pepatah orang Sumatera
Barat "Kato baja-wab, gayung basambuik" maka ia menantang balik
'Saya orang biasa, yang lain itulah yang seharusnya turun, sebab
bukan di dalam bis ini tempatnya," lalu katanya kepada pengemudi
"Pir, berhenti sebentar. Ada yang mau turun hendak masuk ke
rimba!" Jelas Angku Pasaman sudah tahu, bahwa yang
dimaksudkannya dengan "lain" itu adalah harimau ldi jadian. Itu
yang dikenal di sana. Manusia harimau boleh dikata jarang sekali
disebut, karena memang hanya ada beberapa di daerah Minang.
Datuk yang tadi sudah menanggapi jadi tambah panas. Terang
yang dimaksud orang usil itu Dja Lubuk atau anaknya, yang tidak
menanggapi, karena mampu menahan diri. Sesudah Angku
Pasaman menyebut rimba pun mereka diam saja.
Supir menghentikan bis, suasana kian mencekam. Para
penumpang biasa tidak berani buka mulut. Mereka semua
ketakutan, entah apa yang akan terjadi. Dua orang sudah saling
menantang didengar orang banyak. Apa hanya sampai di kata-kata
saja? Bagi yang punya harga diri akan sangat memalukan.
Datuk berdiri, bukan untuk langsung turun, te-tapi menarik
tangan Angku Pasaman sambil berka-ta, "Tuan tentunya orang
bagak, mari kita coba!"
Orang yang ditarik, bertahan tidak mau turun. Dja Lubuk
menyuruh Datuk duduk, yang dipatuhi tanpa tanya. Semua orang,
termasuk Angku Pasaman menyangka, bahwa orang tua berambut
dan berjanggut serta bermisai putih itu tentulah ayah orang yang
menantang. Dja Lubuk memalingkan pandang kepada Angku
Pasaman, sehingga mata mereka bertemu. Hati orang itu
bergoncang, matanya tak kuat bertatapan dengan Dja Lubuk, la
tunduk, menimbulkan rasa heran sekaligus mengetahui bahwa
orang tua itu bukan orang sembarangan.

Berkata Dja Lubuk kepada supir bis "Bung supir, suruh kenekmu
menurunkan kopor hitam Angku ini. Beliau ingin turun di sini saja."
Membangkitkan kagum semua penumpang, Angku Pasaman
tanpa menjawab barang sepatah kata pun, bangkit lalu turun. Kenek
menurunkan kopornya. Betul kopor itu berwarna hitam, membuat
semua orang tambah heran. Sudah pasti orang itu bukan mau turun
di sini, di tengah rimba yang terkenal menyimpan banyak harimau
dan gajah.
Tetapi ia turun tanpa protes.
Setiba di bawah, Angku Pasaman berdiri terbo-doh-bodoh, mulai
diselapi perasaan takut, karena ia bukan pawang harimau walaupun
banyak kepandaian. Dan dia sadar, bahwa orang tua yang
mengatakan dia mau turun di situ jauh lebih hebat dari dirinya.
"Jalan, bung supir," pinta Dja Lubuk. Bis itu bergerak.
Tetapi setelah lebih kurang dua puluh meter, Dja Lubuk meminta
supir supaya berhenti lagi. Semua orang heran, apa pula lagi yang
akan dilakukan orang yang pasti punya kekuatan luar biasa ini.
Dja Lubuk turun, tak ada seorangpun yang berani bertanya. Juga
Erwin tidak. Setiba di bawah, Dja Lubuk memandang ke arah Angku
Pasaman yang berdiri kebingungan, tak tahu akan berbuat apa. Dja
Lubuk memanggil dengan tangannya. Orang yang turun bukan atas
kemauan sendiri tadi, datang. Berdiri di hadapan Dja Lubuk seperti
orang bisu.
"Naiklah," kata Dja Lubuk. Dan orang itu naik tanpa kata.
la duduk kembali di tempatnya tadi, dipandangi semua
penumpang, tetapi tak seorangpun mengajukan pertanyaan. Mereka
sudah paham. Bahwa ilmunya ditundukkan oleh orang tua yang
impaknya hanya manusia sederhana saja.
Atas permintaan Dja Lubuk, bis berjalan lagi. Supir dan kenek
pun tahu, bahwa bersama mereka rida seorang manusia yang
pandai luar biasa. Dia pasti punya ilmu penunduk (pitunduek).

Sampai di Sungai Dareh, keempat penumpang dari Sawahlunto


itu turun, walaupun sebenarnya bukan itu tempat yang dituju.
"Mengapa kita turun di sini Amang?" tanya Erwin.
"Kasihan penumpang-penumpang bis itu. Selagi kita masih ada di
sana mereka tercekam dan tak dapat berkata-kata. Dengan cara ini
kita membebaskan mereka," kata Dja Lubuk.
Datuk dan Koto seperti bermimpi. Rasa heran dan kagum sejak di
Panorama Bukittinggi sampai pertarungan dengan harimau yang
ternyata berasal dari manusia, kembalinya mereka mendapatkan si
Kalek sampai mengantarkan mayatnya, kini bertambah lagi dengan
rasa hormat, karena orang ajaib yang luar biasa tangguh itu
ternyata punya hati yang penuh kemanusiaan. Dibenarkannya
Angku Pasaman naik kembali ke bis setelah disuruhnya turun hanya
melalui kekuatan pandangan matanya, membuat Datuk dan Koto
menduga, bahwa inilah yang boleh dinamakan mahaguru.
Ketegasannya disertai oleh kemanusiaan yang amat tinggi terhadap
siapa saja. Termasuk terhadap orang yang menghina atau hendak
membinasakannya. Sangat jarang manusia punya kebolehan dan
budi seperti Dja Lubuk. Kedua pendekar itu kini merasa bahwa diri
mereka belum apa-apa, baik dalam hal tenaga dan ketangkasan
maupun dalam budi pekerti.
Di sungai Dareh Dja Lubuk mengatakan, bahwa ia hendak
kembali ke Tapanuli karena merasa terpanggil. Mungkin
kehadirannya di negeri yang masih belum dijamah pembangunan itu
amat diperlukan. Datuk dan Koto menangis sampai terisak-isak.
Selama hidup mereka belum pernah mengenal orang sehebat dan
selembut Dja Lubuk, walaupun selain dia, tentu masih ada manusiamanusia yang tak kalah pintar dan baik hati. Tetapi mereka bukan
manusia harimau yang sewaktu-waktu bangkit dari kuburannya.
0odwo0
Erwin menasehati kedua pesilat Minang itu untuk kembali saja ke
Bukittinggi, sampai nanti keadaan membuat mereka bertemu lagi.

Tetapi Datuk dan Koto sangat memohon supaya boleh turut ke


tempat tujuan Erwin. Guna lebih banyak melihat dan dengan begitu
lebih banyak belajar, kata mereka.
"Dalam perjalanan dari Bukittinggi kemari saja kami sudah
menyaksikan sendiri, bahkan turut mendapat pengalaman yang
amat berharga. Ayah abang dan abang jelas merupakan guru yang
dapat memberi banyak pelajaran."
Erwin menyerah, lalu ketiga orang itu berangkat menuju
Palembang. Erwin akan langsung ke rumah Mei Lan, mohon maaf
kepadanya dan menjelaskan seluruh peristiwa yang telah terjadi, la
sangat berharap gadis itu dalam keadaan sehat-sehat, karena di
dalam segala ketegangan yang secara beruntung dilaluinya ia tidak
lupa kepada gadis Tionghoa itu. Dan selama hari-hari terakhir
pikirannya diganggu kecemasan yang tidak jelas sebab
musababnya. Apakah Mei Lan ditimpa penyakitnya kembali? ^
Dalam perjalanan menuju Lubuklinggau, Erwin .'lalu termenung.
Jelas bagi Datuk dan Koto bahwa sahabat mereka itu memikirkan
sesuatu yang cukup berat. Rupanya orang sehebat dia pun bisa tak
berdaya terhadap godaan kenangan atau kecemasan.
"Apa yang Abang pikirkan?" tanya Datuk yang duduk di
sampingnya. Meskipun ia lebih tua beberapa tahun, tetapi untuk
menghormati Erwin, ia memanggilnya dengan abang. Sebutan Tuan
atau engku akan kaku dan pasti merupakan hambatan dalam
hubungan yang diharap akan lebih akrab. Panggilan "guru" tentu
tidak disukai oleh orang hebat yang amat bersahaja itu.
"Datuk memperhatikan? Memang banyak yang kupikirkan dan
kadang-kadang aku cemas tanpa mengetahui apa sebabnya.
Biasanya pertanda akan adanya sahabat atau keluarga yang ditimpa
musibah. Aku masih berpendapat, bahwa sebaiknya kalian tidak
usah turut ke Palembang. Di Lubukling-gau kita berpisah,
bagaimana pikiran Datuk?" tanya Erwin.
"Walaupun baru beberapa hari, tetapi telah banyak yang kami
alami. Kami akan mengantar Abang sampai ke Palembang. Kalau

ada yang menghadang, ijinkan kami turut menghadapi! Kalau kami


harus mati, kami ikhlas dengan sepenuh hati!" kata Datuk dan ia
berkata yang sebenarnya.
"Baiklah, kalau sudah begitu keinginan hati Datuk dan Koto."
Hujan lebat menyambut ketibaan mereka di Lubuklinggau.
Mereka menyewa satu kamar untuk bertiga di penginapan sangat
sederhana. Erwin masih punya sedikit uang. Bayar di muka, karena
mereka bertiga hanya punya buntelan kecil. Bagi penanggung jawab
penginapan dinilai sebagai tamu yang tidak bonafide. Ini bangsanya
yang lari malam tanpa membayar.
Apa mau dikata, pada malam itu penginapan jadi heboh oleh
ributnya orang tamu yang pedagang. Dia kecurian uang dan
perhiasan. Dan apa boleh buat lagi, Erwin dan kawan-kawannya
dicurigai sebagai pelaku.
0odwo0
EMPATBELAS
KETIGA sahabat itu merasa dihina. Mereka memang tidak punya
apa-apa. Berjalan jauh tanpa perbekalan. Tetapi seumur hidup
mereka belum pernah mengambil hak orang lain. Apalagi dengan
memasuki kamar dan mencuri.
Seorang berbadan tegap yang bertugas sebagai penjaga
keamanan penginapan sangat sederhana itu mendatangi Erwin dan
kedua kawannya dan mengajaknya masuk kamar.
Dia menerangkan, bahwa persoalan itu tidak perlu diperbesar
apalagi dihebohkan. Hanya membuat malu, katanya. Dia
mengatakan, agar barang-barang yang dicuri itu dikembalikan saja
dan tidak akan dibuat perkara apa pun.
Erwin tidak bereaksi. Dengan begitu ia berusaha sekuat-kuatnya
menenangkan diri. la melihat bahwa Koto dan Datuk bukan hanya
merasa amat malu karena dihina, tetapi sudah sukar menahan

amarah mereka. Mereka masih berhasil mengekang diri, karena


diberi isyarat oleh Erwin agar bersabar.
"Kami mau bersumpah dengan cara apa pun, bahwa kami tidak
tahu menahu dengan pencurian itu," kata Erwin.
"Di jaman ini sumpah tidak lagi menjamin suatu kebenaran," kata
Dirham yang bertanggung jawab atas keamanan tamu di
penginapan itu. Kata-kata itu memang benar, tetapi di masyarakat
yang penuh dengan berbagai jenis penjahat ini, masih cukup banyak
manusia yang takut akan kutukan sumpah. Kalau mereka ini sampai
berani bersumpah tandanya mereka telah berkata benar.
"Kalian tidak keberatan kami geledah kamar ni dan diri kalian?"
tanya Dirham. Berharap bahwa penggeledahan itu akan
menghapuskan tuduhan terhadap diri mereka, maka Erwin setuju,
walaupun panas hatinya kian meningkat.
Dirham memanggil dua orang kawan untuk memeriksa kamar
yang ditempati oleh ketiga tamu yang tidak punya kopor dan amat
sedikit uang. Semuanya dibulak-balik, sehingga isi kamar yang tidak
seberapa itu jadi porak-poranda. Tidak ketemu a apa. Meskipun
malu, ketiga sahabat itu merasa agak lega. Kini lepaslah mereka
dari tuduhan. Tetapi kelegaan itu hanya beberapa saat. Yang
kehilangan segera berkata, bahwa ketiga orang itu tentu telah
menyembunyikannya di lain tempat. Mereka tentu tidak terlalu
bodoh untuk menyimpan batang berharga dan uang curian itu di
dalam kamar. Sebab mereka pun tahu bahwa kamar mereka akan
digeledah.
Mendengar tuduhan itu Erwin tidak merasa perlu lagi menahan
diri yang sudah amat sulit dikendalikan, la melompat ke arah
penuduh itu, be gitu cepat dan di luar dugaan, sehingga Tamsir, si
pedagang yang kecurian dan punya mulut ceroboh itu, tidak sempat
mengelak agak selangkah pun. Satu tamparan keras menghantam
pipinya, membuat ia terjajar, tetapi tidak sampai jatuh. Dirham
bertindak karena merasa kewajibannya melindungi Tamsir. Sudah
kecurian, dipukul pula. Dirham melayangkan tinjunya dengan
sepenuh tenaga ke muka Erwin. Malang baginya, tidak mengena,

karena ditepiskan oleh si manusia harimau dengan tangan kirinya,


sementara tangan kanannya bersarang ke rusuk di petugas
keamanan. Kalau tinju Dirham yang besar mengenai sasaran, pasti
muka Erwin akan pecah, tetapi kini dialah yang terbungkuk sambil
memegang rusuknya yang terkena sodokan tangan Erwin. Padahal
pukulan Erwin hanya mempergunakan tiga puluh persen dari tenaga
biasa.
"Bunuh!" teriak Tamsir yang merasa sangat dihina oleh orang
miskin itu, dengan keyakinan bahwa beberapa belas orang yang
berkerumun di situ tentu akan membantai Erwin dengan kedua
kawannya, yang kelihatan bersiap-siap untuk menyambut segala
kemungkinan. Tetapi tak ada seorangpun yang memberi respons.
Pukulan Erwin terhadap Tamsir dan Dirham membuat mereka
berpikir untuk melibatkan diri.
"Apalagi kalian semua, pengecut!" hardik Dirham yang kini
dendam kepada Erwin. Si bangsat gelandangan itu berani
meletakkan tangan atas dirinya. Betul-betul cari mati. Sambil
berkata begitu Dirham melompat lagi dengan tindakan diarahkan ke
dada Erwin. Tidak lagi sekuat tadi, karena rusuknya masih terasa
sakit. Sekali lagi Erwin menepiskan pukulan itu dan sekali lagi pula
tangannya masuk ke rusuk Dirham. Kalau tadi menerpa rusuk
kanan, kini yang sebelah kiri.
Sementara itu beberapa orang Polisi di bawah pimpinan Kapten
Kahar Nasution yang rupanya di-beritahu melalui telepon tentang
adanya pencurian dan keonaran di penginapan itu telah tiba di sana.
"Itu dia pencurinya. Pak Kapten," kata Dirham yang mengenal
perwira Polisi itu. "Orangnya sedang kalap!"
Kapten Kahar memperhatikan Erwin, memandang dari atas ke
bawah. Dia juga melihat ke araA Koto dan Datuk.
Tamsir menceritakan apa yang terjadi. Dirham menyatakan
keyakinannya bahwa yang pantas dicurigai hanya Erwin dengan
kedua kawannya.
"Bagaimana itu Saudara Erwin?" tanya Nasution yang tenang-

tenang saja karena tidak terpengaruh oleh tuduhan.


"Kalau orang yang tidak punya apa-apa pantas dituduh jadi
pencuri karena ada orang yang kehi angan, pantaslah kami dituduh.
Karena kami memang tidak punya apa-apa. Perjalanan kami dari
Bukittinggi sebagian dilakukan dengan jalan kaki," jawab Erwin
tenang.
"Saya datang kemari hanya menjalankan tugas. Boleh saya
bertanya tanpa menyinggung perasaan Saudara?" tanya Kapten
Kahar, la lalu bertanya, pakah tuduhan Tamsir dan Dirham benar.
Erwin menyangkal. Seumur hidupnya tidak pernah mencuri dan dia
tidak akan pernah jadi pencuri.
"Pasti dia dan kedua kawannya itu yang mencuri Pak Kapten,"
kata Dirham. "Kalau kena cara nya mereka pasti mengaku,"
tambahnya.
"Tidak ada cara yang akan membuat saya mengakui perbuatan
yang tidak saya lakukan," kata Erwin.
Kahar yang tetap tenang tetapi mengikuti semua kata-kata yang
menuduh dan dituduh berkata: "Baiklah, yang kehilangan dan
Saudara Dirham begitu pula para tersangka ikut dengan saya ke
Kantor Polisi untuk memberi keterangan." Kahar yang tidak suka
dengan suasana tegang bertanya dari mana asal Erwin dan
kedu'kawannya.
"Saya dari Mandailing dan kedua sahabat saya ini kenalan baru di
Bukittinggi, ingin turut ke Palembang. Mungkin oleh perasaan asal
daerah yang sama, Kahar bertanya, siapa orang tua Erwin.
"Ayah saya sudah tidak ada. IMama beliau Dja Lubuk f" jawab
Erwin.
Jawaban benar dan sederhana itu rupanya membuat Kapten
Kahar Nasution agak terkejut. Dia pernah mendengar cerita yang
seperti dongeng tentang Dja Lubuk dengan anaknya Erwin. Dia
dengar juga tentang seorang laki-laki bernama Erwin di dalam
kematian hartawan Husni yang dibinasa-kan oleh harimau di luar

kota Muara Bungo. Apakah benar ini orangnya? Bukan tak mungkin
dia ! hanya mengaku-ngaku anak Dja Lubuk dengan ha- i rapan
orang takut kepadanya karena nama Dja Lubuk cukup disegani oleh
mereka yang mengenal kisahnya. Ketika Kapten Polisi Kahar berpikir
bahwa mungkin orang ini hanya omong kosong, mendadak
terdengar suara harimau di penginapan itu. Semua orang terkejut,
juga Kapten Kahar. Tetapi ia segera paham, bahwa orang yang
disangka mencuri itu berkata benar. Yang mengaum itu Dja Lubuk,
ayah Erwin yang selalu hadir dimana anaknya terjepit. Kapten Kahar
tidak akan mundur dalam menjalankan tugas, tetapi dia akan
berhati-hati. Dia tahu tentang beberapa anggota Polisi yang tewas
di Jakarta.
"Kapten," kata Erwin. "Sebelum Kapten membawa kami ke
Kantor Polisi, saya punya usul. Yang jadi masalah pencurian dan
siapa yang mencuri. Bagaimana kalau Kapten perintahkan agar
semua orang yang menginap di hotel ini dan semua petugasnya
berkumpul. Siapa tahu. Kapten akan mendapat pencurinya di sini.
Barangkali kawan-kawan saya, barangkali saya. Tetapi barangkali
juga orang lain yang ada di antara kita!"
"Saya rasa tidak perlu Pak Kapten," kata Dirham. "Sudah pasti
mereka. Usulnya itu hanya suatu muslihat licik untuk mengibuli Pak
Kapten dan kita semua!"
"Saya tidak percaya kepada mereka, tetapi usulnya itu bukan
usul yang pasti tak berguna. Kalau dia licik, akan kita ketahui juga
kelicikannya!" kata Kapten Nasution dan ia memerintahkan
bawahannya untuk mengumpulkan semua tamu dan petugas
penginapan. Setelah semua berkumpul, pihak penegak hukum
secara singkat menceritakan apa yang mereka sudah ketahui.
Seorang tamu kemalingan dan tiga tamu lainnya disangka menjadi
pencurinya, karena mereka tidak memiliki apa-apa. Menyangka saja
bukan merupakan kekuatan untuk menahan seseorang, apalagi
membawanya ke pengadilan.
"Bapak kan tahu caranya, bagaimana membuat maling mengakui
perbuatannya," kata Dirham. Tamsir menguatkan. Kedua orang ini

ingin Erwin dihajar sampai rusak, karena kedua-duanya sudah


mendapat pelajaran dari si manusia harimau itu. Se kali lagi
terdengar auman harimau di dalam penginapan itu. Dekat dan jelas
sekali. Orang tambah takut dan gelisah.
"Apa itu Pak Kapten. Seperti suara nenek be-lang," kata Tamsir.
Mereka semua berkata serupa, Kapten Kahar pun mengatakan,
bahwa ia juga mendengar.
Kemudian perwira Polisi itu berkata lagi "Barangkali harimau
keramat. Saya pernah mendengar bahwa di sekitar sini memang
ada harimau aneh. la datang kalau ada kejadian yang tidak baik.
Tetapi dia tidak mengganggu manusia yang tidak berdosa. Saya
ingin bertanya kepada kalian
"Saya mau mencari jalan tengah.
Kalau benar tak mungkin orang lain yang mencuri, saya akan bawa
ketiga orang ini. Tetapi kalau misalnya bukan mereka yang mencuri,
saya harap pencuri yang sebenarnya berbaik hati untuk mengaku.
Saya rasa yang kehilangan akan puas kalau barang dan uangnya
dikembalikan. Bagaimana Saudara Tamsir!" Kapten Polisi Kahar
berkata begitu, karena ia tidak ingin jatuh korban karena amarah
Dja Lubuk, la yakin, bahwa Erwin ini benar anak Dja Lubuk.
Perasaannya itu pasti tidak keliru, begitu pikirnya walaupun ia tidak
memperlihatkannya.
Ketika tidak ada seorang pun yang mengaku, Erwin mohon ijin
untuk bicara.
"Saya punya pisau yang dapat menunjukkan siapa yang mencuri,
kalau dia ada di antara kita," kata Erwin. "Sudah tentu, kalau Kapten
percaya, bahwa di belahan bumi ini masih ada kekuatan gaib
tersimpan di dalam berbagai tempat. Termasuk di dalam diri
manusia, hewan dan benda mati." Kapten Kahar semakin percaya,
bahwa inilah dia orangnya yang bernama Erwin, yang manusia
harimau seperti ayahnya. Yang mengaum tadi tentu ayahnya, la
pernah mendengar cerita yang seperti dongeng, bahwa Dja Lubuk
akan bangkit dari makamnya kalau anaknya dalam bahaya.
"Bagaimana Tuan-tuan, tak ada ruginya kita lihat pisau orang
yang Tuan-tuan tuduh ini. Apakah benar punya kemampuan

menunjukkan siapa yang sebenarnya melakukan pencurian!" kata


Kapten Kahar Nasution.
"Ah, itu hanya sulap atau sihir yang akan menipu pandangan
mata kita!" kata Dirham yang belum puas menghina Erwin.
"Kalau begitu kita tonton sulapnya itu," kata Kahar sambil
bertanya kepada Erwin. "Apakah kami harus membayar?"
"Kami bukan tukang bikin pertunjukan Kapten!" jawab Erwin
singkat.
Kapten Kahar memerintahkan anak buahnya supaya membuat
semua orang duduk membentuk lingkaran. Walaupun Dirham dan
Tamsir serta seinlah orang keberatan, mereka terpaksa menurut
perintah para penegak hukum itu. Kalau engkar bisa dianggap takut.
Dan takut, tanda bersalah.
Erwin duduk di tengah-tengah, sementara kedua sahabatnya
turut membuat lingkaran bersama hadirin yang lainnya. Datuk dan
Koto semakin hormat kepada Erwin yang rupanya masih menyimpan
banyak kepandaian. Betapa enaknya, kalau mereka mempunyai
kepintaran semacam anak muda itu.
Tak kurang dari Kapten Kahar sendiri yang membuat pedupaan.
Orang-orang heran, tetapi ia membuang rasa heran itu dengan
berkata, "Jangan heran, saya juga manusia semacam kalian semua.
Dan saya selalu tertarik dengan kekuatan-kekuatan gaib!"
Erwin memulai setelah beberapa saat menenangkan diri dan
mengkhusukkan segenap perhatian. Setelah pikirannya menjadi satu
ia membaca mantra seperti yang telah beberapa kali dilakukannya
kalau ingin mengetahui sesuatu yang masih gelap.
Pisau yang diletakkan di atas piring ceper mulai bergerak. Ke kiri
dan ke kanan. Yang menyaksikan, termasuk Kapten Kahar dan
kedua orang yang melemparkan tuduhan berat atas dirinya
menumpahkan seluruh perhatian. Kapten Kahar karena tertarik,
Dirham dan Tamsir karena mulai takut. Yang mereka tuduh dan hina
itu rupanya seorang dukun yang barangkali termasuk kaliber

lumayan.
"Saudaraku Siti Alus," kata Erwin. "Semua manusia yang ada ini
percaya, bahwa kau tidak akan mau berdusta. Kau akan menikam
siapa saja yang coba menumbangkan kejujuranmu dengan kekuatan
hitam yang ada padanya."
Suasana sangat hening, tetapi terasa mencekam. "Siti Alus,
tolong jawab pertanyaanku ini. Apakah si pencuri uang dan barang
saudagar Tamsir ada di antara kami yang hadir, termasuk diriku?
Kalau ada, berdiri dan menjulanglah pelan-pelan." Suasana tambah
tegang dan beberapa wajah memperlihatkan rasa takut. Pucat.
Pisau yang diberi nama Siti Alus itu bergerak, pelan-pelan berdiri
sampai lurus di atas piring. Kemudian ia bergerak, naik. Semua
mata seperti tidak percaya akan apa yang mereka lihat! la seperti
mengatakan, bahwa si pencuri ada di antara mereka yang hadir.
0odwo0
LIMABELAS
PISAU itu kian tinggi dari piring sampai sebatas kepala Erwin dan
para hadirin yang duduk di sekelilingnya. Kemudian berhenti, tanpa
ada penahan dari atas, tanpa penunjang dari bawah.
"Yang mencuri uang dan perhiasan berharga milik Tamsir ada di
antara kita. Barangkali saya. Barangkali kepala keamanan yang
sangat keras menuduh saya!" kata Erwin dengan suara lantang
tetapi tenang.
"Bohong," teriak Dirham.
"Dia tidak menuduh, hanya mengatakan mungkin dia sendiri,
mungkin juga Saudara. Mengapa mesti marah!" kata Kapten Kahar.
Kata Erwin melanjutkan," Pisau ini boleh kita minta sekedar
menunjukkan pencurinya atau langsung menembus jantungnya!"
Tiba-tiba dua orang muda berpakaian parlente berteriak, "Kami

yang mengambil. Kami mengaku, jangan ditikam!" Semua orang


tercengang, kemudian terdengar bisik-bisik. Tamsir dan Dirham
malu bukan kepalang.
"Bagaimana Saudara Tamsir dan kepala keamanan?" tanya
Kapten Kahar. "Orang miskin tidak mesti dituduh mencuri.
Percayakah kalian pada pengakuan kedua orang ini? Ataukah kalian
pikir mereka mustahil mencuri. Di antara semua yang hadir
tampaknya merekalah yang paling mampu!"
Dirham dan Tamsir diam. Mereka tidak merasa perlu minta maaf,
hanya kepada seorang dukun yang tidak memiliki apa-apa selain
sedikit kepintaran.
Dirham malah berkata, "Rupanya dia dukun. Kukira pantaslah
kalau Tuan Tamsir memberi sekedar upah!"
Erwin membaca mantra lagi dan pisaunya turun perlahan-lahan
sampai rebah kembali di atas piring tanpa memberi suara.
"Berapa upahnya dukun?" tanya Tamsir yang ternyata punya sifat
sombong. Dia tidak takut, karena bukankah di sana ada Polisi?
Dukun itu tak kan berani macam-macam. Tetapi dengan amat
mengejutkan orang banyak, tiba-tiba Tamsir terjungkal ke depan,
seperti ada yang memukul tengkuknya. Padahal tidak ada orang
yang memukul, la duduk kembali dengan perasaan takut dan malu.
Terasa benar olehnya ada yang memukul, sementara semua orang
tidak melihat ada pendatang baru.
Untuk menutupi rasa malu Tamsir berkata "Saya agak pening!"
"Saya harus membayar dukun berapa?" tanya Tamsir.
"Kukira seribu rupiah sudah cukup," kata Dirham.
Kini giliran Dirham tersungkur sambil menjerit. "Anda juga
pening?" tanya Kapten Kahar. "Tidak, seperti ada setan memukul
saya dari belakang. Barangkali setan itu marah mendengar upah
seribu. Berilah dua ribu Tuan Tamsir!"
"Manusia

sombong,"

bentak

Erwin.

Kini

dengan

suara

menggeledek yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. "Aku


memang miskin. Hampir tidak pernah memegang uang ribuan.
Tetapi aku beritahu kepadamu, bahwa aku meminta bantuan Siti
Alus hanya untuk mengetahui siapa pencuri yang sebenarnya.
Bukan untuk mencari upah. Kau dengar kataku? Aku tidak suka
berkelahi, tetapi karena merasa kau sangat menghina diriku, aku
tantang kau untuk beradu tenaga. Dengan senjata boleh, dengan
tangan kosong pun jadi. Ataukah kau dengan senjata pilihanmu dan
aku dengan tangan kosong! Anggaplah sebagai permainan antara
andalan Lubuklinggau yang tegap besar, sarat gizi, dengan seorang
perantau miskin yang tak pernah makan sempurna. Tadi kau
bernafsu sekali meninjuku. Kalau kena mukaku, pasti akan remuk
sampai tak bisa dikenal lagi."
Semua orang memandang Dirham yang berbadan besar dan
kekar. Tetapi di luar dugaan, Datuk bangkit dari tempatnya duduk,
melangkah ke Dirham dan menendang mukanya secara ahli,
sehingga petugas keamanan itu terjungkal lagi. Kini ke belakang
dengan hidung mengeluarkan darah.
"Bangkitlah!" bentak Datuk. Ketika orang itu hendak bangkit
berdiri, satu tendangan keras menerpa dadanya. Kapten Polisi Kahar
melompat dan menahan Datuk untuk melerai.
"Maaf Pak Kapten' kata Datuk sopan dalam amarah. "Perbuatan
saya ini tidak pantas, apalagi di hadapan Bapak. Tetapi
kesombongan orang ini sejak tadi terlalu menyakitkan hati."
Kata-kata yang mengandung kesadaran itu membuat perwira
yang lapang hati itu dapat mengerti.
"Siapakah saudara, mengapa sampai berjalan kaki sejauh itu?"
tanya Kapten itu ramah. Semua hadirin pasang telinga, ingin tahu
kisah ketiga orang yang rupanya bukan petualang biasa.
"Di negeri saya, bagaimanapun miskinnya, saya ini bergelar
"datuk" dan orang yang disegani. Bersama sahabat saya Koto kami
bertemu dengan Pak Erwin. Melihat sifat dan kemampuannya kami
memutuskan untuk belajar dari dia. Walaupun baru beberapa hari

kenal, tetapi selama itu kami sudah tahu betul siapa dan bagaimana
dia sebenarnya. Kami pun sudah mengenal ayah beliau yang
diterangkan beliau tadi!" kata Datuk.
"Tuan Dja Lubuk?" tanya sang Kapten.
"Ya, kami sudah bertemu, pernah seperjalanan, sudah
menyalamnya! Pak Kapten juga sudah?" Kedua orang itu bercerita
seperti dua orang sahabat. Kapten Kahar cukup tahu, bagaimana
pandangan masyarakat daerah di Minangkabau terhadap Datuk
mereka.
"Saya belum pernah bertemu, tetapi ada juga mendengar
ceritanya," kata Kapten Kahar. "Ingin saya bertemu dengan orang
hebat itu!"
"Lebih dari hebat Pak," kata Datuk. "Tetapi punya hati sehalus
sutera. Itulah yang membuat kami sangat heran. Kekerasan,
kejujuran dan kelembuta n bergabung di dalam satu diri!"
Orang ramai jadi tidak lagi memikirkan si Tamsir yang kecurian,
tetapi seluruh perhatian mereka beralih kepada cerita Datuk tentang
Dja Lubuk. Kebetulan tidak ada seorang pun di antara mereka
selain Kapten Kahar yang pernah mendengar kisah tentang diri
manusia harimau itu.
Sebuah auman lagi. Singkat tetapi keras, la menunjukkan
kehadirannya.
"Tuan," teriak Datuk tanpa sengaja. "Tampillah Tuan Guru
supaya dilihat oleh orang-orang ini!" Dan Datuk dengan sepenuh
hati ingin agar Dja Lubuk memperlihatkan diri supaya mereka tahu,
siapakah Erwin dan mereka berdua yang tadi dituduh mencuri, la
akan bangga, kalau Dja Lubuk tampil di sana.
Tanpa memberi isyarat, tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah
lingkaran orang-orang yang masih duduk itu, suatu makhluk yang
hanya pernah dilihat oleh Datuk, Koto dan tentunya Erwin yang
anak kandungnya. Seluruh tubuhnya harimau. Hanya kepala
merupakan seorang laki-laki tua tetap ganteng dan berwibawa

dengan mata yang tak ter tentang oleh siapa pun: Dja Lubuk!
Semua orang berubah jadi pucat. Beberapa wanita yang juga
tamu hotel, menyertai suami atau orang tua gemetar lalu pingsan.
Kapten Kahar Na-sution tidak luput dari terkejut dan seperti sukar
percaya akan apa yang dilihatnya. Padahal ia sudah mendengar
kisah tentang Dja Lubuk si manusia harimau yang meninggal dan
dikuburkan di Mandailing tetapi kadang-kadang bangkit lagi untuk
tampil di tempat yang perlu. Sampai-sampai di Pulau Jawa.
"Kau petugas yang baik Kahar. Mengabdilah dengan sebersih hati
untuk bangsa dan negara. Jangan lupa kampung halaman. Lihatlihat juga ke sana bagaimana keadaannya!"
"Terima kasih Ompung Guru," sahut Kahar dengan suara jelas
tetapi bergetar, la memang sudah lama tidak pulang ke
kampungnya. Tetapi dia mendengar, bahwa Mandailing masih
sangat ketinggalan. Banyak penduduknya yang miskin dan melarat.
Pada waktu itu juga datang niat di dalam hatinya untuk pulang
sebentar ke Mandailing pada kesempatan pertama.
"Bagus," kata Dja Lubuk, "niatmu itu saja pun sudah sangat
bagus. Menandakan kau belum lupa pada asalmu!"
Kahar Nasution heran dan kagum. Dja Lubuk benar-benar
keramat, pikirnya.
"Bolehkah saya maju menyalam Ompung Guru?" tanya Kapten
Kahar.
Manusia bertubuh harimau atau harimau berkepala manusia itu
tertawa lalu berkata. "Kalau kau tidak jijik menjamah tanganku yang
berbulu dan berkuku tajam-tajam ini, maka akulah yang mestinya
berterima kasih. Mendapat kehormatan disa lam oleh seorang
Nasution asal Mandailing yang sudah Kapten Polisi. Kudoakan, pada
akhir tahun ini kau sudah akan naik pangkat jadi Mayor, Kahar!
Kapten Kahar bergerak dengan mengingsut ke ah Dja Lubuk.
Sebelum ia sampai, makhluk itu telah berubah menjadi seorang tua
biasa. Kepala yang sama dengan tubuh manusia sepenuhnya.

Hampir semua hadirin yang masih mampu menguasai diri


menyebut Allahuakbar karena apa yang mereka saksikan itu hanya
bisa terjadi oleh Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan yang tidak ada
batasnya. Beberapa orang sujud, ketika Kapten Polisi Kahar
Nasution menjabat dan menyalam tangan Dja Lubuk.
"Selama kau menjalankan tugas dengan hati bersih, tidak
menyalahgunakan wewenangmu, Insya Allah kau akan dilindungi
Tuhan." Perwira Polisi itu mundur kembali ke tempat ia duduk tadi.
Setelah Kahar duduk kembali, Dja Lubuk memandang ke
sekelilingnya, meletakkan tangan kanannya di atas kepala Erwin.
Kemudian hilang dari pandangan.
Serentak Dirham dan Tamsir mendatangi Erwin dan kedua
sahabatnya, menyalam mohon maaf. Sebenarnya mereka sangat
malu berbuat begitu karena tadinya mereka telah bersikap terlalu
kasar dan sombong. Tetapi kehilangan muka bagi mereka masih
lebih baik daripada kehilangan nyawa yang bisa saja terjadi kalau
Erwin yang punya berbagai ilmu itu hendak membalas dendam.
Pisau yang dapat disuruhnya itu tentu dengan mudah dapat pula
diperintah untuk mendatangi mereka di mana saja, lalu menusuk
jantung mereka tanpa ada tangan yang menikamnya.
Dirham yang amat ketakutan menawarkan kepada Erwin untuk
menginap dan makan minum apa saja yang dikehendakinya tanpa
membayar. Dengan halus ia menolak. Tawaran Kapten Kahar
Nasution untuk menjadi tamunya pun ditolaknya dengan ucapan
terima kasih.
Kedua orang yang mencuri barang dan uang
Tamsir dibawa ke Kantor Polisi untuk diproses. Ternyata mereka
memang pencuri profesional yang selalu beroperasi di hotel-hotel.
Di kopor mereka terdapat banyak sekali kunci untuk membuka pintu
kamar yang jadi sasaran. Juga senjata api. Selain itu cukup pakaian
bermutu untuk menampilkan diri sebagai orang-orang baik dan
mampu. Mereka jarang menginap di penginapan amat sederhana,
seperti yang mereka lakukan sekali ini di Lubukling-gau. Tetapi

mereka sudah tahu, bahwa Tamsir, seorang pedagang kaya yang


tidak suka menginap di tempat mewah untuk menghindari biaya
besar dan menarik perhatian maling dan penodong.
Bawahan Kapten Kahar Nasution yang turut menyaksikan seluruh
kejadian di penginapan merasa hebat karena dapat menceritakan
suatu kejadian nyata yang layaknya hanya terdapat di dalam
dongeng. Rekan-rekan mereka semula tidak percaya, tetapi karena
dipersilakan bertanya sendiri kepada sang Kapten atau orang-orang
yang di penginapan, mereka jadi menyesal mengapa tadi tidak
dibawa serta.
"Kalian melihat sendiri? Bukan sulap?" tanya beberapa Polisi.
"Pak Kapten bicara dan bersalaman dengannya!"
"Dengan harimau yang berkepala manusia?"
"Ya. Sudah tua, rambut dan misainya putih. Tetapi sangat
ganteng dan penuh wibawa. Pandang-?in matanya akan membuat
jantung berdebar dan kalau kurang kuat iman, bisa rontok!"
Kapten Kahar Nasution juga rindu kepada kampungnya di
Mandailing yang sampai sekarang masih kurang dijamah kemajuan,
kurang pula diingat oleh mereka yang sudah senang dirantau, kalau
daerah luar Mandailing harus dikatakan daerah perantauan bagi
mereka yang meninggalkan kampung halamannya. Banyak rumah
yang dibangun lebih empat puluh tahun yang lalu sudah miring atau
bahkan hampir roboh tanpa ada tangan-tangan yang
memperbaikinya karena tiada biaya untuk itu. Di sela-sela
kemiskinan yang memilukan itulah terselip kisah dan kejadian yang
penuh misteri. Di negeri asalnya itu banyak harimau hidup
berdampingan secara damai dengan manusia. Karena meskipun
miskin orang-orang asli daerah itu tidak akan menggusur
pemukiman si raja bolang. Namun begitu bukan tak ada manusia
peladang atau penyadap karet yang diterkam dan dimakan harimau.
Karena mereka membuat kesalahan yang jadi pantangan si raja
rimba ataukata orang karena orang malang itu sudah
ditakdirkan untuk jadi korban harimau. Tetapi yang begitu sangat

jarang terjadi. Penulis cerita ini biasa bertemu dengan Ompung


Bolang. Saling pandang atau ia memintas tanpa menghiraukan
kehadiran makhluk sedaerahnya selama mereka tidak disakiti dan
dirugikan. Biasanya, kalau berpapasan dan saling pandang si gagah
perkasa lalu menghindar. Anda tentu tak percaya, atau sukar
percaya, tetapi begitulah kejadian yang tidak aneh bagi banyak
penduduk di sana.
Ketika menghitung dana sisa uang tahulah ketiga sahabat itu
bahwa mereka sudah hampir kehabisan sama sekali. Tetapi mereka
melangkah juga. Belum beberapa jauh mereka berjalan, ketika tibatiba sebuah jip yang datang dari belakang berhenti di depan
mereka. Seorang berpakaian seragam Polisi turun. Kapten Kahar
Nasution. "Kuminta Saudara Erwin menolongku! Begitu juga Datuk
dan Saudara Koto!" kata Kapten Kahar memohon.
0odwo0
ENAMBELAS
TENTU saja Erwin merasa aneh dengan pencegatan Kapten
Kahar. Apalagi dia pula yang duluan memberi salam kepada Erwin
yang menurut pandangan umum tidak selayaknya mendapat
kehormatan begitu dari seorang perwira yang sudah berpangkat
Kapten. Karena Datuk dan Koto juga disebut, maka kedua pendekar
ini bertanya-tanya pertolongan apa pulalah yang dapat diharapkan
dari mereka. Selama berhadapan, lalu bersahabat dan sejalan
dengan Erwin dan Dja Lubuk, mereka menyadari, bahwa mereka
berdua masih belum apa-apa. Hanya terbawa nasib mujur, turut jadi
orang disegani di negeri "orang".
Erwin hanya memandang sang perwira tanpa tanya. Hanya di
dalam hati ia sempat berpikir, apakah nasib yang serupa selalu
datang berulang? Apakah terjadi suatu peristiwa seperti di Medan,
ketika ia juga tidak punya uang? Ketika itu ia telah menawarkan diri
untuk mencoba melihat pemilik penginapan yang sudah lama
dilanda penyakit tak kun-

ng sembuh, walaupun sudah banyak dokter dan belasan dukun


mencoba. Termasuk di antaranya dukun yang disebut-sebut sebagai
dukun kawakan. Usaha Erwin ternyata berhasil gemilang dan itu
untuk pertama kali ia mengambil agak banyak dari hadiah yang
diberikan kepadanya. Guna ongkos di jalan.
"Saya sama sekali tidak ingin menunda kebe-rangkatan kalian,
tetapi kalau kalian mau mengundurkannya, mungkin kalian akan
menghasilkan banyak kebaikan," kata Kapten Kahar.
"Kebaikan apa," kata Erwin bukan bertanya tetapi lebih
cenderung tidak masuk akal. Sebagai biasa, walaupun punya ilmu
tinggi, ia selalu merasa tidak punya apa-apa. Di situlah letaknya
kelebihan orang yang benar-benar berilmu.
"Agak panjang untuk diceritakan di sini. Tidak menyangkut diriku
pribadi."
"Saya tak mengerti, urusan apakah ini? Saya tidak punya banyak
simpanan. Kapten. Kemampuanku hanya sekedar yang Kapten
saksikan itulah!" kata Erwin.
"Ini bukan soal pencurian. Soal kemanusiaan. Perasaanku
mengatakan, bahwa Saudara Erwin dapat berbuat sesuatu. Dan
kalau itu diperkenankan Tuhan saya akan turut bangga, ka.ena kita
dari daerah yang sama. Kalau diusut-usut teliti dan mendalam,
barangkali kita pun berkeluarga."
Erwin tahu, bahwa Kahar begitu bukan untuk menyenangkannya,
la hargai kerendahan hati perwira Polisi itu. Tidak banyak yang
begitu.
"Bagaimana Datuk dan Saudara Koto?" tanya l rwin untuk
memberi tahu kedua sahabatnya, bahwa mereka bukan hanya
peserta tanpa suara.
Koto memandang Datuk, yang menyatakan bahwa kalau betul
ada yang dapat dilakukan untuk Kapten, apa salahnya menunda
keberangkatan beberapa jam. Dan sesuai dengan harapan Erwin,
Datuk memang merasa senang dengan pertanyaan Erwin yang

meminta pendapatnya.
Ketiga orang yang tadi berjalan kaki, kini masuk ke dalam jip
Kapten Kahar. Tidak bertanya akan ke mana. Cara Erwin ini pun
menimbulkan rasa senang kepada Kahar. Erwin tidak ragu-ragu.
Rumah yang disinggahi atau dimasuki tak lain dari rumah Kahar
sendiri. Bukan rumah mewah dengan pekarangan besar. Rumah
sederhana, tetapi terasa sejuk ketika Erwin dan kedua kawan
seperjalanannya masuk.
Yang keluar dari dalam setelah mereka dipersilakan duduk,
seorang perempuan berusia sekitar lima puluh dan seorang gadis
dua puluhan dengan paras elok. Sebenarnya kedua wanita itu heran
siapa pula yang dibawa Kahar dan dipersilakan duduk di ruang tamu
yang biasanya hanya dijadikan tempat menerima kawan-kawan
sejawat atau pejabat-pejabat. Atau keluarga mereka. Tak biasa
mereka melihat tamu-tamu kumuh begitu diterima di ruangan itu.
Erwin, bahkan Datuk dan Koto merasa bahwa kedatangan mereka
mengherankan kedua wanita itu. Tetapi sebodo amat, bukan
mereka yang ingin datang dan bukan mereka pula yang merasa
punya keperluan!
"Ini Ibu dan ini Dinar, adikku," kata Kahar.
Tak ada yang mengulurkan tangan untuk berkenalan Erwin dan
kawan-kawannya khawatir kedua wanita itu menganggap mereka
tak tahu diri. Ibu Kahar dan Dinar memang tidak merasa layak
memberi salam.
"Ini Saudara Erwin, Mak. Orang Mandailing!" kata Kahar. Tetapi
perkataan Mandailing, daerah asal yang sama, tidak menggerakkan
perubahan pada Ibu Kahar yang janda dan Dinar yang perawan
banyak penggemar.
Melihat suasana kikuk itu Kahar merasa malu kepada Erwin,
tetapi ia juga tidak punya cukup keberanian untuk menyuruh Ibu
dan adiknya menyalam tamu-tamu, yang disadari oleh Kahar, tidak
punya lahiriah yang layak untuk dihormati. Tetapi Kahar meminta
Ibu dan adiknya itu duduk, yang tidak dapat ditolak, walaupun tidak

mengerti mengapa pula harus turut duduk. Kalau tidak duduk


berarti menyinggung perasaan Kahar. Dan ini mereka tidak mau.
"Ketiga kawan-kawanku ini sebenarnya sudah mau berangkat ke
Palembang, tetapi kutahani agar mau menunda," kata Kahar yang
justru menimbulkan tanda tanya sanggup bertanya kepada hati
Ibunya, apa perlunya ditunda.
"Aku mau minta tolong kepada Saudara Erwin, Mak!" kata Kahar.
Ibunya tidak menanggapi karena tak masuk di akalnya bahwa orang
semacam tamu-tamu anaknya bisa memberi pertolongan.
"Barangkali saja Saudara Erwin dapat mengobati Pak Hasbi," kata
Kahar pelan. Ini pun menambah keheranan Ibu Kahar. Erwin juga
ikut heran. Lagi-lagi pengobatan. Seperti di Palembang. Seperti di
Jakarta. Di Medan juga. Di Surabaya dan* Ujungpandang pun
pengobatan juga. Mengapa selalu begitu? Apakah perjalanan
hidupnya hanya akan terdiri dari kengerian, bilamana tanpa diingini
ia berubah jadi harimau? Akan dimasukkan rumah tahanan karena
dituduh melakukan kejahatan. Dirinya disiksa yang akan berakibat
bermatiannya para penyiksa karena ia atau ayahnya akan
membalas. Bertarung mempertahankan kebenaran atau nyawanya?
Menggali kuburan mayat-mayat yang semasa hidup sangat
menyakitkan hatinya. Digilai wanita-wanita cantik yang tidak
berkenan di hatinya, sehingga menyebabkan banyak perawan jadi
merana. Dan jatuh hati kepada wanita yang justru tidak
mencintainya. Menyebabkan dia mengelana membawa diri seperti
tidak akan ada ujungnya.
Yang bernama Hasbi adalah pensiunan Bupati yang diserang
penyakit gila. Bukan hanya itu. la tak lain dari abang tertua Husni
yang melarikan dan memperkosa adik Teuku Samalanga, sahabat
baik Erwin yang akhirnya jadi pelarian atas bantuan Erwin karena ia
membunuh iparnya. Telah diceritakan bahwa Husni tewas dibunuh
harimau piaraan Teuku Samalanga tak jauh dari Muara Bungo.
"Mak," kata Kapten Kahar. "Saudara Erwin telah menolongku
menangkap dua penjahat besar. Hanya dengan pisaunya."

