Anda di halaman 1dari 8

Kebutuhan sosial adalah kebutuhan akan saling berinteraksi antara

manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam kehidupan


bermasyarakat

http://www.businessdictionary.com/definition/exposure.html 25 april
2015
1.General: State or condition of being unprotected
and open to damage, danger, risk of suffering a loss in a transaction,
or uncertainty.
2.Advertising: Degree to which an audience (readers, listeners,
viewers, visitors to a website) is in receipt of a promotional message.
3.Banking: (1) Total amount of unsecured loans; (2) Total amount
of loans advanced to a single borrower, group, industry, or country;
(3) probability of loss from devaluation, revaluation, or foreign
exchange fluctuations.
4.Occupational safety: State of being vulnerable to work
environment hazards through contact, inhalation, ingestions, or any
other route.
DEFINISI KONFORMITAS
Konformitas (conformity) adalah perubahan perilaku seseorang yang terjadi karena pengaruh
orang lain yang nyata ataupun yang diimajinasikan.

Morton Deutsch dan Harold Gerard (1955) mengajukan dua tipe pengaruh sosial
yang menyebabkan konformitas, yaitu informasional dan normatif.
PENGARUH SOSIAL INFORMASIONAL: KEBUTUHAN UNTUK MENGETAHUI
INFORMASI YANG BENAR
Definisi
Pengaruh sosial informasional (Cialdini, 2000; Cialdini & Goldstein, 2004; Deutsch & Gerard,
1955) adalah pengaruh orang lain yang mengakibatkan kita melakukan konformitas karena
melihatnya sebagai sumber informasi yang memandu perilaku kita. Kita melakukan konformitas
karena meyakini bahwa orang lain itu menginterpretasikan situasi yang kabur secara lebih tepat
daripada interpretasi kita sendiri, dan membantu kita untuk memilih tindakan yang tepat.
Ilustrasi
Eksperime Muzafer Sherif (1936): Efek Otokinetik

Efek otokinetik: cahaya yang diam di dalam ruang yang gelap nampak seperti bergerak-gerak,
karena mata kita tidak memiliki titik referensi dari objek lainnya.
Fase 1: Subjek duduk sendiri di ruang gelap, diminta fokus memperhatikan satu titik bercahaya yang
jaraknya 15 kaki. Eksperimenter meminta subjek mengestimasi (memperkirakan) seberapa jauh
titik cahaya itu bergerak-gerak. Dalam fase ini estimasi subjek bervariasi: ada yang
memperkirakan bergerak-gerak sejauh 2 inci, 4 inci, 10 inci dsb.
Fase 2: Beberapa hari setelah Fase 1, subjek dipasangkan dengan dua orang lain yang sama-sama memiliki
pengelaman diminta mengestimasi gerakan titik cahaya secara sendirian. Meskipun awalnya
masing-masing memiliki estimasi yang berbeda, namun setelah beberapa kali akhirnya tiap-tiap
kelompok memiliki estimasi yang sama mengenai seberapa jauh titik cahaya itu bergerak-gerak.
Masing-masing menyetujui estimasi dari kelompoknya.
Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa tiap-tiap orang menjadikan orang lain sebagai sumber
informasi, dan menganggap bahwa estimasi kelompok adalah yang benar. Pengaruh sosial
informasional ini menghasilkan penerimaan secara pribadi (private acceptance).
Meskipun jauh dari keyakinan awal namun orang-orang cenderung mengikuti begitu saja
estimasi kelompok, mungkin supaya tidak nampak bodoh. Hal ini disebut public compliance.
Untuk memperkuat kesimpulannya, setelah subjek selesai berpastisipasi dalam eksperimen Fase
1 dan 2, Sherif meminta tiap-tiap subjek memutuskan sendiri mengenai seberapa jauh titik cahaya
itu bergerak-gerak. Hasilnya, tiap-tiap subjek tetap memberikan jawaban sesuai dengan estimasi
dari kelompoknya. Hal ini didukung oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa setelah satu
tahun kemudian orang-orang tetap mengikuti pendapat kelompoknya (Rohrer, Baron, Hoffman, &
Swander, 1954).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang-orang bersandar satu sama lain dalam
mendefinisikan realitas, dan selanjutnya secara pribadi menerima hasil estimasi kelompok.
Penelitian Lanjutan
Hasil penelitian Sherif diperluas dengan penelitian lain dengan situasi yang lebih kongkrit
daripada eksperimen Sherif. Misalnya eksperimen Baron, Vandello, & Brunsman (1996) yang
memberikan tugas subjek untuk mengidentifikasi pelaku kejahatan, yang ditampilkan
menggunakan slide (seperti menjadi saksi mata tindak kejahatan nyata).
Hasilnya tetap sesuai dengan hasil penelitian Sherif, menunjukkan bahwa dalam situasi yang
ambigu (kurang pasti), banyak subjek yang cenderung mengikuti jawaban orang-orang lain dalam
kelompok, meskipun jawaban tersebut salah. Kecenderungan sepertin ini tentu saja berisiko,
karena keputusan kita tidak akurat.

