Anda di halaman 1dari 11

ADIK ISTRIKU MEMAKSA AKU UNTUK BERSETUBUH

Saya seorang pria berumur 40 tahun. Istri saya satu tahun lebih muda dari saya. Secara
keseluruhan kami keluarga bahagia dengan dua anak yang manis-manis.
Yang sulung, perempuan kelas II SMP (Nisa) dan bungsu laki-laki kelas 3 SD. Saya bekerja di
sebuah perusahaan telekomunikasi. Sedangkan istri saya seorang wanita karier yang sukses di
bidang farmasi. Kini dia menjabat sebagai Distric Manager.

Kami saling mencintai. Dia merupakan seorang istri yang setia. Saya sendiri pada dasarnya
suami yang setia pula. Paling tidak saya setia terhadap perasaan cinta saya kepada istri saya.
Tapi tidak untuk soal seks.

Saya seorang peselingkuh. Ini semua karena saya memiliki libido yang amat tinggi sementara
istri saya tidak cukup punya minat di bidang seks. Saya menginginkan hubungan paling tidak
dua kali dalam seminggu. Tetapi istri saya menganggap sekali dalam seminggu sudah
berlebihan. Dia pernah bilang kepada saya,

“Lebih enak hubungan sekali dalam sebulan.” Tiap kali hubungan kami mencapai orgasme
bersama-sama. Jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan saya. Rendahnya minat istri saya
itu dikarenakan dia terlalu terkuras tenaga dan pikirannya untuk urusan kantor.

Dia berangkat ke kantor pukul 07.30 dan pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah sudah lesu
dan sekitar pukul 20.00 dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan. Kalau sudah begitu
biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan dia, karena malu kalau ketahuan.
Selama perkawinan kami sudah tak terhitung berapa kali saya berselingkuh. Kalau istri saya
tahu, saya tak bisa membayangkan akan seperti apa neraka yang diciptakannya.

Bukan apa-apa. Perempuan-perempuan yang saya tiduri adalah mereka yang sangat dekat
dengan dia. Saya menyimpan rapat rahasia itu. Sampai kini. Itu karena saya melakukan
persetubuhan hanya sekali terhadap seorang perempuan yang sama. Saya tak mau
mengulanginya.

Saya khawatir, pengulangan bakal melibatkan perasaan. Padahal yang saya inginkan cuma
persetubuhan fisik. Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya sebisa mungkin,
dan memberi kesan kepada si perempuan bahwa semua yang terjadi adalah kekeliruan.

Memang ada beberapa perempuan sebagai perkecualian yang nanti akan saya
ceritakan.Perempuan pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak lain adalah kakak istri
saya.Oh ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Semuanya perempuan.

Istri saya sebut saja bernama Ovi. Kedua kakak Ovi sudah menikah dan punya anak. Mereka
keluarga bahagia semuanya, dan telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya dan
istri yang ikut mertua dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap minggu keluarga besar istri
saya berkumpul.
Mereka keluarga yang hangat dan saling menyayangi.

Mbak Vita, kakak istri saya ini adalah seorang perempuan yang dominan. Dia terlihat sangat
menguasai suaminya. Saya sering melihat Mbak Vita menghardik suaminya yang
berpenampilan culun.
Suami Mbak Vita sering berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap istrinya. Tetapi kepada
orang lain Mbak Vita sangat ramah, termasuk kepada saya.

Dia bahkan sangat baik. Mbak Vita sering datang bersama kedua anaknya berkunjung ke
rumah orang tuanya -yang artinya rumah saya juga- tanpa suaminya. Kadang-kadang sebagai
basa-basi saya bertanya,

“Kenapa Mas Wid tidak diajak?”


“Ahh malas saya ngajak dia,” jawabnya. Saya tak pernah bertanya lebih jauh.
Seringkali saat Mbak Vita datang dan menginap, pas istri saya sedang tugas luar kota.

Istri saya dua minggu sekali keluar kota saat itu. Dia adalah seorang detailer yang gigih dan
ambisius. Jika sudah demikian biasanya ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya,
atau makan pagi dan makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Vita, ya si Mbak inilah yang
menggantikan tugas ibu mertua.

