Anda di halaman 1dari 18

Karakteristik pada Penderita Artritis Reumatoid

Teriany Widjaya
102012099
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1150
Email : teri_219_any@yahoo.com
Abstrak:
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat sistemik,
progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris,
serta merupakan inflamasi kronik yang paling sering ditemukan pada sendi. Gejala khas dari
kondisi ini adalah adanya poliartritis yang bersifat simetris dan persisten yang dapat terjadi
pada kedua tangan dan kaki, meskipun sendi-sendi lain yang terdapat membrane synovial
juga dapat terpengaruh. Dan untuk terapi pada penderita artritis reumatoid ini dapat dilakukan
dengan terapi non farmakologik dan farmakologik.
Kata kunci : Arthritis rheumatoid, inflamasi, sendi, membrane synovial
Abstract:
Rheumatoid arthritis is an inflammatory disease of bacterial non-systemic,
progressive, tend to be chronic and the joints and connective tissue of the joints
symmetrically, as well as a chronic inflammation that is most often found in the joints. The
typical symptoms of this condition is the presence of symmetrical polyarthritis and persistent
nature that can occur on both hands and feet, although other joints are synovial membrane
may also be affected. And to therapy in patients with rheumatoid arthritis can be done with
non-pharmacologic and pharmacologic therapies.
Key word: Rheumatoid arthritis, inflammatory, joints, synovial membrane.

Pendahuluan :
Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya tidak
diketahui. Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini, karakteristiknya adalah
peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis), biasanya menyerang area sekitar
sendi dengan distribusi yang simetris.1,2
Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan kerusakan
kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada ntegritas sendi sebagai
tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi merusak, artritis reumatoid cukup
bervariasi. Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan
dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi yang minimal, sedangkan pada
penderita yanglain dapat menunjukkan poliartritis progresif yang ditandai kerusakan
fungsional.1
Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami penuruanan
dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tandadari artritis reumatoid
adalah homogen, dan pola dari perubahan sendidipengaruhi oleh lingkungan dan faktor
genetik. Artriris reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-artikular yang secara
konsisten lebih sedikit terjadi padaorang Asia dan Afrika dibanding dengan orang Kaukasia.3

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara
langsung pada pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau
relasi terdekat (allo-anamnesis). Anamnesis sangat penting dilakukan karena berguna untuk
menegakkan diagnosis.4 Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari
pasien yang bersangkutan.5
Hal-hal yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu :
1 Identitas pasien seperti nama, tempat / tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan,
jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan terakhir, dan alamat.

Pernyataan dalam bahasa pasien tentang keluhan yang dialami.


3.Riwayat penyakit sekarang (RPS): Pasien menjelaskan keluhan berdasarkan
kualitas, kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan keluhan mulai muncul,
faktor yang mempengaruhi keluhan, konstan atau tidaknya keluhan, dan
sebagainya. Informasi sebaiknya dalam susunan yang kronologis, termasuk obatobatan yang sebelumnya telah dikonsumsi pasien juga harus ditanyakan. Keluhan
sampingan seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, dan sebagainya juga dapat menunjang pemeriksaan. RPS harus ditanyakan
sedetail mungkin agar keluhan pasien dapat segera diketahui sumbernya.
4 Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): Pernahkah pasien mengalami nyeri sendi
sebelumnya.
5 Riwayat keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup / mati), dan penyakit yang
ada atau pernah diderita pada anggota keluarga.
6

Riwayat sosial: stressor (lingkungan kerja, sekolah, atau tempat tinggal), faktor
resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan, merokok, peminum, dll).5

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu memeriksan tanda vital dengan
menukur suhu tubuh, denyut nadi, respirasi rate, berat badan, tekanan darah, tingkat
kesadaran.
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian standar
untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selainitu, pada
pemeriksaan fisis juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis,
nodul-nodul, garukan perikardial, efusi pleura,splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas
bawah.2

Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas
boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs(DIP) dan fleksi pada

sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari
deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari
sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak,
sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon.6

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada test diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis AR. The
America Collage of Rheumatology Subcomittee on Rheumatoid Arthritis

(ACRSRA)

merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk elevasi abtara lain : darah perifer
lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah (LED), atau Creactive protein (CRP).7 Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena
akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita RA yang
mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita AR
antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI ( Magnetic Resomance Imaging). Pada
awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi
sendi pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih
banyak ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk Ar dan
chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang
mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderita
AR akan mengalami erosi

tulang dalam 2tahun pertama penyakit, dimana hal ini

menandakan penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi,
tetapi paling sering ditemukan pada sendi metacarpiphalangeal, metatarsophalangeal dan
pergelangan tangan.

Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan


sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu
mendeteksi adanya erosi lebih awal dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi

konvensional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan
biaya yang lebih tinggi.

Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis artritis
reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid memiliki autoantibodi di dalam
serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid.Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M
(IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor
reumatoid bukan merupakan halyang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor
reumatoid ditemukansekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan
pertambahanusia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif
memilikifaktro reumatoid dalam titer yang rendah.1,8
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,walaupun tidak
ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritisreumatoid. Cairan sinovial
biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan
konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit
(WBC) meningkat mencapai 2000/Ldengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini
merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak
mendiagnosis artritisreumatoid.1

Pemeriksaan Radiologi
Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelahsendi mengalami kerusakan
yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga
dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendidan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan
ini biasanya irreversibel.8

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik
sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas
permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun ada
kalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini
berkembangsekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit
lain,sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.
CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalammendiagnosis
artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalammemperlihatkan patologi dari
tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yangsangat baik dievaluasi dengan kombinasi
dari foto polos dan MRI.
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memilikikerugian dalam hal
radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikanletak destruksi tulang dan
stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang
belakang.
Ultrasonografi (USG)
Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan
untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusidari sendi adalah
hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik.

Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi areakavitas dengan


pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks
hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga
dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada
sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik
karena konfigurasinyayang tidak rata dan lokasinya yang dalam.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan


penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakankartilago, dan erosi
tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid. Diagnosis awal dan penanganan
awal merupakan manajemen utama padaartritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai
sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk
perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk
mendiagnosisawal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang
berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edematulang,
sinovitis, dan tenosinovitis.

Working Diagnosis
Rhematoid Arthritis
Artritis reumatoid

(AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi

sistemik kronik dengan progresif, dimana sendi merupakan target utama.7

Manifestasi klinik klasik AR adalah poliartriitis simetrik yang terutama mengenai


sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai
organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya
meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan
adanya kormodibitas. Menegakkan diagnosis dimulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progesifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan
piraid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMRAD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi
destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Mordibitas dan mortilitas AR berdampak terhadap
kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD
biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita AR.

Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi didunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara
0,5-1%.7 Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-

masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama
yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, Philipina prevalensinya kurang dari
0,4% baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% didaerah rural dan 0,3% di daerah urban.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas 40tahun
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,65 didaerah kabupaten.
Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan
4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan periode Januari sampai dengan Juni 2007
didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang
(15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian
tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.

Etiologi
Faktor Genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR,
dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen dengan HLADRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA
juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode
aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam terapi AR
karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase

dan thiopurine

methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azhathioprine ditentukan oleh faktor


genetik. Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR
lebih dari 30% dan pada orang kulit putih Ar yang mengekspresikan HLA-DR1 dan HLADR4 mempunyai angka kesesuain 80%.7
Hormon Sex

Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga


diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini.7 Pada observasi didapatkan
bahwa terjadi perbaikan gelaja Ar selama kehamilan. Perbaikan diduga karena : 1. Adanya
aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan
fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2. Adanya perubahan profit
hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang
dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun
selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta.
Estrogen dan progesteron menstimulasi respon humoral (Th2) dan menghambat respon imun
selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan gen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.

Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme ini
diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah re-aktivitas atau respon sel T
sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.7 Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang
secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.
Protein heat shock (HSP)
Protein heat shock (HSP) adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada
semua spesies sebagai respon terhadap stres.7 Protein ini mengandung untaian (sequence)
asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikrobakterium tuberkulosa
mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada gen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan
sel host sehingga mencetuskan reaksi immunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai
kemiripan molekul (molecular mimicry).
Faktor Resiko

Faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis
kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderitaAR, umur lebih tua, paparan
salisilat dan merokok.7 Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi
decaffeinated mungkin juga beresiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan
penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan resiko. Tiga dari empat
perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan
biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.
Patogenesis
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari poliferasi makrofag dan fibrosis sinovial
setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor petumbuhan
dilepaskan, sehingga mengakibatkan detruksi sendi dan komplikasi sistemik.
Patofisiologi
Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasilreaksi dari
berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi darifibroblas sinovial. Respon
inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain
di seluruh tubuh. Orang-orangyang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik
yang bermacam-macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial,
prosesinflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan
selmesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosityang
menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik.
Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial,mediator ini dapat
merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses initerus berlanjut dan tidak
dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi fibrosis pada
jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringansendi atau terlihat ankilosis pada tulang.
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksiakibat
proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik

lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendondan tulang pada sendi, serta
dilepaskan bersama dengan radikal oksigen danmetabolit asam arakidonat oleh leukosit
polimorfonuklear dalam cairan sinovial.Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun
terhadap antigen yangdiproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi
melaluikerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk
dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi.Disepanjang pinggir panus,
terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus
tersebut.8
Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis artritis
reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari berbagai sitokin,
contohnya tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-1(IL-1) oleh antigen presenting
cells dan sel T. TNF- dan IL-1 juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang.

Kriteria Diagnostik
Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh
krtiteria dari America collage of Rheumatoid. Pada penderita AR stadium awal (early)
mungkin sulit menegakkan diagnosa definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada
kunjungan awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan
kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk
mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.
Differential Diagnosis
Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,
berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai olehadanya deteorisasi dan abrasi
rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Gambaran
klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau
menanggung beban. 9

Gout Artritis
Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi
asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer
merupakan akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat
penurunan eksresi asam urat, sedangkan gout sekunder disebabkan oleh pembentukan asam
urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu.10
Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar
biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis bersifat
monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam
dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obatobatan, alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari
tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku.10
Artritis Septik
Artritis septik atau disebut juga dengan atritis bakterialis. 7 Artritis septik akut yang
disebabkan infeksi non-micobakterial merupakan masalah serius, yang dihapadi baik di
negara berkembang maupun di negara maju. Beberapa rute bakteri untuk mencapai sendi
antara lain secara hematogen, penyebaran langsung dari osteomielitis, penyebaran dari
jaringan sekitar sendi yang mengalami infeksi akibat tindakan prosedur diagnostik maupun
terapeutik seperti atrosintesis araupun astrokopi dan luka tembus.
Pasien dengan atritis septik akut ditandai nyeri sendi hebat, bengkak sendi, kaku, dan
gangguan fungsi, di samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain seperti demam
dan kelemahan umum.
Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.7
Etiopatologi dari lupus eritematosus sistemik (SLE) belum diketahui secara pasti.
Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan

faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predeposisi penyakit ini.
Pada kasus lupus eritematosus sistemik (SLE) yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi
faktor genetik, berbagai faktor lingkungan di duga terlibat atau belum diketahui faktor yang
bertanggung jawab.

Manifestasi Klinis
Awitan (onset)
Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara per;ahan, artritis simetris terjadi
dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit.7 Kurang lebih 15%
dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai
beberpa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis
poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala
muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang sering berlangsung selama satu jam lebih. Beberapa
penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan
demam ringan.

Manifestasi Artikular
Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak
sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi
saja.7 Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba hangat)
mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan
dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran
sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah pergelangan
tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa
terkena. Sendi yang terlibat pada umunya simetris, meskipun pada persentasi awal bisa tidak
simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan
kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (detruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan

pertumbuhan tulang pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi
interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak
pernah terlibat.

Manifestasi Ekstraartikular
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit
sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. Manifestasi
ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titter faktor
reumatoid (RF) serum tinggi.7 Nodul rematoid merupakan manifestasi kulit yang paling
sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul rematoid
umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa
olekranon. Nodul rematoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor rematoid
positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion,
tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam rematik, lepra, MCTD, atau
multicentric reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa
perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifetasi ekstraartikular seperti
vaskulitis dan Felty sundrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik.
Terapi
Detruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala,
terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. 7 Oleh karena itu sangat
penting untuk melakukan diagnosa dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA
merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3bulan
semenjak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease
modifying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi non farmakologik dan
farmakologik.
Terapi Non Farmakoligik
Beberapa terappi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. 7 Terapi puasa,
suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukan hasil yang baik.
Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing
agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam

perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal,
acupunture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.
Pembedahan harus dipertimbangkan bila terdapat : 1. Terdapat nyeri berat yang
berhubungan dengan kerusakann sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna
atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.
Terapi Farmakologik
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non
steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intaartikular
dan DMARD.7 Analgetik lainnya juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat,
diproqualone, dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR
menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai
saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila
terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih
disukai, yaitu pemberiam DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian, yaitu :
1.kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, 2.DMARD memberikan manfaat yang
bermakna bila diberikan sedini mungkin, 3.manfaat DMARD bertambah biladiberikan secara
kombinasi, 4.sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek
menguntungkan.
Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bila
dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin,
meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih
berat atau ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa
dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azhathioprine atau terapi
kombinasi (MTX ditambahsatu DMARD yang terbaru)bisa dipertimbangkan. Kategori obat
secara individual akan dibahas dibawah ini.

OAINS
OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.7
Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan

secara tunggal. Penderita AR mempunyai resiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi
serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis, oleh karena
itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10mg perhari cukup
efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. 7 Dosis steroid
harus diberikan dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping seperti
osteoporosis, katarak, gejala cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai
dengan pemberian kalsium 1500mg dan vitamin D 400-800IU perhari. Bila artritis hanya
mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid
cukup aman dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi harus
disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid
dihentikan terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan
rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk
menghindari rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy
selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi
DMARD terbaru saatini mempunyai mula kerja relatif cepat.

DMARD
Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan
jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, bertanya penyakit, pengalaman dokter
dan adanya penyakit penyerta.7 DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infiximab dan etarnecept.
Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi
awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan
sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukan bahwa kombinasi DMARD lebih
efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur (childbearing)
harus menggunakan alat kontrasepsi yanga adekuat bila sedanng dalam terapi DMARD, oleh
karena DMARD membahayakan fetus.

Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang


diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah
erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2tahun. Antagonis TNF menurunkan
konsentrasi TNF-, yang konsentrasinya ditemukan meningkatkan pada cairan sendi
penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek
jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala,
sering dalam 2minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang merupakan
chimeric IgG1 anti TNF- antibody.

Pemderita AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih
baik dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga merupakan
rekombinan human IgG antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasikan dengan
MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infeksi,
khususnya reaktivasi tuberkulosis.
Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor inteleukin-1. Beberapa uji klinis
tersamar anda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan dengan plasebo, baik
diberikan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan MTX. Efek sampingnya antara lain
iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab
merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20) menunjukan efek cukup
baik. Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis
DMARD.

Prognosis
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : aktor fungsional yang
rendah, status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat
menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit,
RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakut, ada nodul
reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.7

Kesimpulan
Dari kasus yang ada, dapat disimpulkan bahwa perempuan ini menderita reumatoid
artritis (RA/AR). Karena pada perempuan tersebut mengalami hal pada umumnya sendi yang
terkena adalah pergelangan tangan, kaki, dan persendian besar lutut juga terkena. Dan pada
artritis reumatoid ini merupakan penyakit yang khas pada kekakuan sendi pada pagi hari yang
berlangsung lama.

Daftar Pustaka
1

Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS,

LongoDL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrisons Principlesof
Internal Medicine 16thed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76.
2 Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical

Feature

and

DifferentialDiagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors.
RheumatoidArthritis 1sted. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23.
3
Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rded. London: BMJ
Books;2004.p.50-5.
4
Davey P. At a glance medicine. Edisi pertama. Jakarta: Erlangga; 2009.h.76-8.
5 Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005.h.45.
6 Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2 nded. New York: Elsevier
Saunders; 2004.p.310-1.
7Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit
dalam. edisi 5 jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2495-2513.
8 Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM,editors.
Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91.
9 Carter, Michael A. Osteoarthritis. Dalam: Price, SA and Wilson LM,editors.
Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1380-3
10 Carter, Michael A. Gout Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors.Patofisiologi Edisi
6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1402-617

Anda mungkin juga menyukai