Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

IMAM GHOZALI
Kritik Terhadap Para Filosof
Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. Jonkenedi, M.Pd.I.

Oleh:
Muhammad Syein (092311044)
Nimatusofa (092311045)
Nur Asih Utami (092311046)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM BKI-2
JURUSAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2010

1. PENDAHULUAN
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum
muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki
pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke penjuru dunia Islam.
Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Bahkan,
mungkin kebanyakan kaum muslimin belum mengerti.
Pengaruh filsafat Imam Ghozali begitu kentalnya. Beliau menyusun
buku yang berisi kritikan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut al-Falasifah
yang membongkar kejelekan filsafat1. Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat
Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu
Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut).
Menurut Imam Ghozali dalam filsafat ada yang bertentangan dengan ajaran
agama dan mengkafirkan sebagian pemikiran mereka.Kritikan Imam al-Ghazali
dipaparkan secara rinci dalam kitab Tahafut al-Falasifah (kekacauan para
filosof). Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya dalam dunia filsafat.

1 http://www.albarokah.or.id. Diakses tanggal 28 oktober 2010.


2

2. BIOGRAFI SINGKAT IMAM GHOZALI


Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad AlGhazali2. Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H
(1056 M). Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi
tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).
Dalam perkembangannya Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama
thasawuf dan aqidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah
dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan
seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam". Al-Ghazali telah dilantik
sebagai Mahaguru Universitas Baghdad pada tahun 488 H (1095 M). AlGhozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat.
Keadaan berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya
yang terbesar ihya Ulumudin. Dalam kitab tersebut, Imam Al -Ghazali
mengatakan bahwa ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi oleh
para muslimin. Sementara ilmu dunia, hanyalah fardhu kifayah. Beliau juga
mengarang kitab Tahafut al-Falasifah yang menjelaskan tentang kerancuankerancuan dalam dunia filsafat. Imam Ghozali yang bergelar Hujjatul Islam
meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505
H/111 M.

3. PEMIKIRAN IMAM GHOZALI


2 Ada yang mengatakan nama Al-Ghozzali ini berasal dari kata Ghazzal, yang artinya
tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol. Tetapi ada juga
yang berpendapat bahwa nama al ghazali diambil dari ghazalah, nama Kampung
kelahiran al-Ghazali. Yang terakhir ini inilah yang banyak dipakai.
3

Al-Ghozali, sebagaimana halnya para penganut aliran al-Asyariyah


menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus digunakan
sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa
mempersepsikan benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan
khayalan maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun alGhozali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang
bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problematika sifat-sifat (Allah), alGhozali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asyari, sehingga ia tidak
menerima pendapat yang dikemukakan oleh aliran Hasywiah 3 maupun
Mutazilah4, karena kedua aliran ini ekstrim. Yang paling baik adalah tengahtengah5.
Menurut al-Ghozali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam
Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah
adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat). Sedangkan ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara
benda-benda. Nampak jelas bahwa al-Ghozali mengagumi pemecahan
masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh al-Asyari, pemecahan ini ia
tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak
pengetahuan.6
4. KRITIK AL-GHOZALI TERHADAP PARA FILOSOF
Kritik Al-Ghazali atas metafisika sebenarnya meliputi kritiknya
terhadap Islamic Aristotelianism (pemikirannya filosof Muslim yang
dipengaruhi oleh Aristoteles yang diformulasikan dengan baik oleh Al-Farabi
3 Aliran Hasywiah berpegang pada arti dari suatu teks(ayat-ayat al-Quran dan asSunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka
antropomorfis.
4 Mutazilah berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus
menafikan sifat-sifat dari Allah.
5 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm,
74.
6 Ibid, hlm, 75.
4

dan Ibn Sina) yang berkembang menjadi teologi rasional berdasarkan


metafisika Aristoteles7.
Karena teologi ini bersifat rasional, salah satu asumsi dasarnya adalah
bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalanpersoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh AlGhazali; dan penolakan ini, sebagaimana terjadi, melibatkan pembuktian
kesalahan asumsi-asumsi tersebut secara rasional. Jika ini dapat diperlihatkan,
kita tidak lagi dapat mempercayai akal pikiran manusia dalam usaha ini; dan
sebaliknya kita mesti menolak metafisika rasional dan menggunakan bantuan
Wahyu untuk pengetahuan semacam itu.8
Metafisika Rasional Emanatif
Al-Farabi dan Ibnu Sina, selaku Muslim, tidak menolak bahwa Tuhan
adalah pencipta abadi alam dan semesta, tetapi mereka percaya bahwa
aktivitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas
kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam materi pertama
yang dinyatakan sebagai abadi bersama Tuhan. Inisesuai dengan pemahaman
Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintas dari tidak ada
menjadi ada , akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut wujud
potensial berkembangmelalui bentuk menuju wujud aktual. Oleh karena
itu, Tuhan selaku pencipta abadi konstan mengombinasikan materi dengan
bentuk-bentuk baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari
ketiadaan belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Sebagai akibat
logisnya, mereka percaya pada keabadian waktu.9
Sebaliknya Al-Ghazali, sesuai dengan ajaran nyata dari Al-Quran,
secara ketat berpegang pada posisi bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan muncul
dari ketiadaan mutlak. Pada saat tertentu pada masa lampau dengan interval
7 Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,(Bandung: Mizan,
2002) hlm. 58.
8Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, hlm. 58.
9Ibid, hlm. 62.
5

terbatas dari masa sekarang. Tuhan tidak hanya menciptakan forma, tetapi
juga materi dan waktu bersama keduanya, yang memiliki permulaan tertentu
dan oleh karenanya bersifat terbatas.10
Keabadian Dunia
Al-Ghazali menolak menggunakan asumsi-asumsi yang dinyatakan
oleh falasifah dan memperlihatkan bahwa mempercayai asal-usul dunia dari
kehendak Tuhan yang abadi dalam waktu tertentu sesuai dengan pilihan-Nya
sama sekali tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental logika. Sedangkan
asumsi falasifah bahwa efek memiliki sebab dan bahwa suatu sebab
merupakan kekuatan di luar efek yang disebabkan, tidak memiliki pemaksaan
logis tentang hal itu. Adalah sah untuk percaya bahwa kehendak Tuhan
memperlakukan suatu sebab atau setidak-tidaknya bahwa sebab tersebut tidak
terletak di luar, tetapi di dalam kehendak-Nya. Adalah mungkin untuk berpikir
bahwa kehendak Tuhan bersifat abadi dan objek dari kehendak tersebut telah
terjadi pada saat tertentu dalam waktu. Di sini harus dibuat pembeda antara
keabadian objek dari kehendak Tuhan. Oleh karenanya secara logis bukan
tidak sah untuk menegaskan keyakinan ortodoks bahwa Tuhan secara azali
berkehendak bahwa dunia harus terwujud secara demikian dan pada saat
tertentu dalam waktu.11
Namun, titik pijak Al-Ghazali sesungguhnya adalah bahwa Tuhan
pantas saja menetapkan secara bebas suatu saat tertentu lebih utama dari saat
yang lain untuk mewujudkan dunia. Kehendak Tuhan sepenuh nyata dibatasi.
Kehendak-Nya tidak bergantung kepada pembeda-pembedaan di dunia luar,
karena kehendak itu sendirilah sumber dari segala pembedaan tersebut. Tuhan
memilih saat tertentu bagi penciptaan alam semesta.Tidak ada cara untuk
menjelaskan pilihan Tuhan dalam hal apapun.
Teori Emanasi

10Ibid, hlm. 62.


11Ibid, hlm. 63
6

Kritik Al-Ghazali terhadap argument emanasionistik mengandung


penjelasan bahwa argument tersebut, di satu sisi gagal memberi gambaran
tentang keanekaragaman dan keteraturan di alam semesta, disisi lain tidak
melakukan yang terbaik dalam membela keesaan Tuhan yang mutlak. Jika
formulasi yang diamati dengan lancar sering diulang-ulang bahwa dari satu
hanya satu yang muncul harus diamati secara logika, seluruh wujud dunia
akan terdiri dari unit-unit. Setiap unit akan menjadi efek dari unit lain di
atasnya dan akan menjadi sebab bagi unit lain di bawahnya menurut model
linear. Namun, dalam kenyataan tidak demikian. Menurut falasifah, setiap
objek setidaknya tersusun dari forma dan materi. Bagaimana benda yang
tersusun (berkomposisi) kemudian terwujud ? Apakah dia hanya memiliki satu
sebab ? Jika jawabannya afirmatif, maka pernyataan bahwa dari satu hanya
satu yang muncul itu batal dan tidak berarti lagi. Sebaliknya, jika benda
berkomposisi memiliki sebab gabungan, maka persoalan yang sama akan
terulang kembali begitu seterusnya hingga pada titik yang majemuk secara
niscaya bertemu dengan sederhana. Kontak antara efek majemuk dan sebab
tunggal di mana saja dia terjadi akan membuktikan kesalahan prinsip tersebut.
Jadi, Seluruh maujud di alam semesta ditandai dengan ketersusunan dan hanya
Prinsip pertama, yakni Tuhan sendiri, yang dapat dikatakan memiliki
kesederhanaan dan kesatuan sejati. Hanya Dia semata yang memiliki identitas
sempurna, baik esensi maupun eksistensi. Dapat disimpulkan bahwa apakah
prinsip hanya satu dari yang satu yang gagal menjelaskan ketersusunan dan
keanekaragaman, seperti yang tampak di alam semesta, ataukah memang
Tuhan tidak memiliki keesaan murni. Seluruh premis falasifah yang berkaitan
dengan teori mereka tentang emanasi dikritik oleh Al-Ghazali tanpa
pengecualian12.
Penggunaan rasio dalam wilayah metafisika tidak memadai dan
keliru. Kita dengan mudah dapat memahami dari argument Al-Ghazali bahwa
rasio semata tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat yang
perennial tersebut. Karena pertimbangan awal ini, akhirnya Al-Ghazali hanya
bersandar kepada Wahyu untuk memperoleh pengetahuan metafisika.
12 Ibid, hlm, 64.
7

Sisi paling penting dari konsepsi Al-Ghazali dalam menolak metafisika


rasional adalah penekanannya pada ketidakmampuan rasio manusia untuk
menangkap secara akurat penyelesaian secara memuaskan persoalan-persoalan
metafisika dan teologi. Penekanan lain diberikan kepada realitas Tuhan yang
berkehendak, yaitu Tuhan sebagai pelaku yang berkehendak . Al-Ghazali
sangat jarang berbicara tentang kemungkinan subjek manusia berkehendak
untuk membangun batang tubuh pengetahuan dalam upaya memahami
fenomena alam, terutama etika mistiknya.13

KESIMPULAN
13Ibid, hlm. 65.
8

Dari makalah ini sedikit penulis menyampaikan beberapa dalam


makalah ini, bahwa menurut al-Ghozali filsafat hanya semata-mata untuk
menguatkan

dasar-dasar

ilmu

kalam.

Al-Ghozali

juga

memandang

bahwasannya cara pengambilan yang demikian sangat dangkal. Sebab, dalam


berfilsafat bukanlah keyakinan kita bertambah teguh melainkan tenggelam
dalam keraguan dan kegelapan. Segala kebenaran, keadilan, kecintaan, dan
keyakinan kita memang menjadi pintar (rasio), pandai mengumpulkan fikiran
kita sendiri. Tetapi, jiwa menjadi kosong. Sebab, akal saja tidaklah dapat
mencari nilai.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.albarokah.or.id. Diakses tanggal 28 oktober 2010.
9

Abullah, Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,


(Bandung: Mizan, 2002).
Asmin Yudian Wahyudi, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004).

10

Anda mungkin juga menyukai