"Dibunuhnya penjahat itu?" tanya Ibu Kahar tanpa pikir panjang.


Menurut penilaiannya orang semacam Erwin itu punya kemampuan
apalah selain daripada yang kasar-kasar.
"Kalau membunuh, tentu dia tidak di sini. Sudah dalam sel
tahanan!" kata Kahar. Ibunya kecewa tetapi selain itu, juga tertarik.
"Pisaunya itu disuruhnya menunjukkan yang mana di antara
berpuluh-puluh orang tamu penginapan yang mencuri! Keduaduanya pencuri itu langsung mengaku, karena takut ditikam pisau
yang dapat bekerja sendiri. Tanpa bantuan Saudara I rwin, mungkin
kedua bandit itu akan lolos." Kini Ibu Kahar memandang Erwin.
Timbul sedikit*perubahan. Rupanya si miskin ini punya kepandaian
ju-ja.
"Tapi Pak Hasbi kan tidak kemalingan Har!" kata perempuan
yang mulai tertarik itu.
"Memang benar. Tetapi perasaanku mengatakan, bahwa Saudara
Erwin akan sanggup mengobatinya, kalau dia mau! Aku yakin, dia
punya ilmu pengobatan," kata Kahar lagi sambil menambahkan.
"Betul kan, Saudara Erwin?"
Erwin tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, bahwa ia bukan
dukun, tetapi kalau sekedar ba coba dan dipinta oleh keluarga si
sakit ia ber edia, karena Kapten Kahar orang yang sangat baik.
Oleh Kapten Kahar diterangkan, bahwa istri Hasbi masih adik
sepupu ibunya. Penyakit gilanya itu sudah berjalan sebulan.
Datangnya mendadak. Dari orang yang sehat segar bugar, pada
suatu pagi ia tiba-tiba tidak bisa bicara, kemudian setelah tiga hari
berdiam diri, tetapi makan melebihi banyaknya makan seekor
kerbau, Hasbi mulai mengamuk-imuk, memukuli keluarganya. Juga
tamu-tamu yang datang. Pada suatu kali ia mengambil sebilah
parang panjang dan mengacung-acungkannya di jalan raya. Orang
ramai berlarian. Masih untung tidak ida orang yang sampai jadi
korban. Untuk mencegah kejadian yang menyangkut orang lain, ia
dikunci di dalam kamar. Tetapi ia merusak segala perkakas yang
ada, menendang-nendang pintu dan sekali waktu keluar dari

jendela, la tertawa-tawa dengan suara keras sambil mengatakan,


bahwa setan pun tidak akan dapat merintanginya.
Itulah Hasbi yang pernah menjadi kepala pemerintahan sebuah
kabupaten.
Di masa jayanya ia banyak tertawa oleh upeti-upeti dari bawahan
yang mendapatkannya dengan melakukan berbagai macam
penipuan dan pemerasan terhadap rakyat, termasuk rakyat teramat
kecil yang hanya mempunyai lebih sedikit dari sejengkal tanah untuk
telapak gubuk atau tempatnya bermandi keringat bersawah ladang
sekedar sesuap nasi atau singkong guna bisa bernapas menjelang
akhir penderitaan. Karena ia tidak berhasil turut mencicipi buah
kemerdekaan yang pernah direbut pertahanannya. Tidak seperti
sekelompok kecil orang-orang "pintar" yang dengan segala cara
telah memilyarkan diri. Ex Bupati Hasbi merupakan contoh yang
teramat gamblang bahwa sesungguhnyalah tiada yang abadi di
dunia ini. Mengherankan memang, mengapa kian banyak saja orang
yang haus harta dan kemewahan di atas penderitaan orang lain.
Diceritakan oleh Kapten Kahar bahwa banyak dukun dari
berbagai daerah yang mengobatinya. Beberapa orang di antara
mereka malah tewas di hadapan si sakit atau mati sepulangnya dari
rumah Hasbi. Dan kematian dukun-dukun itu tidak pula semua mati
biasa. Ada yang gantung diri, ada yang mengunci kamar untuk
meminum racun serangga. Ada yang tak pandai berenang, tetapi
dengan sengaja menceburkan diri ke dalam kali.
"Mengerikan sekali/' kata Erwin menanggapi. Mungkin dukundukun yang membayar dengan nyawa karena mengobati Hasbi,
tidak mampu berhadapan dengan orang pandai yang menimbulkan
sakit gila atas bekas Bupati.
Mendengar cerita itu Erwin tahu, bahwa yang melakukan
pembalasan melalui ilmu hitam tentu salah seorang korban di masa
sang Bupati punya wewenang dan kekuasaan. Dikerjakannya sendiri
au dilakukan oleh orang pandai yang diupah. Datuk dan Koto
memandang Erwin. Ingin agar dia menolak karena terlalu besar
risikonya. Kalau sampai Erwin mati gantung diri atau meminum

racun maka raiblah kesempatan mereka untuk menuntut ilmu


daripadanya.
Sekarang pun Erwin bertanya "Bagaimana Datuk dan Saudara
Koto. Sudah kita dengar ceritanya dari Kapten Kahar. Masih mau
dicoba?" Harapan Ibu Kahar agak membesar, karena rupanya bukan
Erwin yang kelihatan konyol itu sendiri yang akan mencoba. Tetapi
juga kedua sahabatnya. Melihat pakaian mereka yang serba hitam
dan wajah yang sedikit angker, perempuan itu lebih yakin kepada
Datuk dan Koto.
Sebelum Erwin menjawab. Kapten Kahar dulu-an berkata "Saya
tahu, bahwa apa yang telah terjadi itu sangat mengkhawatirkan.
Saya sengaja men ritakan seluruh kenyataan, supaya Saudarasaudara tahu bahwa risikonya sangat besar. Tetapi kalau berhasil,
satu insan akan tertolong, keluarganya akan merasa bahagia.
Termasuk Ibu saya ini, karena istri Pak Hasbi itu saudara misan Ibu
saya." Erwin langsung minta dibawa ke tempat orang sakit gila itu.
Tanpa diduga. Ibu Kahar yang semula jijik melihat ketiga tamu
anaknya dan sampai detik itu tidak menyuruh keluarkan air dingin
sekali pun, berkata, "Nanti dulu. Tak baik kalau tidak minum,
walaupun seteguk saja." Kapten Kahar merasa malu dengan sifat
ibunya, sementara Erwin dan kedua sahabatnya mengejek di dalam
hati. Manusia bisa mendadak berubah, kalau merasa ada harapan.
Yang angkuh sombong bisa jadi ramah manis bagaikan madu Arab
yang baru diperas dari sarangnya. Kasihan orang-orang semacam
itu, menelanjangi diri untuk kita nilai sambil mencibir.
Meskipun sebenarnya Erwin dan kedua sahabatnya merasa haus,
tetapi si manusia harimau menolak dengan bijaksana "Pantang
minum kalau hendak melihat orang sakit!" Lebih baik haus daripada
merasa kehilangan harga diri oleh secangkir teh yang diletakkan
bukan karena keikhlasan. Kapten Kahar semakin malu, karena ia
merasa bahwa penolakan Erwin itu tak lain daripada suatu
pembalasan atas ibunya yang semula begitu meremehkannya.
Sama halnya dengan penyambutan di rumah Kahar tadi, orangorang di rumah Hasbi juga meremehkan Erwin sambil bertanya di

dalam hati, mengapa pula seorang perwira Polisi sampai percaya


kepada orang-orang semacam itu yang tentunya mengaku dukun
kawakan. Memasuki rumah bekas pejabat yang mewah itu Erwin
merasa kepanasan. Yang mengejutkan adalah Koto yang mendadak
terhuyung-huyung, lalu jatuh tak berdaya dengan mata terbelalak.
0odwo0
TUJUHBELAS
KAPTEN Kahar terkejut dan tiba-tiba datang penyesalan dalam
dirinya, mengapa ia menahani maksud keberangkatan Erwin ke
Palembang. Tidak cukup sampai di situ, Datuk pula mengatakan
pusing. Erwin memintanya agar duduk saja.
"Rumah ini penuh dengan iblis/' bisik Erwin ke telinga Datuk.
"Tetapi tenang-tenanglah. Insya Allah kita tidak akan mati di sini."
Orang-orang di rumah itu jadi panik, walaupun mereka sudah
beberapa kali melihat dukun mati terkapar di sana.
Oleh kejatuhan dua sahabatnya, maka Erwin lebih dulu
membantu mereka dengan membaca mantra sambil menyapu muka
mereka masing-masing tujuh kali. Ibu Kapten Kahar yang juga telah
hadir di sana sini kini menyaksikan sendiri, bahwa Erwin tidak
serapuh yang diduganya. Walaupun ia belum yakin, bahwa orang
dusun ini akan mampu bertahan.
Dengan tenang sambil menyebut nama Tuan Syekh Ibrahim
Bantani dan Datuk nan Kuniang ia mengikuti Kapten Kahar ke kamar
Hasbi yang terbaring meronta-ronta dengan kedua tangan dan
kakinya terikat. Bekas Bupati itu terpaksa diperlakukan begitu untuk
mencegah jatuhnya korban oleh sifat-sifatnya yang semakin
beringas.
Ketika Erwin sudah berdiri setengah meter dari Hasbi, mendadak
ia terjungkal karena ada yang menerjang, walaupun tidak kelihatan
siapa yang melakukannya. Erwin kaget, tetapi segera bangkit lagi,
membuat semua mata yang memandang tidak berkedip dengan hati

sangat takut, karena semua mengetahui, bahwa mungkin dukun ini


pun akan mati di sana. Namun begitu mereka juga kagum, bahwa
Erwin begitu cepat bangkit kembali. Beberapa dukun terdahulu yang
tewas di sana juga terjungkal atau terpental, tetapi tak sempat
mampu untuk bangun lagi.
Hasbi berteriak "Mau apa harimau ini datang ke sini. Bosan
hidup?"
"Aku datang untuk mati atau mematikan, setan!" hardik Erwin
yang di luar dugaan hadirin terdengar seperti guruh dan
menyebabkan rumah itu seakan-akan bergetar.
"Kau akan mati di sini harimau siluman!" kata Hasbi yang
menyuarakan kekuatan dukun yang menguasai dirinya.
"Katakanlah apa yang kausuka. Kematian memang tunangan
orang hidup. Tidak akan mengherankan kalau aku tewas di sini.
Tetapi aku tahu, bahwa kaulah yang akan binasa sekali ini."
"Berani kau kurang ajar, hah!" bentak Hasbi.
"Jadi kau kira aku takut? Kasihan, kau keliru. Pergilah kalau
masih mau hidup. Kembali ke Tuanmu!" suara Erwin tambah
menggelegar. Di tengah ketegangan itu tercium bau asap
kemenyan, walaupun tidak ada yang membakar. Diiringi oleh auman
harimau. Bagi Erwin suatu tanda bahwa ayah atau ompungnya
sudah ada di sana. Dan kalau mereka atau salah seorang datang,
tidak diragukan lagi, bahwa lawan yang dihadapi berkaliber berat.
Sekurang-kurangnya mereka berjaga-jaga, kalau-kalau Erwin sendiri
tidak mampu menghadapi. Dja Lubuk dan Raja Tigor terlalu sayang
kepada anak dan cucu mereka, itulah sebabnya.
Iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi berkata tenang yang
dipaksakan. "Untuk apa mempertaruhkan nyawamu bagi hewan
yang semasa berkuasanya sangat menyiksa banyak manusia yang
tak berani menentang dia dan kawan-kawannya. Biarlah
dirasakannya pembalasan ini. Biar keluarganya tahu bahwa dia ini
pernah jadi bajingan yang merusak nasib orang banyak!"
Mendengar ucapan ini keluarga Hasbi tunduk karena merasa malu.

Erwin pun terdiam sejenak. Apa yang dikatakan iblis itu mungkin
benar, tetapi perbuatan dukun itu tetap merupakan kejahatan di
negara hukum ini. Meskipun banyak orang tidak menghiraukannya.
"Tetapi tetap bukan hakmu untuk menganiaya sesama manusia,"
kata Erwin. Membesarkan hati keluarga Hasbi dan memberi harapan
kepada Kapten Kahar.
Hasbi tertawa terbahak-bahak lalu berkata "Bodoh, kau orang
baik mau membela kejahatan. Berarti kau berpihak kepada
kejahatan."
Erwin menguatkan hati supaya jangan terpengaruh oleh hasutan
iblis yang sebagian berdasar kebenaran itu.
"Aku tidak pernah dan tidak akan pernah berpihak kepada
kajahatan. Aku hanya akan coba membebaskan orang ini dari
penyakitnya yang tidak wajar. Kalau hukum yang berlaku di negeri
ini kelak akan menindak dia, aku akan turut gembira," kata Erwin
polos. Orang-orang yang mendengar ucapan Erwin, termasuk
Kapten Kahar kini mengetahui, bahwa orang muda potongan dusun
pedalaman itu, tidak setolol yang mereka sangka mengenai
kejadian-kejadian di negara ini.
Terdengar suara hingar-bingar, yang bukan suara manusia tanpa
kelihatan apa-apa. Suara iblis dan n dan setan yang dikirim oleh
dukun kawakan.
"Siapa namamu orang sangat pandai tetapi juga sangat jahat?"
tanya Erwin. Hasbi menjawab, "Cari sendiri, kalau kau pintar. Aku
sudah mengetahui namamu. Si Erwin, anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor. Musuh besarmu Ki Ampuh yang terkutuk menjadi babi. Kau
pernah jatuh cinta setengah mati, tetapi tiada berbalas. Kini
perempuan itu sudah mati dibunuh suaminya. Adakah penjelasanku
yang salah?" Suara itu sangat lantang, satu persatu kata dapat
ditangkap. Lalu kata Hasbi yang mewakili iblis kepada hadirin,
"Sudah kalian dengar. Begitulah kisah tentang orang dungu yang
mau melawanku ini!"
Erwin malu sekali, la paham bahwa uraian dukun kawakan itu

dimaksudkan untuk meruntuhkan morilnya. Sesaat memang Erwin


merasa goyah. Tetapi ia normal kembali setelah ada bisikan di
telinganya agar ia meningkatkan perlawanan. Suara itu jelas suara
ompungnya.
Erwin berpikir, bahwa salah satu cara untuk melemahkan
lawannya itu, adalah dengan jalan mencekik iblis yang duduk di
dalam tubuh Hasbi. Tetapi di bagian mana? Di kaki, di tangan, di
kepala ataukah di bagian lain?
"Kau tak tahu di mana aku! Ha haa, si harimau siluman
kebingungan!" kata Hasbi. Lagi-lagi mengejek Erwin. Tetapi bukan
hanya itu cara memukul musuhnya.
Satu bisikan di telinga Erwin mengatakan, agar ia
mempergunakan limau nipis dengan garam. Yang tidak lazim
dipakai dalam perdukunan. Biasanya orang mempergunakan limau
purut dan bunga.
Terdengar lagi bisikan oleh Erwin. la lalu minta ijin kepada
pemilik rumah untuk boleh ke dapur mengambil sesuatu. Kapten
Kahar segera mengijin-kan tanpa menunggu jawaban istri Hasbi
yang dalam keadaan sedih dan panik.
"Harus saya ambil sendiri," kata Erwin. la mendapat dua buah
limau nipis, yang kebetulan tersedia dan garam. Ketika ia sudah
dekat dengan si sakit terasa ada yang memukul tangannya,
sehingga garam di piring berhamburan. Tentu oleh pesuruh dukun
berilmu tinggi itu. Untung limau nipis dimasukkan ke dalam saku.
Terasa juga ada yang meraba sakunya, tetapi kemudian rabaan itu
seperti tersentak. Erwin dibantu oleh kakeknya yang tidak
memperlihatkan diri. Dialah yang membebaskan Erwin dan
gangguan si iblis. Tetapi karena garam telah tumpah, maka Erwin
kembali lagi ke dapur untuk mengambil penggantinya.
Ketika Erwin dan Kapten Kahar masuk ruangan dapur yang luas
dan bersih terdengar suara pukul-memukul dan tendangmenendang. Tanpa kelihatan siapa atau apa yang sedang
bertarung. Raja Tigor menghadapi iblis yang hendak menghalangi

Erwin mengambil garam. Kapten Kahar heran, tetapi tidak


mengajukan pertanyaan.
Dengan perlindungan yang tak tampak oleh pandangan mata
kasar itu, garam dan jeruk nipis sampai juga di hadapan Hasbi. la
memberontak, berusaha membebaskan diri dari ikatan, sehingga
ranjang tempat ia berbaring bergoncang goncang seperti diombangambing gempa. Yang hadir semua menjadi lebih takut lagi.
Beberapa wanita yang berkeluarga dekat, keluar menjauhkan diri,
khawatir akan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau ia
sampai sanggup memutuskan tali-tali pengikat dirinya. Orang yang
sedang kemasukkan iblis bisa mempunyai tenaga yang tidak
mungkin dipunyai manusia biasa.
"Bangsat kau harimau sial, pergi, pergi! Ini gara-gara si Kahar
kambing itu. Siapa minta kau membawa harimau kemari. Ini rumah
manusia, rumahku yang kubeli dengan uangku sendiri. Bukan
kandang harimau. Bawa dia pergi. Kahar kambing. Dan jangan
kauinjak rumahku ini lagi!" Hasbi mengangkat-angkat badannya,
membanting ke kiri dan ke kanan.
Ketika Erwin mengeluarkan limau nipis dari kantongnya, Hasbi
semakin menggila. Erwin minta diambilkan air putih segelas. Ketika
ia memotong jeruk, Hasbi menjerit-jerit, bagaikan dirinya yang diiris.
Erwin memantrai air, lalu menyiramkan isinya ke muka Hasbi,
sesudah garam dan jeruk dimasukkan ke dalam. Hasbi melolong
panjang, kemudian terdiam lemas, bagaikan orang kehilangan
seluruh tenaga.
Erwin memutuskan semua tali pengikat diri Hasbi. Kemudian
meminta air putih segelas lagi, diberi garam dan limau yang sebuah
lagi. Air itu di-cipratkannya di seluruh kamar, la keluar dan
mencipratkan sisa isinya ke segenap pintu.
Hawa panas yang membuat pengap kamar tempat Hasbi
menderita berangsur hilang, digantikan oleh suasana yang wajar
bagi ruangan ber-ase.
Di luar jangkauan berpikir keluarga Hasbi, bekas Bupati itu kini

terbaring di sana dengan badan lemas, tetapi matanya terbuka


memandang ke sekitar, la bertanya "Mengapa kalian di kamarku
ini?"
Istrinya bertanya "Sudah agak enak Abang rasa?"
Mata Hasbi menunjukkan keheranan "Apa yang agak enak? Aku
tak pernah merasa tidak enak. Kau ngawur Diah," kata Hasbi
kepada istrinya yang bernama Sadiah. Semua orang heran
mendengar jawaban Hasbi yang tidak pernah merasa sakit. Rupanya
semua yang dilakukannya di luar kesadaran. Oleh sangat kuatnya
ilmu dukun yang mengirim sejumlah iblis ke rumah itu.
Kini Erwin jadi pembicaraan berbisik-bisik. Yang paling malu
adalah Ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar. Yang paling gembira
istri Hasbi dan Kapten Kahar.
Erwin mendapatkan kedua sahabatnya yang sudah turut sadar
dan mengingat segala apa yang telah terjadi. Erwin memang bukan
main, pikir mereka di dalam hati.
"Kau siapa, anak muda?" tanya Hasbi kepada Erwin yang duduk
di kursi menghadapi dia. "Kalau keluarga, baru sekali ini kulihat.
Siapa nama ayahmu. Mengapa kau bawa serta?" Sadiah heran
mendengar pertanyaan suaminya. Begitu ramah terhadap orang
setengah kumal yang tidak dikenalnya. Tidak biasanya dia begitu.
Erwin tidak menjawab. Tak tahu mau memberi jawaban
bagaimana.
Bagi seluruh keluarga Hasbi merupakan suatu kenyataan yang
amat ajaib, bagaimana laki-laki itu sampai tidak tahu, bahwa ia telah
sebulan sakit gila dan berbuat persis orang gila dalam tingkat yang
sudah amat gawat.
Mereka juga tidak habis pikir, bagaimana seorang pemuda
kelihatan kampungan dan tidak punya apa-apa, ternyata mampu
mengalahkan kekuatan gaib seorang dukun yang telah
menyebabkan Hasbi jadi gila dan beberapa dukun bunuh diri
sebagai akibat dari usaha mereka menyembuhkan si sakit.

Hasbi yang rupanya belum puas karena pertanyaannya belum


dijawab, bertanya lagi "Anak muda, pertanyaanku belum terjawab!"
Melihat bahwa dukun yang amat tinggi ilmu itu dalam hal ini
tidak mampu mencari jawaban. Kapten Kahar berkata "Masih
saudara saya Oom. Baru beberapa hari ini datang dari kampung!"
"Mmm," gumam Hasbi. Tanpa susah-payah ia duduk dan
mengulurkan tangan kepada Erwin. Sekali lagi menimbulkan rasa
kagum kepada keluarga Hasbi. Apakah ilmu dan pegangan orang
muda ini, sehingga seorang manusia yang tadinya sudah di-anggap
tak tertolong lagi dan biasanya punya sifat yang angkuh, bisa
mendadak berubah jadi laki-laki ramah dan rendah hati.
"Dia tentu membutuhkan pekerjaan. Kahar. Berilah dia tempat di
kepolisian. Kalau aku masih berkuasa akan kutempatkan dia di
kantorku!" kata Hasbi.
Kapten Kahar tidak menjawab. Tetapi senano melihat Hasbi
bukan saja bebas dari penyakitnya, melainkan juga dari sifatnya
yang buruk. Tidak di ragukan lagi, bahwa Erwin punya kekuatan
gaib, yang tidak terpancar pada wajahnya dan lebih-lebih tidak bisa
kelihatan dari keadaan lahiriahnya.
"Apa kerjamu sekarang?" tanya Hasbi lagi kepada Erwin. Seperti
orang yang menaruh perhatian sangat besar atas nasib orang
"kampungan" itu. "Mengembara saja Tuan," jawab Erwin. "Tuan?
Mengapa kau menyebut aku dengan Tuan? Bukankah kau saudara
Kahar dan dengan I begitu juga jadi saudara kami," kata Hasbi yang
d' jawab dengan "terima kasih" oleh Erwin.
Kapten Kahar permisi kepada Hasbi untuk mengajak Erwin
dengan kedua sahabatnya istirahat di J ruangan lain. Istri Hasbi
ikut, karena ia tahu, bah-wa kini tentu urusan upah atau hadiah
untuk Erwin.
"Anak telah berjasa sekali kepada kami sekeluarga. Katakanlah
berapa kami harus membayar dan apa yang dapat kami lakukan
sebagai tanda terima kasih," kata Nyonya Sadiah. Bagi Erwin, di luar
dugaan Kahar dan perempuan itu, lagu sema i am itu adalah lagu

lama yang memuakkan. Pertolongan yang tidak akan berhasil tanpa


ijin Tuhan selalu disudahi dengan "upah dan bayaran".
"Janganlah bicara upah. Aku bukan kuli harian," kata Erwin
dengan sengaja agak kasar. "Iblis iblis itu pun baru keluar dari
rumah ini. Masih menunggu kesempatan untuk kembali!" Erwin
berkata benar. Dia tahu, bahwa lawannya itu akan berdaya upaya
membunuh Hasbi dan dia. Dan kalau tidak ada jalan damai dia akan
memperlihatkan, bahwa manusia harimau akan mempertaruhkan
nyawa tunggalnya.
0odwo0
DELAPANBELAS
MESKIPUN Kapten Kahar Nasution tidak mengerti mengapa lakilaki yang pasti memerlukan uang itu menolak apa yang
dinamakannya upah, namun ia mohon maaf, kalau istri Hasbi telah
menyinggung perasaan Erwin.
"Kapten heran mengapa aku menolak uang. padahal aku amat
membutuhkannya. Aku sendiri juga heran. Kapten Kahar," ujar
Erwin membuat perwira Polisi itu kian tak habis pikir. Disangkanya
manusia semacam Erwin hanya ada di dalam cerita, khayalan
pengarang untuk mengasyikkan pembaca. Kiranya benar-benar ada
dalam kenyataan. Filsafat hidup apakah yang dianut laki-laki ini?
"Tak adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" tanya
Kahar.
"Ada, aku tak tahu apakah Kapten akan berhasil!"
"Katakanlah," sela Nyonya Hasbi. Kami akan melakukannya
sampai berhasil."
"Tidak marah?" tanya Erwin.
Perempuan dan perwira Polisi itu menidakkan sambil bertanya di
dalam hati apa gerangan yang akan dipinta dukun ini untuk
dilakukan.

Maka berceritalah Erwin, bahwa di masa pegang kedudukan


dengan wewenang besar Hasbi telah menimbulkan banyak rasa
sakit hati kepada rakyat biasa melalui aparat-aparat bawahannya.
Dengan wewenang yang disalahgunakan itu ia telah sangat
memperkaya diri. Sebagian terbesar kekayaannya tergolong haram,
kata Erwin. Bilamana ia sembuh ia harus mengembalikan milik-milik
rakyat yang dirampasnya dengan cara yang halus berselimutkan apa
yang dinamakan berdasar peraturan. Tetapi ada juga yang dengan
cara kasar bertulang punggung kekuasaan dan kekuatan, terhadap
mana orang kecil tidak berani membangkang. Meskipun tidak secara
terus-terang mengaku-, tetapi Sadiah tahu, bahwa apa yang
dikatakan Erwin memang benar. Kalau tidak dengan jalan itu,
bagaimana pula mereka bisa menjadi sangat kaya raya, mempunyai
puluhan hektar tanah, deposit di beberapa bank. Dari mana
datangnya semua itu? Jangankan Bupati Gubernur dan Dirjen atau
Menteri pun tak kan bisa mencapai itu kalau benar hanya dari
penghasilan halal kedudukannya. Entahlah kalau itu harta warisan.
"Kembalikan itu kepada orang yang menderita karenanya," kata
Erwin. "Jikalau tidak begitu, maka setelah sembuh ia akan sakit lagi,
karena ada saja orang lain yang akan melakukan pembalasan.
Dengan cara kasar atau halus."
Istri Hasbi dan Kapten Kahar berjanji.
Atas desakan petugas keamanan akhirnya Erwin dan kedua
kawannya menerima tawaran Kahar untuk menginap di rumahnya.
Erwin harus dua tiga hari di Lubuklinggau menantikan selesainya
pengobatan atas diri pasiennya.
Pada malam itu juga ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar
memperlihatkan sikap yang amat ramah. Kedua wanita itu turut
makan bersama Erwin, Datuk dan Koto. Sikap yang lain sekali
daripada ketika mereka baru melihat Erwin. Tak suka, bahkan jijik.
Biasa, lumayan banyak manusia yang begitu.
Kapten Kahar selalu membuang pandang kepada Erwin. Betapa
besar kekuatan yang dimiliki oleh manusia ini. Betapa pula
rendahnya sifat manusia terpelajar yang punya kedudukan

terhormat untuk membimbing dan menaungi rakyat dengan


kedudukan seperti Hasbi. Jelaslah manusia tidak mudah dinilai
secara lahiriah. Tidak perdu I i dia apa atau siapa.
Tidak seperti Koto dan Datuk, si manusia harimau tidak mudah
memejamkan mata dan tidur. Dia tidak merasa tenang, walaupun
telah dapat mengalahkan dukun jahat yang membuat Hasbi gila. Dia
merasakan, bahwa orang yang pasti hebat itu tidak akan berhenti
sampai di situ.
Dan apa yang diyakini Erwin itu sesungguhnya terjadi, la merasa
hawa di dalam kamar yang luas itu pelan-pelan menjadi panas dan
kian panas. Dia juga merasakan ada yang lain di kamar itu. Bukan
hanya karena mereka bertiga. Tetapi apa yang lain itu tidak tampak
oleh Erwin. Kehadirannya pasti, entah apa.
Tiba-tiba Koto terpekik. Datuk terbangun. Erwin bertanya kepada
Koto ada apa, tetapi kawannya itu tidak menjawab, la tidak berkata,
tidak mengaduh bahkan bernapas pun tidak. Koto telah tiada. Erwin
lantas tahu, bahwa yang mencabut nyawa Koto pastilah "orang" lain
yang ada di kamar itu. Datuk ketakutan, sementara Erwin meminta
supaya Datuk jangan panik. Jangan sampai menyebabkan Tuan
rumah turut terkejut pula.
Karena lampu listrik yang menerangi kamar itu tidak dipadamkan,
maka mereka dapat melihat wajah Koto dengan jelas, la yang
berkulit cerah seperti sawo matang telah berubah warna menjadi
hitam legam seperti arang. Tandanya ia bukan mati secara wajar.
"Ada iblis di kamar ini," kata Erwin. Kalau dia manusia tentu
kelihatan. Aku merasakan bahwa dia masih ada." Datuk tambah
takut. Dia tidak punya ilmu tinggi terhadap setan dan iblis.
Kekuatannya terletak pada berpencak silat. Sama seperti Koto.
Apakah dia akan menerima gilirannya?
"Kalau kau jantan, perlihatkan dirimu, pengecut," kata Erwin. la
sangat penasaran. Iblis ini pasti kiriman dukun yang membuat Hasbi
gila. Dia ingin membinasakan Erwin yang telah berani menentang
dia. Karena mengetahui, bahwa Erwin bukan manusia yang mudah

dikalahkan dan sama sekali tak kan mau mengalah, maka ia telah
meminta bantuan gurunya. Yang hendak dibunuh sebenarnya Erwin,
tetapi bentengnya tak tertembus oleh iblis yang dikirim Maribun ke
kamar pemuda kampung itu. Dan sudah terbiasa di dalam
menembakkan ilmu gaib, orang yang tidak dimaksud menjadi
korban, karena ilmu atau pesuruh yang ditugaskan tidak mampu
membayar sasarannya.
Ketika Erwin dan Datuk menghadapi Koto de ngan perasaan
sangat terpukul, terasa ada hembusan angin. Tak lama kemudian
disusul oleh suatu jeritan melengking. Dja Lubuk, ayah Erwin telah
berdiri di sana dalam bentuknya sebagai manusia. Orang tua itu
bergerak cepat kian kemari, seperti orang gila gayanya, karena
lawannya tidak tampak.
"Obati dia," bentak Dja Lubuk. Tetapi dia hanya disambut dengan
gelak cemooh oleh lawannya. Kelihatan Dja Lubuk berkeringat dan
napasnya turun naik buru-memburu. Nasib baik bagi si manusia
harimau, tanpa sengaja terpukul olehnya kelemahan dukun yang
tidak kelihatan itu. Dugaan Erwin bahwa yang masuk kamar itu iblis
kiriman, mungkin benar. Tapi Dja Lubuk bertarung dengan si dukun
sendiri, la atau suruhannya tak mampu melawan pertahanan Erwin,
maka Koto yang dibunuh kawannya pun jadilah, pikir Maribun. Erwin
pasti akan sangat sedih dan panik. Bagi Maribun lebih mudah
mengalahkan orang panik dan gugup da ripada musuh yang dengan
tenang mengatur lang kah dan sepak terjangnya.
Tiba-tiba Dja Lubuk berhenti bersilat dengan napas yang
terengah-engah. Selama pertarungan] yang bagaikan tanpa lawan
itu ia beberapa kali jatuh berdebap. Tidak diragukan lagi bahwa
musuh ini mempunyai kekuatan luar biasa. Rupanya hd ruk-pikuk di
kamar Erwin itu terdengar juga oleh Kapten Kahar yang lalu
bergegas ke sana. Datuk membuka pintu dan perwira itu segera
mengetahui bahwa Koto telah meninggal dunia. Sebabnya b<Iiim diketahui secara pasti, tetapi bukan oleh serangan jantung
mendadak. Dja Lubuk sudah pergi dengan berpesan kepada
anaknya agar sangat waspada.

"Amang pun kepayahan, sayang. Ini kesempatan besar tetapi


juga penuh risiko bagimu menguji diri," pesan Dja Lubuk.
Berkata Erwin kepada Kapten Kahar, "Sebenarnya saya yang
dituju, tetapi ia salah ambil. Mestinya kami tidak tidur di sini. Kapten
terlalu baik, sekarang jadi merepotkan!"
"Jangan berkata begitu," ujar Kapten Kahar. "Tiada pekerjaan
yang terlalu berat bagi seseorang, siapa pun dia, yang telah tiada
Erwin. Apa yang kita lakukan adalah perbuatan terakhir yang dapat
kita lakukan bagi hamba Allah yang sudah dipanggil Yang
Empunya." Lega sedikit hati Erwin dan Datuk.
"Apakah jenazah kawan kita ini perlu divi-sum?" tanya Kahar.
"Saya rasa tidak," jawab Erwin. "Kita periksa saja badannya,
kalau-kalau ada meninggalkan bekas." Bekas itu memang ada.
Bukan berupa tanda berwarna biru atau merah, yang kata setengah
orang bekas kecupan setan. Yang tampak pada leher Koto empat
bekas gigitan kecil, dua sebaris. Gi-jitan ular. Rupanya ada ular
dikirim masuk kamar itu. Diperintahkan menggigit Erwin, tetapi ia
tak mampu melaksanakannya. Yang digigit leher Koto. Itulah yang
membuat dia menjerit tadi, tetapi sekaligus juga mencabut
nyawanya dari tubuh yang tidak berpagar itu.
"Siapakah yang telah begitu kejam melakukan pembunuhan ini.
Bukankah kawan kita ini tidak punya kesalahan kepada si
pembunuh?" kata Kap ten Kahar. Erwin menjawab, bahwa yang
ditujui ular suruhan itu bukan Koto, sebagaimana telah dikatakannya
juga tadi.
"Tetapi orang ini telah
Kapten Kahar yang agak
sebagai hamba hukum
Tetapi! siapakah orang itu,

jadi pembunuh. Harus ditangkap," kata


emotil karena terjadi di rumahnya dan
merasa berkewajiban menangkapnya.
tak jelas bagi Kahar.

"Berkata Erwin, "Andaikata pun kita ketahui orangnya, hanya


andaikata, bagaimanakah menimpakan kesalahan atas dirinya.
Adakah bukti untuk itu?" Kapten Kahar terdiam. Memang tidak ada
bukti. Yang membunuh Koto seekor ular. Bagaimana membuktikan

bahwa ular itu punya kaitan apalagi suruhan seseorang?


"Ya, memang berat. Kejahatan, termasuk pembunuhan yang
dilakukan melalui ilmu hitam, di antaranya dengan menyuruh
piaraan, sangat sukar diJ buktikan untuk dapat dijadikan alasan
menangkapi si pelaku," kata Kapten Kahar mengakui. "Terserah
Saudara," katanya lagi setelah mengetahui, bahwa Erwin punya
kekuatan gaib untuk menghadapi semacam itu.
"Apa ular itu sudah pergi?" tanya Datuk yang kini baru teringat
kepada ular yang menewaskan sa habatnya. Bersamaan dengan itu
dia jadi takuti kembali. Bukan mustahil ular itu mendadak meng gigit
dia pula dan ia menemukan nasib sama dengan Koto. Rupanya
Kahar dan Erwin pun baru ingat lagi kepada si pembunuh, setelah
Datuk menyebutnya. Erwin lalu mencari-cari dan akhirnya ketemu.
Tempatnya bukan tanggung-tanggung. Di dalam saku kemeja
Erwin yang digantungkan pada sangkutan baju di tembok.Sudah
mati.
"Ini dia," kata Erwin mengeluarkan seekor ular kecil dari saku
tempatnya menyudahi hidup.
Kapten Kahar dan Datuk memandang, tanpa tanya, tetapi ingin
penjelasan. Kata Erwin, ular itu tak berhasil menggigitnya. Untuk itu
ia harus mati, hukuman si pemilik atas pesuruhnya yang tidak
berhasil melaksanakan tugas.
"Apakah itu ular biasa?" tanya Kapten Kahar. Erwin
menerangkan, memang ular biasa yang sangat berbisa. Kalau ia ular
siluman, ia sudah tidak ada di sana. Kapten itu lalu bertanya, kalau
begitu, bagaimanakah dia masuk. Diterangkan oleh Erwin, bahwa
untuk masuk ia dapat bantuan dari yang menyuruh, la sama sekali
tidak kelihatan, sehingga tanpa kesulitan apa pun dapat masuk
melalui pintu. Tetapi karena tidak dapat melaksanakan tugas, maka
untuk pulang ia tidak dibantu lagi. Dan ia tahu, bahwa ia harus mati,
sesuai dengan janji antara majikan dan pesuruh, la masuk ke dalam
saku Erwin dengan harapan semoga orang itu bisa mati karena
terkejut. Sehingga masih dapat memberi bakti terakhir kepada sang

majikan, walaupun ia telah mati. Tetapi harapannya itu pun tidak


jadi kenyataan, karena Erwin hanya terkejut sedikit saja.
Cerita Erwin mengenai ular dan majikannya itu membuat Pak
Kapten hanya bisa mengangguk-angguk. Segala hukum yang
diketahuinya tidak punya arti apa-apa di dalam kasus ajaib
semacam ini.
"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya Kahar dalam keadaannya
sebagai Tuan rumah. Erwin mengusulkan untuk mengurus jenazah
dahulu sampai selesai pemakamannya. Setelah itu nanti baru dipi
kirkan.
Koto yang asal Minang telah dikebumikan dengan sempurna,
dihadiri banyak pelayat dan pengantar, karena Kapten Kahar
Nasution menerang kan bahwa Koto masih saudaranya.
Datuk yang merasa bertanggung jawab kepada keluarga Koto
karena ia orang yang dituakan di kampung sangat dendam kepada
dukun yang mengirim ular itu, tetapi tak dapat berbuat apa-apa,
karena tidak mengetahui siapa dan di mana orangnya.
"Aku tahu perasaan Datuk," kata Erwin, "ber-tenang dan
berdoalah, akan kita selesaikan sampai tercapai keadilan."
"Beri aku kesempatan untuk membunuhnya," kata Datuk.
"Kita harus mengetahui kekuatannya secara sempurna, kalau kita
tidak mau gagal. Salah-salah, kita pun akan dimakannya," kata
Erwin.
Ketika mengantar ke pemakaman, Erwin merasa bahwa yang
menyebabkan kematian Koto berada di sekitarnya. Di antara orang
yang turut ke pe kuburan. Apa maunya? Erwin membisikkan kepada
Datuk dan berpesan supaya dia waspada.
Ketika jenazah akan diturunkan ke bumi, memang terjadi hal
yang amat mengejutkan. Menimbulkan rasa takut di antara
sementara hadirin dan menjadi bisik-bisik di antara mereka. Banyak
yang memandang ke arah Kapten Kahar. Dari lubang kubur ke luar
seekor ular besar sambil mendesis desis.

