sudah kerja keras tegur sapa, ngajak kenalan, nanya jam, nanya mata pelajaran, dsb.
Matematika, Fisika, dan Kimia sebenarnya mudah, hanya masalahnya karena Kanji
terbatas, kadang saya nggak ngerti yang ditanyain apa. Jadi kadang saya kerjasama
dengan mahasiswa Jepang disamping saya, dia ngerti apa yang ditanyain, tapi nggak bisa
ngerjakan. Sebaliknya saya nggak ngerti yang ditanyain, tapi sebenarnya bisa ngerjain
hehehe. Untuk praktek di lab komputer, ternyata semua pakai terminal Unix (Sun), sama
sekali nggak ada mesin yang jalan under (Microsoft) Windows. Yang pasti, harus sering
mainin command line di shell, untuk ngedit file hanya bisa pakai emacs, browsing hanya
bisa pakai mosaic, laporan harus pakai latex, buat program harus pakai bahasa C atau perl
(CGI) untuk yang berbasis web. Kenyataan membuat saya sadar akan ketidakmampuan
saya .
3. Mahasiswa Yang Sadar Akan Kemampuannya (Consciously Competence)
Karena sadar bahwa banyak hal yang ternyata saya belum mampu, yang saya lakukan
adalah belajar keras. Saya kurangi tidur, saya perbanyak baca, perbanyak beli buku, beli
kamus elektronik, banyak diskusi dengan teman-teman mahasiswa Jepang. Saya mulai
banyak bermain-main dengan Linux dan FreeBSD di rumah untuk kompatibilitas dengan
tugas kampus. Nyambung internet dengan dialup, mulai belajar mengelola server, mulai
membuat program kecil-kecilan dengan bahasa C dan Perl. Banyak kerja part time, mulai
dari nyuci piring, interpreter, code tester dan programmer. Saya mulai aktif di dunia
kemahasiswaan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus, termasuk ikut mengurusi
Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang sampai pernah terpilih jadi ketua
umumnya. Knowledge dan skill di kampus terasah, experience dan manajemen
keorganisasian juga terasah. Alhamdulillah saya mulai banyak punya teman Jepang,
kadang makan bareng, main bareng atau ngoprek komputer bareng di asrama mereka.
Untuk menambah ilmu kadigdayaan (sebenarnya sih untuk keperluan kerja part time ),
saya menambah peliharaan komputer di apartemen dengan Apple Macintosh dan
beberapa Unix machine.
Tahun pertama dan kedua terlewati dengan baik, nilai lumayan dengan nuansa penuh
kegembiraan. Saya berusaha semaksimal mungkin menjual kemampuan saya,
baik dalam bentuk jasa alias sebagai interpeter, lecturer, programmer, software engineer,
maupun dalam kemasan produk software yang saya buat (sistem informasi rumah sakit,
sistem informasi periklanan, web application, network management system, dsb).
Alhamdulillah saya sudah bisa mandiri dan mendapat banyak pengalaman dan
keuntungan finansial mulai tahun ketiga kehidupan saya di Jepang, sehingga akhirnya
saya putuskan menikah dini supaya lebih tenang, aman dan sehat . Nah pada masa
ini jenis saya adalah semakin sadar akan kemampuan saya .
4. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Kemampuannya (Unconsciously
Competence)
Saya banyak ngejar kredit di tahun 1 dan 2, dengan harapan bisa tobikyu (loncat tingkat),
meskipun saya kemudian nggak minat lagi karena ternyata di Jepang kalau kita loncat
langsung ke program Master (S2), ijazah S1 nggak diberikan oleh Universitas. Resiko
besar kalau saya balik Indonesia tanpa ijazah S1, urusan birokrasi pemerintahan (PNS)
akan merepotkan, apalagi kalau nanti nyalon jadi walikota semarang, bisa kena pasal
ijazah palsu hehehe. Akhirnya tingkat 3 kuliah banyak kosong (sudah terambil di
tingkat sebelumnya). Part time juga saya lebih selektif, hanya di bidang garapan saya
saja, yang bisa kerja remote dan lebih bebas waktunya. Tidak ada lagi tempat untuk kerja
kasar nyuci piring atau angkat karung. Saya terpaksa ambil mata kuliah jurusan lain
untuk menjaga ritme kampus. Meskipun kadang ditolak professor pengajar, karena saya
ambil mata kuliah semacam combustion, teknologi pendidikan, sistem tata kota, dsb yang
nggak ada hubungan dengan computer science. Akhirnya karena keasyikan ngambil
kredit, nggak sadar kelebihan kredit. Total terambil 170 kredit, padahal syarat lulus S1
hanya 118 kredit :D.
Sehari hampir 18 jam di depan komputer, kecuali tidur sekitar 6 jam, tugas kampus juga
saya kerjakan dengan baik. Akhirnya masuklah saya ke masa, nggak ngerti lagi mau
ngapain di Internet . Saya mulai suka iseng dan banyak aktif di dunia underground
dengan berbagai nama samaran. Saya kadang membuat program looping tanpa stop untuk
mbangunin admin kampus, alias men-downkan server karena overload CPU dan memori.
Kadang nge-brute force account teman untuk ambil passwordnya, sehingga bisa baca
email-email cintanya . Sampai akhirnya saya pernah kena skorsing 3 bulan karena
ngecrack account professor-professor di kampus. Nah di masa ini, saya berubah jenis
sebagai mahasiswa yang nggak sadar bahwa punya kemampuan untuk berbuat negatif
dan merusak kestabilan kampus .
Di sisi lain, saya banyak mendapatkan knowledge di Universitas, formal language dan
automata, software project management, software metrics, requirement engineering, dsb
yang pada saat dapat kita mikirnya ini nanti dipakai dimana yah . Tapi ternyata semua
itu bekal yang cukup berguna ketika harus masuk ke dunia industri dan menggarap
project-project yang lebih riil. Kondisi seperti ini juga termasuk dalam posisi yang tidak
sadar akan kemampuannya
Bagaimanapun juga mahasiswa sebaiknya di arahkan untuk menjadi jenis ke-3, yang
sadar akan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk hal-hal positif.
Kalaupun ada mahasiswa yang dengan skillnya terjebak tindakan negatif, pembimbing
ataupun dosen juga harus bijak mensikapi. Bagaimanapun juga ini semua adalah proses
belajar dan proses pematangan diri. Sebagai tambahan, 4 hal diatas diformulasikan orang
dan terkenal dengan nama teori Experiential Learning. Lalu anda termasuk yang
mana? Silakan dijawab sendiri.
Yang paling penting, apapun jenis anda, jangan pernah menyerah dan tetap dalam
perdjoeangan !