Tak jarang Mbak Vita menemani saya makan.Karena seringnya bertemu, maka saya pun mulai
dirasuki pikiran kotor. Saya sering membayangkan bisa tidur dengan Mbak Vita. Tapi mustahil.
Mbak Vita tidak menunjukkan tipe perempuan yang gampang diajak tidur. Karenanya saya
hanya bisa membayangkannya.

Apalagi kalau pas hasrat menggejolak sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali
rasanya. Dan sore itu, sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut dengan kipas angin
di dalam kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika Mbak Vita mendadak membuka pintu.

“Kopinya Dik Andy.” Saya terkejut, dan Mbak Vita buru-buru menutup pintu ketika melihat
sebelah tangan saya berada di dalam celana dalam, sementara satu tangan lain mengibas-ibas
rambut di depan kipas angin.

Saya malu awalnya. Tetapi kemudian berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Vita melihat
saya bugil ketika penis saya sedang tegang?Pikiran itu terus mengusik saya. Peristiwa
membuka pintu kamar dengan mendadak bukan hal yang tidak mungkin.

Adik-adik dan kakak-kakak istri saya memang terbiasa begitu. Mereka sepertinya tidak
menganggap masalah. Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga. Adik istri saya yang
bungsu (masih kelas II SMU, sebut saja Sara) bahkan pernah menyerobot masuk begitu saja
ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat itu kami tidak sedang bugil. Tapi
dia sendiri yang malu, dan berhari-hari meledek kami.

Sejak peristiwa Mbak Vita membuka pintu itu, saya jadi sering memasang diri, tiduran di dalam
kamar dengan hanya bercelana dalam sambil coli (onani). Saya hanya ingin menjaga supaya
penis saya tegang, dan berharap saat itu Mbak Vita masuk. Saya rebahan sambil membaca
majalah. Sialnya, yang saya incar tidak pernah datang.

Sekali waktu malah si Sara yang masuk buat meminjam lipstik istri saya. Ini memang sudah
biasa. Buru-buru saya tutupkan CD saya. Tapi rupanya mata Ovi keburu melihat.
“Woww, indahnya.” Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan gincu. “Mau
kemana?” tanya saya. “Nggak. Pengin makai lipstik aja.” Saya meneruskan membaca. “Coli ya
Mas?” katanya. Gadis ini memang manja, dan sangat terbuka dengan saya.

Ketika saya masih berpacaran dengan istri saya, kemanjaannya bahkan luar biasa. Tak jarang
kalau saya datang dia menggelendot di punggung saya. Tentu saya tak punya pikiran apa-apa.
Dia kan masih kecil waktu itu. Tapi sekarang. Ahh. Tiba-tiba saya memperhatikannya. Dia
sudah dewasa. Sudah seksi. Teteknya 34. Pinggang ramping, kulit bersih. Dia yang paling
cantik di antara saudara istri saya.

Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan lebih mudah sebenarnya menjebak Sara daripada
Mbak Vita. Sara lebih terbuka, lebih manja. Kalau cuma mencium pipi dan mengecup bibir
sedikit, bukan hal yang sulit. Dulu saya sering mengecup pipinya. Tapi sejak dia kelihatan
sudah dewasa, saya tak lagi melakukannya. Akhirnya sasaran jebakan saya beralih ke Ovi.
Saya mencoba melupakan Mbak Vita.

Sore selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali memasang jebakan untuk Ovi.
Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari terakhir istri saya up country. Artinya besok di
kamar ini sudah ada istri saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri tegak. Saya
tidak membaca majalah.
Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata saya. Beberapa menit kemudian saya dengar
pintu kamar berderit lembut.

Ada yang membuka. Saya diam saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak ada tanggapan.
Saya melihat pintu dengan sudut mata yang terpicing. Sialan. Tak ada orang sama sekali.
Mungkin si Ovi langsung kabur. Saya hampir saja menghentikan onani saya ketika dari mata
yang hampir tertutup saya lihat bayangan.
Segera saya mengelus-elus penis saya dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak kecil.
Saya mencoba mengerling di antara picingan mata.

Astaga! Kepala Mbak Vita di ambang pintu. Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul
lagi, hilang lagi, Kini tahulah saya, Mbak Vita sembunyi-sembunyi melihat saya. Beberapa saat
kemudian pintu ditutup, dan tak dibuka kembali sampai saya menghentikan onani saya. Tanpa
mani keluar.

Malamnya, di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua mertua, Mbak Vita, Ovi
dan kakak Ovi, Vita. Berkali-kali saya merasakan Mbak Vita memperhatikan saya. Saya
berdebar-debar membayangkan apa yang ada di pikiran Mbak Vita. Saya sengaja
memperlambat makan saya. Dan ternyata Mbak Vita pun demikian.
Sehingga sampai semua beranjak dari meja makan, tinggal kami berdua. Selesai makan kami
tidak segera berlalu. Piring-piring kotor dan makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu
kami.

“Dik Andy kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?” Mbak Vita mebuka suara. Saya kaget.
Dia duduk persis di kanan saya. Dia memandangi saya. Matanya seakan jatuh kasihan kepada
saya. Sialan.
“Maksud Mbak May apaan sih?” saya pura-pura tidak tahu. “Tadi Mbak May lihat Dik Andy
ngapain di kamar. Sampai Dik Andy nggak liat. Kalau sedang gitu, kunci pintunya. Kalau Ovi
atau Ibu lihat gimana?”
“Apaan sih?” saya tetap pura-pura tidak mengerti. “Tadi onani kan?” “Ohh.” Saya berpura-pura
malu. Perasaan saya senang bercampur gugup, menunggu reaksi Mbak Vita. Saya menghela
nafas panjang. Sengaja.

“Yahh, Yeni sudah tiga hari keluar kota. Pikiran saya sedang kotor. Jadi..” “Besok lagi kalau
Yeni mau keluar kota, kamu minta jatah dulu.”
“Ahh Mbak May ini. Susah Mbak nunggu moodnya si Yeni. Kadang pas saya lagi pengin dia
sudah kecapekan.”

“Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?” “Saya tidak ingin dia melakukan dengan terpaksa.”
Kami sama-sama diam. Saya terus menunggu.
“Kamu sering Onani gitu?” “Yaa sering Mbak. Kalau pengin, terus Yeni nggak mau, ya saya
Onani. Ahh udah aahh. Kok ngomongin gitu?” Saya pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan.
Tapi Mbak Vita tidak peduli.

“Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan kalian. Kamu harus berbicara
dengan Yeni. Masa sudah punya istri masih Onani.” Mbak Vita memegang punggung tangan
saya.
“Maaf Mbak. Nafsu saya besar. Sebaliknya dengan Yeni. Jadi kayaknya saya yang mesti
mengikuti kondisi dia.” Kali ini saya bicara jujur. “Saya cukup puas bisa melayani diri sendiri
kok.”
“Kasihan kamu.”Mbak Vita menyentuh ujung rambut saya, dan disibakkannya ke belakang.
Saya memberanikan diri menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas. Mbak Vita seperti
kaget, dan buru-buru menariknya.
“Kapan kalian terakhir kumpul?” “Dua atau tiga minggu lalu,” jawab saya. Bohong besar. Mbak
Vita mendesis kaget.
“Ya ampuun.” “Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Yeni. Nanti salah pengertian.

Dikira saya mengadu soal begituan.” Mbak Vita kembali menggenggam tangan saya. Erat, dan
meremasnya. Isi celana saya mulai bergerak-gerak.
saya yang menarik tangan saya dari genggaman Mbak Vita. Tapi Mbak Vita menahannya.
Saya menarik lagi. Bukan apa-apa. Kali ini saya takut nanti dilihat orang lain.

“Saya horny kalau Mbak pegang terus.” Mbak Vita tertawa kecil dan melepaskan tangan saya.
Dia beranjak sambil mengucek-ucek rambut saya.
“Kaciaann ipar Mbak satu ini.” Mbak Vita berlalu, menuju ruang keluarga.
“Liat TV aja yuk,” ajaknya. Saya memaki dalam hati. Kurang ajar betul. Dibilang saya horny
malah cengengesan, bukannya bilang, “Saya juga nih, Dik.” Setengah jengkel saya
mengikutinya. Di ruang keluarga semua kumpul kecuali Sara.
Sekitar pukul 23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh. Mbak Vita. Dia menempelkan
telunjuknya di bibirnya.
“Belum bobo?” tanyanya lirih. Jantung saya berdenyut keras.
“Belum.” Jawab saya. “Kita ngobrol di luar yuk?”
“Di sini saja Mbak.” Saya seperti mendapat inspirasi. “Ihh. Di teras aja. Udah ngantuk belum?”
Mbak Vita segera menghilang. Dengan hanya bersarung telanjang dada dan CD saya mengikuti
Mbak Vita ke teras.. Rumah telah senyap. TV telah dimatikan.

