Anda di halaman 1dari 13

Nama Ko-ass

NRP
Stase
Tugas

: Dionissa Shabira
: 1320221109
: Departemen Kulit dan Kelamin
: Pembacaan Jurnal

Mikrobiologi Impetigo pada Anak-Anak Pribumi: Hubungan Antara


streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus, scabies dan nasal carriage
Asha C Bowen1,2,3, Stven YC Tong1,4, Mark D Chatfield3 dan Jonathan R
Carapetis2,3
ABSTRAK
Latar belakang: impetigo disebabkan oleh streptococcus pyogenes dan
staphylococcus aureus; kontribusi keduanya telah dilaporkan berfluktuasi sesuai
dengan waktu dan wilayah tertentu. Sementara S. Aureus dilaporkan kebanyakan
meningkat di daerah industri, sementara S. Pyogenes masih dianggap sebagai
penyebab impetigo pada daerah endemik dan tropis. Namun, beberapa penelitian telah
menggunakan berbagai metode pengembangan mikrobiologi berkualitas tinggi untuk
membuktikan asumsi ini. Kami melaporkan prevalensi dan resistensi antimikroba
patogen pada impetigo yang pulih dalam percobaan perawatan impetigo secara acak
terkontrol (a randomized controlled trial) yang dilakukan pada masyarakat pribumi
terpencil di daerah Australia Bagian Utara.
Metode: setiap anak memiliki satu atau dua luka dan pada nares anterior dilakukan
swabs/kerokan luka. Semua hasil swabs/kerokan dipindahkan ke cairan glikogen
tryptone susu skim (skim milk tryptone glucose glycogen broth/ STGGB) dan
dibekukan pada suhu -700C, sampai ditaruh pada media agar darah kuda. S. Aureus
dan S. Pyogenes kemudian dikonfirmasi dengan aglutinasi latex.
Hasil: dari 508 anak, kami mengumpulkan 872 swabs/kerokan dari luka dan 504
swabs/kerokan dari nares anterior sebelum memulai terapi antibiotik. S. Pyogenes
dan S. Aureus diidentifikasi pada 503 luka dari total 872 luka (58%) luka; dengan
luka tambahan sebanyak 207 dari 872 luka (24%) yang memiliki S. Pyogenes dan 81
luka dari luka 872 (9%) yang memiliki S. Aureus, dalam isolasi. Swabs/kerokan
penyeka luka kulit yang diambil selama beberapa episode dengan diagnosis kudis
yang dilakukan pada waktu yang sama memiliki kemungkinan pengembang-biakkan
S. Pyogenes yang lebih tinggi (OR 2.2, 95% CI 1.1 4.4, p = 0,03). Delapan belas
persen anak-anak memiliki nasal carriage patogen kulit. Tidak ada hubungan antara
keberadaan S. Aureus pada hidung dan kulit, resistensi metisilin terdeteksi pada 15%
anak-anak yang dikultur dengan S.aureus baik dari luka ataupun hidungnya. Tidak ada
hubungan yang ditemukan antara tingkat keparahan impetigo dengan deteksi patogen
kulit.
1

Kesimpulan: S. Pyogenes tetap menjadi patogen utama pada impetigo tropis;


kontribusi yang relatif tinggi dari S. Aureus sebagai co-patogen juga telah
dikonfirmasi. Anak anak dengan scabies lebih cenderung memiliki S. Pyogenesis
yang terdeteksi. Sementara kejelasan S. Pyogenes merupakan sebuah penentu utama
keberhasilan pengobatan, sementara koinfeksi dengan S. Aureus memberikan
pertimbangan pilihan-pilihan pengobatan yang efektif pada kedua patogen tersebut
pada impetigo yang berat dan biasa.
Kata kunci: impetigo, tropis, endemik, Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes, Scabies.