0odwo0
SEMBILANBELAS
DUA orang penyambut jenazah di liang lahat yang paling
terkejut, tetapi ular itu tidak mengganggu. Orang-orang di atas pun
tidak ada yang dikejar, la berlalu dari lubang itu dengan tenang,
diikuti oleh puluhan pasang mata. Mereka jadi herani lagi, ketika
mendadak ular itu hilang begitu saja. Badannya sebesar lingkaran
betis orang gemuk, sementara panjangnya diperkirakan tak kurang
dari empat meter. Bukan ular sendok. Warnanya hijau dan kuning
mengkilap.
Seorang pengantar jenazah berbisik kepada Erwin, "Pertanda
apakah itu, dukun kawakan?" Erwin tidak mengenalnya, dan ia
bertanya dengan bibirnya mencibir sinis. Anak Dja Lubuk tidak
menjawab. Tetapi ia tahu, bahwa orang itu bukan sekedar bertanya.
Melihat Erwin diam saja, rupanya ia tidak puas lalu menambahkan,
"Kalian turun-temurun manusia harimau, hah! Ayahmu si Dja Lubuk
itu, hebat juga." Kini tanpa menunggu jawaban ia berlalu. Tidak ada
orang memperhatikannya, juga Erwin tidak. Tetapi sesaat kemudian
diketahuinya bahwa orang misterius itu sudah tak ada lagi di antara
mereka.
Setelah ular menghilang, jenazah Koto diturunkan. Kelihatan
sebagian besar dari mereka ingin bergegas, terutama yang berada
di liang kubur. Penimbunan pun dipercepat. Yang tak kurang
berpikirnya daripada Erwin adalah Kapten Polisi Kahar. Apakah
artinya ini semua dan apakah lagi yang bakal terjadi? Kemarin
malam ada ular kecil tetapi dengan bisa mematikan masuk kamar
lalu membunuh Koto. Kini keluar seekor ular besar dari liang kubur,
tetapi tidak mengganggu. Meskipun tak masuk akal sementara
orang yang tidak pernah melihat keajaiban semacam itu, tetapi bagi
Kapten Kahar sudah semakin jelas bahwa cerita-cerita seperti itu
bukan khayalan.
Ketika orang tak dikenal berbisik pada telinga Erwin tadi, hanya

Datuk yang memperhatikan, tetapi kemudian tidak lagi, karena ia


turun menurunkan jenazah sahabatnya. Hatinya amat pilu. la
berangkat berdua dari kampung, tetapi kelak akan pulang sendiri,
kalau ia masih akan kembali ke kampungnya. Kalau ia tidak
menemui nasib seperti Koto. Kemungkinan itu besar sekali. Janganjangan ular besar dari liang lahat itu nanti yang akan mendatangi
dia dan membunuhnya dengan cara lain. Rasa sedih berbaur
dengan rasa takut. Ketika telah selesai pembacaan talkin bagi yang
pergi untuk selamanya, mereka semua pulang. Erwin jalan seiring
dengan Kapten Kahar, yang dipenuhi berbagai malam pertanyaan,
tetapi belum dapat disampaikan kepada Erwin. Datuk tidak pernah
jauh dari Erwin, seolah-olah manusia yang sama-sama hamba Allah
seperti dirinya sendiri dapat memberinya perlin-dungan terhadap
bencana yang tak terlawan oleh manusia biasa bahkan tak dapat
ditakuti dengan senjata.
Tenangkanlah hati Datuk' bisik Erwin kepada orang Minang yang
telah kehilangan teman akrabnya itu.
"Hatiku sangsi, seperti masih ada saja bahaya mengancam!" kata
Datuk.
"Memang begitu, tetapi kalau kita gugup ia semakin mudah
menyerang. Dari dalam atau dari luar. Maka pertenanglah diri dan
jangan berhenti menyebut nama Allah. Dialah yang melihat semua
dan Dia pula yang Maha Pelindung."
"Apa akan kukatakan di kampung nanti?" Datuk malu dan
bingung, walaupun belum tentu apakah dia masih dapat
kesempatan menginjakkan kaki di kampungnya.
Tiba di rumah, suatu musibah lain sudah menantikan Kapten
Kahar dan kedua tamunya, Erwin dan Datuk. Seorang keluarga yang
tidak kuat menahan emosi, menceritakan, bahwa adiknya Dinar
Nasution kemasukan setan. Sejak tadi menangis | dan menjerit-jerit.
Ketika itu pula Dinar mengeluarkan jerit melengking yang tidak
seperti biasa. Menegakkan bulu roma. Kapten Kahar bergegas ke
kamar adiknya untuk melihat pandangan yang sangat mengejutkan
dan menakutkan. Dinar telentang ke jang di ranjang, muka pucat

bagaikan mayat. Mulutnya ternganga lebar, mengeluarkan jerit


panjang, panjang sekali. Tak mungkin dilakukan oleh manusia tanpa
kekuatan iblis yang memasuki dirinya
Erwin baru masuk setelah dipanggil sendiri oleh Kapten Kahar
yang kebingungan. Inikah arti ular yang keluar dari liang lahat tadi?
Mengapa harus begini. Apa kesalahannya? Lebih-lebih apa
kesalahan adiknya Dinar? Buatan orang jahil, pasti orang lahil.
Tetapi apa yang dapat dilakukan atas pembuatnya. Dan siapakah
yang melakukannya. Bagaimana membuktikannya?
"Hanya kau yang dapat menolong, Erwin," kata Kapten Polisi
yang merasa dirinya punya kedudukan tak berdaya.
"Tidak," jawab Erwin. "Saya hanya Ikhtiar, tak lebih daripada itu.
Berhasil atau tidak, sepenuhnya di tangan Tuhan!"
"Tolonglah, adikku hanya dia seorang," pinta Kapten Kahar.
"Kalau bisa dipindahkan, biarlah aku menggantikannya." Dia
memang sangat sayang kepada adiknya yang hanya sebiji itu.
Tak masuk akal, tetapi ada selama lima menit Dinar melengking
panjang. Ketika ia mengatupkan mulut dan jerit terhenti, maka
warna wajahnya berubah warna jadi hitam-legam. Padahal ia
biasanya berwarna putih-kuning dan tadi putih-pucat.
Ibu Dinar tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis terisakisak. Hanya itu. Hatinya kecut. Bingung bercampur takut. Baru
malam kemarinnya Koto mati digigit ular. Kini anaknya dimasuki iblis
atau jin. Pada waktu itu hatinya mengutuk kehadiran Erwin, Koto,
dan Datuk di rumah itu. Pada waktu itu dia lupa, bahwa dia juga
orangnya yang kemarin dari benci sangat hormat kepada Erwin.
Karena Erwin yang menyembuhkan Hasbi dari kegilaannya.
Perempuan itu memandang Erwin yang sedang menghadapi
anaknya. Erwin juga melempar pandang kepada ibu Dinar, sehingga
keduanya
bertemu
pandang.
Buru-buru
perempuan
itu
menundukkan muka, merasa bahwa Erwin yang pandai itu,
membaca apa yang tersirat di dalam hatinya. Pada waktu itu
perempuan setengah baya itu berdiri dan menghambur ke luar

kamar, mengejut-herankan Kapten Kahar dan beberapa keluarga


yang ada di sana. Kapten Kahar mengejar dan mengikuti ibunya ke
kamar lain, tempat ia menangis tersedu-sedu. Kahar bertanya
mengapa ibunya mendadak bersikap begitu aneh.
Jawab ibu Dinar, "Entahlah. Aku berburuk sangka kepada orangorang yang kau bawa tidur di sini. Sekarang aku merasa bersalah."
"Sudahlah, Ibu sedang gugup. Mereka orang baik. Seorang
kawan mereka sudah jadi korban kejahatan dukun jahil, la marah
karena Erwin mengobati Pak Hasbi. Hendak membalas Erwin tetapi
tidak termakan olehnya. Lalu dia menyerang kawannya yang malang
itu. Tenanglah, mudah-mudahan Erwin dapat menolong kita. Aku,
jangan Ibu harapkan dalam hal ini. Aku tidak punya kekuatan apa
pun." Atas bujukan Kahar, perempuan itu kembali ke kamar Dinar.
Dia masih dalam keadaan kejang, tetapi mukanya tidak hitamlegam lagi. Ibu dan kakak Dinar merasa agak lega. Perempuan itu
semakin menyesal mengapa ia harus mencurigai Erwin.
Mengapa gadis tidak bersalah itu harus dikirimi jin? Kahar tidak
lekas mengerti, tetapi Erwin segera dapat memastikan, bahwa
pembalasan dilakukan atas diri Kapten Kahar melalui penderitaan
adiknya karena dialah yang membawa Erwin ke rumah Hasbi untuk
mengobatinya. Kalau tidak karena itu, maka dukun itu tidak punya
sebab untuk sakit hati kepada Kapten Kahar.
Dalam hati perwira Polisi itu mengambil keputusan untuk mencari
dan membinasakan sang dukun jahil, kalau adiknya sampai mati
oleh perbuatannya yang terkutuk itu.
"Bisakah adikku ini ditolong Erwin?" tanya Kapten Kahar.
Erwin menjawab lagi, bahwa ia hanya berikhtiar dan tidak
menentukan apa-apa.
"Tetapi kau bisa tahu siapa yang melakukan, bukan?"
"Kalau sekedar itu, kurasa bisa. Dia tadi bersama kita ke
pemakaman. Kapten pun agaknya melihat dia tadi!" Tetapi Kahar
tidak bisa ingat yang mana orangnya.

"Bukankah seorang kawan kita sudah tewas, mengapa dia masih


mengganggu?" tanya Kapten Kahar. Dijawab oleh Erwin bahwa
seorang dukun yang penasaran tidak mudah menghentikan
pembalasannya. Kalau dia tergolong yang sadis, dia akan serang
siapa saja yang dianggapnya bersekongkol menentang dia. "Bukan
tidak boleh jadi, dia nanti mengarahkan pukulannya terhadap
Kapten. Boleh jadi juga terhadap Ibu Kapten. Tetapi kita akan coba
membendungnya!"
Dinar kelihatan tenang, tetapi tanpa diduga, mendadak ia
menjerit panjang lagi, lalu membanting-banting badannya.
Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Penyakit yang tadinya diderita
Hasbi kini telah berpindah kepada diri Dinar. Tidak cukup sekian,
tiba-tiba gadis itu bangkit dengan tampang ganas mata terbelalak
lebar, la menuju abangnya yang terpaksa menjauhkan diri karena
melihat bahwa adiknya sangat marah kepadanya. Bagi pandangan
sang perwira, mata adiknya itu memancarkan api. Kedua tangannya
dalam posisi siap untuk mencekik.
"Mengapa kau Dinar!" teriak Ibunya. "Mau membunuh laki-laki
ini. Dia yang membawakan lawan untukku. Dia pikir dia cerdik minta
bantuan kepada si manusia harimau jahanam itu. Dia keliru.
Mestinya Kahar tidak campur tangan. Dan semua ini tidak akan
terjadi. Tetapi kini sudah terlambat. Dia harus dihukum, sebagai
tumbal bagi nyawa si manusia harimau yang sangat disayanginya
itu." Jelas. Kata-kata Dinar yang mewakili jin yang dikirim oleh
dukun Maribun bisa dimengerti oleh siapa pun yang mendengar.
Erwin tahu, bahwa nyawa Kahar terancam. Kalau iblis yang
bersarang di tubuh Dinar sampai mencekik lehernya, maka ia tidak
akan tertolong. Satu kota, bahkan satu propinsi akan gempar.
Seorang gadis mencekik mati kakak kandungnya yang Kapten Polisi.
Erwin menghadang Dinar sambil membaca-baca dan meniup
muka gadis kemasukan itu. Tetapi Dinar melawan. Dengan kedua
belah tangannya ia mendorong Erwin yang membuatnya pun heran
sambil sangat terkejut dan terlempar beberapa meter. Kapten Kahar
jadi tambah takut. Kali ini perwira yang tidak pernah gentar

menghadapi penen-tang penentang hukum bagaimanapun


hebatnya, merasa ketakutan, la begitu cinta kepada adiknya ilan kini
adik tersayang itu hendak membunuhnya. Rasa sayang itu saja
membuat ia tidak mungkin melawan. Lalu, akan menyerah kepada
nasib sajakah? Membiarkan diri dibunuh oleh adik kandung yang
sedang mewakili dukun yang mengirim iblis ke dalam diri Dinar?
Dan kalau gadis itu sudah sembuh kembali, akan bunuh diri atau
hidup menderita sepanjang umur, karena ia telah menewaskan
ibang terkasihnya?
Erwin yang jatuh segera bangkit, kini bukan lagi manusia Erwin
tetapi telah menjadi harimau berkepala manusia. Semua terjadi
begitu cepat. Semua hadirin geger dan menghindar, tetapi sebagian
besar di antara mereka mengetahui, bahwa apa yang sedang terjadi
adalah suatu keajaiban yang lebih baik tak usah dipertanyakan
mengapa bisa terjadi begitu, karena tidak dapat dipecahkan oleh
hukum akal semata-mata.
"Jangan kalian takut," kata Erwin yang sudah bertubuh harimau
itu. "Aku tidak akan mengusik kalian." Dinar tertawa-tawa besar
melihat lawan yang menghadang dirinya.
"Kau tak mampu menyembunyikan rahasiamu lagi, hah!" kata
Dinar. "Kasihan. Kau merasa malu, tetapi tidak dapat menutupi
aibmu. Sekarang semua orang tahu, bahwa kaulah yang iblis. Bukan
aku. Aku ini manusia baik-baik yang berilmu dan menjalankan tugas
kemanusiaan. Aku wajib membunuh makhluk yang seperti kau ini.
Manusia bukan, hewan bukan pula." Kata-kata yang dilontarkan
Dinar memang menimbulkan rasa malu pada diri Erwin yang masih
berpikir wajar sebagai manusia.
"Keluar dan hadapilah aku sebagai jantan," kata Erwin dengan
tujuan supaya Dinar terbebas dari jin yang dikirim Maribun.
"Mengapa aku mesti keluar," jawab si jin "nyaman tinggal di
dalam diri wanita secantik ini. Bunuhlah aku! Tapi kau tidak berani.
Membunuh aku berarti kau membunuh Dinar yang adik sahabatmu
si Kahar jahanam itu."

Apa yang dikatakan jin itu memang benar. Kalau Erwin


membunuhnya, Dinarlah yang akan mati sementara dia akan
menyelinap ke luar tatkala tubuh tempatnya bersarang itu sedang
sekarat. Erwin segera paham, bahwa lawannya ini bukan saja
sangat tangguh, tetapi juga luar biasa cerdik.
Si manusia harimau kehilangan akal. la haru mengeluarkan jin
itu dari tubuh Dinar. Ini hama Tiap iblis, setan atau jin punya
kelemahan yang berbeda satu dengan lainnya. Kalau tepat caranya
jin akan dapat dihalau dengan hanya sebutir lada putih. Bisa juga
dengan sesiung bawang putih!
Erwin mendengar suatu bisikan di telinganya Itu suara Datuk nan
Kuniang yang sudah lama tidak mendatanginya. Datuk yang
dimakamkan di sebuah pekuburan daerah Kebayoran Lama ini
beberapa kali menolong Erwin, karena Dja Lubuk dan Raja Tigor
sahabat-sahabatnya yang sangat akrab. Bisikan itu begitu pelan,
sehingga Erwin pun tidak segera dapat menangkapnya.
"Aku punya nama, walaupun aku bukan manusia dan bukan
hewan seperti katamu. Tetapi kau tl dak punya nama. Karena kau
hanya jin atau iblu yang hina," kata Erwin memanasi. Dinar tertawa
"Kau kata aku tidak punya nama? Kau mau tahu? Semua orang
kenal. Akulah Maribun, yang tidak terlawan oleh kekuatan apa pun
di bumi ini!" Tampang Dinar memperlihatkan kesombongan,
membangkitkan kejijikan. Dinar gadis yang sebenarnya mempunyai
paras menawan itu.
Bisikan halus itu terdengar lagi ke telinga Erwin. Sekarang ia
memasukkan tangan kanannya ke ketiak kiri Dinar, memijitnya
sekuat tenaga. Ketika terasa sebuah biji kecil keras, ia menekannya
semakin kuat. Dinar menjerit-jerit, meronta-ronta lalu terkulai
pingsan. Jin itu telah keluar. Buat sementara Dinar bebas, tetapi
Erwin merasakan, bahwa pertarungannya masih jauh daripada
selesai.
0odwo0

DUAPULUH
MEMANG bagi yang melihat, menjadi lemasnya Dinar merupakan
tanda kemenangan Erwin dalam bentuk dirinya yang sangat
mengerikan itu. Tetapi mereka sudah tidak takut, karena ialah
menjadi harapan dan pejuang mereka dalam menghalau jin yang
bersarang di dalam tubuh gadis itu. Dalam hati Erwin berharap agar
ia segera menjadi manusia biasa kembali, karena sesungguhnyalah
ia sangat malu dengan keadaannya yang seperti itu. Tetapi
harapannya tidak terkabul dan ia tidak dapat semaunya mengubah
diri jadi harimau atau jadi manusia kembali.
Erwin memandang sedih ke sekelilingnya seperti mau melihat
dan membaca muka dan hati mereka masing-masing. Dia kasihan
kepada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mengharapkan belas kasihan
dari mereka. Bahkan dialah yang kasihan kepada mereka, karena
telah membuat mereka terkejut dan semula tentu ketakutan.
Siapalah orangnya yang tidak akan ketakutan melihat seorang
manusia mendadak berubah jadi harimau berkepala manusia.
Melihat Erwin memandang, semua yang hadir menundukkan kepala.
Rasa kasihan, rasa hormat dan mungkin juga masih bercampur lagi
dengan sedikit rasa takut yang mereka ketahui tidak pada
tempatnya, tetapi tidak dapat dibuang begitu saja dari perasaan.
Mungkin di luar sadar, Erwin berkata, "Aku menyesal, kalau
keadaanku ini membuat kalian semua merasa takut. Kalian tahu,
aku tidak punya maksud untuk menakuti kalian. Tetapi aku juga
tidak mampu melawan nasib yang telah ditentukan bagi diriku!"
Yang mendengarkan semua terharu. Ibu Kahar bergerak maju,
memegang dan mencium tangan Erwin dalam bentuk kaki depan
harimau.
Kahar membiarkan, agak lega atas sikap Ibunya yang
menunjukkan kekhilafan penilaian terhadap diri Erwin. Si manusia
harimau juga terharu.
Dalam keadaan mengharimau itulah Erwin memakai sebagian
dari kemampuannya untuk mengembalikan Dinar kepada gadis
normal. Pelan-pelan ia membuka mata dan beruntung sekali, ia

tidak menjerit atau takut melihat makhluk itu duduk di hadapannya,


la memandang lama, kemudian tersenyum. Erwin juga senang
dengan ketenangan Dinar, tetapi kemudian senyum gadis itu
membangkitkan suatu rasa takut pada dirinya sendiri, sebagaimana
telah beberapa kali dialaminya. Padahal mereka melihat kenyataan
bahwa dia hanya pemuda miskin dan beberapa di antara mereka
bahkan melihat bahwa dia manusia dengan tubuh harimau, ada
waktu melihat Dinar tersenyum, maka Erwin lah yang berdoa, agar
jangan sampai terjadi pula lagi alangan beberapa bencana cinta-taknormal atas dirinya.
Yang sangat menakjubkan, Dinar yang baru ditinggalkan jin,
bukan hanya tersenyum ramah, tetapi beberapa saat kemudian
malah berkata pelan, namun cukup jelas untuk didengar semua
yang ha dir, "Abang Erwin hebat sekali. Bagaimana Abang membuat
diri Abang jadi harimau begini? Abang mau mengajarkan ilmunya
kepadaku nanti?"
"Istirahatlah. Kau perlu istirahat," kata Erwin' sebagai jawaban.
"Aku akan istirahat, kalau Abang berjanji mengajarkan ilmunya!"
"Baiklah," jawab Erwin untuk menghentikan cerita yang tidak lucu
itu.
Tetapi jawaban itu membuat Dinar meneruskan, "Jadi aku nanti
juga bisa jadi harimau seperti Abang. Mama dengar itu?" tanya
gadis itu kepada Ibunya. Yang ditanya diam. Sedih, mengapa anak
nya jadi punya kemauan begitu. Dan mulai pula datang kembali
dugaan yang tidak sehat di dalam hatinya. Mestinya Dinar takut,
tetapi dia tersenyum. Dia pun ingin pula jadi wanita mengerikan.
Bayang kan, kalau Dinar punya tubuh harimau, menjadi wanita
harimau. Apakah Erwin mempunyai dan mempergunakan ilmunya
membuat Dinar menyenangi dirinya, walaupun ia jelas-jelas bukan
manusia normal?
"Jangan berpikir begitu Nyonya," kata Erwin. Di luar dugaan Ibu
Dinar dan tidak dimengerti oleh Kahar yang juga mendengar ucapan
Erwin.

Perempuan yang tidak berpikiran stabil itu terkejut dan kini takut
melihat Erwin yang mungkin marah dan melakukan pembalasan, la
tidak lagi lari seperti pernah dilakukannya tadi, juga tidak minta
maaf karena pikiran buruknya dibaca oleh Erwin. Tetapi ia menangis
tersedu-sedu, menimbulkan tanda tanya lagi pada keluarganya yang
ada di sana. Apakah yang dipikirkannya sehingga manusia harimau
itu sampai berkata agar dia jangan berpikir begitu?
"Mengapa Abang berkata begitu kepada Mama?" tanya Dinar.
Erwin tidak menjawab, tetapi meneruskan usahanya dalam
memulihkan jalan pikiran dan keadaan tubuh Dinar.
Erwin kian gelisah, walaupun keadaan Dinar terus membaik
secara perlahan, karena dirinya belum juga kembali jadi manusia.
Rupanya hal ini dilihat dari jauh oleh dukun berilmu sangat tinggi
Maribun yang mengirim ular dan jin ke rumah Kapten Kahar dan
pekuburan tempat tubuh Koto disimpan untuk selamanya. Karena
dia bukan hanya hebat dalam ilmu gaib tetapi juga cerdik berpikir,
maka ia buru-buru menelepon ke Kantor Polisi bahwa di rumah
Kapten Kahar sedang bersembunyi seekor harimau yang lebih ganas
dari harimau biasa. Kalau tidak segera dibinasakan, maka ia akan
mengambil banyak korban di Lubuk-linggau. Dia juga menceritakan,
bahwa harimau yang lain daripada siluman itu tela h melakukan
teror di Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, Medan, dan Palembang.
Komandan jaga tidak percaya, karena rumah yang disebutkan
pelapor adalah tenpat tinggal seorang perwira Polisi. Tanpa raguragu Maribun menjelaskan, bahwa dalam soal ini tidak ada kaitan
dengan jabatan Kapten Kahar, tetapi makhluk yang sangat
berbahaya itu sedang bersembunyi di sana. Mungkin juga dilindungi
oleh Kapten itu. Polisi sebagai pelindung masyarakat harus
mengambil tindakan.
"Kalau tidak percaya, datanglah kemari. Yang melapor ini
Maribun! Kalian tidak kenal? Apakah orang semacam aku membuat
laporan palsu?" kata Maribun dengan nada mulai marah.
Maribun memang cukup dikenal. Bukan hanya sebagai dukun,

tetapi lebih-lebih lagi sebagai orang dermawan.


Maribun ingin membinasakan musuhnya melalui tangan resmi,
pihak yang berwajib memelihara keamanan dan ketertiban.
Pengaduannya agak meragukan, tetapi sekaligus juga menimbulkan
rasa takut. Kalaulah benar ada harimau yang melebihi harimau
siluman bersembunyi di rumah Kapten Kahar, maka hewan itu harus
dibinasakan, sebelum ia mengambil korban di kota itu.
Kapten Kahar terkejut, ketika mendapat laporan dari pemelihara
pekarangan bahwa satu regu Polisi telah datang dan komandannya
angin bertemu dengan Kapten Kahar.
Siapakah yang telah memberi laporan kepada Polisi, tanya
Kapten Kahar pada diri sendiri tanpa mampu memberi jawaban, la
amat marah dan sakit hati. la buru-buru ke pintu pagar pekarangan,
mendapat hormat dari seorang Letnan Polisi yang memimpin
pasukan, la tidak berani langsung masuk pekarangan, karena hal ini
menyangkut atasannya yang bertempat tinggal di sana.
"Ada apa Let?" tanya Kapten Kahar menahan emosi yang bangkit
di dalam dirinya. Sang Letnan yang bernama Jaya menyampaikan
laporan yang diterima Polisi dan menyebutkan nama pelapor.
"Itu bohong. Apa maunya orang ini memberi laporan yang tidak
benar dan bisa menimbulkan ketegangan. Bangsat betul. Masukkah
di akalmu di sini ada harimau? Dari mana datangnya. Gila, orang itu
gila dan kalian mau pula percaya kepada provokasi orang gila!" kata
Kapten Kahar. Dia marah sekali. Melihat ini si Letnan jadi ragu-ragu.
Mustahil Kapten Kahar berdusta, kalau benar ada harimau yang
tentu membahayakan keselamatan mereka sekeluarga.
Sejumlah Polisi telah mengatur posisi masing-masing dalam
pengepungan. Hanya menunggu perintah dari komandan
penyerbuan.
"Pak Kapten yakin tidak ada bahaya? Tidak ada harimau?
Katanya harimau yang lain lagi dari siluman," lanjut Letnan Jaya.
"Betul-betul gila. Akan kupanggil pelapor edan itu nanti. Aku

cuma tahu harimau di hutan. Tidak percaya siluman segala. Kau


percaya?"
"Tidak Pak, cuma dengar dari cerita-cerita."
"Dalam dongeng memang ada. Hanya khayalan penulis," Kapten
Kahar tertawa. Walaupun hanya tawa yang dibuat. Si Letnan
memberi hormat lagi dan memerintahkan anak buahnya untuk
kembali.
Kapten Kahar merasa lega dengan kepergian si Letnan, tetapi
juga merasa bersalah karena ia berdusta. Tiada pilihan lain baginya
daripada berdusta.
la kembali ke kamar adiknya, tempat Erwin masih saja dalam
keadaannya seperti tadi. Meskipun tidak melihat sendiri, ia tahu, apa
yang baru saja dihadapi oleh Tuan rumah yang baik hati dan telah
jadi korban dukun Maribun. Dia ingat baik-baik nama itu.
Karena Dinar sudah tertidur tenang, Erwin minta diri untuk
kembali ke kamarnya bersama Datuk, yang dirasuki berbagai
macam perasaan. Untuk kedua kalinya dia melihat manusia jadi
harimau. Tempo hari di Panorama Bukittinggi disaksikannya Dja
Lubuk yang mengharimau ketika bertempur dengannya. Kini ia
menjadi saksi lagi dari kejadian serupa atas diri Erwin. Tetapi rasa
takut sudah tidak ada. la tahu bahwa masih banyak petualangan di
hadapannya, barangkali juga kemati-annya, tetapi ia bangga telah
bersahabat dengan Erwin, walaupun seorang sahabat telah pergi.
Akhirnya kematian seseorang bisa terjadi di mana saja. Kematian
Koto meninggalkan kesan menyedihkan, tetapi tidak boleh
disesalkan. Tak ada manusia yang tahu, kapan saatnya janji
bersedia kembali kepada Yang Empunya harus dipenuhi. Tiada
kekuatan apa pun dapat membatalkan janji itu. Kalau ada seseorang
diyakini akan mati, tetapi tidak mati, maka hal itu bisa terjadi karena
saat memenuhi janji belum tiba. Tiada lain daripada itu.
Datuk memandangi Erwin. Tiada bertanya. Tetapi Erwin bertanya
kepada Datuk apakah ia ingin berpisah saja, karena kalau masih
bersama-sama mungkin ia akan turut terlibat dalam peristiwa-

peristiwa yang sudah tentu belum habis sampai di situ. Datuk


menangis terharu, la tidak mau berpisah. Waktu dia mengatakan
ingin tetap bersama itu, Erwin berubah jadi manusia kembali. Dia
merasa lega. Untuk kesekian kalinya dia mengalami, bahwa
perubahan atas dirinya tidak selalu terjadi atas keinginan hati dan
kebutuhannya. Ketika ia ingin jadi harimau, ia justru selalu tidak
bisa berubah dari wujud manusia.
Setelah menanti beberapa saat ia kembali ke kamar Dinar, la
dapat merasa ketenangan yang kembali ke diri keluarga Kahar,
terutama Kapten itu sendiri.
"Menyesal atas kesulitan yang kutimbulkan. Kapten," kata Erwin.
"Jangan berkata begitu saudaraku Erwin," kata Kahar spontan, la
kian melihat suatu kebersihan dan ketulusan pada diri si manusia
harimau.
"Aku salah satu dari yang disebut manusia harimau. Ingatlah itu
baik-baik. Aku bukan manusia beruntung yang normal seperti
kalian."
Hati Kapten Kahar amat tersentuh mendengar ucapan Erwin.
Itulah jerit halus dari seorang anak manusia yang harus menerima
nasib menyimpang dari manusia lainnya.
"Sebaiknya kami pergi dari rumah Kapten. Nanti timbul kesulitan
baru. Kami senang tinggal di sini, tetapi tidak suka kalau karena
kami nanti nama baik Kapten terbawa-bawa. Bahkan bisa rusak dan
menimbulkan kecurigaan di antara Korps Kepolisian. Waktu mereka
mengepung dan mau menyerbu tadi. Kapten terpaksa berbohong,
bukan? Padahal Kapten tidak biasanya suka berdusta."
"Hanya untuk kebaikan. Tidak merugikan siapa pun. Ini semua
yang dapat dinamakan takdir. Tidak kita kehendaki apalagi kita atur!
Tetapi kita juga tidak dapat mengelakkannya. Salahkah manusia
yang tak mampu mengelakkan takdir, karena memang
sesungguhnya tidak ada satu makhluk pun yang mampu
membebaskan dirinya dari takdir yang sudah ditentukan!"

"Falsafah hidupmu tinggi sekali. Saudara Er win. Di mana kau


belajar? Adakah buku pelajaran untuk itu?"
"Aku tidak pernah belajar filsafat, Kapten. Per jalanan hidup yang
memberi ajaran kepadaku. Kap ten setuju kan, kami pergi dari
rumah Kapten ini. Bukan kami tidak suka di sini. Urusan atau peristi
wa ini belum selesai."
"Akan ke mana Saudara Erwin. Adikku pun belum sembuh! Kau
tak akan meneruskan pengobatannya?"
"Aku berada di sekitar sini. Tentu saja aku akan coba dengan
segala daya yang ada."
"Kedatangan Polisi tadi oleh pengkhianatan seorang pelapor,"
kata Kahar.
"Dia berkata yang sebenarnya. Mau menyelamatkan keluarga
Kapten."
"Tetapi aku akan bikin perhitungan dengannya. Sudah pasti dia
mau merusak!"
"Aku mohon dengan segenap kebersihan hati, jangan! Demi
kebaikan banyak pihak. Jangan rusak masa depan Kapten. Aku
yakin. Kapten akan jadi seorang besar yang amat penting bagi
bangsa dan negara ini. Jangan Kapten!"
Datuk memandang Erwin. Ingin penjelasan mengapa tidak
dibalas.
"Ini urusanku, maka akulah yang akan menyelesaikan, Datuk.
Layak begitu, bukan? Ataukal Datuk punya pendapat lain?"
"Tidak, pendapat dan cara Saudara tentu yang terbaik. Tetapi
aku tidak rela kalau dia tidak dibalas. Dia terlalu jahat dan
sombong!" kata Datuk.
Maribun yang ditanyai Polisi menyatakan penyesalan, karena
mereka telah dibohongi Kapten mereka sendiri. Maribun bersumpah
bahwa ia tidak mengada-ada.

"Aku memikirkan keselamatan Pak Kahar dan masyarakat kota


ini," katanya.
0odwo0
DUAPULUH SATU
SESUNGGUHNYA Maribun sangat berharap dan sudah yakin,
bahwa untuk sekali itu ia menyingkirkan lawannya melalui kekuatan
yang dipelihara dan dibiayai negara. Dia akan tertawa lebar melihat
si harimau mati dikepung lalu binasa ditembak, dengan lebih dulu
tentu mematikan beberapa pengepungnya. Maribun juga tahu,
bahwa Erwin yang manusia harimau dari warisan, mempunyai ilmu
yang sangat tangguh. Sudah dirasakannya bagaimana kekuatan
orang muda itu ketika mengobatinya Hasbi. Tetapi peduli apa
Maribun akan kematian beberapa anggota masyarakat, siapa pun
dia. Yang terang bukan sanak-pihaknya. Dia akan mendapat nama
baik pula dari Polisi karena telah melaporkan keadaan yang sangat
membahayakan masyarakat kota itu. Maribun juga akan tertawa
puas bila Kapten Kahar terbukti menyembunyikan harimau yang
jelas-jelas
mengancam
keamanan.
Sekurang-kurangnya
ketenangan, la pasti akan dipecat. Ataukah akan ikut mati dalam
membela si manusia harimau yang menjadi harapannya untuk
menyembuhkan adiknya Dinar?
Atas hasutan Maribun juga seorang Mayor Polisi yang kenal baik
dengannya pura-pura bertandang ke rumah Kapten Kahar. Seolaholah mau menjenguk adiknya yang sakit. Begitu nasihat Maribun
untuk menutupi maksud yang sebenarnya. Dapat mempercayai
keterangan Maribun yang dilengkapi dengan alasan dan keterangan.
Mayor Polisi Ahmad Buang ingin membuat suatu kejutan bagi
masyarakat kota Lubuklinggau. Atas kelihayan Mayor Ahmad Buang,
akhirnya terbukti, bahwa memang benar Kapten Kahar melindungi
seekor harimau yang ganasnya melebihi harimau lapar dan luka. Uh,
kalau tersiar begitu, betapa hebat namanya. Di mana-mana orang
akan menyebut Mayor Buang. Barangkali juga orang akan katakan,
bahwa ia bukan hanya Perwira Polisi yang cerdik dan berani, tetapi

juga seorang pejabat yang punya ilmu gaib. Kebohongan Kapten


Kahar seperti yang dikatakan Maribun tidak akan dapat mengelabui
dirinya.
Kapten Kahar mempersilakan tamunya masuk. Kedatangan itu
saja sudah agak aneh, karena tidak biasanya Mayor itu berkunjung
ke rumah Kahar. Lebih heran lagi, ketika Ahmad Buang berkata,
'Saya dengar adik Kapten sakit. Tidak diopnamekan saja?"
Dari mana atau siapa pula Ahmad Buang mengetahui tentang
sakitnya adik sang Kapten. Ah, ini semakin macam-macam.
Kahar menerima atasannya di ruang tamu, mengatakan, bahwa
memang adiknya sakit, tetapi hanya ringan. Tidak perlu opname.
Bahkan ke dokter pun tidak perlu, katanya. Dengan cara itu
sebenarnya ia menyampaikan kejengkelan, karena dia sudah
merasakan, bahwa si Mayor mau menyelidiki, bukan mau tahu
tentang penyakit dirinya. Sekali ini, tanpa dipinta Tuan rumah, Erwin
yang sedang bersiap dan menunggu langkah baik untuk pergi,
datang ke ruang tamu. Dan di luar dugaan Kahar, juga sangat
mengejutkan Mayor Ahmad Buang ia bertanya, "Bapak mau
menyelidiki kebenaran cerita Maribun, ya?"
Buang berkata, gugup, walaupun hanya seorang Erwin
kampungan yang bertanya, "Apa maksudmu?" la merasa manusia
yang seperti itu cukup diper-kamu.
"Bapak mau mencari kepastian apakah di sini ada harimau yang
sangat ganas, berterusteranglah Pak. Bukankah Bapak berhadapan
dengan seorang yang pangkatnya di bawah Pak Mayor?"
"Siapa kamu?" tanya Buang.
"Pekerjaan saya supir. Bapak perlu supir? Saya sudah lama tidak
punya pekerjaan. Saya dengar Bapak senang sekali membantu
orang susah," kata Erwin mencerocos. Pak Mayor yang merasa
keco-longan rahasia dan diteror dengan pertanyaan-pertanyaan oleh
orang yang semula dipandangnya tidak punya arti sama sekali,
bangkit dari duduknya dan secara sangat tidak wajar, tanpa pamit
meninggalkan rumah, tetapi baru beberapa langkah, Erwin berkata,

bahwa harimau yang dicarinya itu memang ada. Perwira itu merasa
dipermainkan tetapi ia berhenti dan menoleh.
"Kamu juga melihatnya?" tanya Mayor Ahmad Buang.
"Ya, tadi memang lalu dari pekarangan ini. Melompat ke
pekarangan orang sebelah. Itu harimau piaraan namanya Pak," kata
Erwin berlagak tahu.
"Mengapa kau tahu dia harimau piaraan?" tanya Buang.
"Karena tak kan ada harimau rimba sampai menyasar kemari.
Jadf, kesimpulan saya yang bodoh, harimau piaraan. Mungkin di
sekitar sini ada dukun memelihara atau ada orang yang mewarisi
harimau!" kata Erwin.
Mayor itu kembali dan bertanya kepada Kapten Kahar apakah dia
boleh duduk sebentar lagi.
"Silakan Pak Mayor," kata Kahar.
"Kamu seperti orang banyak tahu, siapa namamu?"
"Bujang," jawab Erwin. Kahar dan Datuk yang sudah ikut serta
pula di sana hanya mendengarkan. Walaupun hanya sedikit, tetapi
mereka merasa geli juga.
"Namamu hampir sama dengan namaku. Ahmad Buang, Mayor
Polisi." la minta "Bujang" meneruskan ceritanya. Maka dijelaskanlah
oleh Erwin, bahwa dia berasal dari Kerinci dan di sana masih
lumayan banyak harimau jadi-jadian. Ada juga orang yang
memelihara atau mewarisi harimau. Harimau yang dipelihara dapat
disuruh oleh pemiliknya, kata Erwin. Dan Mayor itu tidak ragu-ragu,
karena cerita begitu sudah biasa juga didengarnya. Lalu dia
mengambil kesimpulan, bahwa cerita Maribun memang bukan
omong kosong belaka.
"Apa yang dikatakan Tuan Maribun itu memang benar, Pak
Mayor," kata Erwin membuat orang dari Kepolisian itu semakin
heran akan kepandaian lelaki kampungan itu, "tetapi harimau itu
tidak bersembunyi di sini. Dugaan Pak Mayor bahwa Kapten Kahar

menyembunyikan harimau sangat ganas itu sangat keliru. Tidak


masuk akal, bukan. Ataukah Pak Mayor bisa percaya?" tanya Erwin.
"Tentu saja tidak," jawab Mayor Ahmad Buang tanpa banyak pikir
lagi. Padahal tadi dia begitu yakin akan cerita Maribun.
"Saya kuatir harimau itu nanti mencari Pak Maribun, kalau ia
benar harimau piaraan atau suruhan," kata Erwin lagi. "Sebab
harimau yang begitu bisa mengetahui dan membaca pikiran orang!"
"Mengerikan juga," kata Mayor Buang mengikutkan perasaannya,
la juga tidak suka pikirannya dibaca oleh harimau, yang bisa
melakukan pembalasan.
"Kapten, maaf aku telah mengganggu," kata Mayor Buang. "Aku
permisi."
"Tidak ingin melihat adikku yang sakit itu? Bukankah itu maksud
kedatangan Pak Mayor kemari?" tanya Kahar. Atasannya yang jadi
malu itu merasa serba tak enak. Dia disindir. Tetapi memang pantas
ia disindir.
"Kudoakan supaya dia lekas sembuh," kata Buang lalu pergi, la
mengutuk Maribun yang telah mempengaruhi dia supaya pergi ke
rumah Kahar melakukan penyelidikan dan melihat kenyataan. Ketika
ia akan naik Toyoto Hardtop-nya, Erwin datang menghampiri dan
bertanya bagaimana tentang pekerjaan supir itu. Pak Mayor tidak
mengerti apa sebenarnya yang dimaksud orang mengaku bernama
Bujang itu, tetapi ia berkata, bahwa dia akan menyediakan
pekerjaan kapan saja pelamar itu mau mulai.
"Terima kasih Pak," kata Erwin, "jangan lagi Bapak mau dikibuli
dukun Maribun. Bapak jangan marah, dialah sebenarnya yang
sangat jahil."
Erwin mengangkat tangan memberi hormat dan perwira
menengah Polisi itu pergi. Berbagai macam pertanyaan timbul di
dalam benaknya. Yang satu dengan lain bertentangan.
Atas mufakat, Kapten Kahar menyetujui Erwin dan Datuk pergi.
Bekal beberapa puluh ribu rupiah diterima Erwin. la memang

membutuhkannya. Dia mengatakan masih akan mengunjungi Hasbi


yang sebenarnya masih diancam bahaya karena ia mempunyai
banyak musuh, la juga akan datang pada petang hari itu untuk
melihat Dinar.
Apa yang dikhawatirkan Erwin tampaknya bisa terjadi kalau tidak
segera dicegah perkembangannya. Sebelum petang hari itu, ia
bertanya kepada ibunya kenapa Erwin tidak datang melihatnya, la
termenung ketika dikatakan, bahwa Erwin sudah pindah atas
permintaannya sendiri. Kahar menerangkan, bahwa Erwin tinggal
tak jauh dari sana dan akan datang mengobati Dinar.
"Minta dia tinggal di sini saja Bang," kata Dinar. "Bukankah dia
orang baik yang menolong Pak Hasbi. Dia berjanji akan
mengajarkan aku ilmu menjadi harimau. Tentu aku akan jadi hebat
sekali ya Bang."
Kebetulan pada waktu itu Erwin tiba dalam keadaannya yang
normal. Berpakaian bersih, la minta disediakan segenggam lada
putih untuk melanjutkan pengamanan rumah dari gangguan orang
jahil mana pun. Ditanamnya di tiap pintu masuk d.ut di keempat
sudut rumah. Cara kuno yang masih I pakai banyak dukun sampai
sekarang.
Dinar bertanya mengapa Erwin pindah.
"Rumah begini terlalu bagus untukku Nona Dinar. Ayahku
berpesan supaya aku selalu hidup dalam kesederhanaan," kata
Erwin. Kahar mend-ngarkan dengan rasa haru.
"Aku ingin sepertimu. Bang Erwin. Aku ikut Abang saja, boleh?"
"Tak sesuai untukmu. Hidup Abang hidup petualang. Suatu
kesenangan mengembara dari satu ke lain tempat!"
"Aku juga mau bertualang. Mau mengembara Cari pengalaman."
"Ya, semua orang mau cari pengalaman. Tetapi jangan
pengalaman seperti Abang. Nona harus lekat sembuh, mudahmudahan satu dua hari lagi. Nanu kita buang semua gangguan itu."

0odwo0
Erwin berniat untuk menyelesaikan urusannya malam itu juga.
Supaya ia bisa meninggalkan Lubuklinggau atau berkubur di
buminya, la tahu bahwa Maribun tentu bersiap menantikan
kedatangannya. Dukun itu memandang Erwin hanya menyempitkan
dan mengotori daerah yang selama ini dikuasainya.
Sampai menjelang tengah malam Erwin men doa dan membaca
berbagai mantra. Yang begitu di lakukan juga oleh Maribun dengan
caranya. Tidak sama dengan Erwin karena ia mempergunakan ilmu
hitam yang amat tangguh, mengandalkan berbagai urunan yang
terdiri atas jin, setan, iblis, dan ular.
Sampai tengah malam Maribun sia-sia menantikan kedatangan
Erwin. la tak dapat lagi melihat apa yang sedang dikerjakan Erwin.
Rupanya lawannya itu mematahkan kemampuannya untuk melihat
dan membaca dari jauh.
Maribun merasa dirinya dalam bahaya. Jangan-jangan musuh
sudah berada di pekarangan ataukah sudah di dalam rumah?
Apakah Erwin mempunyai ilmu perabun yang dapat mengalahkan
keampuhannya terhadap kekuatan gaib semacam itu? Kegelisahan
Maribun meningkat ketika ia mulai merasa kantuk menyerang
dirinya. Dia membaca-baca, lalu minta dibuatkan kopi kental. Tentu
musuh sedang mengerjai dia dengan sepenuh kemampuan yang ida
padanya. Dan dugaan Maribun tidak keliru. Erwin mengerahkan
semua kekuatan batinnya untuk menaklukkan lawan, la ingin
pembalasan dapat dilakukan tanpa menimbulkan kehebohan atau
kegaduhan.
Pukul 01.30 tengah malam Erwin berkata kepada Datuk, bahwa
ia akan pergi sebentar, la akan kembali menjelang subuh, katanya.
"Aku ikut," kata Datuk.
"Jangan, biar aku saja yang menyelesaikan."
"Perkenankan sekali ini, Erwin. Aku tak mau membiarkan kau

pergi seorang diri sementara aku tinggal sendirian pula di sini. Aku
tak mau lagi berpisah denganmu, kecuali dipisahkan oleh maut."
"Baiklah kalau Datuk tak mau dilarang! Aku mau memohon dulu,"
lalu ia duduk bersila dengan kedua belah tangan di atas kedua
lututnya, la memohon restu dan bantuan dari jauh kepada Raja
Tigor, Dja Lubuk, Tuan Syekh Ibrahim Bantani, Datuk nan Kuniang
dan semua gurunya dalam ilmu pengobatan dan menangkis
serangan dari orang orang jahil. Hanya dari orang jahil, la sendiri
tidak akan pernah melakukan kejahatan, hanya melawan kejahatan
guna menegakkan pihak yang benar
0odwo0
Permohonan Erwin terkabul, la telah mempunyai tubuh dan
kekuatan harimau. Ditambah lagi dengan ilmu-ilmu gaib di dalam
dirinya sebagai manusia. Dengan kekuatan gabungan itu mereka
berangkat. Begitu mereka telah mencapai setengah perjalanan
turunlah hujan yang amat lebat, tetapi tidak dihiraukan oleh kedua
sahabat yang akan melaksanakan missi penuh bahaya. Dan hujan
ini menyebabkan tanah jadi becek dan meninggalkan jejak-jejak
kaki Erwin yang sudah jadi harimau itu. Disebelahnya kaki Datuk.
"Kita akan meninggalkan jejak," kata Datuk, yang dijawab oleh
Erwin, bahwa hal itu seperti di atur agar besok orang tahu, bahwa
seorang manusiai perkasa telah berjalan berdampingan di dalam
kota dengan harimau piaraannya. "Akan menghebohkan! kota besok
Datuk," kata Erwin. Datuk terhibur oleh kelakar itu.
Kedua sahabat itu memasuki pekarangan Maribun dalam curahan
hujan yang kian lebat, menidurkan hampir seluruh penduduk kota,
termasuk dukun kawakan yang diserang kantuk tak terlawan itu.
"Datuk menunggu di luar. Bersembunyi jugalah. Mana tahu ada
patroli lewat," kata Erwin, "Aku akan naik mengambilnya?"
"Dia tentu akan melawan, biarlah aku ikut, walaupun kehadiranku
tidak berarti," kata Datuk merendahkan diri. Tetapi Erwin

memberinya alasan-lasan, mengapa harus dia sendiri yang naik.


