Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas


(RespiratoryDistress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan
Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline
membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini
selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli (Budiawan, 2008).
Sindrom gawat napas neonates (SGNN) atau respiratory distress syndrome
(RDS) merupakan penyebab morbiditas utama pada anak. Sindrom ini paling
banyak ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi < 28
minggu (Tobing, 2004). Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 6080% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu,
15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi
cukup bulan (matur). Gejala dan tanda klinis yang ditemui pada SGNN adalah:
dispneu, merintih (grunting), takipneu (pernafasan lebih 60x/menit), retraksi
dinding toraks dan sianosis. Gejala gejala ini timbul dalam 24 jam pertama
sesudah lahir dengan derajat yang berbeda, tetapi biasanya gambaran sindrom
gawat nafas sudah nyata pada usia 4 jam.
Adapun penatalaksanaan pada bayi dengan RDS adalah dengan pemberian
ventilasi mekanis dan pemberian surfaktan. Fungsi surfaktan yang paling penting
adalah menurunkan tegangan permukaan alveolar sehinggga terjadi stabilisasi
volume paru pada tekanan transpulmonal yang rendah. Surfaktan akan mencegah
1

kolapsnya jalan nafas saat ekspirasi dan memungkinkan tekanan yang lebih
rendah untuk mengembangkan paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan
dari paru-paru dapat dicegah dan resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang
akibat surfaktan mengurangi tekanan negatif yang diperlukan untuk membuka
jalan nafas dan kerja pernafasan. Terapi surfaktan diberikan pada kedaan
defisiensi surfaktan pada bayi premature seperti pada hyaline membrane disease
(HMD) (Effendi dan firdaus, 2010).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sindrom Distres Nafas
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas
(RespiratoryDistress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan
Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline
membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini

selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Sindrom gangguan


pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea
dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis, rintihan pada
ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi (Budiawan, 2008).
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik
dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan
ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia
kehamilan, semakin rendah pula kejadian RDS atau sindrome gangguan napas.
2.1.2 Epidemiologi Sindrom Gagal Nafas
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada
bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi
antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur).
Insidens pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan
sering lebih terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan (Nelson, 1999).
Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang
menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya : Ibu
penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum
(Tobing, 2004).
Sindrom gawat napas neonates (SGNN) atau respiratory distress syndrome
(RDS) merupakan penyebab morbiditas utama pada anak. Sindrom ini paling
banyak ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi < 28
minggu (Tobing, 2004).
Sedangkan menurut Etika dan kawan kawan sindrom gawat nafas pada
neonatus terjadi 50% pada bayi berukuran berat badan dibawah 1500 gram. Angka
kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak
digunakan surfaktan eksogen. Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari

seluruh neonatus.Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan


Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS (Etika et al., 2005).
2.1.3 Etiologi
Sindrom gangguan pernapasan dapat disebabkan karena : Obstruksi
saluran pernapasan bagian atas (atresia esofagus, atresia koana bilateral). Kelainan
parenkim paru (penyakit membran hialin, perdarahan paru-paru). Kelainan di luar
paru (pneumotoraks, hernia diafragmatika) .
Penyebab terseringnya adalah penyakit membrane hialin. Penyakit
membran hialin pada bayi kurang bulan (BKB) terjadi karena pematangan paru
yang belum sempurna akibat kekurangan surfaktan. Tanpa surfaktan, alveoli
menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga menyebabkan gagal nafas pada
neonatus.1-12. Berbagi faktor ibu dan bayi berperan sebagai faktor risiko untuk
terjadinya PMH pada BKB namun sebagian di antaranya masih kontroversial.
2.1.4 Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan
faktor kritis dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya
tersebut disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan
adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak
terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional
/kapasitas residu funsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga
menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan
intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan
menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat
ekspirasi. Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap
mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan
parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan
4

berikutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar dengan


disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi
sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin
lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang
ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan,
bayi

akan

semakin

sedikit

membuka

alveolinya.

Ketidak

mampuan

mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelaktasis.


Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmomary
vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paaru normal.
Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran
darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan
parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus
arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal
yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksin vaskularisasi
pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya
menyebabkan Metabolisme anareobik. RDS atau sindrom gangguan pernapasan
adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriorasi
(kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72
jam. Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan
ketersediaan materi surfaktan.
2.1.5 Manifestasi klinis
Gejala dan tanda klinis yang ditemui pada SGNN adalah: dispneu,
merintih (grunting), takipneu (pernafasan lebih 60x/menit), retraksi dinding toraks
dan sianosis.1-12 Gejala gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah lahir
dengan derajat yang berbeda, tetapi biasanya gambaran sindrom gawat nafas

sudah nyata pada usia 4 jam.Tanda yang hampir selalu didapat adalah dispneu
yang akan diikuti dengan takipneu, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding
toraks, dan sianosis1-2 Diagnosis dini dapat ditegakkan bila telah ada gambaran
sindrom tersebut, terlebih lagi bila disertai dengan adanya faktor-faktor risiko.10
Faktor faktor risiko yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan
terjadinya SGNN adalah prematuritas, masa kehamilan, jenis kelamin, ras,
riwayat kehamilan sebelumnya, bedah kaisar, diabetes, ketuban pecah lama,
penyakit ibu.1-3,6,7 Gambaran radiologis kelainan paru pada PMH dibagi atas 4
derajat yaitu derajat 1 pola retikulogranular (PRG), derajat 2 bronkogram udara
(BGU), derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih berat dengan mediastinum
melebar, derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak putih (white lung).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan rasio L/S
(lecithin sphingomyelin ratio) yang dilakukan pada air ketuban yang diperoleh
dengan cara amniosentesis, atau dari aspirasi trakea dan lambung, dan deteksi
fosfatidil gliserol yang menunjukkan kematangan paru (tobing, 2004).
2.1.6 Klasifikasi sindrom gagal nafas
Sindrom gangguan pernapasan terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Gangguan napas berat
Dikatakan gangguan napas berat bila frekuensi napas dari 60 kali/menit
dengan sianosis sentral dan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi
2. Gangguan napas sedang
Dikatakan gangguan napas sedang apabila pemeriksaan dengan tarikan
dinding dada atau merintih saat ekspirasi tetapi tanpa sianosis sentral
3. Gangguan napas ringan
Dikatakan gangguan napas ringan apabila frekuensi napas 60-90
kali/menit tanda tarikan dinding tanpa merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral
2.1.7 Diagnosis Banding

Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial dari


penyakit membran hialin adalah sebagai berikut:

Kelainan metabolik
Kelainan hematologik
Kebocoran udara paru
Anomali kongenital dari paru-paru

Antara diagnosis differensial RDS adalah:

2.18

Anemia, akut
Sindrom Aspirasi
Reflux gastroesofageal
Hipoglikemia
Pneumomediastinum
Pneumonia
Pneumotoraks
Polisitemia
Sindrom Kematian Bayi Mendadak
Takipnea Transien dari Bayi
Komplikasi

Komplikasi akut dari penyakit membran hialin termasuk sebagai berikut:

Ruptur alveolar
Infeksi
Perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular
Patent ductus arteriosus (PDA) dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
Perdarahan paru-paru
Necrotizing enterocolitis (NEC) dan / atau perforasi gastrointestinal (GI)
Apnea pada bayi prematur

Komplikasi kronis penyakit membran hialin meliputi:

Bronchopulmonary dysplasia (BPD)


Retinopati pada bayi prematur (RBP)
Gangguan neurologis

Ruptur alveolar

Diduga

terjadi

kebocoran

udara

(misalnya,

pneumomediastinum,

pneumopericardium, emfisema interstisial, pneumotoraks) ketika bayi dengan


penyakit membrane hialin tiba-tiba memburuk dengan hipotensi, apnea, atau
bradikardia atau ketika asidosis metabolik menjadi persisten.
Infeksi
Infeksi dapat mempersulit penatalaksanaan penyakit membrane hialin dan dapat
bermanifestasi dalam berbagai cara, termasuk kegagalan untuk memperbaiki,
pemburukan secara tiba-tiba, atau perubahan jumlah sel darah putih atau
trombositopenia. Juga, prosedur invasif (misalnya, venipuncture, insersi kateter,
penggunaan peralatan pernapasan) dan penggunaan steroid pasca kelahiran
memberi akses untuk organisme menyerang hos dengan kekebalan tubuh yang
sudah terkompromi.Dengan munculnya terapi surfaktan, bayi kecil dan sakit dapat
bertahan, dengan peningkatan insiden terjadi septikemia sekunder bagi
staphylococcal epidermidis dan / atau infeksi candida. Ketika septicaemia
dicurigai, lakukan kultur darah dari 2 lokasi dan pemberian antibiotik yang tepat
sampai hasil kultur diperoleh.

Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular


Perdarahan intraventricular diamati pada 20-40% bayi prematur, dengan frekuensi
yang lebih besar pada bayi dengan penyakit membrane hialin yang membutuhkan
ventilasi mekanik. Ultrasonografi kranial dilakukan pada minggu pertama dan
selanjutnya seperti yang diindikasikan pada neonatus prematur yang lebih muda
dari usia kehamilan 32 minggu. Profilaksis terapi indometasin dan steroid

antenatal telah menurunkan frekuensi perdarahan intrakranial pada pasien dengan


RDS.

Hypokarbia

dan

korioamnionitis

dikaitkan

dengan

peningkatan

leukomalacia periventrikular.
Patent ductus arteriosus dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
Pirau ini dapat mempersulit perjalanan penyakit membrane hialin, terutama pada
bayi yang disapih cepat setelah terapi surfaktan. Bayi diduga mempunyai patent
ductus arteriosus (PDA) pada setiap bayi yang mengalami perburukan setelah
perbaikan awal atau mempunyai sekret trakeal yang berdarah. Meskipun
membantu dalam diagnosis PDA, murmur jantung dan tekanan nadi yang lebar
tidak selalu jelas pada bayi yang kritis. Ekokardiogram memungkinkan dokter
untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tatalaksana PDA dengan ibuprofen atau
indometasin, yang dapat diulang selama 2 minggu pertama jika PDA membuka
kembali. Dalam insiden penyakit membrane hialin yang refraktori atau pada bayi
yang memiliki kontraindikasi terapi medis, dilakukan operasi penutupan PDA.
Perdarahan paru
Kejadian perdarahan paru meningkat pada bayi prematur kecil, terutama setelah
terapi surfaktan. Tingkatkan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) pada ventilator
dan berikan epinefrin intratrakeal untuk mengelola perdarahan paru. Pada
beberapa pasien, perdarahan paru mungkin terkait dengan PDA; perdarahan paru
pada individu tersebut harus segera mengobati.
Necrotizing enterocolitis dan / atau perforasi GI
Pada setiap bayi dengan temuan abdominal abnormal pada pemeriksaan fisik
dicurigai menderita NEC dan / atau perforasi gastrointestinal. Radiografi perut
membantu dalam mengkonfirmasikan adanya penyakit tersebut. Perforasi spontan

(tidak harus sebagai bagian dari NEC) kadang terjadi pada bayi prematur yang
sakit kritis dan telah dikaitkan dengan penggunaan steroid dan / atau indometasin.
Apnea prematuritas
Apnea prematuritas adalah umum pada bayi belum matang, dan insiden telah
meningkat dengan terapi surfaktan, mungkin karena ekstubasi dini. Tatalaksana
apnea prematuritas dengan metilxantin (kafein) dan / atau tekanan aliran udara
yang positif melalui nasal (CPAP) atau dengan ventilasi yang dibantu pada insiden
yang refraktori. Septikemia, kejang, refluks gastroesophageal, dan penyebab
metabolik dan lainnya harus disingkirkan pada bayi prematur dengan apnea.
Bronkopulmonary displasia
BPD adalah penyakit paru-paru kronis yang didefinisikan sebagai kebutuhan
oksigen pada usia kehamilan 36 minggu yang sudah dikoreksi. BPD terkait
langsung dengan volume tinggi dan / atau tekanan yang digunakan untuk ventilasi
mekanis atau untuk mengelola infeksi, peradangan, dan kekurangan vitamin A.
Insiden BPD meningkat pada usia kehamilan yang semakin rendah. Penggunaan
terapi surfaktan postnatal, ventilasi yang tidak berlebihan, vitamin A, steroid dosis
rendah, dan inhalasi oksida nitrat dapat mengurangi keparahan BPD.
Retinopati pada bayi prematur (RBP)
Bayi dengan penyakit membran hialin yang memiliki nilai tekanan parsial oksigen
(PaO2) lebih dari 100mm Hg mempunyai resiko tinggi untuk menderita RBP.
Oleh karena itu, harus dipantau ketat PaO2 dan dijaga agar nilai PaO2 tetap pada
50-70mm Hg. Meskipun oksimetri nadi digunakan pada semua bayi prematur, ia
tidak membantu dalam mencegah RBP.
Gangguan neurologis

10

Gangguan neurologis terjadi pada sekitar 10-70% dari bayi dan berhubungan
dengan usia kehamilan bayi, tingkat dan jenis patologi intrakranial, dan apa
adanya hipoksia dan infeksi. Cacat pendengaran dan penglihatan dapat
menganggu perkembangan pada bayi yang menderita penyakit tersebut. Pasien
dapat mengembangkan ketidakmampuan belajar yang spesifik dan perilaku yang
menyimpang. Oleh karena itu, bayi ini harus ditindaklanjuti secara berkala untuk
mendeteksi bayi yang mempunyai gangguan neurologis, dan dapat dilakukan
intervensi yang tepat.
2.1.7 Penatalaksanaan
Pencegahan
1. Kortikosteroid

antenatal.

National

Institutes

of

Health

Consensus

Development Conference pada tahun 1994 tentang efek kortikosteroid untuk


pematangan janin pada hasil perinatal menyimpulkan bahwa kortikosteroid
antenatal mengurangi risiko kematian, PMH, dan intraventricular hemorrhage
(IVH). Penggunaan betametason antenatal untuk meningkatkan kematangan
paru janin sekarang telah dilaksanakan dan umumnya dianggap sebagai
standar perawatan. Regimen glukokortikoid yang direkomendasikan terdiri
dari pemberian dua dosis betametason 12 mg yang diberikan intramuskuler 24
jam secara terpisah kepada ibu. Deksametason tidak lagi dianjurkan karena
peningkatan risiko leukomalacia periventrikular kistik pada bayi yang sangat
prematur yang mengalami efek obat sebelum lahir (Baud et al, 1999).
2. Beberapa tindakan pencegahan dapat meningkatkan kelangsungan hidup bayi
beresiko untuk PMH dan termasuk ultrasonografi antenatal untuk penilaian
lebih akurat usia kehamilan dan kesejahteraan janin, pemantauan janin secara
berterusan untuk mendokumen kesejahteraan janin selama persalinan atau
11

tanda-tanda perlunya intervensi saat gawat janin ditemukan, agen tokolitik


yang mencegah dan mengobati persalinan prematur, dan penilaian kematangan
paru janin sebelum persalinan (rasio

lesitin-sphingomyelin [LS] dan

phosphatidylglycerol) untuk mencegah prematuritas iatrogenik.


Terapi Pengganti Surfaktan
Surfaktan dibentuk oleh pneumosit alveolar tipe II dan disekresikan
kedalam rongga udara pada usia kehamilan sekitar 22 minggu. Komponen utama
surfaktan

adalah

fosfolipid,

sebagian

besar

terdiri

dari

dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari


lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin
tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B.
Surfaktan lapisan tunggal berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri
dari DPPC. Fungsinya adalah untuk mengurangi tegangan permukaan dan
menstabilkan saluran nafas kecil selama ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi
dan pemeliharaan volume paru. Surfaktan juga berperan dalam mekanisme
pertahanan paru dengan meningkatkan mucociliary clearance.
Fungsi surfaktan yang paling penting adalah menurunkan tegangan
permukaan alveolar sehinggga terjadi stabilisasi volume paru pada tekanan
transpulmonal yang rendah. Surfaktan akan mencegah kolapsnya jalan nafas saat
ekspirasi dan memungkinkan tekanan yang lebih rendah untuk mengembangkan
paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan dari paru-paru dapat dicegah dan
resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang akibat surfaktan mengurangi tekanan
negatif yang diperlukan untuk membuka jalan nafas dan kerja pernafasan. Terapi
surfaktan diberikan pada keadaan defisiensi surfaktan pada bayi premature seperti
pada hyaline membrane disease (HMD), neonatal lung injury yang tidak
12

berhubungan dengan prematuritas, seperti hernia diafragma kongenital, dan


meconeum aspiration syndrome (MAS). Saat ini preparat surfaktan yang tersedia
antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak
paru-paru sapi atau dari bilas paruparu domba atau babi. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa penggunaan surfaktan dapat menurunkan penggunaan
extracorporeal membrane oxygenation pada neonatus yang mengalami kegagalan
nafas. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila
bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan
dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak
menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih (effendi dan
firdaus, 2010).
Dukungan Pernapasan
1. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan RDS yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 napas/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Sebuah PIP
awal 18-30 cm H2O digunakan, tergantung pada ukuran bayi dan keparahan
penyakit. Sebuah PEEP dengan 4-5 cm H2O menunjukkan hasil oksigenasi
yang meningkat, mungkin karena membantu dalam pemeliharaan dari FRC
yang efektif. Tekanan terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen
inspirasi diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada
jaringan parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernafasan dapat mengurangi barotrauma. Penggunaan awal HFOV telah
menjadi semakin populer dan merupakan modus ventilator yang sering

13

digunakan untuk bayi berat badan lahir rendah (Gerstmann et al, 1996; Plavka
et al, 1999).
2. CPAP dan nasal synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV).
Nasal CPAP (NCPAP) atau nasopharyngeal CPAP (NPCPAP) dapat
digunakan dini untuk menunda atau mencegah kebutuhan untuk intubasi
endotrakeal. Untuk meminimalkan cedera paru-paru berhubungan dengan
intubasi dan ventilasi mekanis, telah ada minat baru dalam menggunakan
CPAP sebagai strategi pengobatan awal untuk mengobati PMH bahkan pada
bayi berat badan lahir sangat rendah. Di beberapa pusat, praktik ini telah telah
digunakan dengan sukses dan menghasilkan penurunan insiden BPD (Aly,
2001; De Klerk & De Klerk, 2001; Van Marter et al, 2000). Selain itu,
pengobatan dini dengan surfaktan, yang dikelola selama periode singkat
intubasi diikuti oleh ekstubasi dan penerapan NCPAP semakin sedang
digunakan di Eropa. Pendekatan ini telah digunakan pada bayi prematur usia
kehamilan <30 minggu kehamilan dan secara signifikan mengurangi
kebutuhan ventilasi mekanik selanjutnya (Kamper, 1999; Verder et al, 1999).
NCPAP dan NPCPAP dapat digunakan pada ekstubasi dan dapat mengurangi
kemungkinan diintubasi lagi.
Dukungan cairan dan nutrisi
Pada

bayi

yang

sangat

sakit,

sekarang

memungkinkan

untuk

mempertahankan dukungan gizi dengan nutrisi parenteral untuk periode yang


diperpanjang. Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan telah dipahami
dengan baik, dan persiapan nutrisi yang tersedia mencerminkan pemahaman ini.
Terapi antibiotik

14

Antibiotik yang mencakup infeksi neonatal yang paling sering biasanya


dimulai secara awal. Dosis interval aminoglikosida ditingkatkan untuk bayi
prematur.
Sedasi
Sedasi umumnya digunakan untuk mengontrol ventilasi pada bayi yang
sakit. Fenobarbital sering digunakan untuk menurunkan tingkat aktivitas bayi.
Morfin, fentanil, atau lorazepam dapat digunakan untuk analgesik serta obat
penenang. Kelumpuhan otot dengan pankuronium untuk bayi dengan RDS tetap
menjadi kontroversial. Sedasi mungkin diindikasikan untuk bayi yang "melawan"
ventilator dan menghembuskan napas selama inspirasi siklus ventilasi mekanis.
Pola pernapasan dapat meningkat kemungkinan karena komplikasi seperti
kebocoran udara dan seharus dihindari. Sedasi bayi dengan fluktuasi kecepatan
aliran darah otak secara teoritis menurunkn resiko IVH.
Persediaan awal mulai dari pengamatan intensif dan perawatan bayi baru
lahir yang berisiko tinggi secara signifikan dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan RDS dan penyakit neonatal akut yang lain. Steroid
antenatal, penggunaan surfaktan postnatal, peningkatan modus ventilasi, dan
perawatan sesuai perkembangan penyakit telah menurunkan mortalitas dari RDS
( 10%). Hasil yang optimal tergantung pada ketersediaan personil yang
berpengalaman dan terampil, unit rumah sakit daerah khusus dirancang dan
diselenggarakan, peralatan yang tepat, dan kurangnya komplikasi seperti asfiksia
berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital.

15

Terapi surfaktan telah mengurangi angka kematian dari RDS sekitar 40%;
kejadian BPD yang mempengaruhi belum terukur. Prognosis untuk bertahan
hidup dengan atau tanpa gejala sisa neurologis pernapasan dan sangat tergantung
pada berat badan lahir

dan usia kehamilan. Kematian meningkat dengan

menurunnya usia kehamilan. Meskipun 85-90% dari semua bayi dengan RDS
yang masih hidup setelah membutuhkan dukungan ventilasi dengan respirator
adalah normal, prognosis jauh lebih baik bagi mereka dengan berat lebih dari
1.500 g. Prognosis jangka panjang untuk fungsi paru yang normal pada bayi yang
masih hidup dengan RDS sangat baik. Korban kegagalan pernafasan neonatal
yang parah mungkin memiliki gangguan paru-paru dan perkembangan saraf yang
signifikan. Morbiditas utama (BPD, NEC, dan IVH berat) dan pertumbuhan
postnatal yang kurang tetap tinggi untuk bayi yang terkecil.
2.1.7 Prognosis
Bayi dengan RDS, 80 sampai 90% bertahan hidup, dan sebagian besar
korban memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan
pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan
penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernafasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun
sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami
laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktifitas atau metakolin. Bayi prematur
dengan gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki gangguan

16

perkembangan dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan


neonatal.

BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Penderita

Nama

: By. Ny. MD

Umur

: 0 hari

Jenis kelamin : Laki-laki

Nama Ayah

: Tn. A
17

Umur

: 27 th

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Buruh Tani

Nama Ibu

: Ny. MD

Umur

: 19 th

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu Rumah tangga

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Bangsa

: Indonesia

Alamat

: Proko, Brangkal, Bandar Kedung Mulyo

Register

: 25-53-01

2.2 Anamnesis
2.2.1 Riwayat Kehamilan Ibu

Hamil pertama (G1 P0000 A000), UK 32/33 mgg + THIU + kala 1 fase
aktif

Ibu ada riwayat febris saat hamil 5 bulan

Selama kehamilan ibu rajin kontrol ke bidan trimester 1 (kontrol 2x obat


yang diterima vit dan Fe) trimester kedua (kontrol 2x obat yang diterima
vit dan Fe)

Aktivitas selama kehamilan tidak melakukan pekerjaan yang berat

2.2.2 Riwayat Persalinan


Proses Persalinan di PONEK RSUD Jombang, bayi lahir hari senin tanggal
12 Januari 2015 jam 12.05
18

Bayi lahir Spt B Prematur/dokter spesialis kandungan/1600/ AS 5-6


Bayi lahir dengan Spt B premature di Ponek tidak langsung menangis,
usaha bernafas lambat, ekstremitas sedikit flexi, gerakan sendi, warna kulit
merah ekstremitas biru Apgar score 5 BB 1600 gram, sisa ketuban
jernih
Jenis kelamin laki-laki
Bayi dikirim ke anggrek karena bayi tidak langsung bernafas spontan atau
menangis
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Generalis
KU: Bayi lahir tidak langsung menangis usaha bernafas lambat, tampak
sianosis perifer, retraksi ringan, sesak nafas, merintih.

HR

: 148 x/mnt

RR

: 66x /mnt

Suhu

: 36.6 C

CRT

: < 2 detik

DOWN SCORE 4
19

Antropometri

BBL

: 1600 g

Panjang badan

: 42 cm

Lingkar kepala

: 29 cm

Lingkar dada

:28 cm

Lingkar abdomen

: 27 cm

Pemeriksaan Fisik
Sistem Neurologis
Aktivitas

: lemah

Tingkat kesaradan

: letargi

Pergerakan

: lemah

Tonus

: hipotonus

Pupil

: pupil bulut isokor

Menangis

: lemah

Fontanella

: datar

Sutura

: terpisah

Kejang

: (-)

Sistem Pernafasan

20

Warna Kulit

: tubuh merah, ekstremitas biru

Kecepatan nafas

: Cepat dan teratur

Dinding Dada

: pergerakan simetris, ada retraksi suprasternal

Pernafasan

: lambat, ada grunting, sesak nafas

Suara Nafas

: vesikuler, tidak ada ronchi maupun wheezing

Sistem Cardiovaskular

Suara jantung

: teratur

Auskultasi

: dengar dengan mudah

Murmur

: tidak

Denyut nadi perifer

: normal

CRT

: <2 detik

Sistem Gastrointestinal
Bising usus

: ada (+) normal

Palpasi abdomen

: soefl

Umbilikus

: terpasang ucc

Genetalia

: testis di bagian atas kanal, guratan kulit jarang

Anus

: ada

PEMERIKSAAN MATURITAS FISIK

Kulit

: merah jambu lembut, tampak gambaran vena

Lanugo

lanugo banyak

Garis telapak kaki

: Garis kaki hanya di anterior


21

Payudara

: aerola rata tanpa bantalan

Mata dan telinga

: lengkung terbentuk baik lunak tetapi recoil cepat

Genital

: Testis di bagian atas kanal, gurata kulit jarang .

22

Ballard score : 22 = 32-34 minggu

2.4 Pemeriksaan penunjang


Hb : 22.9
Leukosit : 6.800
Hct : 59,3
Erirosit : 5.810.000
Trombosit : 97.000

Golongan darah dan rhesus : O (+)


Resume
By. Ny. MD G1 P0000 Usia kehamilan 32/33minggu dengan inpartu kala I
fase aktif

23

Bayi lahir dengan spontan belakang kepala (OD), Sisa ketuban jernih,
tidak langsung menangis & tidak langsung bernafas, Apgar score 5, BBL
1600
Keadaan Umum: Tampak Lemah,; Gerak/Tangis: Lemah, Grunting (+),
cyanosis perifer (+), hipersalivasi (+)
Vital sign : t: 36,6 C

HR: 148x/ menit, reguler

RR: 66 x/ menit,

teratur CRT < 2 detik


Kepala leher

: Anemis (-), ikterus (-). Cyanosis (+) dyspnea (+)

Thorax

: simestris, retraksi suprasternal ,ronki-/-,whezing


-/-,sonor , S1 S2 tunggal Gallop (-) Murmur (-)

Downe score: 4
Ballard score : 32-34 minggu (BKB-SMK)
Darah Lengkap : Hb : 22.9, Leukosit : 6.800, Hct : 59,3, Erirosit : 5.810.000,
Trombosit : 97.000, Golongan darah dan rhesus : O (+)
2.5 Diagnosis
Bayi Kurang Bulan-Sesuai Masa Kehamilan-Berat Bayi Lahir Rendah
Respiratory Distress Syndrome
2.6 Planning
2.6.1 Planning Terapi
Monitoring dengan Down Score
Thermoregulasi
Perawatan Bayi dan tali pusat
Inj Vit K 1 mg (im)1x pemberian
Infus D10 125cc/24jam
Aminofusin 25 cc/24 jam
Ca glukonas 8 cc
24

Inj Vicillin sx 2x 125 mg


Puasa
2.6.2 Monitoring
Keadaan umum bayi (tangisan, gerak, reflek, tonus)
Vital sign (suhu, HR, RR)
Down Skor
Pulse oksimetri
Nutrisi
Peningkatan BB
Edukasi
Menjelaskan tentang kondisi pasien
Menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan
Menjelaskan tentang terapi yang akan diberikan
Menjelaskan tentang efek samping, tindakan dan terapi yang akan
diberikan
Menjelaskan tentang prognosis pasien
SOAP
S

12-01-2015 (1)
Bayi baru lahir Spt B , sesak,

13-01-2015 (2)
sesak berkurang,Hipersalivasi

grunting(+),Hipersalivasi (+),

(+),grunting(+), BAB (+), BAK

BAB (-), BAK (-)

(+)

BB:1600gr
KU : lemah
Gerak tangis (+) lemah
HR : 148x/mnt RR : 66x/mnt

BB:1525gr
KU : lemah
Gerak tangis (+) lemah
HR : 140x/mnt RR : 54x/mnt
25

t:36,6C crt < 2


K/L : A/I/C/D -/-/+/+

PCH

(+)
Thorax : simetris/retraksi : +/+
suprasternal
Pulmo : wh -/- rh -/Cor
: S1S2 tunggal
Abdomen : Soefl, BU (+) N,
meteorismus (-)
Ekstremitas : akral hangat
A

Bayi kurang bulan


Bayi berat lahir rendah
Spt B
Respiratory distress syndrome
Thermoregulasi
O2 nasal 1 lpm
Perawatan Bayi dan tali pusat
Inj Vit K 1 mg (im)1x
pemberian
Infus D10 160cc/24jam
Ca glukonas 8 cc
Inj Vicillin sx 2x 125 mg
Aminophilin 15mg (6 cc)

t:36,7C crt <2


K/L : A/I/C/D -/-/-/+ PCH (-)
Thorax : simetris/retraksi : +/+
suprasternal
Pulmo : wh -/- rh -/Cor
: S1S2 tunggal
Abdomen : Soefl BU (+) N,
meteorismus (-)
Ekstremitas : akral hangat

Bayi kurang bulan


Bayi berat lahir rendah
Spt B
Respiratory distress syndrome
Thermoregulasi
O2 nasal 1 lpm
Perawatan bayi dan tali pusat
Infus D10 160cc/24jam
Ca glukonas 8 cc
Inj Vicillin sx 2x 125 mg
Aminophilin 3x1cc
Puasa

Puasa

S
O

14-01-2015 (3)
sesak berkurang ,Hipersalivasi

15-01-2015 (4)
sesak (-),Hipersalivasi (-), BAB

(-), BAB (+), BAK (+)


BB:1430gr
KU : lemah
Gerak tangis (+) lemah
HR : 136x/mnt RR : 52x/mnt

(+), BAK (+)


KU : lemah
BB:1380 gr
HR : 148x/mnt RR : 44x/mnt

t:36,6C
K/L : A/I/C/D -/-/-/+ PCH (-)
Thorax : simetris/retraksi : +/+
suprasternal
Pulmo : wh -/- rh -/Cor
: S1S2 tunggal

t:37,3C
K/L : A/I/C/D -/-/-/- PCH (-)
Thorax : simetris/retraksi : -/Pulmo : wh -/- rh -/Cor
: S1S2 tunggal
Abdomen : Soefl BU (+) N,
meteorismus (-)
Ekstremitas : akral hangat

26

Abdomen : Soefl BU (+) N,


meteorismus (-)
Ekstremitas : akral hangat
Bayi kurang bulan
Bayi berat lahir rendah
Spt B
Respiratory distress syndrome
Thermoregulasi
O2 nasal 1 lpm
Perawatan bayi dan tali pusat
infus D10 1/5 NS 120cc/24jam
Ca glukonas 8 cc
Inj Vicillin sx 2x 125 mg
Gentamicin 1x7,5 mg
Aminophilin 3x1cc
Susu 12x3 cc

Bayi kurang bulan


Bayi berat lahir rendah
Spt B
Respiratory distress syndrome
Thermoregulasi
O2 nasal 1 lpm
Perawatan bayi dan tali pusat
infus D10 1/5 NS 120cc/24jam
Ca glukonas 5 cc
Inj Vicillin sx 2x 125 mg
Gentamicin 1x7,5 mg
Aminophilin 3x1cc
Susu 12x5 cc

27

DAFTAR PUSTAKA
Budianto, 2006. Sindrom Gangguan Pernafasan. Fakultas kedokteran, Universitas
Sumatera Utara. Pp hal: 21-22
Effendi dan Ambarwati, 2014. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung
Etika R, Damamik S, Indarso F et al., Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur
Dengan Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Pramanik AK, dkk. Respiratory Distress Syndrome. Updated: Oct 10th, 2011.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview
. Accessed Dis 31th,2011.
Tobing, 2004. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus.
Sari Pediatri. Jakarta: Indonesia. Pp.hal: 23-25

28

Anda mungkin juga menyukai