Ledakan Konformitas Informasional


Dalam situasi krisis, dapat terjadi bentuk konformitas informasional yang dramatis. Hal ini terjadi
bila individu dihadapkan pada ketakutan, situasi mengandung berbahaya, di mana ia kurang siap
untuk merespon (Killian, 1964). Misalnya adanya berita terjadinya tsunami di suatu tempat.
Orang-orang mungkin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang harus ia lakukan.
Bila keamanan seseorang terancam, kebutuhan informasi menjadi akut --- selanjutnya perilaku
orang-orang lain menjadi informatif (dijadikan sumber informasi).

Gustav Le Bon (1895) adalah peneliti yang pertama kali mendokumentasikan bagaimana emosi
dan perilaku dapat menyebar secara cepat melalui suatu kerumunan (crowd) --- suatu efek yang
disebutnya sebagai contagion.

Seperti telah kita pelajari, dalam situasi yang kabur, sangat mungkin orang-orang hanya bersandar
pada interpretasi dari orang lain. Padahal, dalam situasi yang sangat kabur dan kacau, orang-orang
lain juga tidak memiliki informasi yang akurat seperti kita. Bila orang lain menerima informasi
yang salah, kita mengadopsi kesalahannya dan juga menjadi salah interpretasi.
Contoh ekstrim konformitas informasional yang salah arah seperti itu adalah mass psychogenic
illness (Bartholomew & Wessely, 2002; Colligan, Pennebaker, & Murphy, 1982).
Sebagai contoh, pada tahun 1998 seorang guru di Tenessee USA melaporkan bau bensin
(gasoline) di kelasnya; dengan cepat ia mengalami sakit kepala, mual, sesak nafas, dan pusing.
Setelah kelas ibu guru itu dievakuasi, orang-orang lain di sekolah itu melaporkan gejala yang
sama. Maka diputuskan untuk mengevakuasi semua kelas. Semua orang menyaksikan ibu guru itu
dan beberapa murid dievakuasi dengan ambulance. Tenaga-tenaga ahli setempat tidak
menemukan adanya masalah di sekolah tersebut. Aktivitas kelas dimulai lagi --- dan ada beberapa
orang lagi yang melaporkan rasa sakit. Maka para ahli dari beberapa negara bagian bersamasama menyelidiki keadaan lingkungan dan epidemi di sekolah tsb. Hasilnya, sekali lagi tidak
ditemukan adanya masalah di sekolah tersebut. Ketika sekolah tersebut dibuka kembali, epidemi
penyakit misterius itu telah berakhir (Altman, 2000).
Timothy Jones dkk (2000) dari Depkes Tenessee yang menyelidiki kasus tersebut (lebih dari 170
murid, guru, dan staf dievakuasi ke rumah sakit tanpa ditemukan faktor organik yang menjadi
penyebab) menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah penyakit psikogenik masa (mass
psychogenic illness).
Dalam hal ini kita perlu juga memperhatikan peran media massa (televisi, radio, koran, internet, email) dalam menyebarkan informasi, yang mungkin memicu sakit psikogenik massa.
Kapan Orang Melakukan Konformitas terhadap Pengaruh Sosial Informasional?
Berikut ini adalah beberapa situasi yang paling mungkin menimbulkan konformitas karena
pengaruh sosial informasional.
1. Ketika situasi tidak jelas atau ambigu
Ketidakjelasan merupakan hal yang paling menentukan sejauhmana seseorang menggunakan
orang lain sebagai sumber informasi. Ketika seseorang tidak mengetahui bagaimana respon yang
benar, maka ia mudah dipengaruhi oleh informasi orang lain. Semakin tidak memiliki informasi,
kita semakin tergantung pada orang lain.
2. Ketika dalam situasi kritis
Dalam situasi krisis kita tidak memiliki waktu cukup untuk memikirkan tindakan apa yang
seharusnya kita ambil; kita harus bertindak dengan cepat. Jika kita merasa takut, panik, serta tidak
tahu apa yang harus dilakukan, biasanya kita melihat bagaimana orang lain bertindak dan
melakukan hal yang sama dengan orang lain. Padahal orang lain yang kita tiru juga dalam
ketakutan dan panik, sehingga mungkin bertindak tidak rasional.
3. Ketika orang lain adalah ahli
Biasanya, semakin ahli atau semakin berpengetahuan, seseorang semakin dihargai sebagai
pemandu/ panutan dalam situasi yang tidak jelas (ambigu). Sebagai contoh, ketika penumpang

pesawat terbang melihat asap dari mesin pesawat, maka hal pertama yang ia lihat adalah reaksi
dari pramugarinya (dianggap ahli). Bagaimanapun juga ahli tidak selalu meerupakan sumber
informasi yang dapat diandalkan. Misalnya, mungkin saja pramugari mengatakan bahwa tidak ada
masalah dengan pesawat tersebut, padahal sebenarnya pesawat sedang terbakar.
Menolak Pengaruh Sosial Informasional
Menggantungkan diri pada orang lain dalam mendefinisikan apa yang terjadi, bisa jadi merupakan
langkah yang tepat, namun dapat juga menjadi tragedi, tergantung kebenaran informasinya. Jadi,
kita memerlukan kriteria, kapan dapat menyatakan bahwa orang lain merupakan sumber informasi
yang tepat dan kapan kita menolak definisi situasi dari orang lain.
Pertama, dengan melihat beberapa contoh, dimungkinkan jika kita menolak pengaruh sosial
informasional yang tidak benar. Misalnya, saat Perang Dunia tidak semua orang menjadi panik
(Cantril, 1940). Sebagian dari mereka memilih menggunakan strategi pemecahan masalah secara
rasional (rational problem solving); mereka mengecek berbagai situasi melalui siaran-siaran radio
dan menemukan bahwa radio yang berbeda menyiarkan hal yang berbeda. Mengingat
kemungkinan dapat terjadi contagion atau kepanikan massa, mereka lebih mengandalkan diri
sendiri dalam mencari dan menemukan informasi.
Keputusan kita untuk melakukan konformitas terhadap pengaruh informasional tergantung
bagaimana evaluasi kita mengenai tindakan/reaksi dari orang lain: apakah reaksi dari orang lain
lebih syah daripada tindakan kita? Kita perlu menjawab pertanyaan berikut ini:
Apakah orang lain lebih mengetahui apa yang terjadi daripada apa yang saya ketahui? Apakah
situasi yang ada telah ditangani oleh ahlinya atau seseorang yang mengetahui lebih banyak
daripada diri saya?
Apakah tindakan-tindakan orang lain atau ahli yang ada nampak lebih tepat? Jika saya
melakukan seperti yang mereka lakukan, apakah itu akan melawan pemahaman umum (common
sense) saya atau suara hati saya?
PENGARUH SOSIAL NORMATIF: KEBUTUHAN UNTUK DITERIMA
Banyak remaja bersedia berdiri di atas kereta api menempuh perjalanan jauh antar kota (misalnya
Bonek, pendukung Persibaya). Fenomena ini menunjukkan bahwa ada hal lain yang mendorong
kita melakukan konformitas terhadap pengaruh sosial selain karena kebutuhan informasional,
yaitu: Kita melakukan konformitas juga supaya kita disukai dan diterima oleh kelompok sosial
kita. Kita melakukan konformitas terhadap norma sosial (social norms).
Kelompok memiliki harapan tertentu mengenai bagaimana seharusnya perilaku anggotanya, dan
anggota yang baik melakukan konformitas terhadap aturan tersebut. Anggota yang tidak
melakukan konformitas dianggap berbeda, sulit, dan menyimpang.
Anggota yang menyimpang dapat diejek/ditertawakan, dihukum, atau ditolak anggota kelompok
yang lain.
Kita manusia secara alami merupakan suatu spesies sosial. Melalui interaksi dengan orang lain kita
menerima dukungan emosional, afeksi, dan cinta. Ambil bagian di dalamnya merupakan
pengalaman yang menyenangkan. Penelitian terhadap individu yang terasing dalam waktu yang
lama, menunjukkan bahwa kekurangan kontak sosial merupakan pengalaman yang menimbulkan
stres dan traumatik (Baumister & Leary, 1995; Schachter, 1959; Williams, 2001).