Erwin heran tetapi juga merasa senang, karena pintu yang harus
dibukanya ternyata tidak dikunci. Rupanya disengaja atau terlupa
oleh Maribun yang tahu bahwa lawannya itu akan datang. Sesudah
di dalam, terasa oleh Erwin kakinya sangat berat untuk melangkah.
Tentu karena telah di "pasang" oleh Maribun. Tetapi ia juga tahu,
bahwa dukun kawakan itu telah terbius oleh kekuatan gaibnya.
0odwo0
DUAPULUH DUA
TIDAK mampunya ia melangkah untuk mengambil Maribun,
membuat Erwin menyadari, bahwa walaupun Maribun terbius, ia
tidak dapat melakukan rencana yang sudah dipikirkan dan diyakini
nya akan dapat berjalan dengan lancar. Ataukah penglihatannya
dari jauh bahwa dukun besar itu telah terlena, pun suatu kekeliruan
oleh tabir gaib yang dipasang oleh lawannya itu? Jika begitu,
Maribun tidak berhasil dibiusnya dan besar kemungkinan ia tertawa
melihat hambatan yang dihadapi Erwin. Sudah sampai di dalam
rumah, tetapi tidak dapat melangkah maju. Barangkali lebih pula
dari itu. Akan dapatkah ia melangkah ke luar dari rumah itu, kalau ia
gagal membawa Maribun? Jikalau begitu halnya, apakah ia akan
tertangkap di sana. Apakah untuk kedua kalinya ia akan dikepung
oleh alat-alat bersenjata? Usaha Maribun yang pertama
menghasilkan kedatangan satu pasukan Polisi ke rumah Kapten
Kahar untuk mengepung dan menangkap atau membinasakannya,
tetapi gagal. Karena ia dilindungi oleh Tuan rumah. Di sini tidak
akan ada yang melindunginya. Apakah dalam keadaan manusia
biasa, atau lebih-lebih lagi dalam wujudnya yang seperti sekarang,
ia tidak punya alasan untuk menolak kesalahan dan maksud jahat
yang ditimpakan atas dirinya.
Erwin mengerahkan tenaga dalam dengan mantra pemecah
benteng, tetapi sia-sia. Kakinya tak dapat maju, kemudian diangkat
saja pun tak bisa lagi.

Keringat mulai membasahi muka. Apakah Maribun tidak ada di


rumah karena mengintai dari pekarangan, kemudian melapor
kepada Polisi setelah ia masuk ke dalam rumah? Kalau itu yang
telah dilakukannya, memang ia akan berhasil.
Setelah hampir putus asa, manusia harimau yang sedang
terjebak itu memanggil-manggil Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Dan
orang berilmu tinggi yang bermakam di dekat Muara Sipongi itu
memperlihatkan diri. Walaupun ia sudah mempunyai banyak
pengalaman tetapi dalam situasi seperti ini ia benar-benar sangat
takut. Pertama-tama karena malu kalau sampai tertangkap dalam
keadaan begitu, kedua ia masih ingin hidup menyelesaikan
beberapa urusan yang belum beres. Termasuk janjinya untuk
bertemu dengan Mei Lan.
Tanpa bicara agak sepatah kata pun. Tuan Syekh kembali dan
bersamaan dengan itu Erwin dapat mengangkat kaki. Kemudian ia
melangkah, udah tiada rintangan. Erwin tahu bahwa terhindarnya
tabir gaib yang tak tertembus berbagai mantranya, hanya berkat
pertolongan Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
Erwin berjalan pelan, supaya jangan terdengar oleh orang-orang
yang barangkali tak turut terbius oleh jampi-jampinya. Tetapi kakikakinya yami memikul badan harimau yang berat itu meninggalkan
bekas berlumpur dalam bentuk telapak hari mau.
la sampai pada suatu ruangan yang lumayan luas dengan satu
stel kursi dan perlengkapan lain yang membuat suasana di sana
dalam keadaan normal, tentu cukup menyenangkan. Alat pendingin
tetap bekerja, tidak dimatikan, walaupun di luar hujan turun dengan
amat lebat. Manusia harimau itu tak membutuhkan waktu lama
untuk melihat seseorang sedang duduk bersandar di sebuah kursi
goyang. Santai, seperti orang yang sedang melenakan lelah atau
mengenang masa lalu yang indali. Ataukah yang amat pahit?
Kedatangan Erwin dalam bentuknya yang ngeri menjijikkannya
itu seperti tidak dihiraukan nya. Persetan amat sama makhluk yang
cuma
begitu.
Berbadan
harimau
menandakan
ketidaksempunaannya. Derajat monster yang begitu, berada janji di bawah

manusia yang utuh. Ataukah dia tidak melihatnya? Tertidur? Pintu


yang terbuka sampl jauh malam itu, apakah maknanya. Bukankah
bita ditafsirkan sebagai suatu undangan bagi siapa tam yang mau
datang. Setidak-tidaknya maling yang tidak akan membuang
kesempatan sebaik itu. Maribun terkenal orang berada. Umumnya
masyarakat sekitar tahu, bahwa dia punya usaha dagang dan punya
beberapa bidang kebun. Juga kedermawanannya diketahui orang.
Beberapa bulan yang lalu ia mewakafkan sebuah mesjid kecil tetapi
lengkap dengan semua fasilitas. Bukan terbatas pada lantai yang
dikarpet seluruhnya, tetapi juga dengan AC. la ingin jemaah
melaksanakan ibadahnya dalam lingkungan yang nyaman. Supaya
bisa khusuk, barangkali itulah yang menjadi tujuannya.
0odwo0
Beberapa menit Erwin berdiri memandangi orang yang seperti
tidur atau benar-benar tidur itu. Tak salah lagi, inilah orang yang
pernah datang di dalam mimpinya. Tetapi menurut ingatannya, ini
bukan orang yang berbisik kepadanya saat mengebumikan Koto.
Apakah ada dua orang? Orang di makam itu yang suruhan ataukah
yang bersandar santai ini yang sedang melaksanakan tugas yang
dibebankan sang majikan atas dirinya.
Erwin ragu-ragu. Orang keliru, kalau menyangka, bahwa makhluk
sehebat ini tak mungkin ragu-ragu dalam menentukan langkah yang
akan diambil. Barangkali orang ini menunggu dia datang mendekat,
kemudian dengan suatu gerak kilat menyerang dirinya. Entah
dengan senjata atau kekuatan apa. Bukan mustahil orang ini akan
merobohkannya di sana, lalu datanglah para suruhannya untuk
melumpuhkan dirinya. Kalau tak dibunuh, maka ia akan diserahkan
kepada Polisi. Besar kemungkinan, ia akan melakukan yang tersebut
belakangan. Jika itu yang terjadi, maka pasti penduduk kota yang
cukup ramai itu akan gempar dan nama Maribun akan semakin
mengudara. Pak Maribun menyergap makhluk berbadan harimau,
tetapi berkepala manusia. Orang akan melihat dengan cara lain lagi
kepadanya. Lahiriah dan batiniah. Rasa segan dan hormat di luar

lalu rasa kagum di dalam hati. Barangkali juga diam-diam takut


kepadanya. Kalau Maribun mampu menangkap seekor atau seorang
makhluk yang mestinya punya kekuatan luar biasa tentu ia jauh
lebih hebat dari yang dikalahkannya. Dia punya ilmu gaib yang amat
tinggi, di samping kekayaan yang amat banyak.
Tidak ada jalan lain bagi Erwin. la harus melangkah, mendekat.
Ataukah
melemparnya
dengan
benda
kecil
untuk
membangunkannya, kalau benar ia tertidur. Supaya dia tahu, bahwa
ada tamu datang melalui pintu yang sengaja disediakannya.
Ataukah lebih tepat dikatakan, bahwa tamu yang dinantikannya
sudah tiba. Tetapi melemparnya de ngan benda kecil, sangat tidak
sopan. Lebih tidak sopan dari masuk tanpa memberi salam,
walaupun pintu terbuka.
Dengan menetapkan hati, karena yang dihadapi bukan orang
sembarangan, Erwin melangkah ke arah laki-laki itu duduk atau
tidur santai.
Dia coba saja memanggilnya dengan Maribun, nama yang
didengarnya di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution.
Karena lampu menyala setengah terang Erwin tidak keliru
dengan pandangan matanya. Tuan atau penunggu rumah sedang
meram. Dan meram belum berarti tidur. Sebagaimana ada sejumlah
orang ber ilmu yang tidur dengan mata terbuka lebar, untuk
menyesatkan lawan yang mungkin punya maksud buruk terhadap
dirinya.
Aneh, Erwin pun tidak segera mengatur rencana, bagaimana
membawa orang itu. Bukankah itu tujuannya ke rumah ini? la sudah
berdiri di hadapan si laki-laki. Mudah mencekik atau menyerangnya,
walaupun orang itu sebenarnya tidak tidur. Manusia harimau itu
tidak melakukan apa yang sewajarnya dilakukan dalam keadaan
seperti itu.
Dengan suara pelan, seolah-olah takut mengejutkan sahabat
yang sedang tertidur, Erwin berkata pelan, "Tuan, aku sudah
datang."

Waktu mengatakan itu Erwin bersiap untuk menangkis serangan


yang mungkin datang mendadak. Ternyata ia tidak diserang.
Tetapi apa yang kemudian terjadi lebih mengejutkan Erwin dari
serangan yang bagaimanapun kerasnya. Sebab serangan memang
sudah diperhitungkan sebagai sesuatu yang mungkin terjadi.
Dengan tenang, tanpa membukakan matanya Maribun,
memang dialah Tuan rumah yang bernama Maribun menyahut,
"Duduklah, dari tadi kulihat Tuan berdiri saja!" Ya Tuhan, rupanya
sejak tadi orang yang tidur atau disangka tidur itu melihat dia dan
memperhatikan segala gerak-geriknya.
Sambutan yang sama sekali di luar dugaan itu membuat Erwin
malu. Suatu cara yang dapat mematahkan lawan, lebih daripada
kalau memukulnya dengan kekerasan. Maribun menyerang perasaan
yang bisa mengendurkan moril Erwin. Bukan memukulnya dengan
tenaga fisik.
"Jadi Tuan telah melihatku sejak tadi?" tanya Erwin.
"Ya, dan aku memang mengharapkan kunjunganmu, anak
muda," kata Maribun tanpa nada sindiran.
Erwin jadi semakin tidak mengerti, apa maunya orang hebat ini.
Menyebutnya dengan "anak muda" padahal dia sudah berdaya
upaya untuk menjerumuskan dirinya ke tangan Polisi.
"Apakah Tuan tadi tidak tidur?" tanya Erwin.
"Tidur! Menantikan kedatangan tamu sambil tidur lebih enak, jadi
tak terasa. Pekerjaan menung gu termasuk pekerjaan yang sangat
meletihkan, bukankah begitu, Tuan Erwin," katanya tenang.
"Jadi Tuan melihat dengan mata tertutup?" tanya Erwin
menyesuaikan diri dengan sikap dan ke santaian Tuan rumah.
"Tidak, saya melihat dengan hati!"
"Tuan hebat sekali," kata Erwin memuji. Yang seorang ini lain,
benar-benar lain.

"Silakan duduk. Kalau kita menyebut hebat, sudah tentu Tuanlah


yang hebat. Aku tak bisa seperti Tuan!"
Cepat Erwin yang beranjak beberapa langkah menyahut, "Aku
tidak dapat melihat dengan mata yang meram. Aku hanya bisa
memandang dengan mata terbuka. Dan aku tak dapat duduk seperti
Tuan."
"Mau minum kopi panas?" tanya Tuan rumah
memperkenalkan diri dengan nama aslinya, Maribun.

setelah

"Terima kasih, tak usah!"


"Tidak kedinginan ditimpa hujan lebat?" tanya Maribun ramah.
Membuat Erwin semakin bingung dengan sikap dan gaya dukun
besar yang kaya-raya itu.
"Tidak, sudah biasa dikuyupkan hujan, dikeringkan panas."
Setelah itu keadaan jadi hening sepi, keduanya sama-sama diam,
seolah-olah mencari kata-kata apa lagi yang pantas untuk
meneruskan bicara. Hati Erwin berperang. Akan meneruskan
rencananya, mengambil orang ini? Yang sama sekali tidak
menunjukkan sikap bermusuhan walaupun kedua-duanya tahu
benar, bahwa mereka hendak saling mematikan. Hanya satu saja
yang boleh hidup, kalau Lu buklinggau tidak mau dijadikan terlalu
sempit bagi mereka.
"Anak muda sedang ragu-ragu," kata Maribun.
"Tuan tidak?" tanya Erwin berterus terang.
"Ya, sedikit," jawab Maribun yang sama sekali tidak kaget
menghadapi makhluk aneh dari Mandailing itu. Erwin menilai orang
itu cukup terbuka. Mengatakan terus terang apa yang tersimpan di
dalam hatinya.
"Aku juga kagum kepada Tuan, tidak langsung menerkamku tadi.
Padahal rencana Tuan sudah masak untuk membawaku!"
Mendengar ini, hati Erwin jadi mulai mantap kembali, la
bermaksud mengambil orang kuat ini. Ucapan Maribun yang

mengingatkan Erwin kepada rencananya


bumerang.

ternyata menjadi suatu

"Tidak jantan menyerang lawan yang sedang tidur. Apalagi dia


sengaja membiarkan pintu terbuka untuk menerima tamunya," kata
Erwin, sudah bertekad kembali untuk melaksanakan apa yang
menjadi tujuan, la juga teringat kepada Datuk yang menunggu di
luar. Kawannya itu tentu gelisah tetapi tak berani masuk karena
tidak ada mufakat begitu. Lebih-lebih memikirkan Kapten Polisi
Kahar, yang sudah berhadapan langsung dengan Maribun, kalau
Erwin tidak menahaninya. Kejahatannya mengirim jin ke dalam
tubuh Dinar sehingga ia mau mencekik abang kandungnya sendiri,
tidak dapat dimaafkan. Apalagi dia telah mengambil nyawa Koto
yang menjadi tamu Kahar melalui seekor ular yang sebenarnya
ditujukan untuk Erwin.
Maribun melihat perubahan pada wajah Erwin. la dengan mudah
membacanya. Tamunya ini sudah kembali pada niatnya semula. Dia
pun sadar bahwa kata-katanya jugalah yang telah menyebabkan
manusia harimau itu kembali kepada niatnya semula.
Maribun diam memikirkan kekhilafan kata-katanya. Bukan
menyesal, sebab dia menganut filsafat sederhana, bahwa sesal
kemudian tiada berguna. Kalau sudah terlanjur khilaf, orang harus
menyesuaikan diri dengan situasi.
"Bagaimana sekarang?" tanya Maribun, ingin tahu dengan cara
apa mereka membereskan sengketa yang menyala hebat di dalam
dada masing-masing. Ilmu yang sangat tinggi jualah yang
menyebabkan mereka mampu berdialog seperti dua orang sahabat
yang mencari kata sepakat melakukan sesuatu.
"Aku harus membawa Tuan dari sini guna mencegah kejadiankejadian buruk yang tidak kuingini."
"Soal penyakit mereka? Itu profesi menyenangkan, di
pekerjaan sehari-hari!"
"Menyenangkan, kata Tuan?"

samping

"Ya, itulah yang kurasakan. Aku menikmati tiap hasil karyaku,


juga menikmati mereka yang coba memperlihatkan keunggulannya
di atas kemampuanku."
Orang ini benar-benar sadis, tetapi juga berani berterus terang.
Menyakiti orang lain, harta pun bukan musuhnya merupakan suatu
kenikmatan baginya.
"Kumohon agar kita tidak bikin onar di rumahku ini. Keluargaku
tidak perlu terbangun dan ketakutan melihat kita berdua harus
meniadakan valah satu nyawa. Aku punya usul, kalau anak muda
setuju."
"Kupikir aku akan sangat setuju dan merupakan suatu
kesenangan memenuhi keinginan dari lawan yang bersikap sebagai
sahabat terkarib," kata Trwin. Dia memang menaruh respek
terhadap dukun ini, walaupun sadis. "Sebutkan usul Tuan."
0odwo0
DUAPULUH TIGA
MARIBUN memandang ramah kepada Erwin. Si manusia harimau
juga membalas dengan pandangan persahabatan, sehingga bagi
orang yang tidak mengetahui persoalan akan menyangka, bahwa
mereka itu tentu dua sahabat yang sedang merundingkan sesuatu.
"Bagaimana kalau kita keluar dari rumahku ini lalu memilih
tempat yang layak untuk menentukan nasib. Anak muda tahu kan,
bahwa kita mempunyai tekad yang sama?" tanya Maribun.
"Tahu, salah seorang dari kita harus berhenti dari profesinya.
Tuan atau aku," jawab Erwin.
"Tepat sekali. Disayangkan, kalau dapat bekerja sama, kita akan
merupakan suatu tim yang kuat sekali."
"Aku pun berpendapat begitu. Tuan. Tetapi kita mempunyai
prinsip yang berlainan, sangat berlainan dan tak mungkin
dipertemukan," kata Erwin.

"Apakah anak muda punya ancer-ancer di mana tempat itu?"


"Aku orang asing di sini, Tuan. Oleh karenanya aku akan menurut
pilihan Tuan," jawab Erwin hormat.
"Tetapi aku punya sebuah permintaan," kata Maribun.
"Katakanlah, kurasa aku akan memenuhinya kalau dapat."
"Karena aku telah menyediakan pintu untuk anak muda agar
dapat langsung masuk, maka kini aku ingin agar anak muda yang
kuat dan gagah membawa diriku ke tempat yang akan kita tentukan
nanti."
"Bagaimana mungkin, bukankah Tuan yang akan
tempat penentuan itu?"

menunjukkan

"Anak muda tak paham maksudku. Aku ingin agar anak muda
menggendong aku dan aku yang axan menunjukkan jalan!"
Erwin merasa heran, karena permintaan Maribun sangat aneh.
Apakah ia punya muslihat di belakang permintaannya itu? Tetapi ia
yang dikatakan kuat dan gagah, malu pula menolak permintaan
Tuan rumah, la seakan-akan minta balas budi afas kebaikan dan
keramahtamahannya. Maka Erwin pun menyatakan persetujuannya.
"Ingin tahu rasanya digendong harimau," kata Maribun seperti
seorang kawan yang sedang bermanja-manja.
"Baiklah, kalau itu akan menyenangkan hati "Tuan," kata Erwin.
la bergerak lebih dekat dengan berdiri atas kedua kaki
belakangnya. Tetapi kemudian ditanyanya sekali lagi, apakah benarbenar Maribun menghendaki itu. Setelah mendengar penegasan
Maribun ia membungkuk untuk menggendong orang yar/g akan
menjadi tandingannya dalam berebut dan mempertahankan nyawa.
Erwin yang sudah membungkuk untuk mengangkat Maribun
ternyata tak mampu melakukannya. Tubuh Maribun yang hanya
berukuran sedang itu terasa amat berat. Kalau semula ia
menyangka, bahwa untuk itu ia tidak perlu sampai mempergj nakan
tenaga, kini mulai mengerahkan tenaga. Tetapi ternyata sia-sia,

Maribun tetap tak dapat diangkat dari tempatnya duduk.


Mengertilah dia, bahwa dukun berilmu sihir itu mau memperlihatkan
satu lagi kemampuannya dan mau menguji apakah Erwin sanggup
mengalahkan kehebatannya yang la n ini.
"Tuan benar-benar terlalu hebat bagiku," kata Erwin.
"Jangan berpura-pura, anak muda. Anda tak sudi menggendong
saya."
"Bukan, Tuanlah yang sebenarnya tak mau saya gendong, karena
saya hanya harimau, seperti kata Tuan tadi."
"Coba sekali lagi, kalau benar anak muda ini memanjakan aku
yang tua dan barangkali malam ini juga akan berpisah dengan dunia
yang sebenarnya menyediakan semua-muanya untuk dinikmati."
Erwin mencoba sekali lagi, tetapi tubuh Maribun tetap tak
bergerak dari tempatnya.
"Kalau anak muda tak mau menggendongku sesuai dengan janji,
pulang sajalah, sebab aku tak-mau pergi kalau harus berjalan.
Pergilah, kita tidaj usah bermusuhan walaupun tak dapat bersahabat
Karena perbedaan pandangan hidup dan kayakinan."
Erwin merasa bahwa perkataan orang kawakan itu benar juga.
Lebih baik pergi, karena ia tak sanggup menggendong, padahal
itulah persyaratan yang diajukan Maribun.
"Baiklah Tuan, aku pergi dulu. Mencari tambahan ilmu, kalau
sudah tiba waktunya aku akan kembali!"
"Itulah yang terbaik," kata Maribun.
Erwin bergerak
dimasukinya.

menuju

pintu

yang

tadi

begitu

mudah

Tetapi setelah tiba di dekat pintu, kembali ia tak dapat bergerak


sebagaimana ia juga tak mampu melangkahkan kaki, ketika ia tadi
hendak mendekati Maribun yang tampak seperti tertidur pulas.
Apakah ia akan mendapat bantuan, sebagaimana ia tadi juga
mendapat bantuan dari Tuan Syekh Ibrahim Bantani? Tadi ia

menyebut nama orang sakti itu, tetapi kini ia malu berbuat begitu.
Tampak benar kelemahannya, la memandang ke arah Maribun.
"Mengapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Maribun, jelas
mengejek. Sambil berkata Maribun berdiri, tenang-tenang
melangkah ke arah tamunya yang mau pulang itu.
Erwin merasa terpojok. Malu bukan buatan. Tetapi tiada daya.
"Pulanglah, aku mau mengunci pintu. Mau tidur. Bukankah kita
sepakat untuk tidak bermusuhan?
Erwin memandang orang itu. Kini tidak lagi dengan mata
memancarkan rasa persahabatan. Sebab yang begitu akan
ditafsirkan sebagai minta dikasihani. Dan itu menjadi kepantangan
besar baginya
"Tak anak muda dengar? Aku mau tidur. Perulah pulang!"
Erwin memandang dengan penuh dendam, tapi juga merasa
bahwa orang itu mempunyai terlalu banyak ilmu.
"Kalau anak muda tak mau pulang, aku terpaksa menelepon
Polisi. Perbuatan Anda ini sudah sa ngat mengganggu!"
Erwin segera membayangkan, bahwa untuk kedua kalinya ia
akan dikepung Polisi dan sekali ini tidak akan lolos lagi. Memang
itulah rupanya maksud Maribun. la mau mempergunakan alat-alat
penegak hukum untuk menyingkirkan musuh yang telah
menyusahkan dirinya itu.
Dalam keadaannya seperti itu, kalau sampai dikepung oleh
orang-orang bersenjata, dia pasti akan ditembak. Mungkin
diberondong dengan senapan mesin. Betapa aibnya. Apakah ia
jauh-jauh merantau, sudah menjelajahi sekian banyak kota besar,
akhirnya akan mati terkapar di Lubuklinggau? Itu lah tujuan Maribun
dan itulah yang sangat ditakuti nya. la harus dapat menghindar.
"Anak muda lihat itu," kata Maribun sambil , menunjuk ke sebuah
meja di mana ada sebuah telepon. "Aku akan menelepon Polisi
sekarang."

Betapapun malunya Erwin tidak dapat berbuat lain daripada


memanggil-manggil nama Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
"Hindari aku dari dikepung dan diburu mereka, Tuan Syekh,"
pintanya hampir menangis karena putus asa. Betapa akan sedih
hati Ayah, dan kakeknya kalau ia sampai ditewaskan Polisi di sana.
Tiba-tiba ia dapat mengangkat kakinya kembali. "Segala puji dan
syukur bagimu Tuhan," kata Erwin di dalam hati.
la melangkah ke arah Maribun yang sudah mengangkat gagang
telepon.
"Letakkan itu kembali Tuan Maribun," katanya masih hormat.
Maribun yang kaget oleh kehancuran ilmu pemberat kaki dan tubuh,
tidak segera meletakkan telepon, tetapi juga tidak bicara.
Bagaimana mau bicara, nomor pun belum diputarnya.
"Anak muda mempermainkan diriku yang tua," kata Maribun.
"Aku tak tahu bahwa sejak tadi anak muda berpura-pura.
Memang hebat, pada detik terakhir baru anak muda
memperlihatkan kartu yang ada di tangan anak muda."
"Aku tadi tidak berpura-pura Tuan, aku memang tak mampu
bergerak sebagaimana aku tadi tak mampu mengangkat tubuh
Tuan. Aku merasa hormat. Ilmu-ilmu Tuan itu tidak ada padaku!"
"Anak muda masih merendahkan diri. Memang begitulah sifat
orang yang benar-benar hebat. Anak muda pun rupanya memakai
ilmu padi!"
Maribun meletakkan telepon.
Dalam hati Erwin memohon kepada Tuan Syekh agar ia diberi
kekuatan untuk menggendong Maribun. Yakin, bahwa pintanya
didengar, ia ambil badan Maribun dalam posisi menggendong. Dan
kini memang tiada rintangan. Giliran Maribun yang merasa takut.
Tadi ia sengaja mempermainkan Erwin, apakah ia pun kini akan
dipermainkan?
"Aku tidak akan mempermainkan Tuan, karena aku tidak punya

cara-cara yang Tuan jalankan sebelum Tuan menamatkan riwayat


orang yang jadi sasaran Tuan. Kesadisan dengan gaya lain. Tuan
tadi hendak menelepon Mayor Buang, bukan?"
Maribun tidak menjawab.
"Biar aku yang bicara. Akan kukatakan apa yang hendak Tuan
katakan. Tetapi aku tidak mempermainkan Tuan. Sebab tadi Tuan
benar-benar seorang Tuan rumah yang amat baik," kata Erwin
sambil meletakkan Maribun kembali dan meminta dengan hormat,
agar ia memutarkan nomor telepon Mayor Polisi Buang. Karena
manusia harimau itu memintanya dengan baik, maka ahli sihir itu
menuruti, sebagaimana Erwin tadi juga patuh ketika disuruhnya
pulang dan kemudian dibuatnya tak berdaya untuk melangkah
sampai ke pintu.
Setelah mendapat sambungan, Maribun menyerahkan telepon
kepada makhluk yang harimau berkepala manusia itu. Dikatakannya
kepada Mayor Polisi Buang, bahwa si harimau piaraan yang
mengancam keselamatan penduduk sedang berusaha masuk ke
rumah Maribun. Kalau segera membawa pasukan tentu akan dapat
mengepung dan menangkap atau membinasakannya. Selesai
mengatakan itu, Erwin menutup telepon.
Mayor Polisi yang ingin naik pangkat dan menjadi buah bibir
masyarakat Lubuklinggau itu segera bertindak, walaupun hari telah
sangat larut malam, sudah mendekati jam 03.00. Menjelang subuh,
tatkala semua makhluk yang bernama manusia sedang enakenaknya tidur.
"Mari kita berangkat," kata Erwin sambil menggendong Maribun,
sesuai dengan yang disanggupinya ketika tadi Maribun
mengajukannya sebagai persyaratan. Maribun membiarkan, karena
tidak melihat peluang baik untuk melawan.
"Aku dapat berjalan ke tempat yang akan kita pilih jadi medan
penentuan. Tak usah gendong aku," kata Maribun kemudian.
Katanya ia mengajukan permintaan itu tadi hanya sebagai isengiseng tanda persahabatan. Alasan itu dijegal Erwin dengan berkata,

"Karena merasa bersahabat, atau sekurang-kurangnya tidak


bermusuhan, maka Tuan buat aku tadi sampai tak kuat mengangkat
tubuh Tuan dan kemudian tak mampu keluar dari rumah Tuan ini.
Dan karena kebaikan hati Tuan pula maka Tuan tadi hendak
menelepon Polisi agar mengepung dan menangkap atau
menewaskan diriku!"
Maribun tidak sanggup membantah kata-kata Erwin yang secara
langsung menyindir dirinya.
Erwin keluar dari rumah yang hampir menjerat dirinya, membuat
Datuk heran melihat sahabatnya menggendong si dukun sihir, la
berjalan di samping Erwin tanpa mengajukan pertanyaan. Untunglah
Maribun berkata, bahwa ia merasa sangat aneh digendong, yang
oleh Erwin dijawab, "Aneh ataupun tidak, bukankah Tuan yang
meminta untuk digendong." Jawaban ini membuat Datuk tambah
tak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Hujan sudah reda, tetapi jalan yang berlumpur menyebabkan dua
kaki belakang Erwin dan kaki Datuk meninggalkan jejak yang sangat
nyata. Setelah merasa cukup jauh dari rumah Maribun dan keadaan
sekitar juga sepi, Erwin berhenti tanpa menurunkan Maribun. la
hanya bertanya, apakah tempat itu cukup baik untuk menanggalkan
satu di an tara dua nyawa mereka. Si dukun sihir setuju. Erwin
menurunkannya dan mempersilakan untuk bersiap. Di situlah baru
Maribun, yang selama perjalanan telah memikirkan bagaimana ia
akan meng hadapi si manusia harimau, jadi sangat terkejut, karena
merasa dirinya tidak berdaya. Dia tak mengerti mengapa bisa jadi
begitu. Apakah dia yang akan tersingkir dari dunia yang katanya
memberi ba nyak kenikmatan ini. la baca berbagai ilmu dalam
bahasa Tamil, tetapi tak satu pun dari binatang suruhannya yang
datang. Dibacanya dalam bahasa Sakai, juga tidak menolong. Dia
lalu berkata, bahwa dia tidak siap untuk bertarung dan minta
supaya diurungkan untuk lain waktu
"Menyesal sekali Tuan, aku harus meneruskan perjalanan besok,
kalau aku tak tewas sekarang," jawab Erwin tenang, tetapi tegas.
Karena Maribun sudah beberapa kali menunjukkan kepalsuan dan

kelicikan, si manusia harimau kurang yakin akan pengakuannya.


Dicobanya membaca pikiran penyihir itu. Menurut penglihatannya
memang sedang tak berdaya. Tetapi apakah benar begitu? Mungkin
Maribun punya ilmu lain untuk membuat Erwin salah baca. la segera
mengujinya. Dipukulnya badan Maribun, terjatuh ke lumpur. Tidak
memberi perlawanan. Walaupun begitu Erwin belum yakin. Orang
ini mempunyai akal dan ilmu terlalu banyak. Barangkali dia berbuat
begitu untuk mengulur waktu sehingga Mayor Polisi Buang sampai
di rumah Maribun, kemudian mengikuti jejak si harimau. Tentu akan
bertemu, kalau Erwin membuang waktu.
Dan memanglah begitu yang terjadi. Mayor polisi Buang yang
mempergunakan dua kendaraan telah tiba di rumah Maribun
dengan sepuluh anak buah bersenjata lengkap untuk suatu
pengepungan dan mungkin pertarungan dengan seekor harimau
yang dikatakan hewan piaraan. Mengetahui Maribun tidak ada dan
kemudian melihat pula jejak harimau dan satu manusia. Polisi jadi
sangat heran. Hanya ada jejak dua kaki belakang dan bekas telapak
kaki manusia tanpa sepatu. Mayor Polisi Buang dan anak buahnya
tidak mengerti. Penghuni rumah pun tidak dapat memberi
keterangan.
0odwo0
DUAPULUH EMPAT
JEJAK manusia tanpa sepatu menimbulkan tanda tanya, siapakah
yang punya kaki. Maribun? la tidak biasa bepergian tanpa sepatu, la
seorang penyihir modern dan pedagang yang lumayan bonafide.
Lalu, siapakah orang itu. Dan si harimau, mengapa jalan atas kaki
belakang saja? Beginikah semua harimau piaraan?
Mayor Polisi Buang yang tadinya begitu ingin jadi terkenal dan
naik pangkat jadi berpikir lagi sebelum mengikuti jejak harimau
yang sangat aneh itu. Sama sekali tidak terlintas dalam khayalannya
bahwa Maribun telah digendong oleh si harimau aneh dan hewan itu
juga merasa senang, karena dengan menggendong dukun itu ia

menyesatkan jalan pikiran siapa pun yang akan memburunya.


Ternyata Maribun memang kehilangan daya untuk melakukan
perlawanan. Segala kekuatan gaib yang selalu ada pada dirinya
bagaikan sirna secara mendadak dan bagaikan tanpa sebab. Tidak
disadarinya bahwa seluruh kekuatannya telah direnggut dari dirinya
oleh Tuan Syekh Ibrahim yang tidak menyukai ilmu digunakan untuk
kejahatan. Erwin sendiri pun tidak mengerti, mengapa mendadak
dukun kenamaan dan tadi masih memperlihatkan kesadisannya
mendadak tidak melawan.
"Lawanlah aku," kata Erwin.
"Aku tidak siap untuk hari ini. Kalau Anda harimau yang jujur dan
satria tentu Anda menunda sampai hari yang akan kita tentukan
kemudian. Anak muda semacam Anda tentu punya kemanusiaan
tinggi," ujar Maribun. Apakah kesalahannya maka ia kehilangan
seluruh tenaga?
"Aku sudah tidak dapat menunda. Tuan. Dan aku tidak punya
apa yang Tuan sebutkan itu, karena aku bukan manusia. Begitu
kata Tuan. Karena aku hanya harimau maka keharimauanlah yang
ada pada diriku. Terserah kepada Tuan kalau menganggap aku
sangat hina."
"Itu tidak adil" seru Maribun.
"Bagaimana pendapat Datuk? Tuan ini mengajak aku
menyelesaikan urusan. Salah satu di antara kami harus mati. Itulah
makanya kita sampai di sini. Aku menggendong beliau pun karena
begitu ke-mauannya. Apakah aku jahat kalau tidak mau
mengundurkan waktu lagi?" tanya Erwin. Untuk pertama kali Datuk
dibawa serta. Legalah hatinya. Tadi dirinya dianggap sebagai tidak
ada saja. Disapa pun tidak.
"Saya rasa tidak perlu ditunda!" jawab Datuk. Penyihir itu masih
coba mengemukakan berbagai alasan agar pertarungan ditunda,
sekaligus ia berharap Mayor Polisi Buang akan sampai di sana.
Penegak hukum itu pasti akan menangkap Erwin atau
membunuhnya di tempat.

"Aku tidak dapat mengulur waktu Tuan kata Erwin. "Sambutlah


seranganku ini!" Maribun tidak bersiap untuk menangkis atau
melawan, sehingga Erwin pun belum jadi melancarkan pukulan.
Tetapi Erwin juga tahu, bahwa jika tidak sekarang dilakukannya,
maka besar kemungkinan, dia-lah yang akan jadi konyol.
"Maafkan aku," kata Erwin dan bersamaan dengan itu ia
mencekik leher Maribun sambil menanamkan kukunya dalam-dalam.
Menyedihkan juga, karena Maribun sama sekali tidak melawan.
Seperti berserah saja kepada ketentuan yang sudah diperuntukkan
bagi dirinya.
Melihat kenyataan itu, hati Erwin berperang, antara meneruskan
pembunuhan atau membiarkannya hidup. Sungguh tak layak
mematikan manusia yang tidak memberi perlawanan, la bukan
bertarung mempertaruhkan nyawa, tetapi tak lebih daripada
melakukan pembunuhan dengan darah dingin. Bukan suatu
perbuatan terpuji. Dia masih berharap agar Maribun mendadak
berontak dan memberi perlawanan sengit. Ataukah dia tidak
merasakan sakit oleh tikaman kuku yang tajam dan cekikan yang
kian mengetat?
"Apa lagi yang Tuan tunggu!" kata Erwin, melihat darah mengalir
dari luka-lukanya, la mengendurkan tekanan untuk memberi
kesempatan bicara kepada Maribun, tetapi penyihir itu tetap
bungkam. Tiada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Datuk buka suara. "Aku tidak ingin mencampuri, sahabat. Aku
dapat turut merasakan kebimbangan hati sahabat. Bertentangan
dengan hati sahabat menewaskan orang yang tiada melawan."
"Memang itulah yang kurasakan Datuk! Aku bukan bertarung,
tetapi hanya membunuh. Betapa hinanya!"
"Memang benar begitu. Tetapi mungkin dia sendiri sudah rela
dilenyapkan dari dunia ini, karena hidupnya dengan ilmu-ilmu
besarnya banyak menebarkan penyakit dan maut. Kematian bagi
yang jadi sasaran dan penderitaan hati yang tak akan pernah
berkesudahan bagi keluarga yang ditinggal. Sahabat bukan sedang

membunuh, tetapi hanya meniadakan ancaman yang sangat


berbahaya bagi masyarakat. Bagaimanapun pasti ada sesuatu yang
menyebabkan ia tidak melawan. Mungkin tekadnya sendiri, mungkin
Ayah sahabat atau orang-orang yang amat mencintai diri sahabat.
Ingatlah beliau-beliau yang tidak ingin ilmu digunakan bagi
melakukan kejahatan.
Apa yang dikatakan Datuk mungkin benar. Maribun sendiri minta
ditiadakan atau orang-orang yang amat sayang kepadanya minta
agar turun tangan membinasakan penyihir itu. Boleh jadi Ayah,
mungkin Kakek dan barangkali Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Yang
dalam jarak waktu yang amat singkat telah dua kali melepaskan dia
dari rencana jahat Maribun untuk mempergunakan alat-alat negara
mengepung dan menangkap lalu membinasakan dirinya.
Erwin menguatkan hati. Bukankah sudah diputuskan tadi, bahwa
salah seorang dari mereka berdua harus bercerai dengan nyawanya.
Keputusan itu harus dilaksanakan. Tidak diatur bagaimana caranya
dan apa-apa yang jadi larangan. Kemudian terpikir oleh Erwin,
bahwa kalau Maribun masih di biarkan hidup, ia akan
mempergunakan segala cara untuk membinasakan dirinya. Kalau dia
meniada kan Maribun sekarang, maka tak lain maksudnya agar ia
tidak dibunuh. Selain itu juga untuk kepentingan masyarakat.
Nasihat Datuk dan jalan pikirannya membuat Erwin mengambil
keputusan untuk menamatkan kehidupan Maribun.
Erwin dengan mudah mengetatkan cekikan, sehingga Maribun
meninggal tanpa perlawanan sedikit pun, seolah-olah semua
kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya sudah lenyap sama
sekali.
"Dia sudah tiada, Datuk. Aku menyesal harus melakukannya.
Tetapi aku juga tidak melihat jalan lain!" kata Erwin.
"Memang tiada jalan lain sahabat. Tentu ada sebab-sebab yang
mengharuskan dia tewas tanpa melawan," sambut Datuk
meringankan perasaan Erwin.
"Boleh aku minta bantuan Datuk?" tanya Erwin setelah berpikir

sejenak.
"Tentu, sejak tadi aku ingin supaya diajak serta walaupun hanya
peranan yang tidak ada artinya," kata Datuk. Dia benar-benar
girang. Sejak berang kat dari rumah, dia seakan-akan penonton
saja. Tidak berguna sama sekali.
"Tolonglah gendong mayat ini. Akan kita antarkan ke satu
tempat," kata Erwin.
Pendekar Minang tidak bertanya ke tempat mana. la sangat
membatasi diri dalam bertanya, takut kalau-kalau tidak berkenan di
hati si manusia harimau.
Merekaperjalanan tanpa bicara lagi, sehingga di suatu tempat
Erwin merasa bahwa ia akan berubah lagi jadi manusia biasa.
Perubahan itu berjalan secara bertahap, disaksikan oleh Datuk yang
sangat bangga karena mempunyai sahabat lain daripada yang biasa
dipunyainya. Sejak Datuk menggendong mayat Maribun tadi, Erwin
berjalan atas empat kaki, sehingga jejak-jejaknya sama dengan
harimau biasa.
Kini mereka meneruskan perjalanan menuju jalan raya yang tak
jauh dari sana. Sebelum memulai jalan di atas aspal, Erwin mencuci
kaki di selokan, begitu pula Datuk.
Yang dituju sudah tak jauh dari sana. Rumah kediaman Mayor
Polisi Buang yang pada waktu itu masih menyelusuri jejak-jejak
yang ditinggalkan seekor harimau berkaki dua dan seorang laki-laki
yang diperkirakan pasti bukan Maribun.
Mayor dengan pasukannya sangat berhati-hati, kuatir harimau
aneh itu bersembunyi dan mendadak melancarkan serangan yang
mematikan. Kalau Maribun yang terkenal punya ilmu tinggi bisa
hilang dari rumahnya sendiri dan sejak pekarangan hanya
meninggalkan bekas dua kaki belakang harimau serta seorang
manusia tanpa alas kaki, yang belum dapat diketahui mengapa bisa
terjadi begitu, maka makhluk itu pasti dapat melakukan sesuatu
yang di luar dugaan.