Mbak Vita mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya berupa seutas tali tipis. Daster
kuning yang agak ketat. Saya kini memperhatikan betul lekuk tubuh perempuan yang berjalan
di depan saya itu,Pantat menonjol. Singset.

Kulitnya paling putih di antara semua sadaranya. Umurnya berselisih tiga tahun dengan Yeni.
Mbak Vita duduk di bangku teras yang gelap. Bangku ini dulu sering saya gunakan bercumbu
dengan Yeni.

Dia memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir berhimpitan.


Saya memang sengaja. Ketika dia mencoba menggeser sedikit menjauh, perlahan-lahan saya
mendekakan diri.
“Dik Andy” Mbak Vita membuka percakapan.
“Nasib kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak.” Saya mengernyitkan dahi. Menunggu
Mbak Vita menjelaskan. Tapi perempuan itu diam saja. tangannya memilin-milin ujung rambut.

“Maksud Mbak apa sih?” “Tidak bahagia dalam urusan tempat tidur. Ih. Gimana sih.” Mbak Vita
mencubit paha saya. Saya mengaduh. Memang sakit, Tapi saya senang. Perlahan-lahan penis
saya bergerak.
“Kok bisa?” “Nggak tahu tuh. Mas Wih itu loyo abis.”
“Impoten?” Saya agak kaget. “Ya enggak sih. Tapi susah diajakin. Banyak nolaknya. Malas
saya. Perempuan kok dibegituin,”
“Hihihi.. Tadi kok kasih nasihat ke saya?” Saya tersenyum kecil. Mbak Vita
“Terus cara pelampiasan Mbak gimana? Onani juga?” Tanya saya. Saya taruh sebelah tangan
di atas pahanya. Mbak Vita mencoba menghindar, tapi tak jadi.
“Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja.”
“Kapan terakhir Mbak Vita tidur sama Mas Wib?” Saya mencium punggung tangan Mbak Vita.
Lalu tangan itu saya taruh perlahan-lahan di antara pahaku, sedikit menyentuh penis.
“Dua minggu lalu.”
“Heh?” Saya menatap matanya. Bener enggak sih. Kok jawabannya sama dengan saya?
Ngeledek apa gimana nih.
“Bener.” Matanya mengerling ke bawah, melihat sesuatu di dekat tangannya yang kugenggam.
“Mbak..” Nafsu saya mulai naik.
“Hm,” Mbak Vita menatap mata saya.
“Mbak pengin?” Dia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya. Saya elus
rambutnya. Saya sentuh pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian mulut kami berpagutan.
Lama. Ciuman yang bergairah. Saya remas bagian dadanya. Lalu tali sebelah dasternya saya
tarik dan terlepas.

Mbak Vita merintih ketika jari saya menyentuh belahan dadanya. Secara spontan tangan kirinya
yang sejak tadi di pangkuan saya menggapai apa saja. Dan yang tertangkap adalah penis. Dia
meremasnya. Saya menggesek-gesekkan jari saya di dadanya.
Kami kembali berciuman.

“Di kamar aja yuk Mbak?” ajak saya. Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju
kamar Mbak Vita. Kamar ini terletak bersebarangan dengan kamar saya. Di sebelah kamar
Mbak Vita adalah kamar mertua saya.

Ketika tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati Tidak akan selingkuh lagi. Ternyata
janji tinggal janji. Nafsu besar lebih mengusik saya. Terutama saat istri saya ke luar kota dan
keinginan bersetubuh mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin mengulanginya dengan
Mbak Vita.

Tapi tampaknya mustahil. Mbak Vita benar-benar tidak memberi kesempatan kepada saya. Dia
tidak lagi mau masuk kamar saya. Jika ada perlu di menyuruh Ovii, atau berteriak di luar kamar,
memanggil saya. Bahkan mulai jarang menginap.

Akhirnya saya kembali ke sasaran awal saya. Ovi Mungkinkah saya menyetubuhi adik istri
saya? Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan Mbak Vita. Kepada dia saya tidak ragu untuk
mengeluarkan benih saya ke dalam rahimnya.
Kalaupun hamil, tak masalah kan. Paling-paling kalau anaknya lahir dan mirip dengan saya yaa
banyak cara untuk menepis tuduhan.

Lagian masak sih pada curiga? Kehidupan terus berjalan. Usia kandungan istri saya menginjak
bulan ke-4. Tahu sendirilah bagaimana kondisi perempuan kalau sedang hamil muda.
Bawaannya malas melulu. Tapi untuk urusan pekerjaan dia sangat bersemangat. Dia memang
pekerja yang ambisius. Berdedikasi, disiplin, dan penuh tanggung jawab. Karena itu jadwal
keluar kota tetap dijalani. Kualitas hubungan seks kami makin buruk.

Dia seakan benar-benar tak ingin disentuh kecuali pada saat benar-benar sedang relaks. Saya
juga tak ingin memaksa. Karenanya saya makin sering beronani diam-diam di kamar mandi.
Kadang-kadang saya kasihan terhadap diri sendiri. Kata-kata Mbak Vita sering
terngiang-ngiang, terutama sesaat setelah sperma memancar dari penis saya.
“Kacian adik iparku ini..” Tapi saya tak punya pilihan lain. Saya tak suka “jajan”. Maaf, saya
agak jijik dengan perempuan lacur.

Tiap kali beronani, yang saya bayangkan adalah wajah Mbak Vita atau si bungsu Ovi,
bergantian. Ovi telah tumbuh menjadi gadis yang benar-benar matang. Montok, lincah. Cantik
penuh gairah, dan terkesan genit. Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi sudah
tidak pernah lagi bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya ngapelin kakaknya. Saya
sering mencuri pandang ke arah payudaranya. Ukurannya sangat saya idealkan. Sekitar 34.
Punya istri saya sendiri hanya 32.

Seringkali, di balik baju seragam SMU-nya saya lihat gerakan indah payudara itu. Keinginan
untuk melihat payudara itu begitu kuatnya. Tapi bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar
mandi kami sangat rapat. Letak kamar saya dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di
sebelah gudang. Yang paling ujung kamar Mak Jah, pembantu kami. Setelah kamar Vita, kakak
Ovi, baru kamar saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari tembok. Sehingga tak mugkin buat
ngintip.

Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya, kalau tidak salah antara gudang dengan kamar Ovi
terdapat sebuah jendela. Dulunya gudang ini memang berupa tanah kosong semacam taman.
Karena mertua butuh gudang tambahan, maka dibangunlah gudang. Jendela kamar Ovii yang
menghadap ke gudang tidak dihilangkan. Saya pernah mengamati, dari jendela itu bisa
mengintip isi kamar Ovii.

Sejak itulah niat saya kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke gudang begitu Ovii selesai
mandi. Memang ada celah kecil tapi tak cukup untuk mengintip. Karenanya diam-diam lubang
itu saya perbesar dengan obeng. Saya benar-benar takjub melihat sepasang payudara montok
dan indah milik Ovii. Meski sangat jarang, saya juga pernah melihat kemaluan Ovii yang
ditumbuhi bulu-bulu lembut.

Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan onani sehingga di dekat lubang intipan itu terlihat
bercak-bercak sperma saya. Tentu hanya saya yang tahu kenapa dan apa bercak itu.
Keinginan untuk menikmati tubuh Ovi makin menguasai benak saya. Tetapi selalu tak saya
temukan jalan. Sampai akhirnya malam itu.
Mertua saya meminta saya mendampingi Ovi untuk menghadiri Ultah temannya di sebuah
diskotik. Ibu khawatir terjadi apa-apa. Dengan perasaan luar biasa gembira saya antar Ovi. Istri
saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi saya menolak. “Kamu kan harus detailing. Pakai
saja. Masa orang hamil mau naik motor?” Padahal yang sebenarnya, saya ingin
merapat-rapatkan tubuh dengan Ovi.

Kami berangkat sekitar pukul 19.00. Dia membonceng. Kedua tangannya memeluk pinggang
saya. Saya rasakan benda kenyal di punggung saya. Jantung saya berdesir-desir. Sesekali
dengan nakal saya injak pedal rem dengan mendadak. Akibatnya terjadi sentakan di punggung.
Saya pura-pura tertawa ketika Ovi dengan manja memukuli punggung saya.
“Mas Andy genit,” katanya. Pada suatu ketika, Ovi sengaja menempelkan dadanya ke puggung
saya. Menekannya.
“Kalau mau gini, bilang aja terus terang,” katanya.
“Iya iya mau,” sahut saya. Ovii bahkan menggeser duduknya, merenggang. Sialan.

Malam itu Ovi mengenakan rok span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket kulit. Benar-benar
seksi. Di diskotik telah menunggu teman-teman Ovi. Ada sekitar 15-an orang. Saya
membiarkan Ovi berabung dengan teman-temannya.
Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau nimbrung. Sudah tua, ihh. Saya hanya
mengawasi dari kejauhan, menikmati tubuh-tubuh indah para ABG. Di antara saudara istri saya
Ovi memang yang paling cantik. Tercantik kedua ya Mbak Vita, baru Dayang, istri saya. Vita
yang terjelek. Tubuhnya kurus kering sehingga tidak menimbulkan nafsu.

Sesekali Ovi menengok ke arah tempat duduk saya sambil melambai. Saya tersenyum
mengangguk. Mereka turun ke arena. Sekitar tiga lagu Ovi menghampiri saya.
“Mas Andy udah pesan minum?” tanyanya. Dagu saya menunjuk gelas berisi lemon tea di
depan saya.
“Kamu kok ke sini, udah sana gabung temen-temen kamu,” kata saya. Janjinya Ovi dkk pulang
pukul 22.00.
“Nggak enak liat Mas Andy mencangkung sendirian,” kata Ovi duduk di sebelah saya.

“Sudah nggak pa-pa.” “Bener?” Saya mengangguk, dan Ovi kembali ke grupnya. Habis satu
lagu, dia mendatangi saya. Menarik tangan saya.
“Ayo. Nggak apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta kok.”
Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal goyang.
Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik sekedar supaya tahu saja kayak apa suasananya.
Sesekali tangan Ovi memegang tangan saya dan mengayun-ayunkannya.
Menjelang pukul 22.00 sebagian teman Ovi pulang. Saya segera mengajak Ovi pulang juga.
“Bentar dong Mas Andy, please,” kata Ovi. Astaga. Tercium aroma alkohol dari mulutnya.
“Heh. Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang.” Segera saya gelandang dia.
“Yee Mas Andy gitu deh.” Dia merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini mulai menjemukan
saya
“Udah dulu ya bro, sis.” Ovi memang minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya tadi. Dia
pun terlihat sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena marah mertua.

Kami menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Saya bantu Ovi mengenakan jaket yang
kami tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing resluitingnya. Berdesir darah saya ketika
sedikit tersentuk bukit di dadanya. “Hayoo, nakal lagi,” katanya. “Hus. Nggak sengaja juga.”
“Sengaja nggak pa-pa kok Mas.” Omongan Ovi makin ngaco. Dia tarik ke bawah resluitingnya.
Dan sebelum saya berkomentar dia sudah berkata, “Masih gerah. Ntar kalau dingin Ovi
kancingin deh.” Segera mesin kunyalakan, dan motor melaju meninggalkan diskotik SO.

Sungguh menyenangkan. Ovi yang setengah mabuk ini seakan merebahkan badannya di
punggung saya. Kedua tangannya memeluk erat perut saya. Jangan tanya bagaimana birahi
saya. Penis saya menegang sejak tadi. Dagu Ovi disadarkan ke pundak saya. Lembut nafasnya
sesekali menyapu telinga saya. Saya perlambat laju motor. Benar-benar saya ingin menikmati.
Lalu saya seperti merasa Ovi mencium pipi saya. Saya ingin memastikan dengan menoleh.
Ternyata memang dia baru saja mencium pipi saya.

“Mas Andy, Ovi pengin pacaran dulu,” katanya mengejutkan saya.


“Pacaran sama Mas Andy? Gila kamu ya.” Penis saya makin kencang.
“Mau enggak?” “Kamu mabuk ya?” Dia tak menjawab. Hanya pelukannya tambah erat.
“Mas..” “Hmm” “Mas masih suka coli?”
“Hus. Napa sih?” “Pengen tahu aja. Mbak Yeni nggak mau melayani ya?”
“Tahu apa kamu ini.” Saya sedikit berteriak. Saya kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka
dia omong begitu.
“Sorry. Gitu aja marah.” Ovi kembali mencium pipi saya. Bahkan dia tempelkan terus bibirnya di
pipi saya, sedikit di bawah telinga.
“Saya horny Ovi.” “Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga diapa-apain”

Saya raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang menyodok celana saya. Terperanjat
dia. Tapi diam saja. Tangannya merasakan sesuatu bergerak-gerak di balik celana saya.
“Pacaran ama Ovi mau nggak?” kata Ovi.
“Di mana? Lagian udah malam. Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman.”
“Kalau ama Mas Andy dijamin Ibu gak marah.”
“Sok tahu.” “Bener. Ayuk deh. Ke taman aja. Meski di sekitarnya lalu lintas ramai, tapi karena
gelap, yaa tetap enak buat berpacaran. Biasanya cukup ramai sehingga banyak yang
berpacaran di rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Ovii merebahkan kepalanya di dada
saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif.

“Kamu kan belum punya pacar, kok sudah segini berani Ovi?” tanya saya.
“Enak aja belum punya pacar.” Dia protes.
“Habis siapa pacar kamu?” Saya genggam tangannya. Dia mengelus-elus dada saya.
“Yaa ini.” Dia membuka kancing kemeja saya. Saya kecup keningnya. Matanya. Hidung, pipi,
lalu bibirnya
“Kamu belum pernah melakukan ya?” kata saya. Dia tak menjawab.
“Mas Andy..” “Hmm” “Please.. Please.” Saya mengangsurkan muka saya menciumi bukit-bukit
itu. Lalu, srrt srrt..srrt. Sesuatu keluar dari penis saya.
Busyet. Masa saya ejakulasi? Aku menghisap puting, dan tanganku mengelus paha,
menyelinap di antara celap CD. Mulut Ovi terus merintih-rintih. Saya rasakan kemaluan saya
digeggamnya. Diremas dengan kasar. Aku menggeser tempat duduk karena sakitnya.

Lalu dia membuka resluiting celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat-kuat. Tapi dia berhenti
sebentar.
“Kok basah Mas?” tanyanya. Saya diam saja.
“Ehh,ini yang disebut mani ya?” Ini anak malah ngajak diskusi sih. Dia cium penis ku. Kayaknya
dia mencoba membaui.
“Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya?
“Heeh,” jawab ku lalu kembali memainkan kelaminnya.
“Asin juga ya?” Dia mengocok penis saya dengan tangannya.
“Pelan-pelan Ovi. Enakan kamu ciumin deh,” kata saya.

Tanpa perintah lanjutan Ovi menjilat dan mengulum penis saya. Uhh, kasarnya minta ampun,
Tidak ada enaknya. Berkali-kali saya meminta dia untuk lebih pelan. Akhirnya saya kembali
ejakulasi. Bukan oleh mulutnya tapi karena kocokan tangannya. Setelah itu sunyi. Wajahnya
yang belepotan mani dibersihkan dengan tissu.

“Makasih pelajarannya ya Mas.” Dia mengecup pipi saya.


“Tapi kamu janji jaga rahasia kan?” Saya ingin memastikan.
“Iyaah. Emang mau cerita ama siapa? Bunuh diri?” “Siapa tahu.” Dia mengangguk. Kami
bersiap-siap pulang. Sepanjang perjalanan dia memeluk erat tubuh saya. Dan pikiran waras
saya mulai bekerja.

“Ovi…??”
“Yaa” “Kamu nggak jatuh cinta ama Mas Andy kan? Everyting just for sex kan?”
“Tahu deh.” “Please Vii. Kita nggak boleh keterusan.
”Aku menghentikan motor.
“Iya deh.”
“Bener ya? Ingat, Mas Andy ini suami Mbak Yeni.” Dia mengangguk mengerti.
“Makasih Ovi.” Saya kembali menjalankan motor. Saya benar-benar takut sekarang. Saya
sadari, Ovi masih kanak-kanak. Masih labil. Bisa saja dia lepas kendali dan tak mengerti apa
arti hubungan seks sesaat.

Lalu saya dengar dia sesenggukan. Menangis. Untunglah dia menepati janji. Saya tak berani
lagi mengulangi, meskipun kesempatan selalu terbuka dan dibuka oleh Ovi. Saya tidak mau
menhancurkan keluarga besar istri saya. Tak mau menghancurkan rumah tangga saya.
Saya hanya menikmati Ovi di dalam bayangan. Ketika sedang onani saja.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai