PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik degeneratif tersering dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah penyandang DM terbanyak.
Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.1 Retinopati adalah salah satu komplikasi
mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. 2,3 Penelitian
epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita
retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun
2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan. The DiabCare Asia 2008 Study
melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan
melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya
merupakan retinopati DM proliferatif. Risiko menderita retinopati DMmeningkat sebanding
dengan semakin lamanya seseorang menyandang DM.
Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan insulin pada penyandang
DM tipe II, nefropati, dan hipertensi. Sementara itu, pubertas dan kehamilan dapat mempercepat
progresivitas retinopati DM. Kebutaan akibat retinopati DM menjadi masalah kesehatan yang
diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas
penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat. Masalah dalam penanganan
retinopati DM adalah keterlambatan diagnosis karena sebagian besar penderita pada tahap awal
tidak mengalami gangguan penglihatan. Dokter umum di pelayanan kesehatan primer memegang
peranan penting dalam deteksi dini retinopati DM, penatalaksanaan awal, menentukan kasus
rujukan ke dokter spesialis mata dan menerimanya kembali. Apabila peranan tersebut
dilaksanakan dengan baik, maka risiko kebutaan akan menurun hingga lebih dari 90%. 9 Melalui
tulisan ini diharapkan pengetahuan dokter umum akan meningkat sehingga ia mampu berperanan
optimal dalam tata laksana retinopati DM.4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 53 tahun
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pekerjaan
: PNS
Pendidikan
: S1
Alamat
No RM
: 953343
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada pasien dilakukan pada tanggal 3 Maret 2015, jam 11.00 WIB di
Poliklinik Mata RS Umum Daerah Budhi Asih.
A. KELUHAN UTAMA
Mata kiri buram perlahan sejak 3 bulan yang lalu, tidak merah.
B. KELUHAN TAMBAHAN
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien seorang laki-laki datang ke RSUD Budhi Asih pada hari Selasa, 3 Maret 2015
dengan keluhan mata kiri buram secara perlahan sejak 3 bulan lalu. Buram dirasakan semakin
berat sejak 1 bulan terakhir. Pasien kontrol setelah dilakukan laser 1x pada mata kiri 1 bulan
yang lalu. Mata kanan juga dirasakan buram sejak 2 tahun yang lalu tetapi dirasa begitu
menganggu. Pasien menyangkal pandangan seperti melihat kabut atau asap, melihat pelangi,
penglihatan yang mengganggu pada sore menjelang malam, melihat seperti didalam terowongan.
Pasien juga mengatakan tidak mengalami mual, muntah, maupun nyeri pada mata. Sebelumnya
pasien memakai kacamata, tetapi pasien mengatakan ukuran kacamata sudah tidak pernah cocok
sejak 2 tahun yang lalu.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien mengaku memiliki riwayat diabetes mellitus sejak tahun 2011, tetapi pasien tidak
teratur meminum obat, biasanya gula darah sewaktu diatas 200 pada saat kontrol. Pasien tidak
ingat nama obat yang diberikan. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2013 yang
terkontrol. Pasien mengaku susah mengontrol pola makan dan tetap mengkonsumsi makanan
manis dan berlemak. Asthma dan alergi disangkal.
Pasien memakai kacamata sferis +0,50 pada mata kanan dan kiri, juga terdapat silinder
-0,50 pada mata kiri, tetapi pasien tidak merasa terbantu dengan kacamata dan dirasakan sudah 2
tahun yang lalu. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada bagian matanya.
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien mengaku pada keluarga pasien, tidak ada yang mengalami hal serupa. Keluarga
pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus.
F. RIWAYAT HIDUP DAN KEBIASAAN
Pasien
tidak menjaga pola makan dengan baik, suka mengkonsumsi makanan dan
minuman manis juga makanan berlemak seperti santan, jeroan, dll. Pasien juga merokok sejak
umur 24 tahun, 1 bungkus per hari, dan sudah berhenti sejak 4 bulan.
Pemeriksaan
Visus
OS
6/50 SC S+0,50, C-
6/50 CC , Ph (-)
Ortoforia
Baik ke segala arah
(-)
Ortoforia
Baik ke segala arah
Ptosis
(-),
edema
Kedudukan
Pergerakan
(-), Palpebra
Ptosis
(-),
edema
(-),
hiperemis (-)
Ptosis
hiperemis (-)
Ptosis (-), edema
(-),
edema
(-), Palpebra
(-),
(-),
hiperemis (-)
(-)
Hiperemis (-), sekret (-),
trikiasis
(-),
Injeksi
silier
subkonjungtiva (-),
perdarahan
subkonjungtiva (-),
(-),
tarsalis inferior
Jernih
Dalam
Warna cokelat tua,
Kornea
COA
Iris
Jernih
Dalam
Warna cokelat tua,
Kripta baik
Bulat, 4mm, isokor,
RCL (+) RCTL (+)
Jernih
Jernih
Pupil
Kripta baik
Bulat, 4mm, isokor,
Lensa
Vitreous humor
berbatas
bulat,
arteri:vena
15,9
TIO
Penurunan lapang pandang Tes konfrontasi
eksudat (+)
17,3
Penurunan
(-)
pandang (-)
tegas,
CD
bentuk
ratio
2:3,
0,3,
bercak
lapang
Papil, CDR, dan pembuluh darah arteri dan vena sulit dinilai
Gambaran Hard Exudate yang luas yang merupakan infiltrasi lipid dari retina
Gambaran mikroaneurisma
OCULI SINISTRA
Papil batas tegas, C:D Ratio 0,3, pembuluh darah retina arteri dan vena sulit dinilai
Gambaran Hard Exudate yang luas yang merupakan infiltrasi lipid dari retina
Gambaran mikroaneurisma
IV. RESUME
Pasien seorang laki-laki usia 53 tahun datang ke poli klinik mata RSUD Budhi Asih pada
hari Selasa, 03 Maret 2015 dengan keluhan mata kiri buram perlahan sejak 3 bulan yang lalu.
Buram dirasakan semakin berat sejak 1 bulan terakhir. Pasien kontrol setelah dilakukan laser 1x
pada mata kiri. Mata kanan juga dirasakan buram sejak 2 tahun yang lalu tetapi dirasa begitu
menganggu. Pasien mengaku memiliki riwayat diabetes mellitus sejak tahun 2011 tidak
terkontrol dan memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2013 yang terkontrol, dan juga tidak ingat
dengan nama obat yang diberikan. Pasien memakai kacamata sferis +0,50 pada mata kanan dan
kiri, juga terdapat silinder -0,50 pada mata kiri, tetapi pasien tidak merasa terbantu dengan
kacamata dan dirasakan sudah 2 tahun yang lalu.
Pada status oftalmologi didapatkan :
OD : didapatkan AVOD 6/50 SC S+0,50 6/50 CC , Ph (-) pada funduskopi
didapatkan reflek fundus (+), papil berbatas tegas, bentuk bulat, CD ratio 0,3, arteri:vena
2:3, bercak eksudat (+). Pada foto fundus mata kanan papil, CDR, arteri dan vena sulit
dinilai, didapatkan gambaran Hard Exudate, Soft Exudate/Cotton-Wool, mikroaneurisma,
IRMA (Intraretinal Microvascular Abnormalities), edema macula sulit dinilai.
OS, didapatkan AVOS : 6/50 SC S+0,50, C-0,50 x 90o 6/30 CC, Ph (-). Pada
funduskopi reflek fundus (+), papil berbatas tegas, bentuk bulat, CD ratio 0,3, arteri:vena
2:3, bercak eksudat (+). Pada foto fundus mata kiri didapatkan Papil batas tegas, C:D
Ratio 0,3, pembuluh darah retina arteri dan vena sulit dinilai, Hard Exudate, Soft
Exudate/Cotton-Wool,
mikroaneurisma,
Angiografi flourescein
Elektoretinografi (ERG)
Hiperemetropia ODS
VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
1. Retivit tablet
1 x1 tab p.c
2. Noncort
IRMA
(Intraretinal
Microvascular
3. Dicynon
1x1 tab pc
Non-medikamentosa
1. Rujuk ke dokter spesialis mata bagian retina
2. Rujuk ke dokter spesialis penyakit dalam untuk regulasi gula darah
3. Edukasi pasien untuk tetap mengontrol gula darah dan tekanan dengan cara
mengonsumsi obat secara teratur
4. Edukasi pasien mengenai pola makan
5. Edukasi agar pasien kontrol rutin ke poli mata untuk melihat respon pengobatan
yang telah diberikan dan perkembangan penyakit.
VIII. PROGNOSIS
OD
Ad Vitam
: Ad bonam
:Dubia ad malam
OS
Ad Vitam
: Ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2013 yang terkontrol. Pasien
mengaku susah mengontrol pola makan dan tetap mengkonsumsi makanan manis dan berlemak.
Asthma dan alergi disangkal. Pasien memakai kacamata sferis +0,50 pada mata kanan dan kiri,
juga terdapat silinder -0,50 pada mata kiri, tetapi pasien tidak merasa terbantu dengan kacamata
dan dirasakan sudah 2 tahun yang lalu.
Interpretasi : Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus yang merupakan faktor
resiko dari retinopati. Diperkuat dengan gula darah tidak terkontrol karena pasien tidak patuh
minum obat, sehingga dapat mempercepat terjadinya retinopati, terutama retinopati diabetic.
Pasien juga menyatakan bahwa kacamata tidak membantu padahal sudah sering periksa dan ganti
kacamata sehingga kelainan refraksi dapat menyingkirkan.
Pasien mengaku pada keluarga pasien, tidak ada yang mengalami hal serupa. Keluarga
pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus.
Interpretasi : Faktor genetic juga berperan penting terkait dalam peningkatan resiko terjadinya
hipertensi dan diabetes mellitus.
Pasien
tidak menjaga pola makan dengan baik, suka mengkonsumsi makanan dan
minuman manis juga makanan berlemak seperti santan, jeroan, dll. Pasien juga merokok sejak
umur 24 tahun, 1 bungkus per hari, dan sudah berhenti sejak 4 bulan.
Interpretasi : Pasien terdiagnosa DM sejak 4 tahun yang lalu, dan selama ini gula darah tidak
terkontrol, ditambah dengan pengkonsumsian obat yang tidak teratur, hal tersebut dapat
mempercepat progresifitas terjadinya retinopati. Makan berlemak juga mempercepat terjadinya
atherosclerosis sehingga mengakibatkan hipertensi, tetapi selama ini pasien mengaku tensi
terkontrol. Merokok meningkatkan faktor resiko kebocoran pembuluh darah pada retina.
Dari hasil anamnesis didapatkan penurunan penglihatan dapat mengarah ke retinopati, baik
retinopati diabetic. Retinopati hipertensi masih belum dapat disingkirkan karena pasien
mempunyai riwayat hipertensi walaupun terkontrol. Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut.
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi
melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen
intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak
perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric
oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan
memperparah kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang
meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah
dan disfungsi enzim endotel. Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler
protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain
diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)
yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina.
Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya,
defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi
kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.
Pemeriksaan Fisik
OD
1. AVOD 6/50 SC S+0,50 6/50 CC.
2. TOD : 15,9.
3. Segmen anterior dalam batas normal.
4. Funduskopi
Reflek fundus (+), papil berbatas tegas, bentuk bulat, CD ratio 0,3, arteri:vena 2:3,
bercak eksudat (+).