Sampai di tempat Erwin menghabisi nyawa Maribun dan


mayatnya kemudian dibawa oleh Datuk, sementara sang manusia
harimau berjalan atas keempat kakinya. Mayor Polisi Buang semakin
takjub dan tak bisa mengerti atau bahkan menebak, bagaimana
tiba-tiba ada jejak empat kaki harimau sedang jejak si manusia
tetap seperti tadi.
"Apakah artinya ini Pardede?" tanya si Perwii kepada Walter
Pardede yang baru berpangkat Sersan Polisi.
Dengan suara perlahan, seolah-olah takut didengar orang ia
menjawab, bahwa ia banyak mende ngar cerita-cerita aneh tentang
harimau, terutama ketika ia bertugas di Penyabungan, Tapanuli
Selatan sebelum dipindahkan ke Lubuklinggau, tetapi berubahnya
dua kaki harimau menjadi empat tidak pernah didengarnya.
Sekarang yang tidak pernah didengar dan di luar kemampuan
otaknya untuk memikir dan memecahkan misteri semacam itu, telah
disaksikannya dengan mata sendiri. Dia tidak mungkin ditipu oleh
pandangan yang keliru, karena Komandannya dan anggota Polisi
yang lain juga melihat.
"Adakah di antara kalian yang mengerti?" tanya si Perwira.
Semua berdiam diri atau menggelengkan kepala.
Sebenarnya Ujang sudah enggan meneruskan, tetapi untuk
menjaga wibawa diri, mereka melanjutkan penyelidikan. Belum
berapa jauh berjalan, mereka terkejut heran lagi, karena bekas kaki
harimau tidak ada lagi, hilang. Bagaimanapun mampunya Mayor
Polisi Buang mempertahankan wibawa dan harga diri, tetapi melihat
kenyataan itu ia tidak dapat melawan getaran yang menjelajahi
seluruh tubuhnya. Agak lama ia tidak berkata-kata, memandangi
jejak-jejak harimau yang hanya sampai di tempat itu. Tidak ada
lanjutannya. Kalau ada pasti kelihatan karena tanah di sekitar situ
semua sama.
Becek oleh hujan yang turun cukup lama dan deras pula. Jejakjejak itu seperti ditelan bumi. Ataukah terbang ke angkasa?
Tetapi jejak sang manusia yang berjalan bersama harimau itu

masih ada dan tidak hanya sampai di situ. Yang juga sangat
mempengaruhi diri Mayor Polisi Buang adalah jejak manusia lain
lagi. Orang baru tentu. Berjalan bersama jejak kaki manusia yang
sudah ada sejak dari rumah Maribun. Dari manakah datangnya
orang baru ini? Dia seakan-akan menggantikan atau meneruskan
perjalanan si harimau, yang semula hanya berkaki dua, tetapi
kemudian menjadi empat.
Anak buah Perwira itu saling pandang dan memandang
Komandannya.
Dengan suara pelan dan kedengaran lesu Mayor Polisi itu kini
mengikuti jejak dua manusia. Apakah salah seorang dari kedua
orang itu dukun Maribun yang pedagang merangkap ahli sihir?
Mayor Buang dengan anak buahnya tadi ke rumah Maribun untuk
mengepung dan menangkap harimau yang konon dinamakan
harimau piaraan. Yang mereka ikuti kini jejak dua manusia. Yang
hendak dikepung dan ditangkap atau dibunuh kalau terpaksa adalah
harimau. Tidak perduli apakah itu harimau piaraan atau jadi-jadian.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di jalan raya yang beraspal.
Tidak ada bekas jejak berlumpur di aspal. Sehingga tidak
meninggalkan petunjuk ke arah mana mereka pergi. Mayor Polisi itu
benar-benar bingung, tidak mampu menduga atau mengkhayalkan
saja pun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Sudah sekian
lama dia di Kepolisian, baru kali ini menghadapi keanehan yang di
dalam buku pun belum pernah dibacanya. Lebih mudah meng
hadapi residivis yang sudah dikenal sangat sadis <m ripada
kenyataan semacam ini. Bisa membangkit kan syarat atau perasaan
gila. Mungkin lebih dar pada itu. Membuat orang jadi gila.
Mereka tidak segera meneruskan langkah. Kar na tidak tahu arah
mana yang akan diambil. Akhir nya Mayor Polisi itu memutuskan
untuk kembali ke kendaraan yang mengangkut mereka tadi. Yang
parkir tak jauh dari rumah Maribun.
0odwo0

Erwin dengan Datuk yang menyangga mayat Maribun dengan


kedua belah tangannya berjalan tenang-tenang. Ada dua tiga kali
berpapasan dengan kendaraan bermotor dan pengendara sepeda,
tetapi tidak ada satu pun yang menghiraukan mereka. Erwin telah
berdoa agar mata mereka dirabunkan, tidak melihat dia dan
sahabatnya yang membawa mayat Maribun.
Akhirnya mereka berhenti di seberang sebuah rumah.
"Kita telah sampai di tempat tujuan, Datuk. Letih juga membawa
mayat sejauh itu, ya!" kata Erwin. Datuk mengatakan, bahwa ia
sama sekali tidak merasa capek, seperti membawa manusia dari
kapan saja, katanya. Erwin memandang Datuk dengan rasa terima
kasih. Yang dipandang tunduk Dia merasa bahagia dapat berbuat
sesuatu. Tubuh Maribun memang hanya seperti kapas. Oleh bantu}
an orang-orang berilmu sangat tinggi yang menyayangi Erwin.
"Kita akan letakkan mayat Maribun di pintu masuk pekarangan.
Mayor Buang akan senang melihatnya," kata Erwin.
Semula Erwin hendak mengeluarkan semua isi perutnya
sebagaimana telah beberapa kali dilakukannya terhadap orangorang tak manusiawi, tetapi kemudian mengurungkan maksudnya
itu. Luka-luka bekas kuku harimau di lehernya itu sudah memadai.
0odwo0
DUAPULUH LIMA
MAYAT Maribun diletakkan membelintang di pintu masuk
pekarangan rumah Mayor Polisi Buang yang sebelum meninggalkan
penyihir itu meminta keterangan lagi dari istri dan keluarga lainnya.
Mereka semua tidak ada yang mendengar Maribun pergi. Biasanya
dia berpesan kepada istri atau yang lain di rumah itu, manakala ia
hendak pergi. Dan biasanya dia pergi dengan mengendarai mobil.
Kecuali kalau ia dijemput atau sekedar bertandang ke rumah
tetangga yang rata-rata menghormati dia.
Menjelang waktu tidur Maribun hanya berkata kepada istrinya

bahwa dia akan kedatangan tamu untuk tukar-menukar ilmu.


Dianjurkannya supaya semua keluarga dan pembantu tidur, karena
dia mau berduaan saja dengan tamunya.
Tak ada yang mendengar kedatangan si tamu yang dinantikan
dan tidak pula terdengar suara Maribun pergi. Tetapi di lantai
ruangan tempat Maribun duduk di kursi goyang tampak lumpur.
Bentuknya seperti tapak kaki harimau dewasa. Setelah diperiksa
dengan teliti, kelihatan juga bekas jejak manusia menghadap ke
rumah, jadi jelas orang itu salah satu dari tamu yang ditunggu.
Tamu lainnya adalah si harimau. Baru itu yang mereka duga. Hanya
dugaan. Anehnya, kalau Maribun turut bersama orang dan harimau
yang datang itu, mestinya ada dua pasang jejak manusia dan dua
kaki harimau. Harimau ini datang dengan dua kaki belakang dan
perginya pun dengan dua kaki belakang juga. Sehingga sampai di
tempat tewasnya Maribun, yang tidak diduga oleh Polisi.
Istri Maribun dan penghuni rumah lainnya tidak tahu siapa nama
tamu yang akan tukar-menukar ilmu itu.
Menemui jalan buntu begitu. Mayor Polisi itu berpendapat lebih
baik pulang dulu, memikirkan tenang-tenang, bagaimanakah kirakira duduk peristiwa yang sebenarnya. Kemanakah Maribun? Apakah
dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan harimau berkaki dua
itu, ketika harimau masuk rumah. Jika begitu, Maribun telah pergi
bersama orang tinggi ilmu yang dinantikannya. Tetapi ke mana
perginya. Mengapa tidak berkendaraan? Apakah tamu itu membawa
kendaraan? Begitulah yang terlintas di dalam otak Mayor Polisi
Buang dalam perjalanan ke rumahnya.
Dia mau membuang dulu masalah Maribun dan jejak-jejak yang
aneh itu, ketika Polisi yang mengemudikan mobil mendadak berkata
gugup, bahwa di depan pintu pagar ada orang tidur. Ataukah mayat
menggeletak? Sang Perwira tentu saja sangat terkejut. Dia
menyuruh besarkan lampu mobil lalu turun bersama tiga Polisi yang
sekendaraan dengan nya sementara anggota pasukan yang lainnya
sudan langsung ke Markas Polri. Jantung Pak Mayor Polisi berdebar.
Apa pula ini? Dia belum dapat memecah kan masalah gila yang

dihadapinya, sekarang sudah ada pula orang kurang ajar yang tidur
atau tewas di depan pintu pagarnya. Apakah orang punya maksud
tertentu terhadap dirinya?
Segala pikiran itu menjadi lebih menimbulkan rasa ngeri di dalam
hatinya, karena yang tergeletak itu bukan lain dari Pak Maribun
yang pergi tanpa pamit dan sangat misterius dari rumahnya
Mampunya mata Polisi yang sangat terlatih, Mayor Polisi Buang
juga segera melihat luka-luka di lehernya, la memperhatikan lebih
dekat dengan mempergunakan lampu senter, karena luka itu pasti
bukan bekas disembelih. Itu jelas bekas tusukan. Tusukan lazimnya
dilakukan di dada atau di rusuk. Kalau perut biasanya di dodet.
Ditusuk sebelah kanan lalu ditarik ke kiri. Karena bagian tubuh tidak
mengeluarkan darah, berarti tiada tusukan, maka Mayor Buang
memeriksa "tusukan-tusukan" di leher itu lebih teliti. Bukan tusukan
pisau. Di pipi juga ada luka-luka berupa garis berdarah yang juga
bukan bekas tarikan dengan pisau. Jalurnya lebih lebar dan bukan
hanya satu, tetapi ada dua paralel. Bahkan ada yang ketiga, tetapi
sudah mengenai kuping.
"Apakah mungkin?" terlempar pertanyaan di dalam hatinya.
"Apakah kalian pikir mungkin?" tanyanya pula kepada Pardede
yang ikut di dalam mobilnya.
"Apanya yang mungkin. Pak?" tanya Pardede.
"Dicekik harimau!"
"Harimau tidak biasa mencekik," sahut Pardede.
"Coba periksa ini baik-baik. Saya juga tadinya berpikir, harimau
tidak dapat mencekik!"
"Memang tidak Pak. Harimau hanya menerkam. Biasanya
menerkam kuduk. Yang dimakan duluan adalah isi perutnya! Orang
ini tidak dilukai atau digigit. Perut atau dadanya tidak dikoyakkoyak. Tapi benar, luka di leher dan goresan di pipi ini bukan bekas
pisau. Ini bekas kuku. Dan pasti kuku harimau Pak! Apakah harimau
yang kita ikuti jejaknya tadi?" tanya Pardede.

"Mungkin," dan Mayor Polisi itu teringat akan kata-kata orang


yang menamakan dirinya Bujang di rumah Kapten Kahar Nasution
pada kemarinnya. Maribun yang memanggil Polisi untuk mengepung
dan menangkap atau membunuh si harimau yang katanya ada di
rumah Kapten Kahar. Orang yang bernama Bujang itu mendapatkan
dia dan mengatakan, bahwa harimau piaraan itu tidak ada di sana,
tetapi dia tentu marah kepada Pak Maribun dan bukan tidak boleh
jadi akan melakukan pembalasan. Siapakah orang itu sebenarnya?
Bagaimanapun ia tentu punya suatu ilmu. Barangkali peramal
berpengalaman. Atau dia orangnya yang biasa dikatakan punya
"ludah masin". Apa yang dikatakannya, menjadi kenyataan. Siapa
pun dia, Mayor Buang ingin bertemu lagi dengannya.
"Barangkali dia dibunuh harimau piaraan Pak," kata Perwira Polisi
itu. "Yang kemarin bersembunyi di rumah Kapten Kahar."
"Mana ada harimau piaraan di sini, Pak. Kalau pun ada, saya rasa
tidak mungkin bersembunyi di rumah Pak Kapten Kahar. Siapa yang
mengatakan begitu?"
"Pak Maribun ini."
Walter Pardede tidak memberi tanggapan lagi. Dia pun mulai
berpikir bahwa harimau piaraan itu memang ada dan dialah juga
yang membunuh Maribun karena sakit hati. Tetapi harimau piaraan
pun sepanjang tahunya mempunyai kaki empat.
Pada waktu subuh itu juga ambulans diminta datang untuk
membawa mayat Maribun ke rumah sakit guna pemeriksaan dan
penentuan sebab musabab kematian. Memang benar, tusukantusukan di leher Maribun disebabkan oleh kuku-kuku harimau.
Adanya bulu-bulu si belang di sekitar daerah yang luka
menyebabkan tidak ada lagi keraguan.
Sekarang merupakan tugas bagi Mayor Polisi Buang untuk
menyelidiki dan mengetahui, siapakah yang mengajak Maribun ke
luar rumah dan di mana dia dibunuh harimau. Menurut Walter
Pardede yang pernah bertugas di Tapanuli Selatan, harimau tidak
biasa mencekik, la menggigit di tengkuk mangsanya, baik ternak

maupun manusia. Melalui gigitan di tengkuk, ia melukai atau


memutuskan urat besar yang berarti fatal bagi yang diterkam.
Mengapa harimau yang seekor ini mencekik dan sama sekali tidak
menggigit, padahal gigi giginyalah yang menjadi andalan utama,
sementara kuku hanya berfungsi untuk mencengkam dan merobek?
Dari menjelang subuh sampai pagi Mayor Polisi itu sudah tidak
dapat tidur, walaupun ia berusaha melupakan peristiwa aneh dan
menakutkan itu agar tenaganya pulih semula untuk digunakan pada
keesokan harinya.
Keesokan paginya Perwira Polisi itu minum kopi tubruk dan
sebutir Captagon agar jangan sampai mengantuk, la ingin
memecahkan pembunuhan yang tidak sesuai dengan kebiasaan itu.
Ditugas-kannya seorang Letnan Polisi mengundang dua orang
pemburu dan seorang pawang harimau untuk diminta bantuan.
Ketiga-tiganya menerangkan, bahwa mereka belum pernah
mendengar harimau mencekik mangsanya. Dan mereka sama-sama
menerangkan, bahwa walau harimau piaraan dan jadi-jadian pun
tidak lazim mencekik korbannya. Harimau piaraan adalah harimau
biasa yang tunduk kepada yang menguasai dirinya. Harimau jadijadian berjalan atas empat kaki kalau ia sedang menjadi harimau.
Kalau dia tidak sedang mengharimau, maka ia tak banyak beda
dengan manusia biasa dan berjalan atas dua kaki, karena ia pun
hanya memiliki dua kaki.
"Jadi harimau apakah ini?" tanya Mayor Polisi Buang.
Mereka tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Hanya si
pawang yang mengatakan, bahwa ia pernah mendengar tentang
manusia harimau yang belum lama yang lalu pernah singgah di
Palembang.
"Mengapa Bapak katakan singgah?" tanya si Perwira kepada Pak
Dahlan pawang yang cukup terkenal.
"Sebab dia tidak betah tinggal lama di sebuah tempat.
Kesenangannya mengembara. Dan menu rut kata orang yang
pernah melihat manusia harimau, makhluk itu tidak pernah berbuat

jahat terhadap manusia, kalau ia tidak disakiti atau keluarganya


dijahili, la malah suka membantu manusia yang dianiaya!" jawab
pawang Dahlan.
"Pawang sudah pernah bertemu dengan manusia harimau?"
"Belum dan lebih baik juga jangan. Mungkin saya akan takut.
Ilmu yang ada pada saya hanyalah untuk menundukkan harimau
liar. Itu pun terbatas kepada yang berdosa saja."
"Tetapi barangkali Pak Dahlan tahu ciri-ciri manusia harimau,
saya amat membutuhkannya."
"Saya rasa dalam keadaan biasa, dia sama saja dengan manusia
lainnya. Kata yang pernah melihat, ia juga punya istri dan dapat
melakukan persetu-buhan yang melahirkan anak. Seperti anak-anak
manusia biasa," kata pawang Dahlan.
"Apakah di sekitar atau di kota ini ada pemelihara harimau?"
"Saya tak tahu Pak, tetapi andaikata saya tahu, saya juga tidak
akan mengatakannya. Saya bukan takut, tetapi tidak ingin mencari
perselisihan yang bisa sampai pada bunuh-membunuh di antara
kami yang lebih kurang mempunyai pekerjaan yang hampir sama,"
kata pawang Dahlan.
"Kalau untuk
masyarakat?"

kepentingan

keamanan

dan

ketenangan

"Juga tidak. Saya perlu menjaga keamanan dan ketenangan


keluarga saya sendiri. Lagi pula, sampai saat ini saya tidak
mendengar adanya keresahan atau ketakutan di antara
masyarakat!"
"Kata orang di Lubuklinggau ini ada harimau piaraan. Dan
barangkali dia yang membunuh Pak Maribun?"
Pawang Dahlan terkejut, baru saat itu didengarnya pedagang dan
penyihir Maribun mati dibunuh harimau. Diam-diam di lubuk hatinya
Pak Dahlan menganggap pembunuhan itu bukan hal yang luar
biasa, kalau betul ia dibunuh harimau piaraan, seperti kata Mayor

Polisi Buang. Dia lebih berhati-hati, tidak akan menimbulkan


sengketa dengan orang yang memiliki harimau piaraan. Dan
sebenarnya dia tahu bahwa di Lubuklinggau ada dua orang yang
mempunyai harimau. Bukan dikandangkan atau ditambat di
rumahnya. Piaraan itu berkeliaran di hutan, seperti harimau-harimau
lainnya. Tetapi tiap waktu ia memerlukan, sang harimau dapat
dipanggil dan diberi tugas. Pemelihara itu, kalau punya ilmu
perabun bisa melepas harimaunya tanpa dilihat oleh orang lain
yang berpapasan dengannya. Dia tidak akan mengatakan itu kepada
Mayor Polisi Buang.
Mayor Polisi Buang bertanya bagaimana pendapat Dahlan
tentang pembunuhan atas diri Maribun oleh seekor harimau. Atas
pertanyaan Dahlan di mana pembunuhan itu terjadi, Pak Mayor
tidak dapat memberi jawaban. Memang dia tidak tahu di mana sang
harimau mencekik mangsanya.
"Boleh saya berterus terang, Pak?" tanya Dahlan, sementara
kedua pemburu harimau yang ada di sana mendengarkan dengan
penuh perhatian "Menurut pendapat saya Pak Maribun punya
banyak kawan, tetapi juga punya banyak musuh. Yang musuh ini
mungkin pula selalu bersikap seperti sahabat. Barangkali Bapak juga
mendengar, bahwa kata orang Pak Maribun itu pandai sihir.
Barangkali suatu kesenangan baginya. Kalau untuk cari uang kurang
masuk akal, karena ia punya penghasilan cukup dari usaha
dagangnya yang berhasil."
Pawang harimau itu lalu menerangkan, bahwa mungkin salah
satu dari musuhnya punya harimau piaraan. Disuruhnya membunuh
Pak Maribun. Tetapi seorang penyihir punya ilmu untuk menjaga diri
terhadap serangan bagaimanapun. Atas pertanyaan Mayor Polisi
Buang, bagaimana ia sebagai penyihir dapat dibinasakan harimau,
pawang Dahlan terus terang mengatakan, bahwa di antara pemilik
ilmu tinggi di dunia ini ada yang mempunyai kekuatan di atas pandai
sihir. Mungkin orang yang memiliki harimau itu termasuk salah
seorang dari mereka.
Mayor Polisi itu menyatakan keheranannya, kalau ada manusia

yang punya kemampuan lebih daripada penyihir, kematian Maribun


dapat diterima kalau yang melakukannya seorang manusia yang
punya kepintaran lebih dari dia. Tetapi dalam kasus ini Maribun
dibinasakan dengan cekikan oleh seekor harimau.
Pawang Dahlan merasa terpojok oleh kata-kata Pak Mayor yang
memang masuk akal. Yang punya ilmu kuat dari pesihir adalah
manusia, sedang yang membunuh Maribun jelas bukan manusia.
Setelah agak lama diam tak kuasa memberi jawaban, barulah
pawang Dahlan mengatakan, bahwa mungkin manusialah yang
mencekik dan menewaskan Maribun. Dikatakannya, bahwa dalam
hal begitu, si manusia itu dapat mengubah dirinya jadi harimau
tetapi tetap mempunyai sifat-sifat manusia. Dan kebiasaan manusia.
Itulah makanya ia berjalan atas dua kaki, sama dengan manusia
dan itulah makanya ia membunuh dengan mencekik leher
musuhnya, yaitu sama juga dengan manusia.
Mayor Buang pun dapat menerima jalan uraian pawang Dahlan.
Oleh karena itu dia berkata, "Kalau manusia yang mengubah dirinya
jadi harimau dengan sifat dan kebiasaan manusia, siapakah orang di
Lubuklmggau yang punya kemampuan seperti itu?"
0odwo0
DUAPULUH ENAM
PAWANG DAHLAN hanya dapat menggelengkan kepala. Dan dia
memang sesungguhnya tidak tahu, kalau ada orang yang punya
kemampuan seperti itu. Melihat Mayor Polisi Buang sangat kecewa
dan tidak melihat jalan untuk mencari jawaban, pawang harimau itu
berkata, "Andaikata ada orang pintar yang punya kepandaian
setingkat itu, rasanya saya mengetahui, setidak-tidaknya
mendengar. Jadi saya rasa orang semacam itu tidak ada di Lubuklinggau. Entahlah kalau pendatang dari luar kota!"
Mendengar ini pikiran Mayor Buang agak terbuka. Pendatang dari
kota! Tiap hari banyak pendatang, ada yang segera meneruskan

perjalanan dan ada pula yang menginap. Semalam atau lebih. Bisa
dipenginapan, mungkin pula di rumah kaum kerabat atau kenalan.
Tidak mudah mengecek siapa-siapa saja pendatang dari luar kota.
Yang dipenginapan mungkin masih dapat dilihat dari buku
pendaftaran tamu. Tetapi yang bermalam di sahabat atau keluarga
sangat ulit karena pada umumnya yang datang dan yang mtnarima
mereka tidak mematuhi ketentuan. Tidak melaporkannya kepada
ketua lingkungan setempat
Setelah agak lama, Mayor Buang teringat juga kepada Bujang
yang menemui dia dengan cara aneh di rumah Kapten Polisi Kahar
Nasution. Diakah? Tidak mungkin. Tetapi mengapa pula tidak
mungkin? Dia yang mengatakan tidak mungkin harimau piaraan
bersembunyi di rumah Kapten Kahar. Dia juga yang mengatakan,
bahwa pelapor bernama Maribun itu mungkin mendapat
pembalasan dari si harimau. Dia menganalisa lebih jauh harimau
yang menewaskan Maribun bukan harimau biasa. Dia tidak
mempergunakan taring-taringnya. Tetapi apakah betul ada harimau
yang punya silat sifat manusia? Tidakkah pembunuhan itu dilakukan
oleh seorang yang sangat lihay, yang mempergunakan sarung
tangan berkuku harimau di ujung jari Alat pembunuh yang begitu
dapat dibuat. Kalau itu yang sebenarnya terjadi, maka pembunuh
itu bukan sembarangan. la pasti punya pengalaman dan punya
perhitungan bagaimana melakukan pembunuhan dengan risiko
sekecil mungkin. Dengan alat itu ia sudah pasti dapat menyesatkan
pikiran si pelacak dan penyelidik. Pada saat itu Buang berpikir, tak
kan ada harimau yang punya sifat manusia. Harimau piaraan adalah
harimau biasa yang diperintah oleh Tuannya dan membunuh
sasaran yang dimaksud sang majikan, la akan membunuh dongan
terkaman, gigitan sekuat tenaga di kuduk sehingga tulang leher
patah dan kemudian mengoyak ngoyak tubuhnya dengan kukukukunya.
"Pawang tak dapat memanggil harimau yang membunuh Pak
Maribun?" tanya Mayor Polisi itu. Sang pawang menyatakan tidak
sanggup, karena ilmunya seperti sudah dikatakannya hanya untuk
memanggil harimau biasa yang berdosa. Telah mencuri ternak besar

atau membunuh manusia. Tidak untuk memanggil harimau aneh


yang meletakkan mangsanya di depan pagar pekarangan seorang
Mayor Polisi. Ini pasti bukan harimau biasa. Sang Perwira masih
bertanya apakah pawang Dahlan tak mau mencoba. Dia menolak,
tidak mau ambil risiko, la meninggalkan Mayor, Dahlan dengan
dibekali ongkos selayaknya.
Kedua pemburu yang diundang masih tinggal. Kepada mereka
Perwira Polisi itu meminta bantuan untuk berjaga-jaga dan
menembak mati si harimau pada peluang pertama. Mungkin
binatang ini memang benar punya kekuatan melebihi harimau biasa,
tetapi dengan tembakan beruntun diperkirakan ia akan roboh juga.
Meskipun harimau termasuk binatang yang dilindungi karena
dikhawatirkan akan punah, namun karena ia masuk kota dan bisa
membahayakan masyarakat, layak ditembak mati. Pembunuhan
satwa liar dan ganas untuk kepentingan masyarakat tentu saja
dibenarkan.
Kedua pemburu itu saling pandang tanpa memberi jawaban.
Melihat kedua orang itu diam saja, Perwira itu bertanya apakah
mereka khawatir. Mereka berterus terang tentang kekhawatiran
mereka. Setelah mendengar kisah tentang pembunuh Pak Maribun,
mereka yakin, bahwa yang membunuh itu bukan harimau biasa.
Dan harimau liar tidak kan berani sejauh itu meninggalkan tempat
kediama n mereka.
"Anda berdua mau menolong kami, bukan?" tanya Mayor Polisi
itu.
Kedua pemburu tidak sogera menjawab. Setelah pertanyaan
diulangi barulah mereka menjawab, bahwa mereka akan waspada
dan memberi bantuan sejuah mungkin.
Pawang harimau dan kedua pemburu tidak tahu, bahwa
kunjungan mereka ke Perwira Menengah Polisi itu diperhatikan oleh
tak lain daripada Erwin sendiri yang dengan bantuan Datuk
kemudian mengetahui di mana alamat mereka.
Mula pertama Erwin mendatangi sang pawang dan mengatakan

kepadanya bahwa sebaiknya ia tidak usah berbuat apa-apa dalam


masalah pembunuhan Maribun. la dibunuh karena itulah yang
terbaik bagi masyarakat Lubuklinggau. Dan harimau yang
membunuhnya sebenarnya sahabat bagi masyarakat setempat.
Bukan musuh seperti yang mungkin dikatakan oleh Pak Mayor.
Pawang yang sebenarnya cukup terkenal itu tak sempat bertanya
banyak kepada Erwin karena ia segera mohon diri dan meminta
kepada si pawang supaya kedatangannya yang maksudnya
menyelamatkan Pak Dahlan jangan sampai diketahui orang lain.
Yang perlu mengetahui, hanyalah Dahlan sendiri karena jiwanya lah
yang terancam kalau dia sampai berbuat keliru di dalam hal ini.
Pemberitahuan ini membuat Dahlan semakin tidak berani
mencampuri urusan kema-tian Maribun.
Begitu pula halnya dengan kedua pemburu yang didatangi Datuk
ketika mereka masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Oleh Datuk
yang kelihatan rada seram dengan pakaian seragamnya berwarna
hitam diperingatkan untuk jangan sekali-kali mencoba petualangan
terhadap siapa atau apa pun yang menyudahi hidup Maribun.
"Makhluk itu hanya membunuh orang yang jahil dan berbahaya
bagi masyarakat. Maribun bukan orang baik walaupun sehariharinya ia berdagang," kata Datuk. Setelah menceritakan kejahatan
apa yang telah dilakukan oleh penyihir itu ia berkata, "Jangan Tuantuan halangi dia dalam menjalankan tugas kemanusiaannya." Kedua
pemburu itu heran bagaimana Datuk tahu bahwa mereka pemburu
dan Mayor Polisi Buang minta bantuan. Dari itu saja cukup untuk
membuat mereka bergidik. Kalau mereka macam-macam bukan
tidak mungkin akan mengalami nasib seperti Maribun. Dicekik
oleh makhluk yang diperkirakan harimau dengan mayat dibujurkan
di depan pagar pekarangan Pak Mayor.
Meskipun sang Perwira Polisi berpesan kepada anak buahnya
untuk merahasiakan peristiwa yang belum dapat dipecahkan itu dan
permintaan yang sama juga disampaikan kepada para petugas
rumah sakit, namun berita itu segera meluas. Baik petugas
keamanan maupun rumah sakit tidak bisa tutup mulut. Semula

hanya dibisikkan kepada kawan dekat sebagai suatu berita yang


menakutkan supaya berhati-hati, tetapi dalam tempo singkat sudah
jadi pembicaraan hampir se Lubuklinggau.
Di antara yang sangat terkejut mendengar berita itu adalah
Kapten Polisi Kahar, yang mengetahuinya langsung dari Mayor Polisi
Buang.
"Mayatnya dibawa lalu diletakkan di depan pintu pagar saya,
Kapten. Itu keterlaluan. Ya, boleh jadi juga ia dibunuh di situ. Tetapi
tidak ada tanda terjadinya pergulatan Saya rasa dibawa ke sana.
Tentu ada maksudnya," kata Perwira Menengah itu. Tidak mendapat
tanggapan dari yang di beri tahu, ia berkata, "Mengapa Anda diam
saja?"
Barulah Kahar menjawab. "Saya terlalu terkejut. Hampir tidak
masuk akal!"
"Bagaimana tidak masuk akal Itu sudah jadi suatu kenyataan.
Dan di lehernya terdapat bekas kuku-kuku harimau. Tidak ada
gigitan sebagaimana lazimnya terkaman harimau. Apa makssudnya
itu. Kap?" tanya Pak Mayor seolah-olah orang yang setingkat di
bawah pangkatnya layak mengetahui nya.
"Wah, itu harus diselidiki. Pada saat ini mana saya tahu. Ataukah
Pak Mayor sudah punya dugaan. Bukankah Pak Mayor yang
menemukan mayatnya dan diletakkan atau dibunuh di depan pagar
Pak Mayor pula. Barangkali Pak Mayorlah yang dapat mengira-ngira
mengapa sampai terjadi pembunuhan yang begitu aneh. Saya rasa
Pak Mayor lebih banyak tahu?"
"Mengapa harus saya yang lebih banyak tahu?"
Ee barangkali saja. Bukankah Pak Mayor yang kenal dekat
dengan Pak Maribun yang bernasib malang itu!" kata Kahar, la
menjawab begitu, karena kata-kata sang Mayor kurang enak bagi
telinganya. Jika tidak karena itu, ia juga tidak akan berkata demikian
kepada atasan yang diyakininya tentu dalam kebingungan.
"Memang

saya

kenal

baik

dengan

dia.

Kapten.

Tetapi

kematiannya itu sangat aneh. Saya teringat tentang ceritanya


kemarin, bahwa ia mengetahui adanya harimau piaraan di sekitar
tempat kediaman Kapten. Barangkali Kapten dapat membantu. Saya
ingin supaya harimau aneh atau makhluk berbahaya itu dapat
segera dibekuk!" kata sang Perwira Menengah. Kini dengan nada
menurun.
"Itu sudah kewajiban kita. Saya segera melakukan penyelidikan
kemudian saya menemui Bapak, oke?"
"Ya, tolonglah. Kita malu kalau tidak dapat memecahkan ini."
"Tentu Mayor, tentu. Kita harus dapat memecahkannya," kata
Kapten Kahar, la teringat kepada Erwin. Apakah dia yang
melakukan? Ketika ia baru saja meletakkan telepon, pesawat itu
berdering lagi dan yang memulai bicara bukan lain dari Mayor Polisi
Buang juga. la bertanya, apakah ia dapat bertemu dengan laki-laki
yang bernama Bujang yang menegurnya pada hari kemarinnya.
Kahar agak terkejut, tetapi dia sudah menduga juga bahwa sang
Mayor tentu ingin menanyakan dirinya. Sebenarnya ia heran,
mengapa tadi atasannya itu tidak menyinggung-nyinggung Erwin
yang dikenal Perwira Menengah itu sebagai Bujang. Karena sudah
siap untuk mendengar permintaan atau pertanyaan demikian, maka
Kahar langsung saja menjawab, bahwa Bujang sedang ada di
rumahnya dan mempersilakan sang Mayor untuk datang. Buang
mengatakan, bahwa dia akan datang sekitar setengah jam lagi.
Berita itu disampaikan Kahar kepada Erwin yang sedang
mengobati adiknya. Dinar sudah hampir pulih sepenuhnya, rupanya
karena dukun yang menjahilmya sudah tiada.
Pada pagi itu Dinar menyatakan keinginannya untuk turut
bertualang dengan Erwin, yang dijawab dengan tawa oleh manusia
harimau itu
Erwin menduga, bahwa Kahar akan bertanya kan kisah kematian
Maribun kepadanya, tetapi ternyata tidak. Malah dialah yang
bertanya kepada Kahar ketika kepadanya disampaikan tentang
maksud kedatangan Mayor Polisi Buang, "Mau menanyakan

kematian Pak Maribun?"


"Entah, aku tidak tahu. Dia tidak mengatakan begitu. Hanya ingin
bertemu dan bercakap-cakap barangkali," kata Kahar.
"Dia tidak menyebut-nyebut tentang Pak Maribun?"
"Dia menceritakannya. Dia tidak dapat mengerti dan mengatakan
tidak sanggup memecahkannya," kata Kahar.
"Dan dia meminta Kapten untuk membantu dia?"
"Ya, aku bawahannya?"
"Dan Kapten tidak ingin bertanya apa-apa kepadaku?"
"Tidak," jawab Kahar.
"Dia memanggil seorang pawang harimau dan dua pemburu ke
rumahnya tadi. Minta bantuan mereka agaknya!" Kapten Kahar agak
terkejut dan memandang Erwin. Yang mungkin akan diselidiki sudah
lebih banyak tahu dari yang akan melakukan penyelidikan.
"Saudara Erwin mau mengatakan sesuatu kepadaku?"
"Tidak. Tak ada yang mau saya katakan," jawab Erwin.
Kedua orang dari satu daerah itu bagaikan tahu bahwa lebih baik
tidak usah saling tanya atau saling cerita. Suatu sopan santun yang
amat halus dari dua manusia yang saling tahu dan saling
menghargai. Erwin amat senang dengan sikap Perwira Polisi itu.
Kahar menyambut kedatangan Buang dengan ramah dan merasa
kasihan melihat atasannya yang berwajah muram itu.
"Pernahkah Anda mendengar harimau berjalan dengan hanya
dua kakinya, Kapten? Barangkali Anda tidak percaya," kata Buang.
"Kalau bukan Pak Mayor yang mengatakan, pasti saya tidak
percaya. Tetapi apakah Pak Mayor tidak keliru lihat. Bukan . . ."
Kahar tidak meneruskan.
"Maksud Kapten? Hanya khayalan oleh dorongan rasa takut?"
"Tidak,

barangkali

hanya

pembunuh

yang

cerdik

dan

mempergunakan sarung kaki atau katakanlah sepatu harimau dan


sarung tangan harimau pula."
"Ah, penjahat kita belum sampai menjalankan muslihat seperti
itu. Semula aku ada juga memikirkan kemungkinan itu, terlalu sulit
mau bikin sarung tangan dan sepatu yang mengesankan jejak
harimau asli. Lagi pula, bekas kuku dan kaki buatan tidak akan
mungkin seperti itu! Tubuh manusia tidak seberat badan harimau,"
kata Pak Mayor, la lalu minta dipertemukan dengan Bujang. Orang
itu tak lama kemudian datang sambil mengucapkan "selamat pagi"
dengan sopan Mayor Polisi itu memandangi mukanya seperti ingin
membaca sesuatu, kalau ada yang dapat dibaca. Ternyata tidak ada
"tulisan" apa-apa pada wajahnya, la biasa-biasa saja, bersikap wajar
kemudian bertanya, apakah pembunuh itu sudah ditangkap.
"Pembunuh siapa?" tanya Buang mau coba memancing.
"Wah, se-Lubuklinggau telah mengetahuinya. Pembunuhan atas
diri Pak Maribun yang mayatnya dijumpai di muka pintu pagar Pak
Mayor."
Sang Perwira merasa sedikit malu, pancingannya ternyata tidak
mengena sama sekali.
"Kemarin Anda mengatakan tentang kemungkinan pembalasan si
harimau piaraan atas diri Pak Maribun yang melapor kepada saya!"
"Benar. Dugaan saya tepat kan. Pak Maribun mati dibunuh
harimau. Barangkali harimau piaraan yang diceritakan almarhum,"
kata Erwin tenang-tenang.
0odwo0

DUAPULUH TUJUH
MAYOR Polisi Buang tak menyangka, bahwa Erwin yang
dikenalnya sebagai Bujang, berani memberi jawaban secara itu.
Orang yang kelihatan kampungan ini tidak penyegan atau penakut

seperti halnya masih banyak orang kampung terhadap orang yang


berseragam Polisi, apalagi seragam Perwira pula. Sebetulnya orang
kampung juga tahu, bahwa Polisi itu tempat berlindung, bernaung
dan mengadu, tetapi mereka juga banyak menemukan fakta yang
bertentangan dengan apa yang mereka ketahui semula. Sehingga
rasa hormat berubah jadi rasa takut atau rasa benci. Mereka
kebanyakan jadi lebih suka untuk tidak berurusan dengan Polisi.
Padahal yang berbuat lain dari mestinya hanya seorang dua saja.
Yang lainnya pasti dapat dikatakan baik. Atau lumayan lah!
Tapi yang sebiji ini memang benar-benar lain. Dia berterus
terang saja. Mengatakan apa yang dia pikir atau dia sangka.
"Saudara percaya ada orang memelihara harimau di daerah ini?"
tanya sang Mayor kini menggunakan perkataan "Saudara".
"Saya percaya, bahwa di sini pun mungkin saja ada orang yang
punya harimau piaraan. Tetapi saya tidak mengatakan, bahwa di
sekitar sini ada yang punya!" jawab Erwin.
Mayor Buang tambah tahu, bahwa orang ini bukan hanya suka
berterus terang tetapi juga menguasai bahasa Indonesia dengan
baik. Tidak banyak orang mampu merangkai kalimat seperti itu.
Yang hampir sama bunyinya, tetapi sangat berlainan maknanya.
"Bahasa Indonesia Saudara bagus sekali," kata Mayor Buang
dengan nada yang kini agak bersahabat.
"Bahasa saya itu belum bahasa yang benar-benar baik. Saya baru
melatih diri untuk tidak turut turutan bahasa persatuan dan nasional
kita."
Perasaan segan mulai bangkit di dalam hati Buang. Si Bujang ini
orang baik dan pintar, pikirnya. Rupanya saja yang kampungan.
Mungkin karena keadaan. Tidak seharusnya ia menaruh buruk
sangka atas orang yang belum dikenalnya dari dekat. Salah satu
sifat buruk pada banyak Polisi kita ialah menilai orang secara
lahiriah. Orang yang berpakaian mentereng, apalagi bermobil bagus
selalu disegani dan dilayani lain daripada menghadapi orang yang
hanya biasa-biasa saja, Padahal bukan mustahil, bahwa orang yang

kelihatan hebat dan kaya itu sebenarnya seorang pembunuh atau


penipu atau pencuri. Jangan-jangan perampok uang negara dan
rakyat melalui kedudukan yang diberikan kepadanya.
"Di negeri Saudara Bujang banyak harimau piaraan?"
Mayor menaruh minat.

tanya Pak

"Ada, tidak sangat banyak!"


"Dapat disuruh apa saja?"
"Tidak semua. Ada yang tugasnya hanya menjaga kebun dari
gangguan babi hutan. Ada juga yang dapat melaksanakan semua
tugas dari sang majikan."
"Apakah harimau piaraan itu sama dengan harimau liar?"
"Hampir semuanya sama."
"Mengapa hampir? Jadi tidak semua sama?"
"Memang tidak semuanya sama. Ada yang dapat menghilang
karena yang memeliharanya itu orang pandai. Pemelihara dirinya
itulah yang membuat dia tidak tampak oleh manusia biasa!"
"Manusia biasa? Jadi ada juga manusia yang dapat melihatnya?"
"Ada. Yaitu manusia yang punya ilmu melawan perabun!"
Mayor Polisi Buang kian tertarik. Banyak pengetahuan manusia
Bujang ini mengenai harimau. Orang begini agaknya tak baik untuk
dibuat jadi lawan.
"Memang tak baik mencari lawan. Saya pun takut sekali kalau
sampai orang membenci saya. Karena saya hanya perantau yang
tidak punya apa-apa," katanya merendahkan diri, membuat Pak
Mayor jadi kian menghargai dirinya. Dia menyesal telah mencurigai
orang itu.
Sebagai penegak hukum memang layak Tuan mencurigai orang
yang belum dikenal. Misalnya saya dan kawan saya yang berbaju
hitam itu." Mayor Polisi itu jadi tambah malu. Apa yang dipikirnya
dapat dibaca oleh laki-laki muda yang amat sederhana itu.

"Saudara Bujang mengenal almarhum Maribun?"


"Tidak dari dekat. Tetapi ada mendengar namanya yang besar
dan terkenal. Konon, almarhum pandai sihir!"
"Saudara baru beberapa hari di sini tetapi sudah mengetahui
begitu banyak. Apakah Saudara dukun? Maaf, saya hanya bertanya.
Saudara tidak kecil hati atau tersinggung?"
"Tidak, sebab Tuan Mayor juga tidak mencurigai saya lagi."
Dengan muka memerah padam Mayor Polisi menyatakan
kekagumannya atas diri Bujang.
"Yang sebenarnya nama saya bukan Bujang."
"Bolehkah saya bertanya mengapa Saudara kemarin mengaku
bernama Bujang dan siapakah nama Saudara yang sebenarnya?"
"Saya mengaku bernama Bujang, karena Tuan mencurigai saya
dan Tuan bernama Buang. Jadi saya tambah saja dengan satu
huruf, jadi Bujang. Tuan Buang mencurigai dan si Bujang juga
mencurigai Tuan Buang!" kata Erwin tanpa merubah nada suara.
"Nama saya yang sebenarnya hanya Erwin. Hanya itu!"
"Saudara Erwin hebat sekali. Saya terus terang jadi malu. Apa
yang Saudara katakan itu memang benar. Saya kemarin sangat
mencurigai Saudara. Rupanya Saudara juga jadi sangat mencurigai
saya!"
"Ya, begitulah rupanya. Mungkin ada harimau piaraan nenek
keluarga Pak Kapten Kahar yang melindungi keluarga Nasution ini,
adik Pak Kapten sakit karena buatan iblis yang dikirim almarhum
Maribun. Mungkin harimau piaraan itulah yang melakukan
pembalasan atas diri orang yang menjahili Nona Dinar Nasution. Ini
hanya suatu kemungkinan, saya tidak tahu. Saya cuma berusaha
mengobati adik Pak Kapten ini. Tetapi saya bukan dukun. Cuma ada
sedikit bekal dari kampung untuk pelenyap pening-kepala."
"Kata Saudara tadi, adiknya Kapten Kahar sakit karena dijahili
oleh almarhum Maribun. Siapa yang mengatakan begitu?" tanya

Mayor Buang.
Oleh Erwin dijawab, bahwa yang menceritakan adalah iblis yang
disuruhnya itu sendiri. Kalau iblis sudah mau disuruh mengatakan
yang benar, maka ia tidak akan berdusta.
Mendengar jawaban ini. Mayor Polisi Buang tidak lagi
meneruskan pertanyaan. Sudah jelas baginya, bahwa yang
mengobati Dinar tentulah bukan sekedar bawa bekal untuk
pengobat pening kepala. Sudah jelas Erwin yang dapat menyuruh
iblis bicara, seorang dukun yang punya ilmu tinggi. Hanya saja ia
punya sifat untuk selalu merendahkan diri. Inilah manusia yang
punya isi lain dari yang dikesankan oleh pembawaan dan
penampilannya. Tidak banyak seperti Erwin. Dan tidak banyak
manusia harimau. Apalagi yang sampai mengembara ke kota.
Biasanya lebih suka tinggal di kampung.
Setelah cukup lama bercerita. Pak Mayor bertanya kepada Erwin
apakah ia dapat menolong untuk melihat siapakah gerangan yang
punya harimau piaraan. Benarkah kakek atau salah seorang keluar
ga Dinar dan harimau piaraan itu yang membunuh Maribun ataukah
orang lain yang memusuhi Maribun dan membunuhnya melalui
harimau.
Erwin menolak dengan halus, bahwa ia tidak berani mencampuri
urusan itu, karena ia tidak punya ilmu sampai setinggi itu.
"Mungkinkah harimau itu mengambil korban lain?" tanya Mayor
Buang.
Erwin tidak mampu memberi jawaban, karena ia tidak tahu
apakah ada lagi orang lain yang diincar oleh harimau piaraan itu.
Dan yang diterkam oleh harimau piaraan hanyalah orang yang
memusuhi pemiliknya tanpa alasan.
Merasa kehabisan bahan untuk ditanyakan kepada Erwin, barulah
Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah adiknya
sudah sembuh. Bawahannya itu mengatakan bahwa ia semula
sudah kehilangan harapan, la bersyukur kepada Tuhan dan
berterima kasih kepada Erwin, karena Dinar sudah boleh dikatakan

bebas dari cengkeraman iblis yang tadi memasuki dan menguasai


dirinya untuk dibinasakan.
Karena masih menyangkut dipikirannya tentang harimau yang
berjalan hanya dengan dua kaki belakang dan menyangka, bahwa
Erwin mungkin dapat memberi penjelasan, maka ia menanyakan
keanehan yang dialaminya pada malam kemarinnya. Diceritakannya,
bagaimana ia melakukan pelacakan sejak dari rumah almarhum
Maribun sampai ke suatu tempat di mana terlihat telapak kaki dua
manusia dan seekor harimau berkaki empat. Kemudian yang ada
hanya dua kaki manusia dan empat kaki harimau atau seekor
harimau.
"Saya masih tetap heran, apakah ada harimau yang berjalan
hanya atas dua kakinya," kata Mayor Buang kepada Erwin.
"Saya sendiri tak pernah melihat sirkus, tetapi saya dengar di
sirkus ada gajah dan harimau yang dapat berjalan atas dua kaki.
Berkat latihan. Kalau gajah yang bertubuh begitu besar dapat
berjalan atas dua kaki, ditonton pula oleh ratusan atau ribuan
orang, saya rasa harimau yang dilatih juga dapat berbuat begitu.
Karena harimau piaraan yang terlatih bisa jalan atas dua kaki,
mungkin harimau yang Tuan Mayor ikuti jejaknya kemarin sedang
iseng berjalan hanya dua kaki. Saya rasa ada juga harimau yang
suka iseng seperti manusia."
Kapten Kahar Nasution merasa senang dan geli, tak menyangka,
bahwa Erwin dapat bersandiwara sebagai pemain watak, la begitu
mahir menimbulkan kesan seolah-olah ia tidak tahu menahu tentang
pembunuhan Maribun, tetapi punya pengetahuan sekedarnya
tentang jenis dan sifat-sifat harimau.
"Apakah kira-kira kegiatan harimau piaraan itu sampai di situ
saja?" tanya Mayor Buang.
"Mungkin, kalau sudah tak ada musuhnya. Tetapi barangkali ia
masih marah kepada orang yang mengatur pengepungannya
kemarin. Ini hanya pikiran saya. Barangkali juga dia sudah kembali
ke hutan!"