Adanya kebutuhan akan kebersamaan secara sosial (social companionship) yang fundamental
seperti itu, tidaklah mengherankan bahwa kita sering melakukan konformitas untuk diterima oleh
orang lain. Pengaruh sosial normatif ini terjadi bila pengaruh orang lain mengakibatkan kita
melakukan konformitas untuk disukai dan diterima oleh mereka.

Ilustrasi
Eksperimen Asch (1951; 1956)

Sesi baseline : Subjek dalam kelompok (7-9 orang) diminta untuk menentukan garis pembanding
(kartu sebelah kanan) yang mana yang sama panjangnya dengan garis standard
(kartu di sebelah kiri).
Sesi eksperimen: Subjek dalam kelompok diberi tugas yang sama seperti sesi baseline, namun di
dalam kelompok terdapat seorang pembantu eksperimenter (confederate) yang
menyamar sebagai subjek, yang mendapat giliran pertama menjawab dan
membuat pilihan garis nomor 1 (yang jelas salah). Percobaan dilakukan sebanyak
12 kali.
Hasil eksperimen: Di luar harapan Asch, meskipun jawaban yang benar sangat
jelas (garis no 2), namun sebanyak 76% dari peserta eksperimen melakukan
konformitas (mengikuti confederate memberikan jawaban salah), setidaknya
dalam satu sesi. Rata-rata subjek melakukan konformitas sebanyak 3 kali (sesi 13) dalam 12 sesi percobaan yang dilakukan.
Seperti halnya penelitian Sherif, penelitian Asch juga menunjukkan bahwa
persepsi visual seseorang sama-sama mudah terpengaruh oleh orang lain.
Perbedaannya, dalam eksperimen Asch subjek sebenarnya dapat melihat dengan
jelas jawaban mana yang benar. Namun terdapat kecenderungan subjek mengikuti
jawaban dari kelompok, meskipun ia tidak yakin dengan jawaban tersebut. Hal ini
disebabkan karena subjek merasakan emosi negatif, perasaan tidak nyaman dan
tertekan bila mengikuti keyakinannya sendiri dan bertentangan dengan kelompok.
Kesimpulan tersebut didukung oleh penelitian Gregory Berns dkk (2005) yang
menemukan fakta biologis bahwa subjek yang menolak pengaruh sosial normatif
mengalami ketidaksenangan dan ketidaknyamanan. Hasil pengukuran
menggunakanmagnetic resonance imaging/ MRI (alat perekam perubahan
aktivitas otak) menemukan sbb:
(1) Pada sesi baseline (subjek tidak dipengaruhi orang lain), otak menunjukkan
aktivitas pada area visual/perseptual (posterior);
(2) Jika subjek melakukan konformitas mengikuti jawaban salah, otak juga
menunjukkan aktivitas pada area visual/perseptual;
(3) Jika subjek mengikuti pilihannya sendiri (tidak mengikuti jawaban salah), otak
tidak menunjukkan aktifitas pada area visual/perseptual melainkan pada area
emosi negatif (amygdala) dan area yang mengatur perilaku sosial (coudate
nucleus sebelah kanan).
Kapan Seseorang Melakukan Konformitas terhadap Pengaruh Sosial Normatif?

Bibb Latane (1981) mengemukakan teori pengaruh sosial (social impact theory)
untuk menjelaskan variabel-variabel yang menentukan seseorang merespon

1.

2.

3.

4.

pengaruh sosial. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) Strength : seberapa penting


kelompok itu bagi individu; (2) Immediacy : seberapa dekat kelompok itu dalam
segi ruang dan waktu, ketika kelompok mencoba mempengaruhi individu;
(3)Number : seberapa banyak orang di dalam kelompok.
Berikut ini uraian lebih rinci yang berkaitan dengan social impact theory:
Ketika anggota kelompok berjumlah 3 orang atau lebih
Penelitian Asch dan penelitian-penelitian lain menemukan bahwa konformitas
meningkat bila jumlah anggota lebih banyak; tetapi bila anggota berjumlah 4 atau
5 orang maka konformitas tidak bertambah lagi secara signifikan. Jadi, tidak perlu
ada kelompok dengan jumlah yang sangat banyak untuk menciptakan pengaruh
sosial normatif.
Ketika menganggap kelompoknya penting
Tekanan normatif lebih terasa bila berasal dari individu-individu yang memiliki
hubungan persahabatan dan percintaan. Hal ini karena ada nilai yang sangat besar
atas cinta dan penghargaan, sehingga individu yang memiliki kelekatan
(attachment) yang kuat terhadap kelompok seperti itu akan lebih terpengaruh oleh
pengaruh sosial normatif dibanding individu lain yang kelekatannya kurang kuat.
Ketika ada orang yang tidak beraliansi dengan kelompok
Pengaruh sosial normatif dalam kelompok sangat kuat jika individu-individu
dalam kelompok meyakini hal yang sama. Pentingnya memiliki aliansi (sekutu)
dapat diketahui dari eksperimen Asch (1955), di mana 6 dari
7 confederatememberikan jawaban yang salah dan 1 confederate memberikan
jawaban benar dalam tiap percobaan. Hasilnya, meskipun hanya ada satu orang
yang dapat menjadi sekutu namun subjek cukup terbantu untuk menolak tekanan
normatif. Dalam eksperimen ini subjek yang melakukan konformitas hanya 6%.
Padahal dalam kondisi eksperimen di mana semua confederate menjawab salah,
hasilnya 32% yang melakukan konformitas.
Ketika budaya kelompoknya kolektivistik
Milgram yang mereplikasi penelitian Asch di Perancis dan Norwegia menemukan
bahwa partisipan (subjek) di Norwegia memiliki tingkat konformitas lebih tinggi
dibanding partisipan di Perancis. Hal ini nampaknya karena Norwegia yang
memiliki kohesi yang tinggi, memiliki perasaan mendalam di dalam
beridentifikasi pada kelompok; sedangkan Perancis memiliki budaya jauh dari
adanya konsensus dalam kehidupan sosial dan politik.
Hasil penelitian meta analisis terhadap 133 eksperimen Asch menilai garis yang
dilakukan dalam 17 negara , ditemukan bahwa nilai-nilai budaya mempengaruhi
pengaruh sosial normatif (Bond & Smith, 1996). Subjek dari budaya kolektivis
(mementingkan kelompok) menunjukkan konformitas yang lebih tinggi dibanding
subjek dari budaya individualis (mementingkan individu). Dalam budaya
kolektivis konformitas dinilai sebagai ciri positif (yaitu mempromosikan harmoni
dan hubungan yang suportif dalam kelompok); sedangkan di USA yang
individualis konformitas dinilai negatif.

Perbedaan Gender dalam Konformitas


Hasil enelitian terdahulu (Chrutchfield, 1955) menyatakan bahwa perempuan
memiliki tingkat konformitas lebih tinggi dibanding laki-laki. Bagaimanapun
juga hasil riset yang lebih baru menunjukkan hasil yang lebih kompleks.
Eagly dan Carli (1981): meta analisis terhadap 145 penelitian yang mencakup
21.000 partisipan menemukan bahwa laki-laki kurang dapat dipengaruhi
dibanding perempuan, namun perbedaan tersebut sangat tipis.
Selain itu perbedaan konformitas laki-laki dan perempuan juga tergantung
jenis tekanan konformitasnya. Bila berhadapan dengan tekanan sosial, perempuan
lebih memilih melakukan konformitas dibanding laki-laki. Menurut Eagly (1987)
hal ini berkaitan dengan anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan dianggap
lebih mudah menyetujui dan lebih suportif, sedangkan laki-laki dianggap lebih
independen dalam menghadapi tekanan sosial.
Eagly dan Carli (1981) menemukan bahwa peneliti laki-laki dibanding
peneliti perempuan lebih suka menemukan bahwa laki-laki lebih tidak mudah
terpengaruh. Hal ini membuat peneliti laki-laki dan perempuan cenderung berbeda
dalam memilih jenis tugas dalam eksperimen: memilih tugas yang familiar
(sesuai) dengan gender peneliti.
Pengaruh Minoritas: Kapan Sedikit Orang Mempengaruhi Banyak Orang ?
Mascovici (1985; 1994; Mascovici dkk, 1994) berpendapat bahwa terdapat
kondisi di mana individu atau minoritas dalam kelompok dapat mempengaruhi
perilaku atau keyakinan mayoritas. Inilah yang disebut sebagai pengaruh
minoritas (minority influence).
Kunci dari pengaruh minoritas adalah konsistensi : Orang-orang yang memiliki
pandangan minoritas harus memiliki pandangan yang tetap sama dari waktu ke
waktu, dan sesama anggota minoritas satu sama lain harus sepakat. Misalnya,
minoritas ilmuwan memunculkan kepedulian terhadap pemanasan global lebih
dari dua dekade yll; dan sekarang hampir semua ilmuwan memberikan perhatian.
MENGGUNAKAN PENGARUH SOSIAL UNTUK MEMPROMOSIKAN
PERILAKU YANG BERMANFAAT
Konformitas informasional maupun normatif terjadi, termasuk di dalam budaya
individualistis. Jadi, kita dapat menggunakan kecenderungan ini untuk
mempengaruhi orang-orang untuk berperilaku yang baik secara umum.
Cialdini dkk (1991) memberikan saran, pertama-tama kita perlu berfokus pada
jenis norma apa yang beroperasi dalam situasi yang kita hadapi. Dengan demikian
selanjutnya kita dapat mendukung orang-orang untuk melakukan konformitas
yang baik secara sosial.
Terdapat dua jenis norma sosial budaya: injunctive norms dan descriptive norm.
1. Injunctive norms: Persepsi orang-orang mengenai perilaku apa yang disetujui
dan yang tidak disetujui oleh orang lain. Norma ini digunakan untuk memotivasi

perilaku dengan cara menawarkan ganjaran terhadap perilaku yang normatif dan
menawarkan hukuman terhadap perilaku yang tidak normative.
2. Descreptive norms: Persepsi orang-orang mengenai bagaimana secara aktual
orang-orang berperilaku dalam situasi yang dihadapi, tanpa memperhatikan
apakah perilaku itu disetujui atau tidak disetujui oleh orang lain. Norma ini
digunakan untuk memotivasi perilaku dengan cara menginformasikan kepada
orang-orang mengenai perilaku apa yang efektif dan adaptif.
__________________________________________________________________
______
Sumber:
Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology
(6th edition).Singapore: Pearson Prentice Hall

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke Twitter


Read more: http://www.businessdictionary.com/definition/exposure.html#ixzz3YKb0dj7X

Anda mungkin juga menyukai