NRP
Stase
Tugas
: Dionissa Shabira
: 1320221109
: Departemen Kulit dan Kelamin
: Pembacaan Jurnal
I. LATAR BELAKANG
Impetigo merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pyogenes. Hal ini sering terjadi pada anak-anak pribumi di
Australia Utara, dengan prevalensi sebesar 70%[1]. Telah dilaporkan S. Aureus dan S.
Pyogenes terbukti bervariasi sepanjang waktu [2]. Dalam beberapa dekade terakhir, S.
Aureus dan peningkatan resistensi methicillin pada S. Aureus (MRSA) telah menjadi
penyakit yang terbukti dominan dalam penelitian terhadap impetigo di seluruh dunia,
kebanyakan penelitian dilaksanakan di daerah beriklim sedang, siasanya di negaranegara makmur [3] diamana beban penyakitnya rendah. Sebaliknya, pada daerah
tropis, impetigo jauh lebih sering ditemukan dan memiliki beban sequelae terbesar
[4]. S. Pyogenes diasumsikan menjadi patogen yang dominan [5] tapi beberapa
penelitian melaporkan kemunculan impetigo pada infeksi kulit dan jaringan lunak
yang disebabkan oleh S. Aureus [6, 7]. Terbatasnya penelitian mengenai mikrobiologi
penyebab penyakit impetigo dan resistensi antimikroba tidak diketahui [5]. Impetigo
sangat terkait dengan scabies di lingkungan tropis [8], tetapi pengaruh scabies pada
mikrobiologi impetigo belum dijelaskan sebelumnya. Kami melaporkan mikrobiologi
impetigo pada sebuah lingkungan dengan beban penyakit yang tinggi dan mendalami
hubungan dari mikrobiologi ini dengan umur, jenis kelamin, wilayah, tingkat
keparahan, kemunculan sacbiess dan patogen saluran napas yang menyebabkan
penyakit kulit. Dataset kami berasal dari percobaan acak terkontrol non-inferioritas
yang besar yang membandingkan trimethoprim sulphamethoxazole / SANPRIMA
Tablet, Sirup (SXT) dengan penisilin benzatin G (BPG) untuk perawatan impetigo
pada anak-anak pribumi[9].
II. METODE
Desain penelitian
Anak-anak di daerah tersebut yang berusia 3 bulan sampai 13 tahun
merupakan peserta RCT (percobaan acak terkontrol). Anak anak yang dapat
berpartisipasi lebih dari satu kesempatan jika setidaknya telah melalui 90 hari sejak
keterlibatan terakhir mereka pada percobaan ini. Dengan demikian, 508 anak-anak
dari 12 komunitas terpencil daerah utara terdaftar untuk mengikuti 663 episode
impetigo; semua analisis yang ditunjukkan disini dibatasi untuk episode pertama anak
saja. Enam komunitas (terdiri dari 463/508 anak-anak) yang berada pada daerah iklim
tropis seringkali disebut sebagai Top End. Komunitas yang tersisa berada di
Australia Tengah dimana disana terdapat iklim gurun. Anak anak kemudian di
kelompokkan berdasarkan tingkat keparahan impetigonya, Tingkat parah meliputi
anak anak dengan 2 luka purulen atau luka berkerak (krusta) dan 5 luka tubuh
secara keseluruhan.
Metoda swab, pemindahan dan Kultur
Setiap anak memiliki swab/kerokan yang diambil dari satu atau dua luka
(tergantung apakah tergolong ringan atau parah) sebelum menggunakan antibiotik.
Sebuah swab/kerokan nares anterior didapatkan untuk menentukan patogen pembawa
pada impetigo dalam konteks infeksi. Swab/kerokan dikumpulkan antara 26
November 2009 dan 20 november 2012. Swab/kerokan menggunakan kapas berujung
serat rayon / Rayon tipped cotton swabs (Copan, italy)dipindahkan pada suhu 4oC
dalam 1 mL kaldu gliogen glukosa tripton susu skim (STGGB) dan dibekukan pada
suhu -70oC selama 5 hari pengumpulan. Swab/kerokan dicairkan, di-vortex dan satu
sampel ditaruh media agar darah kuda dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 oC
[10]. S. Aureus dan S. Pyogenes diidentifikasi secara morfologis dan dikonfirmasi
dengan aglutinasi latex. Semua isolat S. Aureusna terdiri dari staphytect (Oxoid UK)
dan deoxyribonuclease (Dnase, BD Diagnostics, USA) S. Pyogenes positif yang di
aglutinasikan dengan grup A Lancefield antisera (Oxoid).
Uji Kepekaan Antimikrobial
Uji kepekaan antimikrobial untuk S. Aureus ditentukan pada platform Vitek2
yang menggunakan Kartu 22359 VITEK-AST_P612 (bioMeriux, Prancis) dengan
penggunaan breakpoin dari Clinical and Laboratory and Standards Institute (CLSI,
2011)[11]. MRSA didefinisikan sebagai setiap S. Aureus dengan layar cefoxitin
positif. Non-multidrug resistant MRSA (nmMRSA) didefinisikan sebagai MRSA
yang resistan terhadap < 3 antibiotik non beta-lactam tambahan [12]. multidrug
resistan MRSA (mMRSA) diartikan sebagai MRSA yang resisten terhadap antibiotik
3 non beta laktam [12].
tersebut dibandingkan dengan swab dari anak anak dengan impetigo ringan (Tabel 1).
S. Aureus sepertinya kurang terdeteksi pada anak anak yang lebih tua (OR 0,6, 95%
CI 0.4cenderung tidak menunjukkan salah satu atau bahkan kedua patogen kulit
tersebut dibandingkan dengan penyeka dari anak anak dengan strata impetigo ringan
(Tabel 1). S. Aureus sepertinya kurang terdeteksi pada anak anak yang lebih tua (OR
0,6, 95% CI 0.4 0.9 untuk anak anak 5 tahun. Uji wald pada 2 derajat kebebasan
0= 0.04) atau pada anak anak dari australia tengah (OR 0.5, 95% CI 0,3 09. P =
0.02). Anak anak dari Australia bagian tengah memiliki lebih sedikit luka yang
terkena co-infeksi dengan S. Aureus maupun S. Pyogenes dari pada anak anak
didaerah Top End (OR 0.5, 95% CI 0.3 0.9, p= 0.01).
Scabies
Scabies dididiagnosis pada 84 anak dari 508 anak (17%): dengan kelompok
usia; 0-4 tahun (28/136, 21%); 5-9 tahun (40/271, 15%) dan 10-13 tahun (16/101,
16%). Penderita dengan scabies, lebih sering terdeteksi S. Pyogenes dari luka-lukanya
(OR 2,2, 95% CI 1,1-4,4, p= 0.03) (Tabel 1).
Beta Streptokokus Hemolitik yang lain
Tujuh ratus lima puluh empat beta streptokokus hemolitik dikultur dari
swab/kerokan kulit dan hidung dari 508 anak-anak penderita impetigo. Dari jumlah
tersebut, 740 beta streptokokus hemolitikus dari 754 (98%) adalah S. pyogenes
dengan 710 dari kerokan kulit dan 30 dari kerokan hidung. Beta streptokokus
hemolitik yang lainnya adalah kelompok C (2 kulit, 2 hidung) dan kelompok G (7
kulit, hidung 3).
Ketahanan Antibiotik
Salah satu isolasi dari S. pyogenes dan S. Aureus yang dipilih per anak untuk
pelaporan profil kerentanan antibiotiknya. Bila memungkinkan, isolasi dikultur dari
luka kulit yang dipilih, dengan sisanya yang berasal dari swab/kerokan nares anterior.
S. pyogenes
Terdapat 455 anak-anak dengan paling tidak satu isolasi S. pyogenes yang
tersedia untuk penilaian kerentanan antibiotik. Semua isolasi S. pyogenes terbukti
rentan terhadap penisilin dan eritromisin. Resistensi klindamisin terdeteksi pada 9
6
anak dari 455 anak (2%) isolasi S. pyogenes. Resistensi SXT terdeteksi pada 4anak
dari 455 anak (<1%) isolasi di awal dengan MIC> 2 mg / L. [13] Median SXT MIC
untuk S. Pyogenesnya sebesar 0,094 (kisaran interkuartil, 0,094-0,125) mg / L.
S. aureus
Terdapat 435 anak-anak dengan paling tidak satu isolasi S. aureus yang
tersedia untuk penilaian kerentanan antibiotik. Resisten terhadap methicillin pada S.
aureus terdeteksi pada 65 anak dari 435 anak (15%) isolasi, yang semuanya
nmMRSA. Tidak ada yang terdeteksi mMRSA. Tingkat resistensi untuk antibiotik lain
pada anak ialah penisilin 413/435 (95%), SXT 3/435 (<1%), eritromisin 60/435 (14%)
dan asam fusidic 9/435 (2%). Resistensi klindamisin yang dapat diinduksi dilaporkan
pada 60/435 (14%), 86%-nya adalah MSSA. Semua isolasi resisten SXT 3 adalah
nmMRSA. Antibiotik lain yang termasuk pada kartu VITEK untuk uji kerentanan S.
aureus semua memiliki tingkat resistensi dibawah 0,02%. Karena itu, dengan S.
aureus yang terdeteksi, kemunculan MRSA tidak mencapai signifikansinya pada jenis
kelamin, kelompok umur, tingkat keparahan, kemunculan scabies ataupun wilayah
(Tabel 1).
Tabel 1 hasil dari model regresi logistik untuk menilai hubungan antara patogen
impetigo dengan usia, jenis kelamin, tingkat keparahan, kemunculan scabies
serta wilayah
Variabel
MRSA pada lu
OR
95% CI
OR
95% CI
OR
95% CI
OR
95%
Wanita
1.3
0.8-2.1
1.0
0.7-1.4
1.1
1.1
1.0
0.6-
0-4 Tahun
(ref)
(ref)
(ref
5-9 Tahun
1.1
0.7-2.0
0.6
0.4-0.9
0.8
0.8
0.9
0.5-
10-13 Tahun
1.2
0.6-2.4
0.5
0.3-0.9
0.7
0.7
0.7
0.3-
Strata
1.4
0.8-2.6
0.7
0.4-1.1
1.1
1.1
0.6
0.3-
2.2
1.1-4.4
0.8
0.5-1.3
0.9
0.9
1.4
0.7-
1.2
0.5-2.8
0.5
0.3-0.9
0.5
0.5
1.1
0.4-
Keparahan
Kemunculan
kudis
Australia
Tengah
pemulihan S. aureus dari luka impetigo, dan tidak ada hubungan antara tingkat
keparahan impetigo dan pemulihan S. Pyogenes maupun S. aureus atau keduanya.
Tabel 2 Identifikasi Staphylococcus aureus dari setiap luka impetigo dan nares
anterior untuk semua anak anak yang paling tidak dengan swab/kerokan kulit
dan hidung (n = 504)
Nares anterior
Positif
Impetigo
Total
Negative
356 (87%)
$10 (100%)
23 (24%)
71 (76%)
94 (100%)
77 (15%)
427 (85%)
505 (100%)
luka positif
Negatif
Total
11
mempengaruhi sebagian besar anggota tubuh bagian bawah, tidak ada patogen saluran
napas S. aureus ataupun genotipe yang berbeda [28]. Data kami setuju dengan
pengamatan ini bahwa 67% dari episode impetigo hanya melibatkan anggota tubuh
bagian bawah [9]. Seperti sebelumnya telah ditunjukkan dalam penelitian [29],
dekolonisasi hidung juga tidak mungkin menjadi strategi yang berguna dalam
mengurangi beban impetigo di daerah tropis, pengaturan endemik kami.
Sebuah penelitian dari Ghana pada 1970-an dengan iklim tropis serupa
menemukan impetigo yang didominasi oleh Lancefield kelompok C dan G
streptokokus [30]. Temuan ini tidak direproduksi dalam penelitian kami dan belum
dikonfirmasi dalam studi mikrobiologi lain yang diterbitkan dari wilayah kami [18]
atau konteks tropis lainnya [31]. Streptokokus A non-grup sepertinya tidak
memainkan peran penting dalam patogenesis impetigo.
Kelebihan penelitian ini adalah standarisasi prosedur untuk skrining, swab dan
kultur mikrobiologi dalam konteks percobaan klinis yang dilakukan sesuai dengan
Konferensi Internasional tentang Pedoman Harmonisasi Praktek Klinis yang baik.
Selain itu, sejumlah besar anak-anak direkrut dari 12 komunitas yang berbeda dari
dua wilayah Bagian Utara menyarankan bahwa kesimpulannya tepat. Hasil genotipe
yang isolasi tidak dilakukan untuk mengetahui korelasi dari isolasi kulit dan hidung.
Ketidakmampuan untuk mengkorelasikan epidemiologi molekuler dengan fenotip
adalah batasan dari penelitian ini. Sedangkan biaya pengelompokkan molekul secara
keseluruhan menjadi lebih terjangkau, biaya isolasi dalam jumlah besar dalam
penelitian ini menjadi penghalang bagi analisis molekuler yang lebih lanjut.
V. KESIMPULAN
S. pyogenes tetap menjadi patogen kunci dalam impetigo dalam
konteks tropis, meskipun kenaikan S. aureus yang ditemukan di
banyak pengaturan industri dan tropis. Temuan kami sesuai dengan
temuan yang dilaporkan dari Fiji [8] dan menegaskan bahwa
impetigo dalam konteks tropis disebabkan oleh S. pyogenes.
Dengan
tidak
adanya
mikrobiologi
impetigo
lokal,
algoritma
12
13