"Apakah kalau yang punya orang di sekitar sini misalnya, ia tidak


tinggal di sini?"
"Saya rasa tidak. Tempat harimau bermukim di hutan, maka di
hutanlah dia tinggal. Kalau yang punya memerlukan dirinya, ia
dipanggil."
Pada waktu itu Dinar yang sudah sembuh juga turut keluar
bersama Ibunya. Ikut duduk setelah memberi hormat kepada Pak
Mayor.
"Sudah sembuh?" tanya Pak Mayor.
"Ya, hampir. Berkat bantuan Bang Erwin," jawab gadis cakep itu.
Muka Erwin memerah padam, la senang atas kata-kata Dinar
yang tiada berlebih-lebihan.
"Berkat ijin Tuhan Yang Maha Pengasih, saya sekedar berusaha.
Ketentuan hanya pada Allah!" kata Erwin melengkapi.
"Saudara taat beragama, ya?" puji Mayor Buang.
"Itu pun hanya sejauh kemampuan yang ada pada diri saya. Dan
tentu tak luput dari berbagai macam kesalahan dan kekurangan!"
Undangan untuk makan bersama di rumah Pak Mayor ditolak
Erwin dengan halus. Kelihatan perwira Polisi itu kecewa, karena
mungkin ada tujuannya dengan undangan makan itu. Barangkali
hendak coba-coba menuntut ilmu dari Erwin atau tujuan lain yang
tidak dapat diduga. Umpamanya mengundang juga seorang dukun
yang dikenalnya sangat kawakan untuk bertemu dengan Erwin.
Barangkali, ia sebagai orang yang ingin banyak tahu, mau melihat
bagaimana kalau dua dukun dipertentangkan.
Walaupun ia tidak mencurigai Erwin lagi, ia punya persangkaan,
bahwa Erwin dapat bercerita lebih banyak mengenai jejak-jejak kaki
manusia dan harimau aneh yang dilihatnya malam kemarin dan
bersamaan dengan itu pula Maribun hilang, lalu tewas. Semua itu
tetap merupakan misteri yang tidak selesai dengan pendapat serta
dugaan Erwin saja. Sebagai perwira penegak keamanan dan

keadilan, seyogianya ia dapat memberi keterangan yang masuk akal


kepada wartawan yang pasti akan berdatangan dari Palembang
menanyakan duduk kasus yang sangat menarik itu. Oleh
kelemahannya dalam menghadapi perkara ini dan karena penolakan
Erwin atas undangannya, sang Mayor jadi penasaran kembali, la
permisi pulang dengan mengucapkan terima kasih kepada Erwin
dan Tuan rumah.
Dalam perjalanan ke kantornya, Mayor Polisi Buang memikirkan
keterangan dan jawaban Erwin yang kemudian ditafsirkannya
sebagian sebagai mempermainkan dirinya, la memperbandingkan
harimau yang berjalan dengan dua kaki dari rumah Maribun dengan
gajah yang juga pandai berjalan atas dua kaki di sirkus. Semuanya
berkat latihan, kata Erwin. Tak masuk akal, bahwa pemilik harimau
itu melatih harimau piaraannya untuk jalan atas dua kaki, karena
hewan itu tidak akan dipekerjakan di sirkus. Oleh pikiran itu. Mayor
Polisi Buang tak jadi langsung ke kantornya, tetapi kembali ke
rumah Maribun dan bertanya kepada keluarganya siapakah guru
almarhum. Setelah mendapat keterangan ia langsung pergi ke
alamat yang disebutkan dan di sana bertemu dengan orang yang
sudah umur tujuh puluh tahun dan oleh penduduk. Memang dikenal
sebagai orang yang aneh serta mempunyai banyak ilmu.
Dukun besar itu diundang Mayor Buang ke rumahnya dan orang
pandai yang bernama Raden Sulaiman itu menyanggupi untuk
datang pada malam hari.
Ketika Mayor Polisi Buang menceritakan maksudnya, Raden
Sulaiman menanggapi, bahwa pembunuhan atas diri muridnya itu
memang bukan pembunuhan biasa dan menurut pandangannya
juga bukan oleh makhluk biasa. Pada saat ia mengatakan, bahwa ia
akan melakukan pembalasan, mendadak rumah sang Perwira yang
terbuat dari batu dan bahan-bahan kelas satu bergoncang-goncang.
0odwo0
DUAPULUH DELAPAN

BIARPUN Perwira Polisi dan tidak gentar menghadapi gerombolan


bandit, tetapi merasakan rumah tergoyang-goyang. Mayor Buang
sangat terkejut dan tak dapat mencegah pucat, karena muka pucat
bukan buatan melainkan reaksi.
"Lawan ini hebat juga Pak Mayor," kata Raden Sulaiman. "Tapi
saya akan patahkan dia!"
Raden Sulaiman mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna
merah lalu meremas remasnya. Rumah Pak Mayor tidak bergoyanggoyang lagi.
Raden Sulaiman tersenyum menang. Jelas kekuatan batu merah
itu melebihi ilmu lawannya. Dan dia ketahui, bahwa lawannya akan
mengeluarkan kepandaian yang lebih tinggi, kalau dia memilikinya.
Kalau tidak, orang itu akan menggelupur di rumahnya.
Erwin yang tahu bahwa dirinya akan mendapat lawan lain, telah
bersiap tetapi segera pula mengetahui, bahwa yang hendak
menjatuhkannya ini lebih kuat lagi dari seorang Maribun. Sebab
yang ini adalah guru dari penyihir itu. Ia mengerahkan tenaga yang
lebih tinggi ketika merasa bahwa lawannya telah mematahkan
ilmunya yang pertama. Digunakannya mangkuk putih berisi air
untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh lawannya, sehingga
tampak jelas bahwa Raden Sulaiman juga sedang
minta
diambilkan mangkuk berisi air.
Ketika Raden Sulaiman memasukkan batu merahnya ke dalam
air, seluruh isi mangkuk menjadi hitam pekat, la terkejut, sebab
baru sekali selama prakteknya air jadi hitam. Mestinya ia melihat
apa yang sedang dikerjakan lawannya di air yang putih bersih. Dan
memanglah Erwin yang membuat air di mangkuk itu tidak dapat
menjalankan tugas seperti biasa. Ilmu ini didapat Erwin ketika ia ke
Penyabungan beberapa waktu yang lalu.
Mayor Buang yang sengaja dibolehkan melihat apa yang terjadi,
memandang kepada Raden Sulaiman yang bermerah padam karena
malu.
"Ada apa?" tanya Pak Mayor.

"Bangsat ini memakai ilmu jahanam," jawab Raden Sulaiman


sekedar menutupi malunya. Tetapi begitu dia selesai dengan
kalimatnya yang memaki Erwin, ia terbatuk-batuk sampai
mengeluarkan air mata.
Erwin memandangi kejadian di rumah Mayor Buang melalui air di
mangkuknya. Datuk dan Kahar Nasution yang diperkenankan turut
melihat merasa sangat takjub. Sudah seringkali mereka mendengar
bahwa melalui air dukun yang pandai mampu melihat kejadian di
tempat lain, tetapi baru kali itulah mereka melihat secara langsung
dan begitu jelas. Tetapi apa yang mereka perkatakan, harus dibaca
melalui gerak mulut di air itu saja, sebab tak dapat didengar. Dapat
dikatakan, bahwa air itu berfungsi sebagai layar televisi tanpa suara.
Dalam hati Datuk sangat berharap agar Erwin mau mengajarkan
kepandaian itu kepadanya kelak. Dia berjanji kepada diri untuk
berbuat sebaik-baiknya, supaya dinilai layak menerima ilmu itu.
Raden Sulaiman bangkit sambil membawa mangkuk berisi air
berwarna hitam itu untuk dibuang dan digantinya sendiri dengan
yang baru. la jadi tambah kaget karena ketika dicurahkan, air hitam
itu berwarna biasa, la berhenti sebelum seluruh isinya dibuang. Sisa
yang ada di dalam mangkuk tetap berwarna hitam, la belum pernah
menemukan lawan yang punya kemampuan tersendiri ini, tetapi ia
pun masih punya banyak simpanan untuk dilaga dengan apa yang
dimiliki lawannya. Karena ia tak dapat melihat apa yang hendak
dilihatnya, maka ia pun tidak dapat mengetahui, bagaimanakah rupa
lawannya itu. Tetapi ia menduga, bahwa orangnya tentu paling
sedikit setengah baya atau pun sudah tua dengan segudang garam
yang sudah pernah dihabiskannya selama ia hidup.
Mayor Polisi Buang yang punya cukup banyak pengalaman
selama melaksanakan tugas kepolisian jadi kian tertarik. Kekuatan
yang di masa lalu hanya dibaca dalam buku atau didengar dari
cerita, sekarang diketahuinya benar-benar ada. Inilah dia barangkali
yang menyebabkan ada pelarian yang tak jatuh walaupun dilanggar
peluru berkali-kali. Inilah juga yang membuat ada tahanan yang
bisa meloloskan diri dengan cara yang tidak masuk akal, karena

kepergiannya dari sel tahanan tidak kelihatan dan sama sekali tidak
meninggalkan bekas.
Penasaran atas kegagalan melihat lawannya melalui air, karena
menghitam pekat, Raden Sulaiman sekali lagi mengambil air putih
dengan membaca jampi-jampi agar itu tidak dapat dirusak oleh
siapa pun. Air yang pertama tadi bukan dia sendiri yang mengambil.
"Mari," kata Raden Sulaiman kepada Mayor Polisi Buang,
"mudah-mudahan permainan orang itu tidak akan terulang lagi.
Bagaimanapun ia pasti mempunyai kepandaian yang lumayan.
Apakah Pak Mayor Buang mempunyai sangkaan terhadap seseorang
yang diperkirakan melawan kita. Kalau kita ketahui, siapa yang
melawan kita sekarang, maka kita pun akan tahu siapa atau
harimau siapa yang membunuh almarhum Maribun,"
Pak Mayor tidak langsung menjawab. Khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bergoyangnya
rumahnya tadi. Yang itu dapat dijinakkan oleh Raden Sulaiman,
tetapi air yang menghitam itu, bagaimana itu bisa terjadi?
Raden Sulaiman mulai membaca-baca lagi. Air itu tetap putih
tidak berubah warna, la mengeluarkan sebilah pisau lipat kecil,
mencelupkan matanya ke dalam air. Warnanya tidak berubah.
Setelah itu ia memasukkan batunya yang berwarna merah tadi. Air
tidak juga berubah, la mulai yakin, bahwa lawannya tidak kuat
melawan tenaga yang dimasukkan melalui pisau lipatnya tadi ke
dalam air.
Raden Sulaiman membaca-baca lagi.
la berbisik dengan penekanan di sana sini "Kata jin yang
kukatakan. Siapa atau apa pun engkau, engkau tak akan punya
daya merendahkan martabatku. Engkau hanya hambaku. Akulah
yang kau pertuan." la tunduk mengkhusukkan diri, memusatkan
segala kekuatan batin menentang lawannya. Setelah merasa cukup
ia mengangkatkan kepala untuk melihat keadaan lawannya. Di luar
dugaan air putih itu berubah warna lagi. Sekarang merah seperti
darah.

Rupanya selain daripada terkejut heran, warna merah itu juga


merupakan pertanda bahwa akan ada darah yang tumpah. Darah
siapa?
Pak Mayor juga terkejut, karena merasa turut punya gawe. Ilmu
milik Raden Sulaiman, tetapi yang menyuruh adalah dirinya. Dan ia
pun sebenarnya tidak punya niat jahat, hanya penasaran, ingin
tahu, siapakah yang telah membunuh Pak Maribun. Akan
menimbulkan semacam kegelisahan, kalau hanya dikatakan, bahwa
korban benar dibunuh oleh seekor harimau.
"Bagaimana Pak Sulaiman?" tanya Mayor Buang.
"Biasa saja, usaha perlawanan dari pihak yang mau ditaklukkan.
Lebih enak menghadapi lawan yang melawan daripada yang
menyerah kalah tanpa bertanding," kata Raden Sulaiman menjaga
gengsi. Warna merah itu bukan hanya menandakan akan ada darah
mengalir, tetapi juga membuat dia lagi-lagi tak dapat melihat
siapakah sebenarnya yang jadi lawannya.
"Siapakah kira-kira lawan Pak Sulaiman, orang sini ataukah
pendatang?" tanya Pak Mayor lagi.
"Kedua-duanya mungkin. Saya belum tahu." Sekali lagi ia
bertanya, apakah ada yang patut dicurigai. Tetapi Pak Mayor tetap
tidak mau menyebut nama. Belum tentu Datuk yang berpakaian
serba hitam itu dan belum tentu pula Erwin yang punya banyak
pengetahuan tentang harimau. Hebatnya kenyataan yang telah
dilihatnya dengan mata sendiri membuat Mayor Buang sangat
berhati-hati. Sungguh, lebih baik menghadapi sepuluh bandit atau
garong yang mempergunakan senjata api atau tajam daripada
lawan yang tidak diketahui siapa orangnya, tetapi mempergunakan
senjata gaib yang tidak dapat dikalahkan dengan senjata api yang
menjadi andalan penegak hukum. Sekurang-kurangnya belum tentu
dapat dihadapi dengan senjata biasa.
Raden Sulaiman mohon diri dengan alasan, bahwa alat-alat
lengkap guna melawan musuh tidak semuanya dibawa. Dan dia
berkata benar. Memang ada yang tak dapat dibawa-bawa.

Dalam perjalanan ke kantor, Mayor Buang masih dibayangi oleh


apa yang dilihatnya. Air yang menghitam dan kemudian memerah,
semacam asap tebal dan darah kental yang membuat Raden
Sulaiman dan dia tidak dapat melihat siapakah sebenarnya yang
membunuh Maribun atau jadi dalang kematiannya.
la juga bertanya pada diri sendiri, apakah Erwin tahu bahwa ia
mempergunakan dukun untuk mengetahui siapa sebenarnya yang
pegang peranan dan pembunuhan amat misterius itu. Erwin itu
banyak tahu, barangkali dia juga mengetahui segala apa yang
dilakukannya. Hanya sampai situ yang dipikir dan ditanyanya
kepada diri sendiri. Tak berani lebih dari itu, tiada tuduhan terhadap
siapa pun. Dia akan jadi bahan pembicaraan atau bahkan
tertawaan, kalau sampai diketahui masyarakat bahwa seorang
Mayor Polisi coba-coba mempergunakan kekuatan gaib seorang
dukun dalam usaha melaksanakan tugas.
Kematian Maribun kian menyebar luas dalam cerita dan dugaduga, sehingga merupakan tantangan yang kian berat bagi penegak
hukum untuk menyiasati dan memecahkannya. Ada juga di antara
penduduk yang berkata, bahwa akhirnya si hebat ketemu imbang.
Yang amat menarik bagi mereka adalah cerita tentang harimau yang
berjalan atas dua kaki saja. Ada juga di antara mereka yang sampai
bertanya apakah ini yang namanya manusia mati lalu hidup kembali
sebagai harimau, jalan sebagai manusia biasa tetapi rupanya sudah
seperti harimau.
0odwo0
Erwin sudah merasa bahwa lawannya ini mempunyai kepandaian
lebih daripada Maribun. Mungkin inilah gurunya. Untunglah Erwin
telah mendapat tambahan bekal sejak ia kembali ke kampungnya.
Kalau tidak begitu, tentulah ia telah binasa oleh Maribun yang
sangat kawakan itu.
Kepada Kahar Nasution diterangkannya, bahwa mestinya ia
sudah meninggalkan Lubuklinggau, tetapi hadangan baru ini

membuat ia harus bertahan. Mungkin juga untuk berkubur di kota


itu. Kematian adalah sesuatu yang pasti bagi tiap makhluk, hanya
tak dapat menentukan di mana ia akan menyelesaikan
perjalanannya di dunia.
Berkata ia kepada Kahar dan Datuk, semisal ia mati di kota ini, ia
mohon mayatnya dikuburkan di pinggir kota, umpamanya di hutan
tak jauh dari pinggir jalan raya. la khawatir kalau-kalau ada lanjutan
kisah setelah ia mati, yang akan menyebabkan dirinya jadi
pembicaraan dan ditakuti, la ingin sekali, kalau ia mati, tamatlah
riwayatnya, jangan sampai membawa lanjutan yang tidak disukai
masyarakat.
Mendengar itu Datuk menangis, karena ia tidak mau kehilangan
Erwin. Dia memang sudah sangat sayang kepada sahabatnya itu.
Punya kelainan yang menakutkan, tetapi juga punya hati lebih mulia
dari sebagian besar manusia.
"Daripada Saudara, lebih baik aku yang pergi duluan," kata
Datuk. "Saudara lebih berguna bagi dunia ini daripada aku."
Mendengar itu Erwin juga jadi tambah sayang kepada sahabat
seperjalanan yang tinggal seorang itu dan akan mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk menghadapi guru Maribun. la
menyadari, bahwa pertarungan dengan lawan yang sekuat itu
mungkin makan tempo berhari-hari. Sukar akan menumbangkan
salah satu daripada dua orang tinggi ilmu, karena kedua-duanya
punya daya bela diri dan pertahanan yang sangat ampuh.
Pada malam itu Erwin mengurung diri dan mohon kepada semua
orang dan harimau yang pernah jadi gurunya, begitu pula kepada
leluhurnya supaya ia diberi kekuatan yang cukup tinggi untuk dapat
merobohkan lawan yang sama sekali tidak dicarinya itu. la tadinya
mengharapkan pertarungan di Lubuklinggau cukup sampai dengan
kematian Maribun saja. Setelah menyembuhkan Dinar ia akan
berangkat ke Palembang guna memenuhi janjinya kepada Nona Mei
Lan yang pernah mencarinya sampai ke Mandailing dan Medan.
Erwin sangat merasa bahwa di luar keinginannya ia telah menyebar
banyak penderitaan dan yang demikian lazimnya akan diimbangi

oleh balasan yang setimpal atas dirinya. Walaupun jatuh cintanya


mereka atas dirinya bukan oleh suatu sebab yang tidak wajar.
Bahkan Erwin selalu mengelakkan. Dirinyalah, walaupun jelas
manusia harimau, yang selalu diburu oleh wanita-wanita yang
ditolongnya.
Dalam ia berkhusuk mengumpulkan seluruh kekuatan agar
pertarungan kekuatan mahagaib itu segera selesai, ia mendengar
suara yang sudah sangat lama tidak didengarnya. Yaitu suara
dengkur Ki Ampuh, yang telah menjadi babi karena dimakan oleh
sumpahnya sendiri. Erwin terkejut heran tetapi juga girang, karena
si terkutuk itu pada waktu yang belakangan telah ingin menebus
dosa-dosanya bahkan pernah mendampingi dia dalam pertempuran
berat.
Bukan hanya itu, Erwin juga mendengar suara Sabrina, wanita
cantik
yang
kadang-kadang
mengharimau
atau
dalam
penampilannya yang amat meyakinkan, mengisap darah bayi guna
melepaskan dahaganya.
Kedatangan dua orang yang pernah jadi sahabat terdekat tetapi
juga musuh amat berbahaya ini di luar dugaan, menimbulkan tanda
tanya, tetapi bagaimanapun melegakan hati Erwin.
0odwo0
DUAPULUH SEMBILAN
BERKATA seperti bertanya pada diri sendiri dengan suara pelan
Erwin menoleh ke samping dengan ucapan, apakah ia bermimpi.
"Benarkah engkau Ki Ampuh?" tanya Erwin. Terpancar sinar
gembira dari matanya dalam suasana yang remang-remang itu.
"Rasanya aku seperti mimpi," katanya melanjutkan karena tiada
jawaban dari makhluk yang jelas duduk di sampingnya.
"Kau senang dengan kedatanganku ini, sahabat?" tanya babi
hutan besar yang memang tak lain dari Ki Ampuh.

"Apa yang membawa kau kemari?" Erwin baru setengah percaya.


Oleh lamanya tak berjumpa dan tak mendengar berita tentang diri
Ki Ampuh, ia selalu menyangka, bahwa mereka tak kan pernah
bertemu lagi, karena masing-masing membawa nasibnya. Teringat
Erwin akan permohonan Ki Ampuh, dengan air mata dan penyesalan
yang seperti keluar dari lubuk hatinya, agar ia dijadikan manusia
kembali. la bertaubat, bersumpah, tak akan pernah melakukan
kejahatan lagi. Apalagi pengkhianatan yang telah disadarinya
sebagai kejahatan diatas dari segala macam kejahatan. Tetapi Erwin
memang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan seekor
babi kembali kepada asalnya, la tidak pernah belajar ilmu merubah
hewan menjadi manusia, walaupun tadinya hewan itu memang
manusia juga. Dan dia selalu berpendapat, bahwa tak kan ada ilmu
untuk itu. Entahlah kalau Tuhan menghendakinya, karena hanya
DIA yang punya kekuasaan dan kemampuan yang tiada batas.
Kalau IA menghendaki gunung dapat berubah menjadi lautan dan
lautan dengan mudah menjadi padang pasir. Semut menjadi seekor
gajah dan gajah menjadi seekor ular cobra.
Pernah juga Erwin mendengar, bahwa seorang penyihir yang
benar-benar sudah kawakan, memang dapat merubah ujud satu
makhluk menjadi makhluk lain. Tetapi ia belum pernah melihat hal
itu dengan matanya sendiri. Baru dalam cerita orang-orang tua atau
diceritakan dalam buku dongeng. Ilmu hitam yang mereka anut
setelah tuntutan dengan segala syarat dan pengorbanan selama
bertahun-tahun, membuat mereka punya kemampuan yang tak
masuk akal, tetapi konon memang benar-benar telah terbukti
menjadi kenyataan. Sama halnya dengan universitas yang terdiri
atas berbagai macam fakultas, maka ilmu hitam pun mempunyai
banyak cabang. Mungkin almarhum Maribun yang juga penyihir
mengambil fakultas pengiriman jin syaitan ke sasarannya, membuat
orang jadi gila dan sebagainya, tetapi tidak mengambil pe lajaran
merubah manusia jadi hewan. Kalau ia memiliki ilmu itu, agaknya
Nona Dinar yang cantik telah dirubahnya menjadi seekor ular. Ilmu
ini dimiliki oleh Mbah Panasaran di Banten, yang pernah
mengadakan hubungan dengan Ki Ampuh dan Erwin, sebagaimana

telah diuraikan secara terperinci pada bagian awal dari kisah


Manusia Harimau. Wanita penyihir yang sudah lanjut usia itu selalu
kelihatan muda dan cantik, seperti mojang geulis belasan tahun.
Untuk mempertahankan kemudaannya Mbah Panasaran selalu
memakan anak-anak muda. Diisapnya daya seks pemuda-pemuda
tanpa pengalaman itu sehingga kering dalam waktu hanya dua tiga
bulan yang kemudian dibunuh karena sudah tiada guna. Paling
beruntung dijadikan hamba yang harus menurut perintahnya tanpa
reserve. Diperintahkannya untuk membawa kawan-kawan mereka
agar menemui nasib seperti mereka.
Ki Ampuh seperti membiarkan Erwin teringat masa lalu. Agak
lama kemudian baru dijawabnya pertanyaan sahabat yang
kemudian jadi musuh besar tetapi pada waktu belakangan telah jadi
sahabat kembali. Katanya, "Aku rindu padamu. Itulah yang
membawa aku kemari!"
"Bersama Sabrina?" tanya Erwin.
"Ya, aku rindu padanya?"
"Aku tadi mendengar suaranya."
"Hanya pendengaran. Dia juga ingin bertemu denganmu. Tetapi
katanya dia ada urusan lain dulu."
Erwin tidak segera menanggapi. Dia pernah suka, kemudian
bermusuh dengan wanita cantik berhati kejam itu. Tetapi kemudian
ia selalu teringat kepadanya, karena bagaimanapun dia tahu bahwa
Sabrina pernah sangat mencintai dirinya, dialah yang mengelak.
"Ada urusan di Lubuklinggau? Apa dia punya keluarga di sini?"
tanya Erwin.
"Entah. Dia mau bertemu dengan Mayor Polisi Buang dulu," kata
Ki Ampuh. Erwin seperti tersentak. Menemui Pak Mayor, ada urusan
apa? Tetapi tak ditanyakannya kepada Ki Ampuh.
"Aku ingin kembali ke Jakarta, Ki Ampuh."
"Untuk apa di sana? Sudah terlalu banyak manusia. Kata orang

udara dan air pun sudah tercemar. Kota itu bukan tempat untuk
kita. Juga tidak untuk banyak manusia yang semula menyangka
akan menemukan syorga di sana. Bagi kita kota-kota kecil yang
tentram lebih baik," ujar Ki Ampuh.
"Mungkin betul begitu," kata Erwin menghentikan usaha
pengkhusukan diri dalam menghadapi lawannya. "Dari mana kau
tahu aku ada di sini?"
Harian di Padang memberitakan tentang makhluk ajaib dengan
perangai aneh. Mengembara dari Jawa ke Tapanuli, lalu ke Medan
dan Minangkabau. Punya sifat seperti harimau, tetapi sangat baik
budi. Berita lain menceritakan hilangnya dua penduduk sebuah
kampung di sekitar Bukittinggi seorang di antaranya Datuk yang
dituakan di kampungnya. Rentetan berita itu meyakinkan kami,
Sabrina dan aku, bahwa orang yang bisa berbudi baik seperti itu
hanya kau."
Erwin tidak memberi reaksi. Selama perjalanan ia tidak membaca
koran, tidak tahu, bahwa kegiatannya sudah membuat wartawan
bisa menarik hasil.
Ki Ampuh menceritakan lagi, bahwa setelah mendengar kejadiankejadian di Lubuklinggau, ia dan Sabrina yakin, bahwa Erwin dan
kedua pesilat dari Minang itu tentu masih ada di kota itu.
Mereka juga sudah mendengar tentang penyihir yang tewas
dibinasakan harimau secara aneh. Sabrina lantas berkata, bahwa
harimau aneh yang membinasakan lawannya dengan cara yang
tidak pernah mereka dengar itu tentulah Erwin.
Bagi Sabrina yang betul-betul termasuk wanita memenuhi segala
persyaratan untuk dikatakan cantik, pintu selalu terbuka. Itulah
salah satu keuntungan orang cakep yang tidak dimiliki oleh wanita
yang sedang-sedang saja. Walaupun sebagai imbangannya, wanita
cantik lebih disukai maut daripada wanita yang biasa-biasa saja.
Tidak sukar bagi Sabrina untuk bertemu dengan Mayor Polisi
Buang di kantornya. Bukan terutama karena kecantikan wajahnya,
melainkan budi bahasa yang baik dan keagungan yang dipancarkan

wajah dan pembawaannya jualah yang membuat Perwira itu


menaruh simpati dan kepercayaan atas dirinya. Kepercayaan pada
seseorang yang baru saja dikenal perlu digarisbawahi, karena di
masa ini wajar kalau kita tidak buru-buru percaya kepada
seseorang, bahkan ada baiknya kalau diam-diam kita menaruh
curiga guna membangkitkan kewaspadaan terhadap semua orang
baru. Tidak jarang kita baca di koran-koran mengenai masyarakat
yang tertipu oleh seorang yang mengaku Perwira Angkatan
Bersenjata yang datang lengkap dengan seragam dengan tanda
pangkatnya tetapi kemudian sesudah terlambat, ternyata ia hanya
seorang penipu yang licik saja. Yang menampilkan diri sebagai
saudagar besar, tetapi kemudian ternyata juga seorang penipu
belaka, setelah ia hilang dengan menggaet kadang-kadang ratusan
juta.
Sabrina mengaku datang dari Surabaya karena mendengar dari
seorang sahabatnya, bahwa di Lubuklinggau ada seorang yang amat
pintar dengan ilmu sihir yang amat tinggi. Telah banyak bantuan
dipinta dari berbagai dukun, tetapi tak ada seorang pun yang
berhasil.
Pak Mayor yang baik hati menyatakan suka menolong kalau ia
dapat. Lalu diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang telah
banyak membantu orang-orang yang dalam kesulitan atau sakit
keras oleh perbuatan orang-orang yang jahil, la menerangkan
kemampuan Raden Sulaiman setelah Sabrina menceritakan, bahwa
ayahnya tewas oleh terkaman seekor harimau piaraan. Dalang dari
kejahatan itu tak lain daripada seorang sahabatnya sendiri yang
merasa sangat terpukul dalam bersaing dagang.
Setelah bercerita panjang dan Pak Mayor percaya, bahwa Sabrina
menceritakan yang sebenarnya, maka dibawanyalah wanita itu ke
rumah Raden Sulaiman.
Kepada Raden Sulaiman, dihadiri oleh Mayor Buang, diceritakan
oleh Sabrina bahwa dukun yang dipakai oleh saingan dagang
almarhum ayahnya masih muda, bernama Erwin. Orang itulah yang
mempunyai harimau, bukan hanya satu tetapi menurut

pendengarannya sampai tiga ekor dan semua menurut segala


perintahnya. Pak Mayor lantas yakin bahwa yang membunuh
Maribun tentulah harimau piaraan Erwin. Patutlah dia bisa bicara
begitu banyak tentang harimau. Betapa liciknya orang itu dengan
permainan sandiwaranya. Tentulah dia yang membuat air di dalam
mangkuk putih Raden Sulaiman jadi hitam dan yang kedua kalinya
jadi merah darah.
Raden Sulaiman yang juga serta merta percaya kepada Sabrina
karena Pak Mayor juga tidak ragu-ragu kepadanya, langsung saja
menceritakan apa yang telah dialaminya, la berharap, Sabrina akan
bercerita lebih banyak tentang Erwin. Siapa tahu dia akan
mengetahui di mana letak kelemahan orang muda itu, supaya
mudah ia merobohkannya.
Dan Sabrina dengan meyakinkan menceritakan bahwa Erwin
memang punya segudang ilmu, tetapi takkan mampu melawan
Raden Sulaiman yang ketenaran namanya sudah sampai ke Jakarta,
bahkan hingga ke Surabaya yang letaknya di Jawa Timur sana.
Kalau tidak betul-betul hebat, tak kan dukun besar di Lubuklinggau
saja sampai dikenal di Jawa. Kebanyakan orang di Jawa apa lagi di
pulau lain, di luar Sumatera, bahkan tidak tahu di mana letaknya
tempat yang menyandang nama Lubuklinggau itu. Pak Raden jadi
semakin bangga pada dirinya dan kalau diperhatikan baik-baik akan
kelihatan bahwa lubang hidungnya agak mengembang. Rupanya
Sabrina bukan hanya wanita keturunan harimau jadi-jadian yang
senang darah bayi, tetapi juga seorang yang amat licik dalam
bertanya dan berbicara.
Baik Mayor Polisi Buang maupun penyihir Raden Sulaiman
merasa, seolah-olah kedatangan Sabrina ke Lubuklinggau atas
suruhan kekuatan gaib pula untuk membantu pihak penegak hukum
dan penyihir dalam menegakkan keadilan. Yang seorang sesuai
dengan tugasnya, yang lain untuk membalas dendam atas
kematian muridnya.
Semua keterangan yang didapat Raden Sulaiman dari Sabrina
membuat dia mengurungkan pukulan atas diri musuh yang sudah

jelas baginya sampai pada keesokan malamnya supaya ia dapat


mengadakan persiapan yang lebih baik.
Pada keesokan harinya Erwin sudah mengetahui dari Ki Ampuh
bahwa penentuan nasib akan jatuh pada malam itu.
"Tetapi aku punya satu permintaan Erwin dan kuharap kau
mengabulkannya. Dari jauh aku datang untuk menyampaikan
permintaan ini," kata Ki Ampuh. Erwin terharu sekali mendengar apa
yang dipinta Ki Ampuh, dan ia menyetujui setelah mengatakan
bahwa rencananya itu dihadang risiko yang cukup besar dan
berbahaya.
Sama halnya dengan apa yang pernah diucapkan oleh Datuk,
maka Ki Ampuh pun berkata, bahwa kalau ada yang harus tewas,
baiklah dia yang tewas, karena dia hanya seorang manusia kutukan,
sementara kelanjutan hidup Erwin masih akan banyak gunanya bagi
orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Pada petang hari Sabrina sendiri datang ke tempat Erwin yang
oleh Kapten Kahar dan Ibunya telah diminta untuk tinggal kembali
bersama mereka menjelang keberangkatan. Dalam kunjungan itu
Sabrina mengenakan pakaian nasional, sehelai baju Kebaya yang
harmonis dengan kain panjangnya ha sil batik tulis dari Jogya
dengan sanggul yang terletak santai di atas kuduk.
Pada saat bertemu kembali itu, kenangan indah yang pernah ada
membuat Erwin serta merta terpesona, la tak kuasa menahan
pujian, "Kau cantik sekali Sab. Lebih cantik dari biasa!" Wanita itu
tersenyum, senang, walaupun ia pernah sangat membenci.
Erwin merasa malu, ketika Sabrina menjawab, "Bagaimanapun
aku tetap si Sabrina yang malang. Bang Erwin. Yang benar-benar
beruntung adalah Abang. Kudengar digilai oleh beberapa wanita di
daerah Palembang ini, termasuk seorang yang keturunan
Tionghoa."
"Entahlah Sab, aku tak tahu apakah itu suatu keberuntungan.
Yang jelas aku seperti orang buruan!"

"Risiko lelaki yang digilai banyak wanita," kata Sabrina.


Mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Diatur
rencana untuk malam itu tetapi memerlukan bantuan Kapten Polisi
Kahar Nasution.
Sesuai mufakat. Pak Mayor diundang makan malam di rumah
Kahar.
Semacam syukuran atas kesembuhan Dinar.
Tatkala Erwin memperkenalkan Sabrina kepada Kahar dan
adiknya, mereka pun sangat memuji kecakepan Sabrina, walaupun
tidak diucapkan dengan kata-kata. Dinar yang menaruh hati pada
Erwin langsung saja menganggap pendatang ini tentu saingannya.
Jauh-jauh dari Jawa ke Lubuklinggau sekedar mencari seorang
Erwin.
0odwo0
Sebelum memenuhi undangan makan. Mayor Polisi Buang
terlebih dulu mengatur rencana kerja dengan Raden Sulaiman, la
juga mengatur siasat dengan mempergunakan sejumlah anggota
Polisi. Mengepung rumah Kahar kembali guna bertindak kalau perlu.
Si harimau akan datang ke situ dan bila tampak harus segera
ditangkap hidup. Hanya ditembak kalau ia memberi perlawanan, itu
pun jangan tembak mati. Tidak diceritakannya tentang Raden
Sulaiman yang akan bekerja dari rumahnya pada saat yang sama.
0odwo0
TIGAPULUH
MAYOR Polisi Buang memasuki rumah Kapten Kahar Nasution
dengan wajah ceria, seolah-olah bukan dia yang belum lama
berselang menaruh kecurigaan besar atas rekan yang setingkat di
bawah pangkatnya itu. Sang Kapten juga menyambutnya dengan
gembira, walaupun ia bertanya pada dirinya apakah yang
menyebabkan Pak Mayor ini jadi begitu senang.

Sebagai basa basi Kahar langsung saja berkata, "Saya senang


melihat Pak Mayor sangat girang. Tentu ada sebabnya. Tetapi aku
tidak bertanya, kalau hal itu merupakan rahasia!"
"Tidak ada rahasia apa-apa. Hidup kan memang diselang-seling
oleh tawa dan air mata," sahut Pak Mayor.
"Filsafat hidup yang baik sekali, kalau air mata bisa merubah
keadaan yang menyebabkan deraian-nya.
Mayor Polisi Buang tidak menanggapi, walaupun di dalam hati ia
mengakui kebenaran kata-kata Kahar.
"Aku berharap malam ini kita akan bebas dari misteri yang belum
berjawab itu."
"Apakah itu suatu misteri Pak Mayor?" tanya Kahar.
"Bagiku, ya. Tetapi malam ini akan kita pecahkan. Sang
pembunuh akan kita tangkap atau binasakan!"
"Harimau yang berjalan atas dua kaki itu?"
"Atas dua dan empat kaki," kata Mayor Buang menyempurnakan.
"Sudah dapat cara menangkap atau membunuhnya?"
"Tentu saja. Di dunia ini tidak ada manusia yang begitu
pandainya, sehingga tidak ada lagi orang lain yang mengatasinya.
Dan orang yang mengalahkannya itu pasti masih dapat pula
dikalahkan oleh orang lain. Jadi, di dunia tidak ada yang tak
terkalahkan!"
"Lagi sebuah pandangan dan pegangan yang amat tinggi
nilainya."
Pak Mayor senang mendengar sanjungan Kapten Polisi Kahar. Dia
pun merasa dirinya pandai dan hebat.
"Rupanya pembunuh Pak Maribun itu pengembara yang sudah
berkelana sampai ke Jawa."
"Dari mana Pak Mayor ketahui?"

"Itu masih rahasia. Orang benar selalu akan menang."


"Kadang-kadang," kata Kapten Kahar melemahkan pendapat
atasannya.
"Mengapa kadang-kadang?"
"Ada orang yang merasa dirinya benar, tetapi sebenarnya tidak
benar. Ada orang yang memang benar, tetapi dia kalah juga.
Banyak pepatah indah sudah tidak berlaku lagi sekarang!"
"Mengapa begitu?" tanya Mayor Polisi Buang yang yakin bahwa
pada malam itu ia pasti akan menang.
"Karena pepatah-pepatah itu buatan orang zaman dulu, yang
dalam banyak hal lain dari kita yang hidup di zaman ini. Kita
umpamanya, kita penegak kebenaran. Coba kita bicara jujur.
Apakah selalu yang benar keluar sebagai yang menang? Apakah
bukan yang kuat yang selalu keluar sebagai pemenang? Coba jawab
dengan jujur, berdasar kenyataan di sekitar kita. Tanpa mendustai
diri sendiri karena seperti sudah membudaya, bahwa dalam banyak
hal, dusta, tipu, curi dan rampok bukan apa-apa!"
Mayor Polisi Buang memandangi bawahannya yang diakui telah
berkata benar. Banyak sekali peristiwa yang bukan hanya
menyentuh, tetapi bahkan menerjang perasaan keadilan dan
kebenaran.
Meskipun percakapan mengenai kebenaran dan keadilan yang
belum kunjung tegak itu sangat menarik, tetapi Pak Mayor tidak
lupa, bahwa dia ada pekerjaan yang jauh lebih bermakna daripada
sekedar ngomong-ngomong mengenai hal yang masih merupakan
mimpi belaka, la ingin sekali mengetahui, dengan cara yang
manakah harimau itu akan tertangkap atau terbunuh. Melalui Raden
Sulaiman atau oleh anak buahnya yang melakukan pengepungan
dengan senjata api.
Ketika tak kurang dari Dinar sendiri yang kemudian keluar
mengatakan bahwa santap sederhana telah tersedia, mereka mulai
makan. Jangan dikira bahwa hanya Mayor Polisi Buang yang makan

dengan pikiran bercabang! Kapten Kahar sendiri pun tertanya-tanya


apakah gerangan yang sedang terjadi dengan Erwin. Lalu dengan
Sabrina yang cantik itu. Kapten yang cukup ganteng dan belum
punya istri itu tertarik oleh pertemuan pertama. Dan wanita cakep
dari Sungai Penuh itu bukan pula hanya dikhayalkan oleh seorang
Kapten Polisi, tetapi juga oleh Pak Mayor yang ditinggal mati istrinya
beberapa tahun yang lalu tanpa anak. la tadi melihat sesuatu yang
lain pada wajah wanita, suatu kelainan menyenangkan yang jarang
tersua pada wajah wanita lain. Atau barangkali sama sekali tidak
ada pada wanita lain mana pun. Kalau dia berjasa menangkap Erwin
yang menurut Sabrina telah membinasakan ayahnya, dia akan
punya peluang yang besar sekali untuk disenangi oleh Sabrina.
Wanita itu tentu sakit hati pada Erwin yang diketahuinya telah
menjahili ayahnya tetapi tidak dapat dilaporkan kepada Polisi karena
caranya membunuh tidak meninggalkan bukti. Tetapi kalau harimau
piaraan Erwin dapat ditangkap lalu kekuatan sihir Raden Sulaiman
dapat memaksa dia untuk berkata benar, maka dukun muda yang
pandai bersandiwara itu tentu terpaksa mengakui bahwa harimau
itu memang miliknya dan bahwa harimau piaraannya pulalah yang
telah membunuh Maribun.
Semua akan berjalan lancar kalau di dunia ini ada satu kekuatan
hendak menangkap atau membinasakan pihak lain, lalu pihak yang
akan dilumpuhkan itu pun pasrah saja pada nasib. Tetapi yang jadi
kenyataan sama sekali tidak begitu. Pihak yang akan ditangkap atau
ditewaskan juga mempersiapkan diri untuk mengelak atau bahkan
melawan.
Mendadak terdengar suara harimau mengaum. Mayor Polisi
Buang tersentak seperti disengat kalajengking. Suara itu sangat
dekat. Kapten Polisi Kahar tak meneruskan suap yang sedang
menuju mulut, la memandang sang Mayor yang juga sedang
melihat ke arah dirinya. Mayor mengangguk ditiru oleh Kapten.
Kedua-duanya menggerakkan bibir dengan gaya yang sama.
Tandanya berpikir sama dan dibahasakan melalui pandang dan
gerak bibir. Tanpa kata. Dinar dan Ibunya memandang kedua lakilaki itu tanpa memberi komentar.

Kemudian mereka meneruskan makan. Tidak selezat semula.