5. Foto fundus
Papil, CDR, dan pembuluh darah arteri dan vena sulit dinilai, Hard Exudate yang luas
yang merupakan infiltrasi lipid dari retina, Soft Exudate/Cotton-Wool patches
berwarna kuning difus, mikroaneurisma, IRMA (Intraretinal Microvascular
Abnormalities), perdarahan blot, edema macula sulit dinilai, tidak terdapat gambaran
neovaskularisasi.
AVOS
Eksudasi baik hard exudates maupun soft exudates. Hard exudate merupakan infiltrasi
lipid ke dalam retina. Gambarannya ireguler, kekuning-kuningan. Eksudat ini dapat
muncul dan hilang dalam beberapa minggu. Kelainan ini terutama banyak ditemukan
pada keadaan hiperlipoproteinemia.
Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Kelainan
ini akan memperlihatkan bercak berwarna kuning dan difus.
Mikroaneurisma yaitu penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk
berupa bintik merah kecil. Kadang-kadang pembuluh darah ini demikian kecil sehingga
tidak terlihat dan dapat terlihat dengan bantuan angiografi fluoresein. Mikroaneurisma
merupkan kelainan diabetes melitus dini pada mata. Hal ini terbenbentuk akibat
Efek dari hipoksia retina yaitu arteriovenous shunt. A-V shunt berkaitan dengan oklusi
kapiler dari arterioles dan venules. Inilah yang disebut dengan Intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA).Selain itu, dapat ditemukan dot hemorrhage dan vena yang seperti
manik-manik (blot).
Pemeriksaan penunjang
1. Angiografi flourescein
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan sirkulasi darah retina serta penyakit-penyakit yang
mengenai retina dan khoroid. Pemeriksaan ini akan menunjukkan aliran darah yang khas
dalam pembuluh darah saat cairan fluoresein yang disuntikkan intra vena mencapai
sirkulasi darah di retina dan khoroid. Angiografi fluoresein akan merekam gambaran rinci
yang halus dari fundus pada bagian yang berukuran lebih kecil dari kemampuan daya
pisah (minimum separable) penglihatan mata masih dapat diperiksa dengan pembesaran
rekaman angiografi fluoresein.
2. Elektoretinografi (ERG)
Electroretinogramatau ERG memberikan gambaran objektifitas, ukuran kuantitatif dari
fungsi retina danmemungkinkan dokter untuk memantau fungsi sel-sel batang, sel
kerucut, dan sel-sel ganglion pada setiap mata. Menggunakan elektroda yang ditempatkan
pada kornea atau berdekatandengan orbit untuk memantau perubahan potensial listrik
mata sebagai respon terhadaprangsangan tertentu. Manipulasi secara hati-hati terhadap
kondisi stimulus dan pada saat pengujian memungkinkan dokter untuk menyelidiki jenis
sel yang berbeda dan lapisan retina.
DIAGNOSIS
Diagnois kerja didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yaitu retinopati diabetic
proliferatif. Pada anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama pasien berupa mata buram yang
semakin berat dan tidak merah yang tergolong dalam klasifikasi mata tenang visus turun
perlahan dimana mengarah pada retinopati diabetic dengan menyingkirkan diagnosis banding
seperti katarak, glaukoma, maupun retinitis pigmentosa, juga didukung dengan faktor resiko
riwayat diabetes mellitus yang tidak terkontrol, dengan pola makan yang tidak teratur dan
ketidakpatuhan meminum obat. Pada pemeriksaan berdasarkan funduskopi dan foto fundus
didapatkan hard exudates, soft exudates, mikroaneurisma, IRMA, perdarahan blot ODS yang
mendukung kearah retinopati diabetic proliferatif.
TATALAKSANA
1. Medikamentosa
-
Pemberian retivit plus 1x1 tablet (beta carotene, vitamin C, vitamin E, Zinc, selenium,
copper, lutein), yaitu vitamin antioksidan oral. Diberikan dengan tujuan untuk
menurunkan faktor resiko perburukan maupun degenerasi macula.
2. Non-medikamentosa
Peranan dokter umum dalam tata laksana retinopati DM adalah mengendalikan faktor
risiko, yaitu kadar gula, kadar lipid, dan tekanan darah yang abnormal. Target optimal
yang harus dicapai adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-density lipoprotein (LDL) <100
mg/dl, kadar HDL > 50 mg/dL, kadar trigliserida <150 mg/dl dan tekanan darah <130/80
mmHg. Edukasi oleh dokter umum mengenai DM dan komplikasi retinopati akan
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan penderita DM menjalani pemeriksaan mata rutin.
Dengan demikian rujukan ke dokter spesialis mata dapat dilakukan pada saat yang tepat.
Hal tersebut akan menurunkan angka kebutaan akibat retinopati DM.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Retinopati diabetic adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan
atau sumbatan pembuluh-pembuluh halaus, seperti arteriol, kapiler, dan vena retina.5
EPIDEMIOLOGI
Terdapat kurang lebih 16 juta orang dengan diabetes di Amerika Serikat, namun hanya
50% dari jumlah tersebut yang mengetahui bahwa dirinya menderita DM danhanya 25% yang
mendapatkan perawatan oftalmologi yang baik. Hal ini menggambarkan mengapa RD menjadi
penyebab kebutaan nomor satu pada individu berusia 25-74 tahun di negara itu, kurang lebih
8000 kasus baru per tahun. Diabetes Melitus adalah penyebab utama kebutaan pada orang
dewasa berusiaantara 20 hingga 74 tahun dan dapat mempengaruhi seluruh struktur jaringan
okuli. Telah diteliti bahwa penderita diabetes memiliki potensi kebutaan sebesar 20-30 kali dari
padaorang non-diabetes yang berusia sama. Diabetes merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang besar, tidak hanya komplikasi oftalmologis yang diderita, namun juga komplikasi
neurologis dan vaskuler, dan akan terus bertambah seiring dengan usia. Diabetes melitus dapat
mengubah hampir seluruh jaringan okuli. Hal ini mencakup keratokonjungtivitis sika,
xantelasma, infeksi miotik, katarak, glaukoma, neuropaty nervus optikus, okulomotor palsy.
Namun, 90% kelainan visus pada pasiendiabetes disebabkan oleh retinopati.6
FAKTOR RESIKO7
1. Durasi diabetes. Kejadian RD meningkat mencapai 27% setelah 5-10 tahun dari
penegakkan diagnosis DM dan 71-90% diatas 10 tahun. Setelah 20-30 tahun,insiden
meningkat
menjadi
95%,
dan
sekitar
30-50%
dari
pasien
tersebut
pemeriksaan konvesional (1 kali/hari). Pada kasus retinopati yang sudah lanjut, kontrol
gula darah semaksimal apapun tidak akan mencegah progresi dari RD.
3. Penyakit
ginjal.
Kondisi
proteinuria
dan
peningkatan
kadar
ureum-kreatinin
yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur
kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi
kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi sebagai barrier
dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling
berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari membran basalis
membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil
termasuk bahan kontras flouresensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit kapiler retina.2
1. Aldose Reductase
Enzim ini merubah gula menjadi alkohol (glukosa menjadi sorbitol, dan galaktosa menjadi
galactitol). Karena sorbitol dan galactitol tidak dapat menembus sel, konsentrasinya intraseluler
akan meningkat. Tekanan osmotik kemudian akanmenyebabkan air berdifusi ke dalam sel,
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Karena enzim ini juga ditemukan dalam konsentrasi
yang tinggi di perisit retina dan sel Schwann, beberapa peneliti beranggapan bahwa RD dan
neuropati mungkin disebabkan oleh kerusakan sel akibat aldose reductase.
2. Vasoproliferative Factors Vascular endothelial growth factor (VEGF)
Abnormalitas
trombosit
atau
perubahan
viskositas
darah
pada
kasus
DM
dan iskemia fokal pada retina. DR merupakan mikroangiopati yang secara langsung
mempengaruhi arteriol, kapiler, dan venula yang mengakibatkan kondisi sebagai berikut:
a. Oklusi mikrovaskular
Patogenesis:
Perubahan kapiler, yaitu hilangnya perisit, penebalan membran basal, penghancuran dan
proliferasi sel endotel
Perubahan
hematologi,
yaitu:
perubahan
bentuk
sel
darah
merah
Perdarahan intraretina
Edema retina difus yang disebabkan oleh dilatasi dan kebocoran kapiler yang
hebat
Mikroaneurisma yaitu penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk
berupa bintik merah kecil. Kadang-kadang pembuluh darah ini demikian kecil sehingga
tidak terlihat dan dapat terlihat dengan bantuan angiografi fluoresein. Mikroaneurisma
merupkan kelainan diabetes melitus dini pada mata. Hal ini terbenbentuk akibat
hilangnya fungsi perisit. Mikroaneurisma ini dapat pecah dan menyebabkan
kebocoran pembuluh darah ke jaringan retina di sekitarnya.
Gambar 1. Mikroaneurisma
2.
Perdarahan retina dapat berupa titik, garis, maupun bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurismata. Kelainan ini dapat digunakan sebagai prognosis penyakit. Perdarahan
dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api karena lokasinya di
dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk
titik-titik (dot hemorrhage) atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat
sel-sel akson berorientasi vertical.
3.
Dilatasi
pembuluh
darah
vena
dengan
lumen
ireguler
dan
berkelok-kelok.
Biasanya pembuluh darah tidak menyebabkan perdarahan. Hal ini terjadi akibat kelainan
sirkulasi dan kadang disertai dengan kelainan endotel dan eksudasi plasma.
Efek dari hipoksia retina yaitu arteriovenous shunt. A-V shunt berkaitan dengan oklusi
kapiler dari arterioles dan venules. Inilah yang disebut dengan Intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA).
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga
sangat mengganggu tajan penglihatan pasien.9
Ada banyak klasifikasi retinopati diabetik yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya
klasifikasi didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan atau tidak adanya
pembentukan pembuluh darah baru di retina.
Early Treatment Diabetik Retinopathy Study Research Group (ETDRS) membagi
retinopati diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif.Retinopati diabetik digolongkan ke dalam
retinopati diabetik non proliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular
dalam retina.Neovaskuler merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif.
Retinopati Diabetik Non-Proliferatif
1. Retinopati nonproliferatif ringan : Terdapat paling tidak 1 tanda berupa
mikroaneurisma atau perdarahan intraretina. Hard exudate atau soft exudate bisa
ada atau tidak ada.
2. Retinopati nonproliferatif sedang : Terdapat tanda berupa mikroaneurisma sedang
atau perdartahan intraretina. Tanda awal terjadi IRMA (Intraretinal Microvascular
Abnormalities), Hard exudate atau soft exudate bisa ada atau tidak
3. Retinopati nonproliferatif berat : terdapat 1 tanda berupa perdarahan
intraretinal dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2
kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran.
4. Retinopati nonproliferatif sangat berat : ditemukan 2 tanda pada retinopati non
proliferative berat.
Tabel 1. Klasifikasi Retinopati Diabetik Non-Proliferatif berdasarkan ETDRS
Retinopati Diabetik Proliferatif
1. Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi)
Tabel
3.
Derajat
retinopati diabetic
Gambar
8.
Funduskopi
pada
PDR.
Tanda
panah
menunjukkan
adanya
preretinal
neovascularisation.7
Gambar 9. Stadium RD
PENATALAKSANAAN11,12,13
Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal ini dapat
dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan retinopati
diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
retinopati
diabetik
selama
kehamilan.
Pemeriksaan
secara
umum
direkomendasikan pada pasien hamil pada semester pertama dan selanjutnya tergantung
kebijakan ahli matanya. 11
Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli mata mungkin
lebih memilih untuk megikuti perkembangan pasien-pasien tertentu lebih sering karena
antisipasi kebutuhan untuk terapi.11
Abnormalitas retina
Setiap tahun
sedikit
Retinopati Diabetik non proliferatif
Setiap 9 bulan
ringan
Retinopati Diabetik non proliferatif
Setiap 6 bulan
sedang
Retinopati Diabetik non proliferatif
Setiap 4 bulan
berat
Edema makula
adalah pasien yang tanpa retinopati dan mendapat terapi intensif selama 36 bulan
mengalami penurunan resiko terjadi retinopati sebesar 76% sedangkan pasien dengan
RDNP dapat mencegah resiko perburukan retinopati sebesar 54%. Pada penelitian yang
dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada penderita DM
Tipe II dengan terapi intensif menunjukkan bahwa setiap penurunan HbA1c sebesar 1%
akan diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil
penelitian DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa
darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati diabetik secara
sempurna, namun dapat mengurangi resiko timbulnya retinopati diabetik dan
memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Secara klinik, kontrol glukosa darah
yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi resiko kemungkinan menjalani terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser. UKPDS menunjukkan bahwa control hipertensi juga
menguntungkan mengurangi progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan.2,4,11
3. Fotokoagulasi
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi retinopati
diabetik. Komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif dapat meyebabkan kehilangan
penglihatan yang berat jika tidak diterapi. Suatu uji klinik yang dilakukan oleh National
Institute of
Health
fotokoagulasi dengan sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif
untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan edema makula untuk mencegah
hilangnya fungsi penglihatan akibat perdarahan vitreus dan ablasio retina. Indikasi terapi
fotokoagulasi
adalah
retinopati
diabetik
proliferatif,
edema
macula
dan
neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik anterior. Ada 3 metode terapi fotokoagulasi
yaitu :
a) Scatter (panretinal) photocoagulation
PRP, dilakukan pada kasus dengan kemunduran visus yang cepat atau retinopati
diabetik resiko tinggi dan untuk menghilangkan neovaskular dan mencegah
neovaskularisasi progresif nantinya pada saraf optikus dan pada permukaan retina
atau pada sudut bilik anterior dengan cara menyinari 1.000-2.000 sinar laser ke
daerah retina yang jauh dari macula untuk menyusutkan neovaskular.
b) Focal photocoagulation
Ditujukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di tengah cincin hard
exudates yang terletak 500-3000 m dari tengah fovea. Teknik ini mengalami
bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan edema makula.
c) Grid photocoagulation,
Suatu teknik penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi
diarahkan pada daerah edema yang difus. Terapi edema macula sering dilakukan
dengan menggunakan kombinasi focal dan grid photocoagulation.
e) Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan (opacity)
vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga
membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan bagi
pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi,
RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.
Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DRVS) melakukan clinical trial pada pasien
dengan dengan diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS mengevaluasi keuntungan
pada vitrektomi yang cepat (1-6 bulan setelah perdarahn vitreus) dengan yang terlambat
(setalah 1 tahun) dengan perdarahan vitreous berat dan kehilangan penglihatan (<5/200).
Pasien dengan diabetes tipe 1 secara jelas menunjukan keuntungan vitrektomi awal, tetapi
tidak pada tipe 2. DRSV juga menunjukkan keuntungan vitrektomi awal dibandingkan
dengan managemen konvensional pada mata dengan retinopati diabetik proliferatif yang
sangat berat.11
KOMPLIKASI
1. Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering. Neovaskularisasi pada
iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina
akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah
retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membran fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body
dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan aquous
dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka. Suatu
saat membran fibrovaskular ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia
anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler
meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler. Sepertiga pasien
dengan rubeosis iridis terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya
rubeosis pada pasien retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah.
Insiden terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi,
sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama
setelah dilakukan operasi.
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula
yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma
kongestif, glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubungan
dengan neovaskular pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis)
merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai
penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati
diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris
secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur
mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra
Ocular Presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.
3. Perdarahan vitreus rekuren
Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif. Perdarahan vitreus
terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga vitreus.
Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan mudah rapuh
sehingga mudah mengakibatkan perdarahan. Perdarahan vitreus memberi gambaran
perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau intragel. Perdarahan intragel termasuk
didalamnya adalah anterior, middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat perdarahan
vitreous masih sedikit. Pada perdarahan badan kaca yang massif, pasien biassanya
mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba. Oftalmoskopi direk secara jauh akan
menampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada perdahan
vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous sudah
banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek menunjukkan adanya darah pada ruang
vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.
4. Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan pigmen
epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran
bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta menyebabkan
penglihatan menjadi kabur.
PROGNOSIS14
Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau
menunda retinopati. Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan tekanan
darah disesuaikan <140/85 mmHg). Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan
edema makula dapat menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan.
Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi walaupun diberi terapi optimum.
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien seorang laki-laki datang dengan keluhan utama mata kiri buram sejak 3 bulan lalu. Dari
keluhan utama kita bisa mengelompokan penyakit mata kanan pasien ke dalam kelompok mata
merah, visus menurun. Ada beberapa diagnosis banding penyebab mata tidak merah visus
menurun, antara lain Kelainan refraksi, Katarak, Glaukoma, Retinopati Diabetik, Retinopati
Hipertensi, Retinopati Pigmentosa. Pasien merasakan penglihatan buram ini memberat sejak 1
bulan belakangan ini. Pasien mengeluhkan mata kanan juga buram namun tidak dirasa begitu
menganggu. Pada pemeriksaan oftalmologi mata kanan didapatkan penurunan visus, dan pada
pemeriksaan funduskopi didapatkan papil batas sulit dinilai, perbandingan arteri vena sulit
dinilai, bercak eksudat dan pada foto funduskopi didapatkan gambaran mikroaneurisma, soft
exudate, hard exudate, mikroaneurisma, IRMA, neovaskularisasi. Semua hal ini mengarahkan
pada diagnosa mata kanan dan kiri pasien, yakni retinopati diabetik proliferatif grade . pasien
diaharuskan untuk meminum obat secara teratur dan mengatur pola makan sehingga gula darah
Daftar pustaka
1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes: estimates
for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004;27:1047-53.
2. Noble J, Chaudhary V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010; 182(15):1646.
3. 3. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD. Diabetic
2009;27(4):140-5.
5. Nema, HV. Textbook of Opthalmology, edition 4, Medical Publishers, New Delhi, 2002,
p.249-51
6. Vaughan DG, Asbury T, Eva-Riordan P. Oftalmologi umum. Edisi 14. 2000. Jakarta:
General Ophthalmology. 17th ed. New York: McGraW'Hill Companies; 2012.p. 190-93
8. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. New Delhi : New Age
International, 2007
9. Fletcher EC, Chong V, Shetlar D. Retina. Dalam: Riordan-Eva P. Oftalmologi
UmumVaughan dan Asbury ed. 17. Jakarta: EGC. 2007; 185-9
Retinopathy. Australia : National Health and Medical Research Council ; 2008. p 2631,44-47,96-104.
11. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter 5.Singapore:
American Academy of Ophtalmology; 2008. p 107-128.
12. Lang G. Ophtalmology a Short Textbook : Vascular Disorder. New York :Thieme; 2000.
p. 299-301, 314-18.
13. Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology. London:ButterworthHeinemann;2003. p.439-54,468-70.
14. WHO. Prevention of Blindness from Diabetes Mellitus. Switzerland : WHO Library
Publication Data; 2005. p 8-14.