I. LATAR BELAKANG
Impetigo merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pyogenes. Hal ini sering terjadi pada anak-anak pribumi di
Australia Utara, dengan prevalensi sebesar 70%[1]. Telah dilaporkan S. Aureus dan S.
Pyogenes terbukti bervariasi sepanjang waktu [2]. Dalam beberapa dekade terakhir, S.
Aureus dan peningkatan resistensi methicillin pada S. Aureus (MRSA) telah menjadi
penyakit yang terbukti dominan dalam penelitian terhadap impetigo di seluruh dunia,
kebanyakan penelitian dilaksanakan di daerah beriklim sedang, siasanya di negaranegara makmur [3] diamana beban penyakitnya rendah. Sebaliknya, pada daerah
tropis, impetigo jauh lebih sering ditemukan dan memiliki beban sequelae terbesar
[4]. S. Pyogenes diasumsikan menjadi patogen yang dominan [5] tapi beberapa
penelitian melaporkan kemunculan impetigo pada infeksi kulit dan jaringan lunak
yang disebabkan oleh S. Aureus [6, 7]. Terbatasnya penelitian mengenai mikrobiologi
penyebab penyakit impetigo dan resistensi antimikroba tidak diketahui [5]. Impetigo
sangat terkait dengan scabies di lingkungan tropis [8], tetapi pengaruh scabies pada
mikrobiologi impetigo belum dijelaskan sebelumnya. Kami melaporkan mikrobiologi
impetigo pada sebuah lingkungan dengan beban penyakit yang tinggi dan mendalami
hubungan dari mikrobiologi ini dengan umur, jenis kelamin, wilayah, tingkat
keparahan, kemunculan sacbiess dan patogen saluran napas yang menyebabkan
penyakit kulit. Dataset kami berasal dari percobaan acak terkontrol non-inferioritas
yang besar yang membandingkan trimethoprim sulphamethoxazole / SANPRIMA
Tablet, Sirup (SXT) dengan penisilin benzatin G (BPG) untuk perawatan impetigo
pada anak-anak pribumi[9].
II. METODE
Desain penelitian
Anak-anak di daerah tersebut yang berusia 3 bulan sampai 13 tahun
merupakan peserta RCT (percobaan acak terkontrol). Anak anak yang dapat
berpartisipasi lebih dari satu kesempatan jika setidaknya telah melalui 90 hari sejak
keterlibatan terakhir mereka pada percobaan ini. Dengan demikian, 508 anak-anak

dari 12 komunitas terpencil daerah utara terdaftar untuk mengikuti 663 episode
impetigo; semua analisis yang ditunjukkan disini dibatasi untuk episode pertama anak
saja. Enam komunitas (terdiri dari 463/508 anak-anak) yang berada pada daerah iklim
tropis seringkali disebut sebagai Top End. Komunitas yang tersisa berada di
Australia Tengah dimana disana terdapat iklim gurun. Anak anak kemudian di
kelompokkan berdasarkan tingkat keparahan impetigonya, Tingkat parah meliputi
anak anak dengan 2 luka purulen atau luka berkerak (krusta) dan 5 luka tubuh
secara keseluruhan.
Metoda swab, pemindahan dan Kultur
Setiap anak memiliki swab/kerokan yang diambil dari satu atau dua luka
(tergantung apakah tergolong ringan atau parah) sebelum menggunakan antibiotik.
Sebuah swab/kerokan nares anterior didapatkan untuk menentukan patogen pembawa
pada impetigo dalam konteks infeksi. Swab/kerokan dikumpulkan antara 26
November 2009 dan 20 november 2012. Swab/kerokan menggunakan kapas berujung
serat rayon / Rayon tipped cotton swabs (Copan, italy)dipindahkan pada suhu 4oC
dalam 1 mL kaldu gliogen glukosa tripton susu skim (STGGB) dan dibekukan pada
suhu -70oC selama 5 hari pengumpulan. Swab/kerokan dicairkan, di-vortex dan satu
sampel ditaruh media agar darah kuda dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 oC
[10]. S. Aureus dan S. Pyogenes diidentifikasi secara morfologis dan dikonfirmasi
dengan aglutinasi latex. Semua isolat S. Aureusna terdiri dari staphytect (Oxoid UK)
dan deoxyribonuclease (Dnase, BD Diagnostics, USA) S. Pyogenes positif yang di
aglutinasikan dengan grup A Lancefield antisera (Oxoid).
Uji Kepekaan Antimikrobial
Uji kepekaan antimikrobial untuk S. Aureus ditentukan pada platform Vitek2
yang menggunakan Kartu 22359 VITEK-AST_P612 (bioMeriux, Prancis) dengan
penggunaan breakpoin dari Clinical and Laboratory and Standards Institute (CLSI,
2011)[11]. MRSA didefinisikan sebagai setiap S. Aureus dengan layar cefoxitin
positif. Non-multidrug resistant MRSA (nmMRSA) didefinisikan sebagai MRSA
yang resistan terhadap < 3 antibiotik non beta-lactam tambahan [12]. multidrug
resistan MRSA (mMRSA) diartikan sebagai MRSA yang resisten terhadap antibiotik
3 non beta laktam [12].

Kami melakukan uji kepekaan untuk S. Pyogenes dengan penisilin, eritomisin


dan cakram klindamisin mengguunakan standar difusi cakram CLSI. Kerentanan SXT
untuk S. Pyogenes ditentukan dengan E test (bioMeriux) menurut komite Eropa
pada standar pengujian kerentanan antimikroba (EUCAST) (www.eucast.org, terakhir
diakses pada 15 November 2014) strain rentan SXT memiliki MIC 1 mg/L dan
isolat resistan memiliki MIC > 2 mg/L.
Pernyataan Etika
Penelitian ini telah disetujui oleh Departemen Kesehatan Bagian Utara dan
Menzies School of Health Research Human Research Ethics Committee (09/08).
Persetujuan tertulis untuk semua prosedur penelitian diperoleh dari orang tua atau
wali anak anak .
Analisis statistik
Mixed-effect logistic regression (efek acak yang menghitung data yang
berkorelasi digunakan karena luka yang banyak untuk anak-anak dengan impetigo
tahap parah) yang menggunakan strata 13 (stratacorp, Texas, USA) dilakukan untuk
menilai hubungan antara pertumbuhan patogen kulit dan kemunculan scabies,
impetigo parah, usia, jenis kelamin, wilayah dan patogen saluran napas penyakit kulit.
III. HASIL
Hasil Mikrobiologi Awal
Luka-luka
Kami memperoleh 872 swab/kerokan luka dari 508 anak anak dengan
impetigo yang tidak diobati (usia rata ratanya 7 tahun, kisaran interkuartilnya 5-9
tahun) pada awalnya. Dua puluh dua persen anak anak berada pada tingkat impetigo
yang berat, semuanya memiki dua luka yang swab. Sebuah patogen impetigo
diidentifikasi pada 488/508 (96%) anak anak. Dari 872 luka yang di swab/kerokan, S.
Aureus dan S. Pyogenes diidentifikasi secara berbarengan pada 503/872 (58%) luka,
S. Pyogenes sendiri diidentifikasi pada 207 luka dari 972 luka (24%), dan S. Aureus
sendiri diidentifikasi pada 81 luka dari 972 luka (9%). Swab/kerokan dari anak anak
dengan impetigo berat tidak menunjukkan salah satu atau bahkan kedua patogen kulit

tersebut dibandingkan dengan swab dari anak anak dengan impetigo ringan (Tabel 1).
S. Aureus sepertinya kurang terdeteksi pada anak anak yang lebih tua (OR 0,6, 95%
CI 0.4cenderung tidak menunjukkan salah satu atau bahkan kedua patogen kulit
tersebut dibandingkan dengan penyeka dari anak anak dengan strata impetigo ringan
(Tabel 1). S. Aureus sepertinya kurang terdeteksi pada anak anak yang lebih tua (OR
0,6, 95% CI 0.4 0.9 untuk anak anak 5 tahun. Uji wald pada 2 derajat kebebasan
0= 0.04) atau pada anak anak dari australia tengah (OR 0.5, 95% CI 0,3 09. P =
0.02). Anak anak dari Australia bagian tengah memiliki lebih sedikit luka yang
terkena co-infeksi dengan S. Aureus maupun S. Pyogenes dari pada anak anak
didaerah Top End (OR 0.5, 95% CI 0.3 0.9, p= 0.01).
Scabies
Scabies dididiagnosis pada 84 anak dari 508 anak (17%): dengan kelompok
usia; 0-4 tahun (28/136, 21%); 5-9 tahun (40/271, 15%) dan 10-13 tahun (16/101,
16%). Penderita dengan scabies, lebih sering terdeteksi S. Pyogenes dari luka-lukanya
(OR 2,2, 95% CI 1,1-4,4, p= 0.03) (Tabel 1).
Beta Streptokokus Hemolitik yang lain
Tujuh ratus lima puluh empat beta streptokokus hemolitik dikultur dari
swab/kerokan kulit dan hidung dari 508 anak-anak penderita impetigo. Dari jumlah
tersebut, 740 beta streptokokus hemolitikus dari 754 (98%) adalah S. pyogenes
dengan 710 dari kerokan kulit dan 30 dari kerokan hidung. Beta streptokokus
hemolitik yang lainnya adalah kelompok C (2 kulit, 2 hidung) dan kelompok G (7
kulit, hidung 3).
Ketahanan Antibiotik
Salah satu isolasi dari S. pyogenes dan S. Aureus yang dipilih per anak untuk
pelaporan profil kerentanan antibiotiknya. Bila memungkinkan, isolasi dikultur dari
luka kulit yang dipilih, dengan sisanya yang berasal dari swab/kerokan nares anterior.
S. pyogenes
Terdapat 455 anak-anak dengan paling tidak satu isolasi S. pyogenes yang
tersedia untuk penilaian kerentanan antibiotik. Semua isolasi S. pyogenes terbukti
rentan terhadap penisilin dan eritromisin. Resistensi klindamisin terdeteksi pada 9
6

anak dari 455 anak (2%) isolasi S. pyogenes. Resistensi SXT terdeteksi pada 4anak
dari 455 anak (<1%) isolasi di awal dengan MIC> 2 mg / L. [13] Median SXT MIC
untuk S. Pyogenesnya sebesar 0,094 (kisaran interkuartil, 0,094-0,125) mg / L.
S. aureus
Terdapat 435 anak-anak dengan paling tidak satu isolasi S. aureus yang
tersedia untuk penilaian kerentanan antibiotik. Resisten terhadap methicillin pada S.
aureus terdeteksi pada 65 anak dari 435 anak (15%) isolasi, yang semuanya
nmMRSA. Tidak ada yang terdeteksi mMRSA. Tingkat resistensi untuk antibiotik lain
pada anak ialah penisilin 413/435 (95%), SXT 3/435 (<1%), eritromisin 60/435 (14%)
dan asam fusidic 9/435 (2%). Resistensi klindamisin yang dapat diinduksi dilaporkan
pada 60/435 (14%), 86%-nya adalah MSSA. Semua isolasi resisten SXT 3 adalah
nmMRSA. Antibiotik lain yang termasuk pada kartu VITEK untuk uji kerentanan S.
aureus semua memiliki tingkat resistensi dibawah 0,02%. Karena itu, dengan S.
aureus yang terdeteksi, kemunculan MRSA tidak mencapai signifikansinya pada jenis
kelamin, kelompok umur, tingkat keparahan, kemunculan scabies ataupun wilayah
(Tabel 1).

Tabel 1 hasil dari model regresi logistik untuk menilai hubungan antara patogen
impetigo dengan usia, jenis kelamin, tingkat keparahan, kemunculan scabies
serta wilayah

Variabel

S. pyogenes pada luka

S. aureus pada luka

Keduanya pada luka

MRSA pada lu

OR

95% CI

OR

95% CI

OR

95% CI

OR

95%

Wanita

1.3

0.8-2.1

1.0

0.7-1.4

1.1

1.1

1.0

0.6-

0-4 Tahun

(ref)

(ref)

(ref

5-9 Tahun

1.1

0.7-2.0

0.6

0.4-0.9

0.8

0.8

0.9

0.5-

10-13 Tahun

1.2

0.6-2.4

0.5

0.3-0.9

0.7

0.7

0.7

0.3-

Strata

1.4

0.8-2.6

0.7

0.4-1.1

1.1

1.1

0.6

0.3-

2.2

1.1-4.4

0.8

0.5-1.3

0.9

0.9

1.4

0.7-

1.2

0.5-2.8

0.5

0.3-0.9

0.5

0.5

1.1

0.4-

Keparahan
Kemunculan
kudis
Australia
Tengah

Patogen Saluran Napas Pada Penyakit Kulit


S. aureus
Sebuah swab/kerokan hidung diambil di awal pada 504 anak dari 508
anak(99%). Sebelum perawatan, 91 anak dari 504 anak (18%) telah terkonfirmasi
memiliki patogen pembawa penyakit kulit pada nares anterior. S. Aureus maupun S.
Pyogenes sembuh pada 16 anak dari 91 anak (18%). S. Pyogenes sendiri dari 14/91
(15%) dan S. Aureus sendiri dari 61/91 (67%). pada anak anak yang memiliki patogen
saluran napas S. Aureus, 66/77 (86%) memiliki MSSA dan 11/77 (14%), MRSA.
Patogen saluran napas S. Aureus dan A. Pyogenes masing masing 77/504 (15%) dan
30/504 (6%).
Kami meneliti hubungan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan S.
aureus dengan kemunculan S. aureus pada luka impetigo. Ada 504 anak-anak dengan
swab/kerokan kulit dan hidung yang tersedia (Tabel 2). Anehnya, dari 410 anak yang
dikultur S. aureus pada kulitnya, hanya 54 (13%) yang juga mengidap S. aureus di
hidung. Berdasarkan antibiogram tersebut, dari 54 anak dengan S. aureus baik di luka
hidung maupun kulit, empat anak memiliki strain S. Aureus yang bertentangan (yaitu,
MSSA di satu lokasi dan MRSA di lokasi lainnya). Dari 94 anak yang tak mengidap
S. aureus pada kulit, ada 23 (24%) anak-anak yang mengidap S. aureus di hidung.
Dari 424 anak-anak yang mengidap S. pyogenes pada kulit, 28 (7%) memiliki
pertumbuhan S. pyogenes yang bersamaan dari nares anterior. Ada 2 anak-anak
dengan pertumbuhan S. Pyogenes yang terisolasi dari nares anterior. Memperluas
model Tabel 2, kolonisasi hidung dengan S. aureus dikaitkan dengan sedikit S. aureus
pada kulit, tidak lebih (OR 0,6, 95% CI 0,4-1,0, p = 0,04), yang menunjukkan
epidemiologi S. aureus yang terpisah di kedua lokasi tersebut.
IV. DISKUSI
S. pyogenes tetap menjadi patogen impetigo utama pada anak-anak di pedalaman
Australia. Koinfeksi dengan S. aureus juga sangat lazim. Selain itu, penelitian kami
memperluas pemahaman tentang mikrobiologi impetigo dimana scabies adalah
penyakit endemik. Pada infeksi scabies , kami menemukan bahwa S. pyogenes lebih
memungkin untuk pulih dari luka impetigo. Kami juga menemukan tidak ada korelasi
positif antara patogen saluran napas yang disebabkan oleh S. aureus dengan

pemulihan S. aureus dari luka impetigo, dan tidak ada hubungan antara tingkat
keparahan impetigo dan pemulihan S. Pyogenes maupun S. aureus atau keduanya.
Tabel 2 Identifikasi Staphylococcus aureus dari setiap luka impetigo dan nares
anterior untuk semua anak anak yang paling tidak dengan swab/kerokan kulit
dan hidung (n = 504)
Nares anterior
Positif
Impetigo

Paling tidak 1 54 (13%)

Total
Negative
356 (87%)

$10 (100%)

23 (24%)

71 (76%)

94 (100%)

77 (15%)

427 (85%)

505 (100%)

luka positif
Negatif
Total

Hubungan yang lebih kuat antara S. pyogenes daripada S. Aureus dengan


kemunculan scabies selaras dengan penelitian sebelumnya yang terkait dengan wabah
scabies dengan epidemi glomerulonefritis pasca-streptokokus [14] dan pengobatan
scabies yang direkomendasikan di tingkat masyarakat untuk mengurangi komplikasi
pioderma streptokokus [15,16]. Hubungan scabies dengan impetigo pada anak-anak
perkotaan sama tingginya dengan yang ditemukan dalam penelitian kami dengan nilai
25/111 (23%) [17]. Tidak ada penelitian sebelumnya yang telah melaporkan hubungan
antara scabies dan deteksi MRSA. Sedangkan tingkat keduanya tinggi, kami tidak
dapat mendeteksi hubungan yang signifikan antara scabies dan deteksi MRSA.
Baik S. pyogenes maupun S. Aureus, keduanya telah terbukti sebagai patogen
impetigo utama, namun kontribusi relatif keduanya yang dilaporkan telah berfluktuasi
sepanjang waktu dan wilayah. Penelitian impetigo mikrobiologi sebelumnya pada
anak Penduduk Asli Australia perkotaan maupun terpencil menunjukkan tingginya
tingkat koinfeksi [17,18]. Valery et al. mendeteksi koinfeksi dengan patogen kulit
pada 54% anak-anak pribumi perkotaan. Dari anak-anak yang mengidap baik
impetigo maupun scabies, S. pyogenes telah pulih dari 82% dan S. aureus dari 77%
[17]. S. pyogenes tetap menjadi patogen kulit yang penting di wilayah kami, seperti
yang juga telah dilaporkan dari Fiji [8,19] dan mendukung resep antibiotik aktif yang
sedang berlangsung terhadap S. pyogenes untuk pengobatan impetigo yang efektif di
10

daerah tropis. Hasil uji klinis kami menegaskan pentingnya membersihkan S.


pyogenes untuk mencapai penyembuhan luka impetigo [9].
Dominasi S. aureus yang terisolasi dan peningkatan tingkat MRSA yang
dilaporkan di tempat lain pada infeksi kulit dan jaringan lunak [6,20,21] tidak
ditemukan dalam penelitian kami. Resistensi terhadap methicillin terdeteksi pada 15%
isolasi S. aureus. Ini lebih rendah dari yang dilaporkan sebelumnya untuk konteks
tropis pedalaman kita[22] dan lebih rendah daripada tingkat yang ditemukan dalam
survei S. aureus selama 20 tahun di wilayah kami [23] tetapi ini konsisten dengan
studi impetigo pada anak-anak pribumi perkotaan Australia utara [17]. Kami tidak
yakin apakah MRSA berubah berdasarkan usia, karena hal ini sebelumnya tidak
pernah dipelajari lebih dalam, tapi kami tidak menemukan bukti apa hal itu memang
benar. Pengamatan tingkat MRSA yang stabil di seluruh kelompok umur,
menyarankan kolonisasi awal anak-anak di daerah terpencil dengan strain MRSA.
Kami menemukan bahwa anak-anak dengan tingkat yang parah yang memiliki
lebih dari lima luka purulen atau luka berkerak cenderung tidak lebih banyak untuk
terinfeksi S. pyogenes dan / atau S. aureus dibandingkan dari anak-anak dengan strata
ringan. Meskipun mereka yang dikelompokkan di strata ringan, yang menunjukkan
luka keseluruhan lebih sedikit, mungkin memiliki fenotipe yang lebih ringan untuk
tiap luka individu, mikrobiologi luka tersebut tidaklah berbeda. Dengan demikian kita
memberikan bukti kuat untuk membantah data pengamatan awal pada pasien
pengidap impetigo dimana hubungan koinfeksi dengan fenotipe yang lebih parah
dicurigai tetapi tidak dikonfirmasi [24,25].
Sementara penyakit tenggorokan yang disebabkan oleh S. pyogenes umumnya
terbukti dan tidak dianggap sebagai reservoir untuk infeksi kulit, nares anterior
diperkirakan jarang sekali terkena infeksi S. pyogenes [26]. Dengan demikian,
swab/kerokan tenggorok tidak dimasukkan dalam desain penelitian kami karena kami
fokus pada karakterisasi penyakit saluran napas yang disebabkan oleh S. aureus.
Namun, temuan kami mengenai penyakit saluran napas S. pyogenes pada 7% anakanak memberikan validasi hasil eksternal dari perekrutan dimana penyakit saluran
napas S. pyogenes ditemukan pada 8% pengidap ecthyma [27]. Tidak ada korelasi
antara penyakit saluran napas S. aureus dengan pemulihan S. aureus dari luka
impetigo. Penelitian sebelumnya telah menyimpulkan bahwa ketika impetigo

11

mempengaruhi sebagian besar anggota tubuh bagian bawah, tidak ada patogen saluran
napas S. aureus ataupun genotipe yang berbeda [28]. Data kami setuju dengan
pengamatan ini bahwa 67% dari episode impetigo hanya melibatkan anggota tubuh
bagian bawah [9]. Seperti sebelumnya telah ditunjukkan dalam penelitian [29],
dekolonisasi hidung juga tidak mungkin menjadi strategi yang berguna dalam
mengurangi beban impetigo di daerah tropis, pengaturan endemik kami.
Sebuah penelitian dari Ghana pada 1970-an dengan iklim tropis serupa
menemukan impetigo yang didominasi oleh Lancefield kelompok C dan G
streptokokus [30]. Temuan ini tidak direproduksi dalam penelitian kami dan belum
dikonfirmasi dalam studi mikrobiologi lain yang diterbitkan dari wilayah kami [18]
atau konteks tropis lainnya [31]. Streptokokus A non-grup sepertinya tidak
memainkan peran penting dalam patogenesis impetigo.
Kelebihan penelitian ini adalah standarisasi prosedur untuk skrining, swab dan
kultur mikrobiologi dalam konteks percobaan klinis yang dilakukan sesuai dengan
Konferensi Internasional tentang Pedoman Harmonisasi Praktek Klinis yang baik.
Selain itu, sejumlah besar anak-anak direkrut dari 12 komunitas yang berbeda dari
dua wilayah Bagian Utara menyarankan bahwa kesimpulannya tepat. Hasil genotipe
yang isolasi tidak dilakukan untuk mengetahui korelasi dari isolasi kulit dan hidung.
Ketidakmampuan untuk mengkorelasikan epidemiologi molekuler dengan fenotip
adalah batasan dari penelitian ini. Sedangkan biaya pengelompokkan molekul secara
keseluruhan menjadi lebih terjangkau, biaya isolasi dalam jumlah besar dalam
penelitian ini menjadi penghalang bagi analisis molekuler yang lebih lanjut.
V. KESIMPULAN
S. pyogenes tetap menjadi patogen kunci dalam impetigo dalam
konteks tropis, meskipun kenaikan S. aureus yang ditemukan di
banyak pengaturan industri dan tropis. Temuan kami sesuai dengan
temuan yang dilaporkan dari Fiji [8] dan menegaskan bahwa
impetigo dalam konteks tropis disebabkan oleh S. pyogenes.
Dengan

tidak

adanya

mikrobiologi

impetigo

lokal,

algoritma

pengobatan harus tetap fokus pada pengobatan S. pyogenes.


Namun, kami telah menunjukkan bahwa koinfeksi dengan S.

12

pyogenes maupun S. aureus sangatlah memungkinan. Dengan


demikian, pertimbangan pengobatan impetigo dengan sebuah agen
yang efektif terhadap S. pyogenes dan S. aureus adalah penting.
Kami juga telah menyimpulkan bahwa dalam konteks impetigo,
tidak ada hubungan antara kolonisasi hidung dan infeksi kulit
dengan S. aureus.

13

Anda mungkin juga menyukai