Terutama bagi Mayor Polisi Buang. Harimau itu begitu dekat. Tak
kan salah lagi, tentu inilah binatangnya yang menyerang dan
membunuh Maribun. Yang meletakkan mayatnya di hadapan pagar
pekarangan Buang, agaknya si Erwin yang sangat pandai
bersandiwara itu. Tetapi siapa pun yang punya harimau dan siapasiapa pula yang ikut bersekongkol, semuanya pasti akan digulung
oleh Raden Sulaiman. Tak kan ada yang melebihi Raden Sulaiman di
kota Lubuklinggau, begitu pikirnya.
Mayor Polisi Buang telah berpesan kepada anak buahnya yang
melakukan pengepungan agar benar-benar pasang mata. Jangan
sampai kedatangan atau keberadaan harimau piaraan itu tidak
kelihatan. Dia pun menjanjikan hadiah lumayan kepada mereka
kalau harimau itu sampai tertangkap. Penduduk pasti senang dan
memuji polisinya yang memang punya tugas untuk keamanan dan
ketertiban. Kini keberhasilan itu jadi kian mutlak, sebab ada faktor
lain yang harus dipenuhi. Tuntutan Sabrina dan tertariknya Pak
Mayor Polisi Buang kepadanya.
Sekali lagi harimau itu mengaum. Lebih kuat dari tadi dan
terdengar lebih dekat. Kini jantung Buang agak berdebar. Ada
sesuatu yang mengganggu keyakinan dan kegirangannya, la melihat
ke sekeliling dengan gaya seperti tidak sengaja dan tidak ada kaitan
dengan auman harimau itu. la memuji keindahan gambar-gambar
penghias dinding. Kalau harimau itu benar-benar sangat dekat dan
punya ilmu perabun seperti diceritakan Erwin, maka itu tentu tidak
kelihatan. Perasaannya kian tidak enak oleh khayalannya sendiri.
Kalau sang harimau sebenarnya sudah duduk di belakangnya,
kemudian mencekik dia sebagaimana ia mencekik Maribun, maka ia
akan tewas di meja makan itu. Hii, betapa buruk dan ngerinya.
Disiksa oleh pikirannya sendiri, Mayor Polisi Buang tidak menambah
nasi, walaupun semula semua lauk sangat enak, sesuai benar
dengan tuntutan lidahnya. Kini semua jadi tidak sedap lagi. Dari
teramat enak ke sama sekali tidak enak, hanya dipisahkan oleh
khayalan seseorang. Dalam hal begitu, betapa jahatnya berkhayal.
Celakanya, kalau hati sudah takut, maka khayalan yang menakutkan

pun tak dapat ditolak.


"Sedikit sekali makannya Pak," kata Kapten Polisi Kahar. "Kurang
enak masakannya?"
"Oh tidak, tidak," buru-buru Buang menjawab, "semuanya sangat
enak. Habis dari sini nanti, masih ada satu undangan yang perlu
dipenuhi. Supaya jangan mereka sampai berpikir bahwa saya
sombong. Untuk itu saya mesti menyediakan tempat sedikjt," kata
Buang dengan tawa yang kentara sangat dipaksakan. Tetapi
lumayanlah. Masih dapat dia berdalih. Kalau lidah seakan beku
sehingga tak dapat berkata lagi, itu baru betul-betul parah.
Raden Sulaiman yang hendak memperlihatkan, bahwa tiada
manusia melebihi ilmu sihirnya di Lubuklinggau dan merasa wajib
membalaskan kemati-an muridnya Maribun, mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Patung-patung dari kayu dan batu yang mewakili
dewa-dewa yang turut jadi sumber kekuatannya dimandikan dengan
air tujuh macam bunga dan tujuh warna benang. Asap kemenyan
putih yang pernah ditanam tujuh kali tujuh malam di bumi
pekuburan non Islam menggantung di dalam ruangan kerjanya yang
tidak terlalu besar. Dengan penuh hormat dan khidmat ia
menyembah patung-patung yang dipertuannya itu, mohon kekuatan
yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang mungkin dimiliki
oleh seorang anak manusia.
Selesai melakukan upacara sembah. Raden Sulaiman
menghadapi sebuah boneka dari kain-kain perca buatan sendiri,
sangat sederhana. Baginya boneka ini tak lain dari orang yang akan
jadi sasarannya. Erwin, si pendatang yang tak tahu diri dengan
membawa harimaunya, la tak dapat dikenakan hukuman karena tak
dapat dibuktikan bahwa ia melanggar hukum.
Selesai menghadapi boneka kain yang dipegangnya dengan
kedua belah tangan di hadapan mukanya, ia meludahi sang boneka
lalu melemparkannya ke atas untuk kemudian jatuh kembali di atas
tikar tempatnya bekerja.
Kalau kita melihat Erwin di kamarnya, akan tampak bahwa ia

mengaduh lalu mengerang-ngerang di lantai. Badannya sama sekali


tidak terangkat, tetapi ia merasa seperti dibanting dengan seluruh
kekuatan. Kira-kira seperti dibanting gajah yang murka atas
penduduk, karena hutannya dibabati sehingga ia tak punya
makanan lagi.
Datuk yang duduk di luar kamar karena tidak dibenarkan masuk,
kalau Erwin sedang bekerja, tidak mengetahui apa yang sedang
terjadi atas diri sahabatnya yang manusia harimau itu, tetapi
seakan-akan tanpa sebab, pikirannya jadi kacau. Seolah-olah terjadi
sesuatu atas diri sahabatnya.
Erwin yang sudah tahu dengan siapa ia berhadapan,
mengeluarkan segenap kepandaiannya, tetapi tak urung ia merasa
seperti sedang dicambuk dengan cemeti, la merasa sangat sakit,
padahal ia punya ilmu untuk tidak merasakan sakit walaupun
dipukul beramai-ramai. Erwin tahu bahwa lawannya sedang
mencambuk dirinya dan ia tak kuat melawan akibat dari cambukan
itu. Dan sebenarnyalah Erwin tidak keliru. Tatkala ia merasa dirinya
di-cemeti. Raden Sulaiman memang sedang melecut boneka
kainnya dengan tujuh batang lidi daun aren (enau) yang diikat
menjadi satu. la sudah siap untuk menenggelamkan boneka itu ke
dalam ember berisi air cabai, ketika ia mendadak terkejut karena
mendengar dengkur keras yang dikenalnya sebagai dengkur babi.
Ketika Raden Sulaiman menoleh, memanglah ia melihat seekor babi
hutan dengan taring-taring panjang, menandakan ia sudah sangat
dewasa. Karena kedatangan seekor babi ke dalam kamarnya yang
tertutup sama sekali diluar dugaan atau khayalan ia mengetahui,
bahwa lawannya yang barangkali sedang sekarat telah mengirim
babi hutan piaraannya. Bangsat busuk itu rupanya bukan hanya
memelihara harimau tetapi juga celeng hutan yang terkenal ganas.
Para peladang yang terbiasa pulang lewat senja, lebih mungkin akan
diserang oleh babi hutan daripada diterkam oleh harimau. Walaupun
di mana ada babi hutan boleh dipastikan ada harimau, karena babi
sangat disenangi oleh nenek belang untuk jadi santapannya.
"Pergi kau jahanam," bentak Raden Sulaiman sambil membaca-

baca doanya yang biasanya sangat ampuh.


"Anda bukan Tuan-rumah yang baik. Aku baru tiba sudah diusir.
Tak menghargai tamu!" kata Ki Ampuh dengan nada kelakar.
Mendengar babi bicara. Raden Sulaiman segera mengerti, bahwa
yang punya sangat tinggi dalam ilmu atau babi ini binatang siluman
yang setelah selesai dengan maksudnya akan menjadi manusia
kembali. Dan Raden Sulaiman bertekad untuk merubah babi ini jadi
tikus yang tak punya daya apa pun.
"Jangan, sia-sia maksud Anda mau menikuskan aku!" ujar Ki
Ampuh.
"Siapa majikanmu?" tanya Raden Sulaiman. "Si bangsat Erwin
itu?"
"Anda terlalu sombong penyihir. Mula-mula mengusir aku,
kemudian hendak membuat aku jadi tikus dan barusan kau
menganggap aku sebagai budak seseorang!"
Melihat kepandaian si pendatang aneh yang tak diundang dan
sangat tidak disukainya itu, Raden Sulaiman berusaha menahan diri.
Yang begini lebih baik dilemahlembuti daripada dihina dengan katakata kasar.
"Bagaimana kalau kita bersahabat, sebab tak ada sebab bagi kita
untuk bermusuhan. Bertemu pun kita baru sekali ini. Anda dari
mana? Tinggal di sekitar sini juga?" tanya Raden Sulaiman.
Ki Ampuh mengecilkan matanya yang memang sudah kecil itu
untuk mengejek Raden Sulaiman yang diketahuinya sedang
menjalankan muslihat.
"Siapa bilang tidak ada urusan di antara kita. Memusuhi Erwin
sama artinya menantang aku. Karena dia saudaraku," kata Ki
Ampuh, la bangga mengucapkan kata-kata itu, karena Erwin punya
nama dan wibawa.
"Aku mengusulkan persahabatan. Tetapi walaupun begitu tentu
terserah kepadamu."

"Aku senang dengan kalimat Anda itu. Kita sudah tak mungkin
bersahabat. Aku datang untuk bertarung denganmu Raden. Kuharap
dapat mene-waskanmu yang tak berguna bagi masyarakat."
0odwo0
TIGAPULUH SATU
BERBEDA dengan Maribun yang muridnya. Raden Sulaiman
mempunyai ilmu untuk menghadapi harimau, yang belum
diturunkannya kepada Maribun. Oleh tenaganya inilah maka Erwin
merasa dirinya seperti dibanting-banting, ketika penyihir kawakan
itu membanting boneka kain yang telah diludahinya. Dengan
peludahan ia menanggalkan ilmu Erwin. Pembantingan dihentikan
karena kedatangan babi hutan yang diluar dugaannya. Jiwa Raden
Sulaiman tergetar, karena baru kali ini ia menghadapi babi yang
tampaknya bertekad untuk bertanding dengan dirinya. "Engkau
Raden Sulaiman," katanya kepada dirinya, "takkan engkau akan sudi
digertak atau ditundukkan oleh seekor siluman hina yang babi ini.
Kalau hanya babi biasa, dengan memandanginya saja ia akan
memperoleh kemenangan. Si babi takkan mampu menghadapinya.
Tetapi yang ini pasti bukan babi biasa, la tahu semua maksud dan
apa yang sedang dikerjakan oleh sang penyihir yang tak mau diajak
berkompromi itu. Belum pernah menghadapi babi siluman tidak
berarti ia pasti kalah, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat
meramalkan kesudahan dari suatu pertempuran.
"Mana rantai keramatmu?" tanya Raden Sulaiman, karena ia tahu
bahwa kekuatan babi siluman biasanya terletak pada rantai yang
selalu dibawanya ke mana-mana. Tanpa rantai, seekor babi hutan
yang bukan babi biasa tidak akan mempunyai tenaga gaib.
"Tertinggal di rumah," sahut Ki Ampuh. "Tetapi baiklah kukatakan
terus terang, bahwa aku tidak memerlukannya. Aku tidak
mengandalkan rantai yang hanya benda mati, kawan. Aku mau
mem-binasakanmu dalam suatu perkelahian yang spor-tip. Samasama bertangan kosong. Aku sekarang mengharapkan hujan dan

kita bertarung di pekarangan rumahmu, supaya meninggalkan bekas


yang akan jadi pembicaraan masyarakat selama berhari-hari. Kau
usahakanlah membunuh aku, supaya bangkaiku tergeletak di
lumpur, difoto oleh para reporter yang ada di sini. Aku tahu kau
kebal senjata tajam dan peluru Raden. Aku tak tahu apakah kau
juga kebal terhadap taring-taringku!"
Raden Sulaiman geram mendengar kesombongan sang babi,
tetapi disamping itu ia juga agak lega. Kesombongan bicara
biasanya hanya dilontarkan mereka yang tak seberapa ilmunya.
Kira-kira si penantang ini pun semacam itulah. Hanya besar mulut!
Pemilik ilmu tinggi biasanya merendahkan diri.
"Siapa namamu binatang haram!" tanya Raden Sulaiman.
"Ki Ampuh, Raden. Bisa berjalan di atas air," katanya
menyombongkan diri. Padahal ia berjalan di atas air karena
kebolehan Datuk nan Kuniang ketika ia bersama Dja Lubuk dan
Erwin dulu dibawa merantau ke Sumatera. Bagi pembaca yang telah
mengikuti kisah Ki Ampuh dengan berbagai petualangannya,
keangkuhan makhluk berilmu ini bukan hal yang baru.
Kesombongan itu telah berkali-kali harus ditebusnya dengan
kekalahan, tetapi dasar dia memang tebal muka, sifat buruknya
tidak pernah hilang dari dirinya, walaupun dia telah berubah jadi
binatang berderajat sangat hina setelah dimakan oleh sumpahnya
sendiri.
"Dari siapa Anda mengetahui namaku?" tanya Raden Sulaiman.
"Nama penyihir terkenal sampai ke Jawa. Lagi pula aku tidak
akan mendatangi seseorang sebelum aku melakukan penyelidikan
tentang dirinya. Dan aku tidak akan melangkahkan kaki ke mari,
kalau Anda tidak berniat mau menjahili sahabat yang sudah menjadi
saudaraku itu!"
Hati Raden Sulaiman yang semula senang sekali karena
dikatakan terkenal sampai ke Jawa, kemudian jengkel lagi
mendengar keangkuhan Ki Ampuh yang senang menunjukkan
kehebatannya.

Tanpa disangka oleh Raden Sulaiman, cuaca yang tadi begitu


bagus telah berubah dengan runtuhnya hujan yang berangsurangsur jadi lebat. Apakah karena Ki Ampuh mengharapkannya, pikir
Raden Sulaiman. Timbul kekaguman di dalam hatinya. Barangkali
babi ini memang punya kekuatan luar biasa gaib yang dapat
membuat hujan, la tahu akan adanya orang-orang pandai yang
mampu mendatangkan dan menghentikan hujan.
"Anda hebat, pandai memanggil hujan," kata Raden Sulaiman.
"Ya begitulah. Hanya ilmu kecil," kata Ki Ampuh, tanpa malumalu, walaupun dia tahu bahwa hujan itu bukan turun karena
ilmunya. Raden Sulaiman heran juga mendengar Ki Ampuh pandai
juga merendahkan diri dengan mengatakan, bahwa ilmunya itu
hanya kepandaian kecil saya. Dia lebih heran ketika babi itu berkata,
"Aku tahu Raden pu nya kepandaian yang jauh di atasku. Hujan itu
turun karena Anda tidak membendung ilmuku. Kalau Anda pasang
penangkal ilmuku yang hanya secuil itu pasti hujan itu tak kan
turun. Babi ini menyindir, atau betul-betul menyangka bahwa Ki
Ampuh sanggup menggagalkan ilmunya kalau ia mau.
Bagaimanapun ada juga perasaan enak sedikit.
"Bagaimana, kita turun sekarang. Supaya Anda lekas
membinasakan aku, atau aku yang menewaskan Raden. Sama-sama
keluar hidup dalam keadaan luka-luka takkan mungkin. Apalagi di
Lubuk-linggau yang amat kecil ini. Sudah tentu tidak cukup ruangan
untuk kita berdua," ajak Ki Ampuh.
"Sayang, salah satu di antara kita harus tewas. Padahal kita
mempunyai kelebihan dari makhluk lain," kata Raden Sulaiman.
"Hendaknya Andalah yang menang, sebab Anda manusia yang
dapat bergaul dengan sesama manusia. Dapat menikmati hidup.
Sedangkan aku, hanya babi yang tak kan bisa bermasyarakat
dengan manusia. Sayang, kalau Anda tak dapat membunuhku,
karena aku akan terpaksa menamatkan riwayat Anda, demi
sahabatku si manusia harimau. Anda harus melihatnya waktu dia
mengharimau.

Raden Sulaiman bertanya, apakah dia berjalan atas dua kaki


tatkala menjadi harimau? "Berapa banyak harimau yang
dikuasainya?" tanyanya.
"Dia sendiri sudah manusia harimau. Semua harimau di rimba
takluk di bawah kekuasaannya. Dia dapat memanggil mereka dan
memerintahkan apa saja. Dia lah manusia yang harimau, yang raja
dari seluruh harimau." Ki Ampuh senang menghebat kan diri
sahabatnya itu.
"Aku ingin bertemu dengannya ketika ia meng harimau!"
"Aku kuatir, sudah tidak ada tempo Anda untuk itu," kata Ki
Ampuh sambil tertawa mengejek. Babi siluman ini mempunyai multisifat, pikir Raden Sulaiman. Angkuh, sinis, tahu diri, takbur tetapi
juga punya kesetiaan besar terhadap kawan.
0odwo0
Ketika hujan turun. Mayor Polisi Buang menjadi gugup, la
teringat kepada Maribun yang pergi dari rumahnya dalam keadaan
hujan bersama seorang manusia dan satu makhluk berkaki dua, kaki
harimau. Erwin tidak turut hadir makan bersama mereka. Pada hari
syukuran begitu sepantasnya Erwin turut hadir. Bukankah dia yang
telah mengobati dan menyembuhkan Dinar. Oleh hal itu Mayor
Buang yang menaruh curiga kian besar terhadap diri Erwin bertanya
pada dirinya, apakah di waktu hujan ini ia ke rumah Raden Sulaiman
dan melakukan apa yang mungkin dilakukannya pada malam hujan
serupa ini terhadap diri Maribun.
Tak kuat menahan keinginan tahu. Mayor itu bertanya, ke mana
Erwin, mengapa tidak diajak serta. Oleh Kahar diterangkan, bahwa
ia memang sengaja tidak mengajaknya dalam pemanjatan doa
syukur itu, karena hendak membuka kesempatan kepada atasannya
itu dalam menjalankan usahanya menangkap pembunuh Maribun.
"Apakah aku boleh bertemu dengannya, kalau ia ada di rumah
sekarang?" tanya Mayor Buang. Kapten Polisi Kahar terkejut tak
menyangka akan dapat permintaan seperti itu. Tetapi dia
menyatakan bahwa Erwin tentu akan senang sekali bila merasa

diperhatikan oleh seorang berpangkat seperti Pak Mayor.


Kahar segera pergi ke kamar Erwin yang terletak di luar
bangunan utama. Yang demikian atas permintaannya sendiri.
Menolak tinggal di sebuah kamar yang letaknya di sebelah kamar
tidur Erwin yang tersedia untuk tamu-tamu yang masih keluarga
atau tamu yang dihormati.
Melihat Datuk duduk di sebuah kursi di luar kamar. Kahar
menduga dengan benar, bahwa orang kelihatan kampungan tetapi
berilmu tinggi itu sedang mengerjakan sesuatu.
Datuk menceritakan, bahwa tadi ia mendengar suatu suara agak
kuat, tidak tahu suara apa, tetapi kemudian keadaan terus senyap,
la meminta agar Kahar mengetuk pintu, karena ia curiga. Erwin
tentu sedang bertarung dengan lawannya. Bagaimanapun kuatnya
seseorang kita tidak dapat memastikan bahwa ia menang, karena
selalu saja ada seseorang yang kemudian ternyata mempunyai
kelebihan. Kalau tidak dalam semua, maka di dalam satu atau dua
hal. Dan kelebihan yang sedikit itu justru yang kadang-kadang tidak
bisa dihadapi oleh seseorang yang punya banyak ilmu. Dalam dunia
ilmu gaib dan mistik tidak ada juara. Mungkin ada dukun atau
penyihir yang terkenal sebagai yang paling hebat di kampungnya
atau di daerah yang terbatas. Tetapi pasti tidak dapat dikatakan
begitu, kalau sudah meliputi sebuah kawasan luas. Kabupaten,
Propinsi apalagi sebuah pulau besar atau negara.
Kapten Kahar mengetuk pintu pelan-pelan, karena dia punya
kekhawatiran seperti yang dirasakan Datuk. Tidak ada sahutan
Kapten Kahar mengetuk lagi pelan-pelan yang disambut oleh suara
lemah dari dalam. Setelah menyebutkan nama, Erwin memintanya
supaya masuk. Lampu yang terpasang terang, membuat Kahar
segera melihat Erwin sedang terbujur di lantai. Datuk ikut masuk.
"Mengapa?" tanya Kahar.
"Aku dibantingnya," kata Erwin meringis. "Hebat guru Pak
Maribun itu. Tetapi tidak apa. Malah baik bagiku." Erwin tersenyum,
mengaku kalah tetapi tidak ada rasa takut pada wajahnya.

"Siapa yang membanting?" tanya Datuk. Erwin menjawab,


lawannya.
"Apa yang dapat kulakukan?" tanya Datuk yang
sesuatu bagi sahabatnya.

ingin berbuat

"Tenang-tenang dan kita lihat perkembangan. Ada Pak Mayor ya


Pak Kapten?" tanya Erwin. Perwira itu menyampaikan keinginan
sang Mayor Polisi, tetapi juga mengatakan bahwa bagaimana
mungkin, karena Erwin pun kelihatannya agak sakit. Tetapi Kahar
juga yang kemudian mengatakan, bahwa ia akan mengajak Pak
Mayor ke kamar Erwin, kalau disetujui. Erwin mengatakan, bahwa
itulah yang terbaik. Kapten Kahar dan Datuk tidak mengerti
mengapa Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik.
Pak Mayor senang mendengar Erwin sakit. Suatu kemenangan,
pikirnya. Memang tepat, la juga senang, karena akan bisa melihat
keadaan lingkungan Erwin. Apakah di sana ada pemandangan dan
keadaan yang lain, yang aneh, yang menyeramkan.
Kamar Erwin biasa saja. la sengaja tidak naik ke ranjang,
walaupun ia sudah mampu. Rasa sakitnya sudah hilang, sebab
Raden Sulaiman tidak meneruskan tembakannya setelah Ki Ampuh
berada di sampingnya.
"O, Pak Mayor. Terima kasih atas kedatangan Bapak!" kata Erwin
ramah, tetapi tidak menyembunyikan sisa sakit yang masih
dirasakannya.
"Sakit apa?" tanya Pak Mayor, la ingin dengar jawaban dukun
yang banyak tahu tentang harimau itu.
"Kena banting!" jawab Erwin. Senang tetapi juga perasaan aneh
menyergap sang Mayor.
"Banting bagaimana, siapa yang banting. Ada penjahat masuk?"
"Tidak Pak Mayor. Dibanting orang pandai itu. Guru Pak Maribun,
yang mungkin punya sangkaan atas diri saya." Mendengar jawaban
polos tetapi juga memperlihatkan bahwa Erwin mengetahui banyak
tentang apa yang tidak diduga Mayor Buang, Perwira yang sedang

mengatur pengepungan di seputar rumah Erwin, terdiam. Dia


terperanjat dan merasa mukanya pucat, ketika Erwin bertanya,
apakah Mayor Buang sedang melakukan pengepungan atas rumah
Kapten Kahar untuk menangkap si harimau, la sengaja
menyebutkan "rumah Kapten Kahar" untuk menimbulkan reaksi
yang lebih baik atas diri orang itu.
"Saudara Erwin mau menolong?" tanya Mayor Polisi Buang.
"Menolong bagaimana, badan saya masih sakit-sakit oleh
bantingan Raden Sulaiman." Kapten Kahar sesekali mengerling ke
arah Buang untuk melihat bagaimana sikapnya. Sesekali mata
mereka bertemu, sehingga Mayor Polisi Buang merasa kurang enak.
Tetapi ia coba menyembunyikan dengan pernyataan ingin kenal
lebih dekat dan kalau boleh belajar dari Erwin. Dikatakannya, bahwa
ilmu itu pada waktu-waktu tertentu mungkin perlu bagi seorang
Perwira Polisi. Sekurang-kurangnya tidak ada ruginya, kata Mayor
Polisi Buang.
Dengan ngomong-ngomong itu. Mayor Polisi Buang dan Kapten
Kahar jadi lumayan lama di kamar Erwin. Pikiran sang Mayor tidak
seluruhnya tertumpah pada masalah Erwin yang sudah dipukul
hingga terkapar oleh Raden Sulaiman, la ingin tahu apakah harimau
piaraan Erwin masih juga mampu mendatangi atau bertarung
dengan Raden Sulaiman setelah majikannya tidak berdaya. Kalau
Erwin yang jadi harimau, maka sudah pasti tidak bisa keluar. Dia
ada di depan Buang.
Oleh perkiraan inilah, maka Mayor Polisi Buang terkejut tidak
kepalang tanggung, ketika ia mendengar beberapa letusan yang
keluar dari senapan anak buahnya. Jika begitu harimau itu toh ada.
Matikah dia?
"Apa itu?" tanya Pak Mayor yang agak bingung.
"Anak buah Bapak barangkali. Bukankah mereka diperintahkan
mengintai dan menangkap sang harimau?" kata Erwin lemah.
Sesakit itu dia, masih juga mampu menyindir seorang Perwira
Menengah Polisi.

Mulai bertanya Mayor Polisi itu kepada dirinya, apakah mungkin


Erwin sama sekali tidak terlibat. Dan bahwa dia sebenarnya tidak
punya pertahanan hebat, sehingga dapat dibanting dari jauh oleh
Raden Sulaiman. Lalu yang menghitam dan kemudian
memerahdarahkan air dalam mangkuk Raden Sulaiman siapa?
Mayor Polisi itu bangkit, karena tahu bahwa anak buahnya tentu
akan melapor, la sangat ingin tahu, tewaskah harimau itu?
0odwo0
TIGAPULUH DUA
SEORANG Pembantu Letnan yang mengepalai regu itu sudah
berada di luar pintu rumah Kapten Kahar. Melihat Komandannya
datang, ia yang bernama Mat Amin memberi hormat, siap melapor.
Tetapi baru saja ia memulai. Pak Mayor sudah lebih dulu bertanya,
apakah harimau itu tertangkap mati hanya luka-luka ataukah
sempat melarikan diri.
Dia juga berkata, "Kalau ia lari, katakan saja lebih dulu, jangan
belakangan baru dikatakan, bahwa harimau itu melarikan diri."
"Bagaimana!" kata Mayor Polisi itu setengah bertanya setengah
menghardik.
"Tidak ada harimau yang lari. Pak!" kata Mat Amin.
"Bagus. Jadi tertangkap. Hidup atau mati!"
"Rupanya Pembantu Letnan itu jadi gugup, terdengar dari
kalimatnya yang terbata-bata, "Tidak ada harimau. Pak!"
Tampak jelas muka Pak Mayor memerah dan hampir gemetar dia
berkata, "Tidak ada harimau?
Jadi apa yang kalian tembak? Hanya maling?"
"Bukan Pak. Babi!" kata Mat Amin.
Pak Mayor tak percaya pada pendengarannya dan dengan suara

berang ia berkata, "Babi! Babi?"


"Iya, Pak," sahut Mat Amin menegaskan.
"Kapten dengar itu," katanya kepada Kapten Kahar seperti orang
cari teman untuk memihak pendapat dan pendiriannya. "Mereka
menembak babi." Dan kepada Mat Amin dia berkata, "Mata kalian
sudah buta. Mana ada babi di dalam kota ini. Babi mak mu!" Dia
naik pitam merasa seperti anak buahnya tidak becus. Ataukah
mereka sepakat mempermainkan dia. Mungkin! Hari hujan lebat, dia
senang-senang makan di dalam rumah, anak buah berhujan-hujan
menantikan harimau yang mendebarkan jantung, tetapi tidak
pernah muncul.
Setelah agak hening dan Mayor itu belum juga menyuruh Mat
Amin berkata "Maaf, Pak. Yang kami lihat dan tembak itu benarbenar babi. Kelihatan badannya besar dan taringnya panjang. Babi
hutan, jelas babi hutan. Barangkali juga babi berantai!"
"Kapten percaya itu?" tanyanya kepada sang Kapten.
"Kalau kemarin ada harimau membunuh Pak Maribun, menurut
hemat saya babi juga mungkin masuk kemari. Jangan-jangan
harimau kemarin mengejar babi besar itu, tetapi karena tak bersua
maka dia mengambil Pak Maribun sebagai gantinya!" kata-kata
Kahar tak enak didengar. Jangan-jangan dia ini pun mengejek
dirinya.
Mayor Polisi itu coba menurunkan kadar panasnya. Katanya,
"Babi itu pasti mati, kalau betul kalian menembak babi?"
"Menembak babi itu jelas. Pak, tetapi ia lari!"
"Babi saja pun tidak dapat kalian robohkan!" Mat Amin diam.
"Barangkali babi siluman," kata Mat Amin.
Dalam pada itu Erwin sudah datang menyertai mereka, ingin tahu
apa atau siapa yang ditembak dan bagaimana nasib korban. Setelah
diketahui bahwa yang ditembak para polisi itu babi hutan besar
tetapi tidak sampai tewas, jelaslah bahwa yang pegang peran utama

itu tak lain daripada Ki Ampuh yang menggalangkan nyawanya


untuk keselamatan Erwin.
"Barangkah orang pandai itu melepas babi hutannya. Untuk
memberi tahu kepada yang berkepentingan bahwa dia bukan hanya
memiliki harimau. Barangkali dia juga mempunyai gajah suruhan
yang dapat diperintahnya untuk merobohkan beberapa rumah untuk
menimbulkan kepanikan lebih besar di kota ini." Cerita tentang
gajah itu jadi menarik hati Mayor Polisi Buang, karena beberapa hari
yang lalu memang kelihatan serombongan gajah termasuk tiga ekor
anak, menyeberang jalan. Daerah luar Lubuklinggau terus ke Jambi
dan Bengkulu memang terkenal sebagai tempat pemukiman gajah
dan harimau. Sebelum ada penebangan kayu secara serampangan,
mereka tentram di sana. Gangguan terhadap penduduk jarang
terdengar. Sekarang sudah lain. Dibanyak tempat dalam kawasan
Sumatera Selatan sampai ke Lampung gajah dan harimau banyak
yang marah karena tempat mereka telah digusur oleh manusiamanusia yang mereka ketahui punya otak, tetapi sekarang tidak lagi
selalu baik mempergunakannya karena sudah terlalu dirajai oleh
nafsu loba dan tamak yang pada beberapa banyak orang sudah
tidak lagi mengenal batas. Walaupun mereka sangat tahu, bahwa
yang mereka bawa pada waktu mati hanya lima meter kain putih
dan beberapa keping papan untuk dibenamkan ke dalam lubang
yang bagi si kaya dan miskin sama saja, sekitar satu kali dua meter.
Perbedaan hanya terletak pada cara penguburan, ramainya yang
mengantarkan untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Tidak dapat mengawani atau membantu si mati yang akan
menerima siksa kubur. Orang ber-Tuhan tahu ini, tetapi kita pun
sudah tidak berani menaksir berapa persen lagi orang yang benarbenar ber-Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktek, dalam amalan!
Kalau sekedar ngomong sih gampang, semua juga ngaku berkeTuhan-an Yang Maha Esa.
Setelah memerintahkan para pengepung untuk kembali ke
Markas, Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah ia
tidak ingin berkenalan dengan orang yang kata Erwin tadi telah
membantingnya. Kapten itu sangat menerima baik ajakan itu,

karena dia juga ingin mendengar suara dan kata-kata orang sangat
hebat itu. Kalau seorang pandai dapat membanting musuhnya dari
jauh yang hasilnya sama saja kalau dia membanting secara yang
biasa, tentunya orang itu hebat sekali.
Hujan hanya tinggal gerimis. Kedua Perwira itu berangkat
menuju rumah Raden Sulaiman dengan menumpang jeep yang
digunakan Pak Mayor.
"Hebat sekali kawan Pak Mayor itu," kata Kapten Kahar.
"Mengapa Erwin tadi tidak diajak, supaya minta damai dengan
orang yang sudah terang punya kepandaian jauh di atas dirinya?"
"Betul juga, aku tadi tidak ingat."
Setelah dekat dengan rumah Raden Sulaiman, terdengar suara
tangis seperti meratap. Tangis khas terhadap orang kesayangan
yang mendahului, meninggal. Di depan rumah ada beberapa orang
memandangi sesuatu yang belum jelas.
Jantung Mayor Buang berdebar. Siapa yang dapat kecelakaan?
Tak mungkin Raden Sulaiman. Mungkin anaknya atau salah seorang
anggota keluarga yang lain.
Tetapi setelah turun dari jeep dan mendekati orang-orang itu
jelaslah, bahwa yang mati bukan lain daripada Raden Sulaiman.
Mayatnya belum diangkat atas nasihat beberapa orang agar
diperiksa oleh Polisi lebih dulu. Kejadian ini mirip dengan apa yang
telah menimpa diri Maribun. Bedanya hanya yang memangsa. Kalau
Maribun dibunuh harimau dengan cekikan, maka yang gurunya ini
ditewaskan dengan serudukan taring. Jelas benar kelihatan. Ada
beberapa luka yang sampai mengoyak dagingnya. Di paha, di perut,
di rusuk. Juga di dada. Rupanya mereka bergelut. Yang paling aneh
adalah tusukan taring pada lehernya. Kuku harimau yang
menyebabkan kematian Maribun. Sekarang tampaknya taring yang
membawa maut bagi Raden Sulaiman. Melihat jejak-jejak yang
kelihatan jelas di tanah yang becek itu, lawan Raden Sulaiman
adalah seekor babi hutan. Kalau bertaring sekuat dan sepanjang itu
pastilah babi hutan yang sangat besar. Semua ini sedikit pun tidak

diduga oleh Mayor Polisi Buang. Dia hanya memperhitungkan


harimau, entah harimau apa. Bisa harimau liar, bisa harimau
piaraan, bisa juga harimau manusia atau manusia harimau.
Mengapa jadi babi yang menewaskan Raden Sulaiman.
la juga malu kepada dirinya sendiri, karena ia tadi tidak percaya
kepada laporan Pembantu Letnan Polisi Mat Amin. Dia malah
menghardiknya sebagai orang yang tidak punya mata.
Karena Polisi memang sudah dipanggil, maka tak lama kemudian
mereka datang. Melihat Mayor Polisi Buang sudah ada di sana.
Begitu pula Kapten Kahar, la sendirilah yang yakin, bahwa Erwin
tidak terlepas dari kejadian ini. Tetapi dari manakah datangnya babi
itu? Apakah piaraan Erwin pula? Yang turun langsung ke lapangan
untuk menyelamatkan majikannya yang dibanting dari jauh oleh
orang pintar itu?
"Sangat ajaib. Kapten. Selama saya jadi Polisi belum pernah
mengalami yang begini. Membaca cerita begini pun saya tidak
pernah. Andaikata ada buku yang berkisah begini saya tidak akan
percaya. Sekarang saya sendiri mengalami. Rupanya segala macam
mungkin saja terjadi diatas dunia ini.
"Memang begitu. Mayor," kata Kapten Kahar. "Bukankah IA Maha
Kuasa dapat menciptakan atau melakukan apa saja dengan
kekuatan yang tiada terbatas. Sebetulnya saya sangat ingin tahu,
dari manakah atau milik siapakah babi ini. Mengapa bukan harimau
ajaib itu yang menghadapinya.
"Mungkinkah sahabat Kapten itu? Di belakang rupanya yang tidak
meyakinkan apa-apa, tersembunyi berbagai ilmu yang kita tidak
mengerti. Dalam tiga hari ini kita sudah melihat dua kejadian yang
amat mengherankan. Apakah antara kedua kejadian ini ada kaitan?"
"Saya tidak membela. Tetapi saya rasa Erwin tidak mungkin.
Bukankah kita lihat dia di rumah dan dia sendiri mengakui, bahwa
dia telah dibanting oleh Raden Sulaiman?" kata Kahar.
"Aku tidak menuduh dia, tetapi apakah tidak mungkin semua
ceritanya tentang dibanting itu hanya suatu muslihat tinggi dari

orang sangat lihay!" kata Mayor Polisi Buang.


"Yah, bisa jadi. Apa pendapat Pak Mayor tentang jejak-jejak babi
dan babi hutan besar yang dilaporkan oleh para pengepung yang
dipimpin Mat Amin?" Buang diam. Kemudian mengatakan juga, tidak
punya pendapat apa-apa tentang itu.
Setelah diperiksa di tempat kejadian, mayat .Raden Sulaiman
dikirim ke rumah sakit. Guna diperiksa secara ilmiah, benarkah dia
diseruduk babi hutan.
Pada keesokan paginya ada orang melihat kuburuan yang
dibongkar. Kebetulan kuburan Maribun yang baru beberapa malam
di dalam perut bumi dari mana dia semula berasal. Masyarakat pun
gemparlah. Termasuk Erwin dan Ki Ampuh, karena mereka memang
benar-benar tidak tersangkut di dalam perbuatan ini. Untunglah
bekas kaki di sekitar tempat itu semua telapak kaki manusia. Ada
dua orang penggali. Mayat dikeluarkan. Ditinggalkan berbaring di
sana dalam keadaan bugil. Kain pembungkus diambil. Rambutnya
juga diambil, sehingga mayat itu gundul. Hampir semua mulut
mengatakan, bahwa yang bongkar pasti orang-orang yang sedang
menuntut ilmu dan kata putus harus dengan syarat rambut dan kain
kafan mayat orang berilmu yang masih baru.
Mungkin pembongkaran itu terjadi pada waktu Raden Sulaiman
bertarung dengan Ki Ampuh, yang ternyata tak dapat
ditewaskannya. Sesuai dengan janji, maka Raden Sulaimanlah yang
binasa. Keluarga Raden Sulaiman geger dan bingung setelah
mengetahui makam Maribun dibongkar dan mayatnya digunduli.
Mereka sangat khawatir. Raden Sulaiman akan menerima nasib
yang sama, sebab yang dibongkar para penuntut ilmu hitam itu
hanyalah kuburan orang-orang berkepandaian tinggi. Mayat biasa
ada juga yang dibongkar. Hanya untuk ilmu pekasih. Tanpa
menyiksa mayat yang sudah dikubur pun orang dapat menuntut
ilmu pekasih untuk dikasihi oleh hampir semua orang. Hanya orang
yang mempunyai ilmu yang sama tak dapat ditundukkannya.
Pada pagi itu juga Ki Ampuh mendatangi Erwin di kamarnya
tanpa dilihat oleh siapa pun. Untuk itu ia tidak usah khawatir ia tidak

akan tampak oleh mereka yang ingin dihindarinya.


"Kau hebat Ki Ampuh. Tanpa kau aku tentu sudah tiada, la punya
kepintaran tinggi." Erwin lalu menceritakan apa yang dialaminya
pada malam yang lalu. Pada ujungnya ia bertanya di mana Sabrina.
Ki Ampuh menggoda. Katanya Erwin masih cinta kepada Sabrina.
Dan Erwin tidak mengelak walaupun tidak mengiyakan. Ki Ampuh
menceritakan, bahwa menurut Sabrina, Mayor Polisi Buang juga
seperti ada perhatian lain terhadap dirinya.
"Apa kata Ina?" tanya Erwin.
Jawab Ki Ampuh," Katanya Mayor itu ganteng juga. Semenjak
ditinggalkan istri ia menduda." "Untuk nanti dibunuhnya, kalau ia
bosan atau benci!" kata Erwin.
"Lebih baik kau ambil dia. Kalian berdua pasti cocok," kata Ki
Ampuh yang mengetahui cinta kasih yang pernah ada di antara dua
makhluk yang sama-sama punya harimau di dalam diri mereka.
Erwin lalu bercerita tentang Mei Lan. Dia berjanji untuk kembali
dan mengambilnya.
"Tetapi Sabrina kemari karena kau Erwin. la ingin kau selamat
dan sudah mengatakan bersedia tinggal di kampung kecil saja
meneruskan dan menamatkan hidup yang tidak seberapa panjang
ini."
Erwin tidak memberi reaksi. Meskipun pada hari-hari pembuatan
riwayat hidupnya di Lubuklinggau terjadi bencana-bencana yang
menyangkut dirinya, pikirannya selalu dimasuki Mei Lan. Kalau
semula ia hanya kasihan kepadanya, kini sudah tidak hanya itu saja
lagi. la merasa adanya alasan yang layak untuk membahagiakan
gadis itu dengan mengawininya. Memang rasa sayang itu tidak
mulus begitu saja. la masih dihantui pula oleh tanda tanya, apakah
benar ia dapat membahagiakan anak bercampur darah asing itu.
Apakah benar? Ataukah hanya kebahagiaan sementara untuk
kemudian di rusak oleh bencana yang tidak terbayangkan sekarang,
tetapi selalu menyelingi hidupnya?

Lubuklinggau membawa lebih banyak bencana daripada kotakota besar yang sudah pernah dikunjungi. Dijahili, dikepung dengan
satu tujuan. Menangkap hidup atau menembak mati dirinya. Dia
mengobat hati dengan adanya beberapa orang yang dengan izin
Tuhan dapat disembuhkannya.
la meninggalkan kota Lubuk petaka itu ke Palembang. Tidak
seperjalanan dengan Sabrina dan Ki Ampuh, tetapi setujuan dan
sesuai mufakat. Yang ditinggal antara lain dua keluarga penyihir
yang berurai air mata dengan hati dendam, mayat sahabat
seperjalanan Sutan Mangkuto dan Dinar yang menanggung cinta tak
bersambut.
la bertanya-tanya pada dirinya apa lagi yang menanti dirinya.
Apakah ia akan mati oleh kepungan?
0odwo0
TIGAPULUH TIGA
SEBAGIAN perjalanan ke Palembang ditempuh Erwin dan Datuk
dengan jalan kaki. Bukan karena tiada biaya, tetapi untuk selalu
mendekatkan diri dengan alam. Selama perjalanan mereka makan di
warung-warung kecil. Beberapa kali bertemu dengan binatang
rimba, tetapi tak ada yang mengganggu. Ada induk harimau yang
menyeberang jalan dengan dua anaknya. Yang amat mengesankan
dan menyenangkan adalah melihat persahabatan antar hewan. Dua
ekor harimau dewasa jalan seiring dengan seekor gajah besar yang
taringnya sedikitnya sudah satu meter panjangnya. Ada gambargambar di dalam buku memperlihatkan pertarungan antara gajah
dengan harimau. Mati-matian. Masing-masing punya senjata ampuh
untuk menyerang dengan tujuan menewaskan mangsanya. Tetapi
sepasang harimau dan gajah besar mungkin gajah tunggal ini
jelas sangat bersahabat dan akrab. Mereka bukan sekedar berlainan
suku. Mereka berlainan jenis, tetapi bermukim di dalam satu
wawasan.
Persamaan tempat bisa juga membuat mereka bersahabat.

Tetapi persamaan tempat juga bisa membuat hewan saling


bermusuhan. Yang kuat selalu mengintai yang lemah, kalau si lemah
merupakan makanan bagi penyambung hidup si kuat. Misalnya
antara kijang, rusa atau babi dengan harimau. Tidak akan pernah
bersahabat karena semua hewan makanan manusia itu juga
makanan harimau. Walaupun begitu jangan dikira bahwa
persahabatan antar mereka tak mungkin sama sekali. Ada anak
harimau masih bayi yang kehilangan induk, dipelihara oleh rusa atau
babi. Sampai dewasa si harimau bukan hanya tidak akan menerkam
ibu angkatnya, tetapi akan selalu melindunginya. Dalam hal yang
demikian harimau yang anak angkat rusa akan bertarung matimatian dengan harimau lain yang hendak memangsa ibu atau adikadik angkatnya. Mungkin tak masuk di akal Anda, tetapi begitulah
kehidupan yang sebenarnya di dalam rimba.
Kalau Datuk bukan berjalan bersama Erwin yang tampaknya
disegani oleh hewan-hewan buas, ia pasti akan menggigil atau
bahkan mati ketakutan. Yang paling mendebarkan hatinya ialah
ketika berpapasan dengan harimau jantan besar yang sedang keluar
dari belukar hendak menyeberang. Harimau besar tegap semacam
inilah yang dengan mudah memangsa lembu. Kalau ia menerkam
kerbau, ia masih akan mendapat perlawanan. Ada kemungkinan si
kerbau akan tewas, karena urat besarnya diputuskan sang harimau
tatkala dia menerkam dan menggigit tengkuknya. Harimau tahu
betul di mana letak tempat yang paling vital pada tiap mangsa yang
diserangnya. Dan dia selalu memutuskan urat itu sehingga darah
mengalir deras dan putuslah hubungan antara otak dengan seluruh
tubuhnya.
Harimau jantan itu berhenti, memandangi Erwin dan Datuk yang
terus berjalan. Datuk sudah dengan kaki gemetaran. Tidak ada
pandangan bersahabat. Tetapi Erwin berkata, "Aku anak Dja Lubuk,
cucu Raja Tigor!"
Mendengar itu raja rimba itu berubah. Dari matanya terpancar
sinar persahabatan. Tetapi ia tetap berdiri di sana, seolah-olah
mempersilakan kedua manusia itu lewat dulu. Ini bukan penyedap

cerita, walaupun barangkali sukar masuk akal Anda. Tetapi kalau


Anda ingat dan coba hayati, bahwa di dalam diri Erwin ada unsurunsur harimau dengan daya pikir manusia, kiranya dapat Anda
maklumi, bahwa di antara mereka ada semacam hubungan batin,
ada rasa kekeluargaan. Penampilan mereka jauh berlainan, tetapi
hal itu tidak dapat menghilangkan adanya unsur yang sama.
"Mendekatkan diri dengan alam banyak sekali faedahnya, Datuk.
Kita akan berpikir, berbuat dan berkeinginan sangat sederhana.
Sama halnya dengan harimau, gajah atau hewan lainnya di rimba
ini. Orang yang jadi manusia alam tidak akan pernah punya nafsu
berlebihan. Tetapi akalnya menuntut keadilan dan tidak menyukai
adanya perkosaan atas hak-hak orang lain," kata Erwin bertenangtenang. Datuk mendengarkan dengan perasaan bahagia dan
berjanji pada dirinya akan mempraktekkan falsafah hidup seperti itu.
"Tentu saja sebagai manusia kita harus hidup bermasyarakat dan
memberikan segala yang mungkin untuk kemajuan kehidupan
dunia. Kalau ummat manusia tidak punya nafsu buruk dan jauh dari
sifat serakah, maka ia akan menjauhkan diri dari menyakiti
sesamanya, tidak pandang suku, bahkan tidak pandang bangsa."
Indah untuk telinga. Tentu indah kalau dapat dilaksanakan.
"Tetapi yang begitu lebih baik dinamakan khayalan, sebab kalau
dikatakan cita-cita, maka ia merupakan cita-cita yang tidak akan
pernah terwujud," sambung Erwin.
Ketika ia berkata demikian, dengan amat mengejutkan Datuk, di
samping mereka telah turut serta seekor babi yang amat besar. Babi
hutan liar yang bertaring panjang, la tak melihat dari mana
datangnya hewan yang menakutkan ini.
Erwin pun heran, mengapa mendadak Ki Ampuh bergabung.
Semula berjanji akan bertemu di Palembang dan setelah Erwin
selesai dengan niatnya melamar Mei Lan, mereka akan membuat
rencana selanjutnya.
"Maafkan aku Er, aku gelisah. Ingin bersama kalian," kata Ki
Ampuh yang lalu diperkenalkan Erwin kepada Datuk.

Erwin tahu apa yang merisaukan hati Ki Ampuh. Orang yang


telah berubah jadi babi itu ingin ia memberi bantuan. Yang sudah
berkali-kali dipinta-nya tatkala di Jawa, tetapi tak dapat
dipenuhinya, karena ia tidak punya kekuatan atau ilmu untuk itu.
"Aku berhutang nyawa kepadamu Ki Ampuh," kata Erwin
mengulangi rasa terima kasihnya. Kepada Datuk diceritakannya,
bahwa kalau tidak oleh bantuan Ki Ampuh, ia tentu sudah binasa
dimakan Raden Sulaiman.
Ki Ampuh juga menceritakan karena kemarin belum
diceritakannya bahwa Raden Sulaiman sebenarnya punya
kekuatan luar biasa oleh ilmunya yang sangat tinggi. Sebenarnya
Raden itu sudah menjadi satu dengan ilmunya. Hanyalah suatu
kebetulan saja, ia tidak mempunyai kekebalan terhadap taring babi.
Begitulah sifat manusia yang bersandar kepada ilmu hitam sematamata. Bagaimanapun hebatnya, pasti punya satu atau dua
kelemahan. Raden Sulaiman kebal hampir sempurna.
Jelaslah bahwa Raden Sulaiman dapat membinasakan Erwin
andaikata manusia harimau itu menghadapinya sebagaimana ia
mendatangi Maribun beberapa waktu yang lalu. Penyihir itu punya
ilmu yang jarang dimiliki orang pintar lain, melihat dalam keadaan
tidur. Ada kepandaiannya yang tidak dimiliki Erwin. Dia sendiri pun
tidak seperti Erwin, sebab dia manusia biasa, sementara Erwin
bukan.
Untuk mempersingkat jalan dan menyatukan diri dengan rimba,
Erwin mengajak Ki Ampuh menempuh rimba raya. Datuk turut
karena tiada pilihan lain. Dihiburnya diri, bahwa melalui rimba
mungkin ia akan melihat lebih banyak dan ia akan jadi manusia
yang lebih tahan uji, kalau mereka keluar dengan selamat.
Bagaimanapun hebatnya Erwin dan Ki Ampuh, sudah jelas tidak
dapat dipastikan, bahwa tidak akan mungkin ada bahaya
menghadang.
Sehari perjalanan tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Bertemu
dengan beruang, orang utan, harimau dan gajah bukan lagi hal
yang aneh, karena sebelum masuk hutan saja pun suaan seiring

dengan hewan-hewan rimba itu. Tetapi pada hari kedua menjelang


senja, Erwin dan Datuk menyaksikan apa yang belum pernah
mereka saksikan.
Semula mereka melihat seekor harimau besar mundar mandir di
suatu tempat yang terbuka, semacam lapangan kecil. Bukan buatan
manusia. Mungkin buatan alam ataukah buatan binatang rimba
untuk keperluan mereka? Tidak biasanya harimau mundar mandir
Apalagi di suatu tempat yang seperti disediakan. Binatang buas
hanya mun-dar-mandir dalam kerangkeng, kesal karena tahu bahwa
dirinya sudah terperangkap, sudah dikuasai manusia. Anda dapat
melihatnya di kebun binatang atau di kandang-kandang harimau,
singa, monyet-monyet ganas dan semacamnya yang dibawa oleh
sirkus.
Erwin menahan Datuk dan Ki Ampuh untuk melihat keanehan itu
dari kejauhan saja dulu. Rupanya si harimau besar tidak menyadari
kehadiran mereka. Ataukah dia mengetahui tetapi tidak perduli,
karena tidak merasa punya urusan dengan mereka.
Mundar-mandir itu diselingi dengan duduk, kemudian bangkit lagi
dan mundar-mandir lagi. Seperti ada yang dipikirkan atau
dinantikan. Yang dipikir tak terpecahkan atau yang ditunggu tak
juga tiba. Menunggu pacarnya? Mungkin, sangat mungkin. Soal
berpacaran bukan monopoli manusia. Ada hewan yang berpacaran
dengan amat mengasyikan. Pandai bercumbu dalam menyatakan
kasih sayang yang tidak akan pernah berakhir selama nyawa masih
ada di dalam tubuh.
Pada suatu saat si raja rimba seperti memasang kuping.
Mendengar sesuatu. Yang dinantikannya mungkin. Dari pinggir
lapangan kecil itu keluar kepala harimau. Berdiri seperti mengawasi
atau melihat medan. Waspada. Yang ini juga harimau jantan,
seperti yang sudah lebih dulu menanti di lapangan itu. Kini kedua
raja itu saling pandang. Yang baru datang melangkah, pelan, seperti
diatur. Setelah seluruh tubuhnya keluar dari belukar, ia berhenti,
kemudian duduk.
Erwin dan Datuk, begitu pula Ki Ampuh semakin tegang. Apa

yang akan terjadi? Apa maksud kedua harimau itu? Segala sesuatu
berlangsung seperti mengikuti ketentuan. Barangkali memang ada
peraturan dan ketentuan di antara mereka.
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bergerak. Pun tidak ada
yang mengaum. Apakah mereka masih menantikan kedatangan
yang lain? Apakah ini akan merupakan pertemuan keluarga ataukah
pertemuan kelompok yang kalau diibaratkan manusia berlainan
suku? Erwin semakin tertarik. Setelah menanti agak lama, belukar
terkuak lagi dan seekor harimau lain langsung masuk lapangan.
Betina. Tidak ragu-ragu seperti harimau jantan yang kedua tadi.
Dari urutan kejadian, sebodoh-bodoh orang pun akan menarik
kesimpulan, bahwa kedatangan ketiga harimau ini di sana bukan
secara kebetulan. Cara dan gaya mereka itu tentu menurut
peraturan yang mereka mufakatkan dan setujui bersama.
Harimau betina kembali ke pinggir lapangan, duduk. Dua ekor
yang jantan berdiri pada jarak kira-kira sepuluh meter. Mereka
saling pandang, kemudian terjadilah peristiwa itu. Keduanya
bergerak saling menerkam, kemudian seperti menjadi satu, gigitmenggigit dan cakar mencakar. Tambah lama pertarungan itu kian
keras. Terdengar dengus dan geram mereka, sungguh sangat
mencekam. Tidak perlu disangsikan, bahwa mereka sedang duel,
sama halnya dengan dua manusia berkelahi mati-matian.
Pertarungan itu mengerikan sekali.
Apa fungsi harimau betina itu di sana? Tidak mudah
memastikannya, tetapi jikalau hanya diduga maka orang akan
menduga, bahwa mereka bertarung memperebutkan si harimau
betina. Kedua-duanya ingin memiliki. Tidak bisa kompromi untuk
jadi kawan bersama. Di antara hewan pun berlaku cinta yang tidak
dapat dibagi-bagi, kalau cinta itu mencapai taraf "dia hanya
untukku". Nyawa tantangannya kalau ada yang berani coba-coba.
Barangkali begitulah yang telah terjadi di antara ketiga harimau
itu. Boleh jadi yang betina tidak dapat menentukan pilihan. Dia
sayang kepada kedua-duanya, sementara dia tidak boleh untuk
kedua-duanya. Maka diambillah jalan yang adil. Bertempur. Sang

putri untuk yang menang. Seperti yang banyak kita baca di dalam
kisah-kisah kerajaan masa lalu. Untuk mendapatkan seorang wanita,
seringkali anak bangsawan yang penguasa, para peminat harus
membuktikan dirinya yang terkuat, tersakti.
Kedua raja telah sama-sama luka dan darah yang mengalir
membuat mereka tambah beringas. Kalau salah satu merasa kalah
dan mau melarikan diri, mungkin ia tidak akan dikejar oleh yang
menang. Ataukah akan terus diuber dan ditewaskan, supaya ia
jangan merupakan ancaman bagi kehidupannya pada masa-masa
seterusnya. Suatu jalan pikiran yang benar. Yang kalah pada hari itu
mungkin akan menyiapkan diri untuk revanch. Kalau sudah
ditewaskan, selesai.
Tetapi pergumulan yang sangat menegangkan itu perlahan-lahan
mengendur juga, sebab kedua-duanya kehilangan dan kehabisan
tenaga.
Si macan betina menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Mungkin
baginya tidak ada pilihan lain daripada menanti siapa yang menang,
kalau memang dirinya jadi rebutan. Sebab, pertarungan itu bisa
juga oleh sebab lain. Soal wilayah kekuasaan atau barangkali antar
suku.
Pada suatu saat pertarungan maut itu berhenti. Walaupun tidak
ada yang menghentikan, tidak seperti dua petinju atau pegulat di
atas ring. Kedua harimau itu berhenti karena sudah tidak punya
tenaga lagi. Hanya napas mereka yang kelihatan turun naik, yang
kemudian juga terhenti. Tiada lagi napas, karena nyawa telah keluar
dari tubuh mereka yang tadinya tegap kuat. Tiada yang menang.
Kedua-duanya kalah. Tewas.
Harimau betina itu bergerak perlahan-lahan, menciumi kedua
raja yang telah mati. Kemudian ia berlalu dengan langkah gontai.
Walaupun begitu tidak dapat dipastikan apakah kedua raja rimba itu
tewas memperebutkan dia atau ada sebab-sebab lain yang harus
diselesaikan dengan duel gaya manusia itu.
Erwin, Datuk dan Ki Ampuh meneruskan perjalanan.

Beberapa hari kemudian baru tiba di kota Palembang. Ki Ampuh


jalan bersama tanpa terlihat oleh siapa pun karena ia memakai ilmu
perabun, yang juga dimiliki oleh sang manusia harimau.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rapi, Erwin
bersama Datuk mengunjungi rumah Mei Lan untuk menemui gadis
itu, menyatakan penyesalan dan melangsungkan lamaran resmi.
Tetapi rupanya ia terlambat. Mei Lan telah tiada. Meninggalkan
dunia bersama cintanya.
0odwo0
TIGAPULUH EMPAT
ERWIN kesal dan menyesal. Mengapa dia terlambat. Tidak sejak
kembali dari Mandailing dan Medan melangsungkannya. Waktu itu
Mei Lan yang cantik dan baik masih segar bugar.
Yang pertama-tama dikerjakan setelah mengetahui kematian Mei
Lan adalah ziarah ke makamnya. Di sana manusia harimau itu
menangis. Menyalahkan dirinya yang selalu menjauh dari wanita
yang cinta kepadanya. Mei Lan merupakan salah seorang di
antaranya. Betapa kejam dia, pikirnya pada saat itu. la menangis
setelah terlambat. Air mata itu tidak akan mengembalikan Mei Lan,
tetapi agak meringankan rasa dosa yang menimpa seluruh isi
dadanya. Dia bukan makhluk cengeng tetapi pada saat itu ia tidak
kuasa menahan dan tidak berusaha menahan. Biarlah Mei Lan
melihat bahwa ia yang selalu dipanggil dengan "Bang Erwin" merasa
sangat sedih dan menyesal.
"Maafkan Abang, Mei," katanya sambil memegang-megang
makam gadis itu. Belum lama. Baru lima hari yang lalu.
Pada saat itu Sabrina telah berdiri di sampingnya. Rupanya ia
mengikuti kegiatan si manusia harimau. Dipegangnya bahu Erwin.
"Relakanlah Er. la sudah mendapat ketenangan. Kalau kau benarbenar sayang kepadanya tentu kau mengharapkan yang baik
baginya. Yang baik itu sudah didapatnya. Yang belum tentu

diperolehnya, kalau ia masih hidup di dunia yang penuh kejahatan


dan kezaliman ini."
"Aku salah satu yang zalim itu," kata Erwin dan ia terisak-isak.
"Tidak, kau pun tahu bahwa kau baik hati. Kau takut tidak dapat
memberi kebahagiaan kepadanya. Itulah sebabnya kau selalu
menjauh dari mereka yang sebenarnya kau sayangi!" ujar Sabrina.
Kata-kata itu agak meredakan Erwin.
"Aku telah menyelidiki Er! Mei Lan bukan mati wajar."
Sabrina mengatakan yang benar. Kalau dulu ia pernah sakit hati
karena buatan orang kaya yang ditampik cintanya, disembuhkan
oleh Erwin, maka sekarang ia diterjang kejahilan semacam itu lagi.
Juga oleh orang kaya yang hendak memetik, tetapi gagal. Sampaisampai ia berkata kepada ayah gadis itu, "Apa maumu dan anakmu.
Aku dapat memberi semua. Semua, tanpa kecuali," katanya
mengulangi.
Karena pernah mengalami buatan orang, orang tua itu jadi takut,
la berjanji akan membujuk anaknya. Dengan begitu setidak-tidaknya
dia dapat mengulur waktu sampai Erwin datang. Kalau orang yang
diingini Mei Lan sudah kembali, maka ia tidak akan khawatir lagi.
Sudah ada tempat mengadu dan berlindung. Tetapi apa yang
dikhawatirkannya terjadi juga. Mei Lan hanya sakit tiga hari, tewas.
Mengeluarkan jarum dan beling dalam darah segar yang
dimuntahkannya.
"Aku akan membalas untukmu Mei," kata Erwin. "Walaupun aku
harus berkubur di sini," tambahnya.
Dengan bantuan Sabrina tidak sulit mencari tahu siapakah yang
telah membinasakan gadis tak bersalah itu. Ternyata seorang dukun
wanita. Orang dari pesisir barat. Belum tua benar. Baru tigapuluhan.
Ibu dan neneknya pun dukun. Yang ibu masih ada. Masih praktek di
kota itu juga.
Namanya bagus. Aini. Maknanya mata.
"Beri aku kesempatan," pinta Sabrina.

Ki Ampuh yang hadir, menganjurkan kepada Erwin untuk


mengabulkan permintaan wanita yang keturunan harimau jadijadian dari Sungai Penuh itu.
"Aku tak mau kau sampai mempertaruhkan nyawa, Sab," kata
Erwin. la akan menyesali dirinya lagi, kalau Sabrina menyusul Mei
Lan dengan cara yang lain. Kalau Mei Lan jadi mangsa buatan ilmu
jahat, maka Sabrina bisa jadi korban pertarungan dengan wanita
iblis yang amat pintar itu.
Dilihat sepintas, tidaklah masuk akal, bahwa Aini punya kekuatan
yang luar biasa melalui ilmu pengobatan dan ilmu hitam, la yang
sudah janda dengan seorang anak perempuan umur lima tahun
diketahui punya hubungan erat sekali dengan seorang pejabat yang
punya wewenang lumayan besar. Seorang duda dengan tiga anak.
Yang terkenal sebagai pejabat baik dan disegani oleh masyarakat.
la orang yang masih benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa,
bukan ber-Tuhan kepada uang yang dianggap Maha Kuasa. Kata
orang, sudah cukup banyak orang kaya yang ber-Tuhankan harta
yang dipupuknya terus dengan berbagai cara tanpa memikirkan
segala macam akibat dari perbuatannya. Terhadap lingkungan,
terhadap bangsa dan negara. Terparah, kalau ia pejabat yang rakus,
merusak wibawa Pemerintah yang sebenarnya sangat mutlak
dipelihara guna ketertiban dan kelancaran yang serba baik bagi
bangsa pada umumnya. Bukan bangsa dalam arti kelompok yang
amat kerdil.
Aini yang rupawan juga main gila dengan beberapa pemuda.
Sama pegangannya dengan Mbah Penasaran, wanita tak pernah tua
di Banten itu, yang harus selalu bersenggama dengan orang muda,
guna memperpanjang keadaan lahiriahnya. Selalu muda dan cantik.
Yang amat diperlukan Aini hanya anak-anak muda. Tidak penting
apakah mereka sudah dapat memberi kesenangan dalam perbuatan
itu.
Setelah mendapat kata sepakat, Sabrina yang lebih muda dari
Aini berkunjung ke rumah dukun itu. la menceritakan tentang
seorang saudaranya yang sakit keras di Padang dan sudah tidak

terobati oleh dukun dan dokter mana pun. Setelah mendengar nama
besar Aini maka ia ke Palembang. Perempuan muda yang ternyata
sangat ramah itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan
wajahnya menunjukkan rasa simpati.
Aini menawarkan minuman dan makanan kecil kepada Sabrina
dan keduanya kelihatan menjadi akrab. Tetapi setelah Sabrina
selesai dengan cerita dan menjawab semua pertanyaan Aini, wanita
itu dengan lembut berkata, "Mestinya kita dapat jadi sahabat. Aku
senang dengan Anda."
"Itulah harapan saya," kata Sabrina.
Dengan senyum Aini berkata, "Sayang maksud kedatangan Anda
tidak sebersih itu. Tidak ada keluarga Anda yang sakit keras. Anda
sedang mempelajari diriku untuk kepentingan sahabat Anda yang
pernah Anda cintai. Tak tahu apakah terhadap dirinya harus
dikatakan seorang atau seekor manusia harimau. Bukan hanya dia
sendiri. Kalian bertiga, kalau yang seorang dari Minang itu tidak
masuk hitungan. Nasihati si manusia harimau supaya meninggalkan
kota ini. Yang dicarinya sudah tidak ada dan tidak akan ada. Aku
tidak menyukai permusuhan, kecuali kalau eksistensiku diancam,"
katanya. Ternyata ia seorang cukup terpelajar. Pandai
mempergunakan perkataan eksistensi. Kenyataan bahwa dia itu
ada.
Sabrina terdiam. Dia bukan tidak memperhitungkan kepandaian
semacam itu. Tetapi mengapa tidak sejak semula ia
memperlihatkan, bahwa ia tahu apa maksud kedatangan Sabrina. la
begitu ramah. Tidak kelihatan dibuat-buat. Aktingnya sempurna.
Hanya pemain watak dapat melakukan sebaik itu.
Sabrina tidak bereaksi. Dia malu. Bagi sementara orang, malu
lebih dari segala-galanya. Orang ekstrim akan berkata, lebih baik
mati daripada malu.
"Saya tahu Anda malu, Sabrina. Tetapi dengan tulus kuminta
supaya Anda buang malu itu. Aku bisa mengerti, kesetiaan
seseorang terhadap kawannya. Aku pun akan berbuat sama untuk

orang yang kucinta. Aku mencintai banyak orang Sabrina, yang satu
cinta benar, yang lainnya suatu keharusan guna memelihara diri.
Anda mengerti? Aku minta bantuanmu, mengatakan kepadanya
supaya membuang jauh dendamnya itu. Waktu itu aku hanya
menjalankan tugas sebagai dukun. Tidak menyelidiki siapa yang
akan dipasang. Anda masih suka mengisap darah bayi Sabrina?"
tanya Aini dengan suara bersahabat. Tiada nada menyindir atau
mengejek.
"Anda tahu itu?"
"Itu makanya kutanyakan. Itu bukan keinginan hatimu Sabrina.
Jadi tak perlu merasa malu atau rendah diri. Itu dorongan nafsu
yang menyimpang. Mungkin juga dorongan iblis yang kadangkala
masuk ke dalam tubuh manusia. Kekuatan iblis itu hebat. Bilamana
dia telah mendorong, seringkah manusia terjerumus. Memukul,
mencuri, menipu, membunuh. Anda dengar? Membunuh. Semua
manusia normal tak kan mau membunuh. Sebab berat risikonya.
Yang membunuh itu bukan manusia Sabrina. Itu iblis, syaitan.
Tangan manusia yang digunakannya untuk melaksanakan. Dan si
manusia yang bersalah itulah yang dihukum. Bukan si iblis. Dia
sudah keluar lagi setelah maksudnya tercapai. Jahat dan licik,
bukan?" kata Aini memberi kuliah.
Sabrina tak dapat lain daripada kagum atas kepintaran dan
kecerdasan wanita itu. Dan dia yang selalu dapat menghadapi
segala macam lawan, merasa ditundukkan. Dia ingin mengatakan,
bahwa perempuan itulah yang selalu dirasuk iblis, tetapi mulutnya
tak kuasa bicara. Bagaikan dikunci.
"Pulanglah, katakan kepada si manusia harimau. Yang sudah
terjadi, biarlah berlalu. Apa yang kukatakan itu semua benar, sama
benarnya dengan apa yang Anda pikirkan sekarang. Bahwa diriku
selalu dikuasai iblis. Aku tidak membantahnya."
Sabrina tidak kuasa membantah. Perempuan itu hanya
mengatakan yang benar. Kemudian ia merasa haus. Bukan haus
biasa, la ingin darah. Sudah lama dia tidak mendapat.

Bila kedatangan tuntutan nafsu semacam itu,, wajah Sabrina


selalu berubah, tetapi tidak terlihat, kalau tidak benar-benar
diperhatikan. Lain halnya dengan Aini, ia tidak memperhatikan,
tetapi langsung tahu, bahwa Sabrina sedang mengalami proses
haus yang tidak normal. Dan ia mengatakan hal itu. Berterung
terang.
"Anda sedang kehausan. Di rumah ini ada seorang bayi, anak
adikku. Jadi kemenakanku. Anda tentu tidak mengharapkan
darahnya dan juga tidak akan sampai hati mencoba-coba, karena
kita bersahabat. Bukankah begitu?" kata Aini.
Sabrina bertambah malu, walaupun telah dikatakan oleh Aini,
bahwa ia tidak perlu merasa malu atau rendah diri. la tetap tidak
berkata apa-apa, tetapi dia terkejut ketika Aini menyatakan akan
menolongnya dari tuntutan yang pasti akan kian memuncak itu.
"Akan kutolong buat sekali ini," kata Aini. la permisi ke dalam
sebentar dan tak lama antaranya keluar dengan membawa
pertolongannya. Dua butir lada putih, sebutir lada hitam dan jeruk
nipis se-sayat.
"Telanlah lada ini," kata Aini memberikan lada yang tiga butir.
Tanpa ragu-ragu, Sabrina menurut.
Lalu Aini memberikan jeruk nipis yang dimantrai nya sejenak.
"Untuk diisap-isap ' ujarnya.
Sabrina heran. Serta merta rasa harus darah itu lenyap. Haus
biasa saja pun tidak lagi.
"Anda hebat sekali. Terima kasih," ucap Sabrina. la mohon diri,
benar-benar merasa lega karena terbebas dari tuntutan yang pasti
akan meminta korban. Belum pernah Sabrina tidak mendapatkan
darah, manakala nafsu jahat itu telah datang menerjang nerjang
dirinya.
"Aku senang dapat bertemu dengan Anda. Baru sekali ini aku
berkenalan sampai bersahabat dengan penyimpang nafsu secantik
Anda. Selamat jalan. Pesankan kepadanya, supaya meninggalkan

Palembang. Itulah yang terbaik bagi kita semua!"


Sabrina tidak berjanji apa-apa. la telah menemui kekalahan
terbesar selama hidupnya. Tak menyangka ada wanita muda dan
cantik dengan ilmu yang begitu luar biasa.
0odwo0
Mendengar kisah Sabrina, si manusia harimau yang tidak turut
menyaksikan pun sangat heran, tetapi kenyataan itu tidak
membuatnya mengurungkan maksud untuk membalaskan dendam
atas ke-matian Mei Lan.
Karena sudah melihat sendiri kehebatan wanita yang dukun itu,
dan tidak ingin terjadi cidera atas diri Erwin, maka Sabrina
mengusulkan untuk menyambut sikap Aini yang bersahabat itu.
Tetapi Erwin tidak terbujuk. Dia ingat janjinya di makam Mei Lan,
bahwa ia akan membalas, wa laupun karena itu ia harus mati di
Palembang. Dan Ki Ampuh menyokong pendirian Erwin. Harus
dibalas. Karena Erwin sudah berjanji kepada Mei Lan yang tentu
mendengar, karena yang mati hanyalah jasadnya.
Peristiwa yang sangat menggemparkan itu tidak akan terjadi
jikalau Erwin menuruti nasihat Sabrina sesuai dengan permintaan
Aini. la memutuskan untuk mendatangi Aini dan mencabut nyawa
dukun besar yang petualang seks itu di rumahnya sendiri. Benar di
rumah sendiri, sebagaimana ia telah mendatangi Maribun di
rumahnya dan kemudian menewaskannya, la akan melakukan yang
serupa, karena orang sejahil Aini, walau bagaimanapun cantiknya,
tidak punya hak untuk dibiarkan hidup lebih lama. Kelanjutan
hidupnya hanya akan menambah jumlah manusia yang akan jadi
mangsanya.
Erwin memperkirakan juga, bahwa mungkin Aini mengetahui
segala maksudnya sebagaimana ia tahu apa maksudnya kedatangan
Sabrina sebenarnya. Pengetahuan inilah yang lebih menguatkan
Erwin dengan dorongan Ki Ampuh untuk adu kesaktian, ketinggian
ilmu dan wibawa.

Erwin bukan hanya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi,


tetapi yakin bahwa wanita itu akan kaget oleh kedatangannya. Yang
disangkanya akan meninggalkan Palembang guna mencegah
bencana seperti yang dipesankannya melalui Sabrina.
Erwin dan Ki Ampuh bergerak pada petang hari. Datuk diminta
untuk tidak turut, tetapi ia tidak dapat ditahan. Dia juga rela mati di
Palembang, katanya.
Dan benar, Aini melihat kedatangan mereka, la minta kepada
calon suaminya, orang jujur yang bernama Cek Kassim, agar
mengatur penduduk sekitar untuk mengepung dan menangkap atau
membinasakan para penjahat itu.
0odwo0
TIGAPULUH LIMA
KETIKA bergerak dari tempat mereka memondok, Erwin sudah
merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang akan menimpa. Sekali
lagi Sabrina menasihati supaya membatalkan maksud itu. "Aku tidak
akan pernah tentram kalau tidak membalas, Sab. Gangguan itu akan
sangat menyiksa. Paling buruk pun, ya mati!" kata Erwin yang
mempunyai tekad bulat. Sabrina setuju, bahwa orang harus tidak
takut mati, tetapi sangat perlu dipikirkan, apakah kematian akan
lebih baik daripada hidup? Bagi orang yang masih dapat berbuat
kebaikan kalau ia masih hidup. Apalagi kalau ia masih sangat
diperlukan oleh sesama manusia hidup. Erwin menerima pendapat
Sabrina, tetapi tetap tidak mengurungkan maksudnya.
la berjalan berdua dengan Datuk. Sebagai orang biasa. Ki Ampuh
turut bersama mereka, tetapi tidak memperlihatkan diri. Sabrina
menanti di tempat mereka menyewa untuk beberapa malam. Bila
pembalasan telah selesai mereka akan meninggalkan Palembang
dan Erwin tidak punya niat untuk kembali ke sana. Teuku
Samalanga pun sudah tidak ada. Entah kapan ia akan bertemu lagi
dengan orang pandai dari Aceh yang akhirnya dituduh sebagai
pembunuh, tetapi telah diselamatkan Erwin ke Jambi.

Erwin merasa seperti diperhatikan banyak mata yang


bersembunyi tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang hendak mereka lakukan? Tetapi baru saja ia selesai
dengan pertanyaan itu kepada dirinya, datanglah perasaan yang
senyampang disukai, tetapi kadang-kadang juga sangat ditakuti.
Tetapi ia berjalan terus ke arah rumah Aini yang sudah kelihatan, la
akan membuat terkejut Aini, karena bagaimanapun ia pasti belum
pernah melihat manusia harimau dalam wujudnya yang nyata.
Itulah pula yang diharapkan Aini untuk jadi alasan pengepungan
dan penangkapan.
Dalam tempo sebentar saja, orang-orang yang tadinya tidak
kelihatan itu, bermunculan. Sebenarnya mereka takut, tetapi karena
banyak dan saling memberi semangat, mereka hadapi juga makhluk
yang belum pernah mereka saksikan sepanjang umur. Anehnya
harimau berkepala manusia itu timbul mendadak saja. Bukan
kelihatan datang ke arah mereka. Ada yang sempat melihat, bahwa
tadinya harimau ini manusia biasa yang berjalan dengan kawannya.
Tiba-tiba dia menjadi harimau.
Polisi yang diberitahu juga segera datang. Lebih dulu Hansip
yang memelopori pengepungan.
"Pergilah Datuk, sebelum terlambat!" kata Erwin.
"Tidak, aku mau turut menghadapi manusia-manusia jahat ini."
"Mereka bukan jahat. Mereka takut dan ingin menyelamatkan
diri."
"Dengan jalan ini?" tanya Datuk. Ki Ampuh yang tidak kelihatan
oleh para pengepung mengatakan, bahwa apa pun yang akan
terjadi harus dihadapi dengan sega\a konsekuensinya. Masih
ditambahkannya, walaupun keadaan begitu gawat, mereka
hendaknya bisa ke luar hidup sebab dia masih ingin merasakan
hidup sebagai manusia kembali.
Pada saat itu juga Erwin berkata, bahwa ia akan membawa Ki
Ampuh sekali lagi ke negerinya, kalau masih ada nyawa tersisa

untuk itu.
"Jadi ada kemungkinan, Er?" tanya Ki Ampuh.
"Kalau ke luar hidup, kita coba menghadap. Yang satu ini
barangkali sanggup!" kata Erwin.
"Kalau begitu, kita harus mengalahkan mereka," kata Ki Ampuh
bersemangat. Sementara itu kepungan tampak semakin rapat,
meskipun masih tidak mungkin melakukan pertempuran bersosoh
dalam jarak sangat dekat. Melihat para pengepung itu rata-rata
bersenjata parang, lembing dan pentungan, sekali lagi Erwin
meminta Datuk untuk menghindar. Dia tidak akan diserang, karena
hanya dialah yang tampak sebagai manusia. Mereka akan
menganggap dia sebagai tameng si manusia harimau agar tidak
diserang. Setelah berdebat singkat dan Erwin mengatakan, bahwa ia
membutuhkan Datuk untuk masa mendatang, maka diaturlah siasat
bagaimana Datuk menghindar tanpa dapat serangan. Dan siasat itu
berhasil. Ketika si manusia harimau lengah. Datuk secara takuttakut melarikan diri. Nasib sangat baik baginya, di antara para
penge-pung ada yang meneriakkan "lekas, lekas" dan mereka
memberi selamat kepadanya, karena ia bisa meloloskan diri.
Ketika pasukan Polisi datang, kelihatan mereka membawa
senjata cukup lengkap kalau sekedar menangkap atau membunuh
satu manusia harimau. Mereka itu tentu tidak segan-segan
menembak, pikir Erwin dan Ki Ampuh. Bukan jarang terdengar
berita tentang anggota Polisi atau orang bersenjata lainnya yang
gatal tangan serta punya selera membunuh, mempergunakan
senjatanya sampai menewaskan orang lain, yang seharusnya tidak
sampai perlu. Ada kalanya yang roboh itu malah tidak punya dosa
sama sekali. Tidak punya hubungan dengan penyebab pencabutan
senjata api.
Setelah melihat Datuk selamat, Erwin merasa lebih leluasa. Satu
kekhawatiran telah tiada. Para pengepung kian dekat. Aini yang jadi
penyebab terjadinya bencana ini turut melihat, bahkan mengatur
dari jarak yang agak jauh bersama kekasihnya Cek Kassim. Tetapi
bukan hanya dia wanita yang berperan. Dari suatu rumah turut

menyaksikan dengan jantung berdebar Sabrina yang sangat


mengharapkan Erwin keluar dengan selamat. Betapa ia sangat
mengharapkan Erwin sebagai teman hidup menjelang mati, karena
itulah yang mestinya serasi dengan dia, karena kedua-duanya
mereka mempunyai unsur harimau yang kuat. la menyuruh otaknya
bekerja, bagaimana mengendurkan dan kalau bisa menghentikan
pengepungan itu. la teringat pada bayi yang kemenakan Aini, yang
disebut-sebut dukun kawakan itu jangan diganggu, karena Sabrina
juga tentu tidak sampai hati melakukannya terhadap orang yang
sudah jadi sahabat, la ingat kata-kata Aini, tetapi dia juga melihat
kenyataan yang dihadapi Erwin. Hatinya berperang.
Tiba-tiba terdengar suatu suara keras memberi komando. Untuk
menyerbu. Tetapi tidak ada yang mematuhi. Hanya sejumlah
pengepung kian mendekat dengan hati-hati. Meskipun mereka
banyak sedang yang dihadapi hanya satu. Mereka tidak mampu
menduga bagaimana kekuatan dan perlawanan yang akan
dilancarkan si terkepung. Mereka hanya tahu satu kepastian, bahwa
dalam keadaan terjepit manusia yang harimau atau harimau yang
manusia itu akan melawan. Tidak akan ada menyerah kalah saja.
Jadi, korban pasti jatuh atau berjatuhan, walaupun pada akhirnya
makhluk itu mungkin akan binasa di sana.
Dan siapakah yang akan mati? Mereka bertanya pada diri.
Akukah barangkali? Ini tak dapat dijawab. Sudah bergantung pada
nasib. Dan ini juga yang membuat kebanyakan dari mereka
bergerak ragu-ragu. Lebih suka di belakang. Tidak terlalu dekat.
Tetapi di samping mereka yang berhati-hati ini, tidak berani
gegabah mengadu nyawa yang benar-benar cuma satu, ada juga
yang nekad. Jumlah kecil ini menyerbu dan merekalah yang
pertama-tama bertarung dengan Erwin. Sudah tentu bagi Erwin
tidak ada pilihan lain daripada merobohkan mereka. Hukum
mematikan atau dimatikan tidak dapat dielakkan. Dan perlawanan
yang mereka terima, di luar dugaan. Manusia harimau itu memukul
penyerangnya dengan kedua kaki depannya sambil menancapkan
kuku ke dalam muka atau leher lawannya. Parang dan lembing yang
dihantamkan ke tubuh makhluk itu ternyata tidak membuat dia luka.

Hanya menggeram dengan keras. Dan selalu saja orang yang


mematang atau melembing dia yang dihajar tanpa ampun. Dia tidak
menggigit, jadi berlainan dengan harimau biasa, yang punya taringtaring kuat dan tajam Erwin tidak mempunyai itu. Oleh serunya
pertarungan, beberapa banyak pengepung malah jadi penonton dari
jarak yang lumayan jauh. Itu lebih aman. Tidak ada para penyerbu
yang menghampiri Erwin bebas dari tamparan. Setelah para
penyerbu yang tidak terlalu banyak itu roboh, ia punya waktu untuk
merobek-robek dada dan perut mereka, membuat pengepung
lainnya tidak punya selera lagi untuk mendekat. Mereka tidak mau
jantung dan hati serta ususnya diburaikan.
Tetapi seorang anggota Polisi yang cukup berani atau mungkin
juga nekad mengajak pengepung menyerbu lagi. "Hayooo,"
teriaknya, "dia harus mati!" Dia pun lalu menyerbu diikuti oleh
beberapa orang yang jadi berani atau malu oleh contoh yang
diberikan sang Polisi.
Mungkin Polisi itu punya "simpanan serta pakaian" khusus, la
menerjang Erwin yang sedang berhadapn dengan seorang
pemarang. Dia melompat ke udara menendang kepala Erwin
sehingga manusia harimau itu terjengkang. Dari jarak dua meter
dilepaskannya beberapa peluru dari pistolnya. Semua mengenai
tubuh si manusia harimau, tetapi tidak membuat dia menjerit.
Hanya geramnya menunjukkan ia sangat marah, la bangkit lagi dan
kini memusatkan penyerangan terhadap si Polisi yang hebat dan
garang itu. Dua Polisi lain beserta dua anggota Hansip jadi turut
menyerbu. Mungkin karena malu hati. Tetapi Hansip yang dua orang
segera dibabat oleh Erwin. Senjata senapan panjang yang dipakai
oleh seorang Polisi terlepas karena tangannya dipukul dengan keras
oleh si manusia harimau. Polisi ini tidak sehebat Polisi pertama.
Rupanya Polisi pertama tadi memang benar punya ilmu silat
tangguh, silat harimau. Belakangan ternyata dia pernah belajar silat
harimau itu di Gunungtua, Padang Lawas, Tapanuli. Namanya
Radian, marga Rangkuti.
"Menyerahlah," kata Radian. Dia punya pengetahuan lumayan

tentang harimau, baik yang liar, piaraan, jadi-jadian maupun yang


manusia harimau, yang jumlahnya sangat langka.
"Tak mungkin, dongan. Menyerah untuk mati tidak mungkin!"
jawab Erwin sambil menampar keras seorang penyerbu lain.
"Orang-orang yang bermatian ini tidak punya dosa," kata Radian.
"Sama dengan aku. Aku juga tidak punya dosa. Tidak punya
urusan dengan orang-orang ini kalau mereka tidak mau menangkap
dan membunuhku. Apalagi Anda, yang kuyakin berasal dari
Tapanuli. Silatmu itu menunjukkan. Anda orang berani."
Atas anjuran Cek Kassim yang menuruti keinginan Aini, beberapa
orang lagi menyerbu. Erwin, bagaimana hebat dan berani pun
mempertahankan nyawa, mulai kewalahan. Kini peranan Ki Ampuh
baru tampak oleh para pengepung dan penonton. Sebenarnya sejak
tadi sudah beberapa orang jatuh dan berteriak tanpa mendapat
serangan si manusia harimau. Mereka diseruduk oleh Ki Ampuh.
Dua orang di antara mereka tewas setelah jatuh dan terus saja
ditusuk dengan taring-taringnya yang tajam dan berbisa.
Kini para pengepung terbelalak dan tahu, bahwa ada kawan si
manusia harimau yang tidak kelihatan.
Sudah delapan orang roboh, lima di antaranya tewas. Radian
yang masih utuh dan punya tenaga tidak meneruskan penyerangan,
mengherankan Polisi lainnya. Lebih mengherankan, si manusia
harimau juga tidak lagi menaruh perhatian kepadanya. Pasti ada di
antara para pengepung itu yang berpikir macam-macam.
Berkeluargakah mereka maka nya damai berdua?
Melihat Erwin sudah letih beberapa orang lagi maju. Ingin
merobohkan si manusia harimau. Tetapi pada waktu itu pulalah Aini
mendengar jerit dari rumahnya, la berlari ke rumah, ada apa?
Ternyata bayi mungil yang anak adiknya telah tiada. Dan di atas
bantalnya ada secarik kertas. Hanya mengatakan, bahwa bayi
dikembalikan kalau penyerangan dihentikan segera. Kalau si
manusia harimau tewas, maka bayi itu tidak akan kembali, tetapi
akan selamat.

Kejam si Sabrina pengisap darah itu. Tetapi tidak terlalu kejam,


karena tidak akan membunuh sang bayi yang tidak berdosa. Karena
ia sudah menikmati kebaikan Aini yang menghilangkan nafsu
jahatnya. Walaupun hanya untuk sekali itu saja.
Aini berlari kembali ke tempat Cek Kassim dan meminta
kepadanya supaya penyerangan dihentikan. Dan perintah segera
dilaksanakan, walaupun sudah tentu menimbulkan tanda tanya bagi
para pengepung.
Cek Kassim pandai memberi dalih. Si manusia harimau bukan
hanya sendiri. Punya kawan tidak kelihatan yang tak kurang
ganasnya dari dia. Mungkin jin, begitu pikir mereka.
Hari sudah senja. Para penyerang berhenti dan Erwin dengan
kawannya yang tidak kelihatan juga berhenti, mengambil sikap
menunggu.
"Pergilah," kata Cek Kassim dengan suara keras supaya
terdengar oleh Erwin.
"Rabunkanlah mata mereka terhadap dirimu," kata Ki Ampuh dan
Erwin segera memenuhi nasihat ini. la mendadak hilang dari
pandangan para pengepung itu, meneruskan perjalanan melalui
orang banyak tanpa dilihat oleh siapa pun. Tiba di rumah. Datuk
dan Sabrina sedang menanti. Erwin terkejut melihat ada bayi
digendong Sabrina. la bertanya, anak siapa. Kemudian ia
merebahkan diri. Dia tidak luka, tetapi letih. Letih sekali.
Pengeroyokan itu hampir menewaskan dirinya.
"Segala puji bagi Allah, kau selamat Erwin," kata Datuk.
"Berkat bantuan Ki Ampuh. Sebenarnya dialah yang menaklukkan
mereka!" kata Erwin. Kini baru diulanginya bertanya anak siapa
yang digendong Sabrina.
Sabrina hanya menjawab, "Anak sahabatku!"
"Mengapa dititipkan padamu?"
"Aku senang anak," sahut perempuan itu.

"Jangan yang bukan-bukan, Sab," kata Erwin yang mengetahui.,


sifat dan nafsu Sabrina. "Katakanlah yang sebenarnya'
Setelah itu Sabrina mengatakan, bahwa anak itu hanya untuk
sebentar padanya, nanti diantarkan kembali. Dan ia terpaksa
menceritakan secara singkat apa yang telah dilakukannya, tetapi
sama sekali tidak punya niat yang buruk, la khawatir sekali, Erwin
ialah sangka. Tetapi Erwin mempercayai ceritanya
"Lekaslah antarkan," pinta Erwin dan Ki Ampuh. Begitu pula
Datuk.
"Aku cari dulu wanita yang mau membantu. Aku sendiri tidak
mungkin ke rumahnya. Malu, aku malu!" kata Sabrina.
Wanita yang diperlukan segera didapat dan dengan upah
selayaknya pergi mengantarkan sang bayi. Ibunya menerima
dengan linangan air mata gembira, karena tadinya mereka
sekeluarga tidak yakin bahwa wanita jadi-jadian itu akan memenuhi
janji. Aini sendiri merasa senang, karena kebaikannya telah dibalas
oleh Sabrina. la menyesali dirinya yang telah menyebabkan Erwin
dikepung dan diserang, yang akhirnya membuat lima orang tewas
dan tiga orang luka berat. Tetapi kemudian ia memaafkan dirinya
sendiri, karena ia merasa tidak diberi pilihan lain. la sudah memberi
ingat melalui Sabrina, supaya tidak terjadi permusuhan.
Erwin khawatir akan terjadi lagi sergapan atas mereka. Maka
diambil keputusan untuk berangkat malam itu juga. Menyelamatkan
diri kalau tidak dikejar. Kematian sekian banyak orang bisa
membangkitkan amarah yang tak mereka buru-buru berangkat.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai