Anda di halaman 1dari 5

H. Acmad Surkati: Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi...

KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI


DITINJAU DARI KONSEP DEMOKRASI KONSTITUSIONAL STUDI
PERBANDINGAN DI TIGA NEGARA (INDONESIA, JERMAN, DAN
THAILAND)
H. Acmad Surkati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tirtayasa Banten

Abstract: As a new state institution in Indonesia state stucture system, the existence of
constitution court, as the state institution that has uphold constitution, is rather influenced and
inspired by the existence of other countries contitution court, such as Germany and Thailand. To
see the existance of constitution court in Indonesia closely, aspecially its status and authority,
using comperative methode in some countries that profess constitution judicature system, it will be
more easy to understand.
The Status of constitution court between Indonesia, Germany and Thailand is free and equal to the
high institution of other countries.
Kata kunci: Mahkamah, Konstitusi, Demokrasi, Konstitusional

Mengemukanya diskusi tentang Mahkamah Konstitusi di Indonesia bermula ketika ada keinginan untuk
menghadirkan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki tugas dan wewenang
menegakkan konstitusi. Keinginan hadirnya lembaga baru yang bertugas menegakkan konstitusi, masih
merupakan mata rantai reformasi 1998 yang menghendaki perlunya reformasi konstitusi yang dapat menjamin
secara konsisten penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi melalui sistem pemerintahan konstitusional.
Alhasil dari amandemen konstitusi sebanyak 4 (empat) kali, telah mewujudkan penataan sistem kelembagaan
negara dan beberapa lembaga baru yang bertujuan menegakkan demokrasi, hak asasi manusia dan kedaulatan
rakyat di antaranya Mahkamah Konsitusi. Seperti dikatakan oleh Jimly Ashiddiqi bahwa keberadaan MK bagi
suatu negara umumnya merupakan negara-negara yang pernah mengalami krisis konstitusional dan baru keluar
dari sistem pemerintahan otoriter. (Ashiddiqi, 2002: 1)
Sebenarnya Mahkamah Konstitusi bukanlah hal baru, baik di Indonesia maupun di luar negeri walau
diketahui bahwa Indonesia merupakan negara ke 45 dan pertama dalam abad 21 yang memiliki mahkamah
konstitusi di antara 45 (empat puluh lima) negara. Kebaruan tersebut tidak berarti Indonesia baru mengenal
lembaga yang berwenang menegakkan konstitusi melainkan jauh sebelumnya yakni disaat Republik Indonesia
digagas oleh founding fathers dalam sidang BPUPKI yang disampaikan oleh Muh Yamin. (Arifin, 2002: 81).
Karena berbagai pertimbangan, akhirnya gagasan Muh. Yamin tentang perlunya lembaga untuk menguji
peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi termentahkan dalam sidang.
Sebagai sebuah lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia keberadaan Mahkamah Konstitusi
sebagai sebuah lembaga negara yang bertujuan menegakkan konstitusi sedikitnya terpengaruh dan terinspirasi
oleh keberadaan Mahkamah Konstitusi dari negara-negara yang telah lebih dahulu menganutnya seperti Jerman,
Albania, Perancis, Thailand, Columbia, Georgia dan negara lainnya. Untuk melihat lebih dekat keberadaan MK
Indonesia khususnya bagaimana eksistensi, kedudukan dan wewenangnya maka membandingkan dengan
beberapa negara yang menganut sistem peradilan konstitusi akan lebih memudahkan memahaminya.
Pandangan Jimly mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi oleh karena sebelumnya suatu negara
pernah mengalami krisis demokrasi dan konstitusional akibat pemerintahan otoriter. Melihat beberapa
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dan pada umumnya berkisar pada hak uji materil atas
suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara.
Jika demikian, dimana letak fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pilar demokrasi, penegak hak-hak
konstitusional dengan kedudukan dan kewenangannya untuk membatalkan suatu ketentuan perundang-undangan
yang dihasilkan oleh lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Karena suatu perundang-undangan yang
dihasilkan oleh Badan Perwakilan Rakyat pada dasarnya merupakan keputusan demokrasi yang diambil wakilwakil yang mewakili rakyat dalam suatu pesta demokrasi. Yang menjadi masalah pertama, bagaimana
kedudukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Jerman dan Thailand dengan proses pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar dalam rangka penegakan konstitusi dan demokrasi ditinjau dari negara hukum

42

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006


demokratis? Kedua, apakah substansi dari kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang
atas Undang-Undang Dasar di Indonesia, Jerman dan Thailand?
MAHKAMAH KONSTITUSI DI BERBAGAI NEGARA
Di Indonesia merujuk kepada pendapat Jimly yang mengatakan bahwa pada umumnya keberadaan
Mahkamah Konstitusi suatu negara tidak terlepas dari pristiwa krisis konstitusional yang melanda suatu negara
serta baru terlepas dari sistem pemerintahan otoriter. Hal yang demikian merupakan bagian dari pristiwa yang
terjadi di Indonesia. Sehingga keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan merupakan mata
rantai reformasi pada tahun 1998, yang secara khusus diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C setelah amandemen
ketiga UUD 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi seperti diatur dalam UUD 1945 Pasal 24 Ayat (2) tentang kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan administrasi. Dari
ketentuan Pasal dapat dipahami bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan
kehakiman yang merdeka, sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 24C
mengatur tentang wewenang serta keanggotaan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: Pertama, mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kedua, mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Ketiga, mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
Ketentuan-ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi selanjutnya diatur dalam Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Keberadaan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberi
landasan kerja bagi Mahkamah Konstitusi untuk menjalangkan fungsi-fungsi peradilan dalam rangka penegakan
konstitusi dan demokrasi. Oleh karena itu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 sering dianggap sebagai
hukum acara (hukum formal) atau hukum proses bagi penegakan konstitusi di Indonesia. Untuk menjustifikasi
sebutan sebagai hukum acara penegakan konstitusi, sedikit mengalami hambatan karena Mahkamah Konstitusi
tidak saja menjalankan fungsi yudisial semata yang menguji undang-undang terhadap UUD, melainkan memiliki
fungsi lain seperti memutus sengketa hasil pemilu. Memutus pembubarkan partai politik, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara menurut UUD, memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum yang
dilakukan Presiden, masih mungkin dilihat adanya pelanggaran konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
terkait dengan permohonan yang dapat diajukan untuk dimintakan keputusan oleh pihak berkepentingan yang
merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh suatu produk perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi di Jerman
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Jerman tidak terlepas dari pengalaman sejarah rakyat Jerman di
bawah kepemimpinan rezim totaliter Hitler yang sangat banyak melaggar hak-hak dasar rakyat. Banyaknya
pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara menyebabkan lahirnya doktrin yang menghendaki agar
undang-undang yang dilahirkan oleh legislatif dan eksekutif dapat diuji oleh pengadilan yudisial dengan
berlandaskan pada prinsip hak-hak dasar. (Fatkhurohman, 2004: 101). Kemudian pada tahun 1951 dibentuklah
Mahkamah Konstitusi (bundesvervassungsgericht) yang memiliki wewenang sebagai salah satu lembaga negara
yang mandiri dan berkedudukan sederajat dengan lembaga negara lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam
article 1 (1) The Federal ConstitutionalCourt shall be a Federal court of justice independent of all other
constitutional organs.(Act, 1993). Artikel tersebut menjelaskan kedudukan Mahkamah Konstitusi Jerman
sebagai lembaga Peradilan Federal yang Independen dari seluruh kekuasaan selain badan konstitusional. Prinsip
dasar dalam penegakan konstitusi Jerman menghendaki undang-undang yang dilahirkan oleh legislatif dan
eksekutif dan lembaga peradilan dapat dinilai dan diuji dengan prinsip-prinsip hak-hak dasar (Hak Asasi
Manusia).
Mahkamah Konstitusi Jerman terbagi dalam dua bagian yang disebut dengan senat. (Act, 1993). Senat
pertama berwenang menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Sedangkan senat
kedua berwenang berwenang menyelesaikan yang berkaitan dengan lembaga negara. Mengenai tugas dan
wewenang Mahkamah Konstitusi Jerman dapat dilihat sebagai berikut: (1) Penafsiran mengenai hak dan
kewajiban lembaga negara yang diatur oleh konstitusi dan tata tertib lembaga negara tersebut. (2) Perbedaan
pendapat baik secara formil maupun materil kesesuaian antara peraturan hukum federal atau peraturan hukum
negara bagian dengan konstitusi atau kesesuaian antara peraturan hukum negara bagian dan peraturan hukum
negara federal atas permohonan dari pemerintah negara federal, pemerintah negara bagian atau 1/3 anggota
parlemen. (3) Perbedaan pendapat mengenai hak dan kewajiban dari negara federal dan negara bagian dalam hal
pelaksanaan peraturan hukum negara federal oleh negara bagian dan pelaksanaan kebijakan negara federal. (4)

43

H. Acmad Surkati: Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi...

Perselisihan masalah publik antara negara federal dengan negara bagian, antar negara bagian atau di dalam satu
negara bagian itu sendiri sepanjang tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Perselisihan masalah
publik antara lain;pertama, setiap orang dapat mengajukan permohonan berkaitan dengan pelanggaran hak
asasinya (pemilu, hak dan kewajiban warga negara, keanggotaan dalam parlemen, peradilan, perkara di
pengadilan dan penagkapan) oleh pejabat publik;kedua,keberatan konstitusi pemerintah daerah atau gabungan
pemerintah daerah sehubungan dengan pelanggaran haknya untuk mengatur dirinya dalam undang-undang
negara bagian yang tidak diajukan pada pengadilan konstitusi negara bagian. (5) Semua hal yang berkaitan
dengan konstitusi.
Secara khusus mengenai pengujian peraturan perundang-undangan diatur lebih lanjut dalam Pasal 100
sebagai berikut: Pertama, jika pengadilan memutuskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan bertentangan
dengan konstitusi suatu negara bagian, keputusan dari sengketa negara bagian atau dengan konstitusi negara
federal, harus dimintakan keputusan terlebih dahulu dari Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga berlaku jika
peraturan hukum negara bagian bertentangan dengan konstitusi negara federal atau jika peraturan hukum negara
bagian bertentangan dengan peraturan hukum federal. Kedua, jika di dalam sengketa hukum terdapat keraguan
suatu aturan dalam hukum adat mengenai hak dan kewajiban warga bertentangan dengan peraturan hukum
negara federal pengadilan
Mahkamah konstitusi jerman memiliki 16 (enam belas) hakim yang dibagi dalam dua panel. anggota
panel dipilih oleh Bunsdetag dan Bundesrat, sedangkan selebihnya dari pemerintah federal dan Mahkama Agung
Federal.
Mahkamah Konstitusi di Thailand
Pembentukan Mahkamah konstitusi di Thailand merupakan respon dari masa transisi di Thailand sejak
tahun 1987. Masa transisi yang ditandai oleh beralihnya kekuasaan pemerintahan militer ke sipil yang dimulai
dengan pembentukan konstitusi baru. Memasuki tahun 1997 Thailand kembali berhasil merumuskan konstitusi
baru yang merupakan hasil rancangan komisi konstitusi yang beranggotakan 99 orang yang dipilih langsung oleh
rakyat. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga baru dalam konstitusi yang dibentuk oleh komisi
konstitusi. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 255-270 merupakan salah satu
lembaga kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung, Mahkamah Administrasi dan Mahkamah Militer.
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya tetap berpatokan pada prinsip peradilan pada umumnya yang
berdasarkan hukum dan dilakukan atas nama raja.
Pokok sengketa dalam Mahkamah Konstitusi adalah petisi dimana suatu aturan hukum sesuai atau
bertentangan dengan konstitusi. Suatu petisi masyarakat tidak dapat langsung diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi melainkan harus melawati seleksi onbudsman. Dan lembaga onbudsman tersebut merupakan lembaga
penyeleksi petisi yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Perkara yang dapat diajukan ke Mahkamah
Konstitusi dikategorikan sebagai berikut: Pertama, konstitusionalitas undang-undang, rancangan undang-undang,
dan dekrit. Kedua, kualifikasi anggota parlemen, anggota senat, menteri, dan pejabat tinggi negara. Ketiga,
kualifikasi dan legalitas partai politik beserta anggotanya. Keempat, inkonstitusionalitas aturan prosedur
parlemen, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Pemilihan Umum. Kelima, kasus-kasus lain yang
diserahkan kepada Mahkamah konstitusi di bawah otoritas undang-undang lain seperti undang-undang partai
politik dan pemilu.
Mahkamah Konstitusi berjumlah 15 (lima belas) hakim, seorang hakim ketua dan 14 (empat belas)
lainnya hakim anggota yang diangkat dengan persetujuan raja. Lima hakim agung Mahkamah Agung yang
dipilih secara intern oleh Mahkamah Agung dalam pemilihan yang tertutup, dua hakim agung dari lingkungan
Mahkamah Administrasi, lima orang yang mempunyai keahlian di bidang hukum dan tiga orang yang
mempunyai keahlian ilmu pengetahuan politik. Masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi selama sembilan
tahun dengan masa pensiun 70 Tahun.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang terhadap UUD dalam Proses Penegakan
Konstitusi dan Demokrasi
Menelaah keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan jumlah hakim yang berbeda serta seleksi dan cara
pengankatan yang berbeda dari ketiga negara merupakan upaya menampilkan mekanisme yang benar-benar
kualifaid untuk terseleksinya hakim-hakim profesional bagi penegakan konstitusi dan demokrasi. Titik
penekanan fungsi keberadaan Mahkamah Konstitusi pada penegakan konstitusi dan demokrasi dimaksudkan
untuk menfokuskan perhatian pada lembaga tersebut dan relevansinya fungsi yang dimiliki. Persoalannya adalah
dimana letak demokrasinya proses penegakan konstitusi, jika suatu produk peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat melalui proses musyawarah panjang yang demokratis, kemudian tibatiba suatu lembaga yang disebut Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan. Dari perbandingan jumlah yang jauh
berbeda antara anggota lembaga perwakilan rakyat dengan anggota hakim konstitusi, seakan berada di luar
logika dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan produk perundang-undangan yang
dihasilkan bersama antara legislatif dengan eksekutif.

44

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006


Ternyata logika rasional keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan membatalkan suatu
produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif terletak pada kedudukan dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD. Sehingga kualifikasinya otoritasnya untuk
menguji undang-undang terhadap UUD, tidak terletak pada jumlah keanggotaan tetapi kedudukannya sebagai
chek and balances tiga lembaga pilar penegak demokrasi dan kedaulatan rakyat. Reasoning yang paling praktis
adalah keberadaan pemerintahan negara yang berlandaskan pada demokrasi konstitsional yang berarti segala
aktifitas dan tindakan kekuasaan lembaga-lembaga negara harus senantiasa berlandaskan pada konstitusi,
termasuk membentuk peraturan perundang-undangan. Produk perundangan-undangan yang dihasilkan oleh
legislatif bersama eksekutif, bagaimanapun kedua lembaga ini sebagai pilar demokrasi, tetapi tidak menutup
kemungkinan timbulnya diktator mayoritas atas minoritas seperti dikatakan oleh Lexis de Tocquefelle,(Majid,
1999: 139) dalam bukunya Domocracy in America. Sehingga secara individual maupun bersama-sama dapat
mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi sehubungan dengan adanya peraturan perundang-undangan
yang melanggar hak-hak konstitsional. Bahkan di Jerman secara tegas mengatakan bahwa semua peraturan
perundangan yang dihasilkan oleh legislatif, eksekutif dan lembaga peradilan dapat diuji dengan konstitusi jika
melanggar hak-hak dasar warga negara.
Ketiga negara yang diperbandingkan merupakan negara-negara Eropa Continental, sehingga memiliki
kebersamaan dalam karakter hukum. Walaupun berbeda dalam mekanisme penegakan konstitusi karena berbagai
latar belakang yang berbeda tetapi dari segi kedudukan Mahkamah Konstitusi dari ketiga negara tersebut sama
yakni berkedudukan sederajat dengan lembaga negara lainnya dalam rangka chek and balances.
Substansi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang terhadap UUD
Secara substansial kewenangan Mahkamah Konstitusi terhadap proses penegakan konstitusi dan
demokrasi dari ketiga negara baik Indonesia, Jerman maupun Thailand bertitik tolak pada perlindungan dan
penegakan hak-hak konstitusional warga negara khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dasar yang bersifat
asasi. Artinya yang paling fundamental dari keberadaan Mahkmah Konstitusi dengan segala kewenangan yang
melekat kepadanya khususnya menguji suatu produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh legislatif
bersama eksekutif adalah perlindungan hak-hak konstitusional khususnya yang menyangkut hak-hak dasar dan
asasi.
Perbedaan terlihat pada soal teknis penegakan hak-hak konstitusional. Jika Indonesia, pengajuan
gugatannya terhadap suatu produk peraturan perundang-undangan dapat langsung diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai pengadilan pertama dan terakhir serta keputusan yang bersifat final. Keberadaan Jerman
sebagai negara federal, menyebabkan memiliki mekanisme yang berbeda dalam penegakan konstititusi.
Konstitusi Jerman terdiri dari dua yakni konstitusi negara federal dan konstitusi negara bagian. Semua bentuk
pelanggaran konstitusi apakah konstitusi negara federal atau negara bagian keputusannya berasal dari Mahkamah
Konstitusi negara federal. Pengadilan negara bagian dapat memeriksa dan menguji sengketa peraturan hukum
negara yang bertentang dengan UUD negara bagian tetapi keputusannya harus dimintakan kepada Mahkamah
Konstitusi Federal. Demikian halnya jika terjadi pertentangan hukum antara negara federal dengan negara bagian
termasuk jika terjadi pertentangan antara konstitusi negara federal dengan peraturan hukum negara bagian, maka
harus dimintakan keputusan kepada Mahkamah Konstitusi Negara Federal.
Pengujian undang-undang terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi di Thailand agak berbeda. Untuk
mengajukan gugatan harus melalui dua tahap yakni melalui ombusman kemudian diseleksi untuk menentukan
yang layak diajukan di sidang Mahkamah Konstitusi. Agak beberda dari Thailan adalah terbukanya ruang untuk
mengajukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai kualifikasi anggota dewan, anggota senat, menteri dan pejabat
tinggi negara. Substansi dari ketiga praktek konstitusi ditujukan untuk menjamin kelangsung demokrasi
konstitusional dan demi tegaknya hak-hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh
suatu produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif.
KESIMPULAN
Berangkat dari seluruh uraian dan hasil analisis pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
maka pada bagian sub bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut: Pertama,
kedudukan Mahkamah Konstitusi antara Indonesia, Jerman dan Thailand bersifat merdeka dan sederajat dengan
lembaga tinggi negara lainnya. Kedudukan tersebut dalam rangka chek and balances antara tiga lembaga negara
yang pada umunya ada pada negara Anglo Saxon. Kedudukan Mahkamah Konstitisi di tiga negara merupakan
suatu lembaga tersendiri sederajat dengan Mahkamah Agung. Kedua, substansi dari ketiga praktek konstitusi
ditujukan untuk menjamin kelangsung demokrasi konstitusional dan demi tegaknya hak-hak asasi manusia dari
kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh suatu produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh legislatif
dan eksekutif.

45

H. Acmad Surkati: Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi...

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Firmansyah. 2002. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Konsorsium
reformasi Hukum Nasional.
Ashiddiqi, Jimly. 2002. Mahkamah Konstitusi di Berbagai Negara. Seminar Regional, diselenggarakan oleh
Program Doktor Ilmu Hukum UII, Yogyakarta.
Azhary, Muhammad Tahir. 2003. Negara Hukum. Prenada Media. Jakarta.
Basah, Sjachran. 1994. Hukum Tata Negara Perbandingan. Alumni. Bandung.
Fatkhurohman et.al. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Citra Aditya. Bandung.
Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. FH UI. Jakarta.
Madjid, Nurcholis. 1999. Cendekiawan dan Regiusitas Masyarakat. Paramadina. Jakarta.
Nasution, Adnan Buyung. 2001. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia;Studi Sosio-Legal atas
Konstituante 1956-1959. Grafiti. Jakarta.
Noer, Deliar. 2000. Pemikiran Politik Negeri Barat. Mizan. Bandung.
Ridwan HR. 2003. Hukum Administrasi Negara. UII Press. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum.UI Press Jakarta. Cetakan III.
Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Press. Jakarta.
Suseno, Frans Magnis. 1997. Mencari Sosok Demokrasi; Sebuah Telaah Filosofi. Gramedia. Jakarta.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandement I, II, III, IV.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Federal Constitutional Court Act, of 12 March 1951, as published on 11 August 1993.

46

Anda mungkin juga menyukai