Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat beberapa pola yang mungkin sulit untuk dimengerti jika menggunakan
perspektif demokrasi prosedural dalam menganalisa konteks demokrasi lokal saat ini,
yakni pada bagaimana pola-pola prosedural demokrasi kemudian menjadi arena bagi
muncul dan menguatnya kembali politik identitas yang berbasis pada simbolitas
tradisional keluarga, klan, kebangsawanan, etnis, dan sebagainya. Padahal dalam konteks
politik yang kian deliberatif, memungkinkan persaingan politik itu terjadi dan sirkulasi
elit-elit politik menjadi kian terbuka.
Fenomena munculnya sentimen etnis dan kekeluargaan dalam politik lokal di
Indonesia adalah hasil dari kombinasi tekanan politik sentripugal (terpusat) pada masa
orde baru dan tekanan politik sentripetal (desentralisasi) pasca orde baru. Meski di awalawal pelembagaan desentralisasi pola ini belum terlihat, akan tetapi, memasuki dekade ke
dua ke dua pasca reformasi, kecenderungan pada semakin oligharkisnya kekuatan partai
politik ditambah kecenderungan politik partai yang semakin bergerak ke arah yang lebih
pragmatis. Kushkrido Ambardi lebih menyebut fenomena ini sebagai Politik Kartel yang
membelit partai politik di Indonesia pada dekade ke dua pasca reformasi.
Untuk memahami konteks fenomenalnya dalam skripsi ini saya akan
membahas atau mengelaborasi beberapa perspektif teori tentang elit politik, serta
bagaimana konteks ranah dalam politik lokal menjadi arena menguatnya politik keluarga.
Pada titik ini pula kita melihat bagaimana pergeseran perspektif teoritik itu, terutama
perspektif teoritik Pierre Boudieu sebagai bangunan kerangka analitis utama untuk
meahami fenomena pengaruh klan Yasin Limpo di Sulwesi Selatan, sehingga kita tidak

saja memahami dinamika perspektif (pergeseran paradigma) dalam menganalisa elit


politik akan tetapi juga, hasil penelitian ini pula menjadi acuan tentang bagaimana
operasionalisasi pendekatan baru tersebut atas konteks fenomenal politik keluarga dalam
politik lokal di Indonesia terutama di Sualwesi Selatan. Sebagai tambahan untuk
memperkaya perspektif kita penulis membahas tentang Deliberasi Politik Lokal dalam
Pemilu dan Pilkada, untuk memahami bagaimana konteks perubahan ranah politik,
menjadi arena bagi adanya sirkulasi elit, namun pada sisi lain fenomenalnya deliberasi
politik itu memperlihatkan dinamika (kontestasi dan konfrontasi) elit akan tetapi, pada
dasarnya sirkulasi itu hanya terjadi pada lingkaran (elit) yang sama. Konteks ini seolah
membuktikan tesis Sorensen tentang involusai politik yang hanya menghasilkan Frozen
Democracy (Demokrasi beku ).
2.1. Kerangka Teoritik
A. Teori Elit
Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional
yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang
berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh
lebih beraneka ragam daripada elit tradisional 1.
Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawaipegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi
pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit
politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik
pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan

Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka jaya, Jakarta,
1984, Hal. 12

berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah
orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi
biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan
dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan
bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti
simbolis daripada praktis.2
Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki
pengaruh

dalam

proses

pengambilan

keputusan

politik.

Suzanne

Keller 3

mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli
yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik
(Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada
sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hakhak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).
Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua
atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh
Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori
demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusankeputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian
diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano
Mosca.4
Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil
orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik.
2

Ibid. Hal. 12
Lihat Jayadi Nas, Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan
Politik Lokal, Hal. 33.
4
Ibid. Hal. 34
3

Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit
adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan
masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama,
yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang
muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam
dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak
memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit
politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut
Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat mengembangkan diri serta
mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan kuat selalu
muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang
memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan.
Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang
memerintah.5
Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara
efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain didukung
oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa hukum besi oligarki tak terelakkan.
Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu
mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit
sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya
sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan,
dan perannya pun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang

Ibid.

lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat
kepada siapa saja yang kebetuan punya peran penting 6.
Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya
ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit
diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan
mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit
dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak.
Ke dua, dalam tradisi yang lebih baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang
menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai
sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan,
atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.
Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati
posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu
posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama,
pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski
bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang
memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur dalam berbagai lingkup
institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi dan sebagainya. 7
Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit adalah
orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awamdipandang sebagai sebuah
kelompok. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan
koordinasi untuk menonjolkan perannya. Menurut Marvick, meskipun elit sering
dipandang sebagai satu kelompok yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota6
7

Ibid. Hal. 35
Ibid. Hal. 36

anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang lain sering bersaing dan berbeda
kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam
perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit.
Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam menyatakan bahwa
secara umum ilmuwan sosial membagi dalam tiga sudut pandang. 8 Pertama, sudut
pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit
yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan
memegang peranan penting dalam aktivitas masyarakat. Kedudukan tersebut dapat
dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya
keturunan atau kasta.
Schrool9 menyatakan bahwa elit menjadi golongan utama dalam masyarakat
yang didasarkan pada posisi mereka yang tinggi dalam struktur masyarakat. Posisi yang
tinggi tersebut terdapat pada puncak struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi dalam bidang
ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas.
Ke dua sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu
lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam masyarakat.
C. Wright Mills10 menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan
kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga besar, karena posisi
kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya
untuk memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu.
Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam
arti pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan
8

Ibid. Hal. 37
Ibid
10
Ibid Hal. 39
9

dengan

mempelajari

proses

pembuatan

keputusan

tertentu,

terutama

dengan

memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu
keputusan.
Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh
dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber dari
penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber
kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa
keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan
keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan oleh Charles F. Andrain 11 yang
meneybutnya sebagai sumber daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi,
normatif, personal dan keahlian.
Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal dapat dilihat dalam 3
kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit
berdasarkan kegiatan fungsional, ketiga, elit berdasarkan kharisma. Dalam tradisi lontara,
pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas 3 kellompok sosial, pertama,
raja dan kerabat raja yang dikenal dengan kelompok bangsawan atau aristokrat. Ke dua
kelompok manusia merdeka dan ketiga, kelompok hamba 12.
Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yang
penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan
dari kelompok-kelompok teori di atas terdapat kecocokan, namun yag terjadi dalam
politik Sulawesi Selatan kini, adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor sumber daya
kuasa sebagaimana disebutkan di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih
dengan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh dari kualifikasi
11
12

Ibid. 38
Ibid. Hal 39

pengakderan partai politik akan tetapi juga tidak menunjukkan sikap elit yang loyal dan
ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi seringkali menjadi faktor yang
diasumsikan menjadi sumber kekuasaan, dalam masyarakat Bugis Makassar tentunya
akan menampakkan dinamika yang kuat, dimana sirkulasi elit akan sedemikian
kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar adalah
berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih dengan patrimonialisme,
kekeluargaan, dan bahkan memungkinkan untuk terjadinya dinastitokrasi.
Dalam fenomena keluarga Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu
menjadi konteks fenomenal yang menyulitkan untuk menetapkan satu bingkai
paradigmatik dan teoritik sebagaimana dijelaskan di atas. Karenanya, asumsi teoritik
Pierre Bourdieu mengenai Habitus, modal, ranah dan praktek mungkin relevan sebagai
alat analisis utama disamping kekuatan teoritik dari dari teori elit di atas. Perspektif
Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.
B. Menganalisis Politik dan Demokratisasi Lokal
Pendekatan

kami

terhadap

analisis

politik

dan

demokratisasi

lokal

mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan dengan cara di mana para pemain


mencoba menguasai dan mengubah kondisi tersebut dengan mencoba mempekerjakan
dan membangun atau menghindari dan mengurangi instrumen demokrasi dalam ruang
politik lokal dan non lokal 13. Cara ilustratif pertama dalam mengkonseptualisasikan
hubungan

kekuasaan

diambil

dari

karya

Pierre

Bourdieu 14.

Bourideu

mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan dan praktek para

13

John Harris, Kristian Stokke, Olle Tornquist , POLITISASI DEMOKRASI Politik


Lokal Baru, 2004, Hal. 24
14
Ibid

pemain. Ada tiga konsep yang dikemukakan oleh Bourdieu, pertama Habitus, kedua
konsepsi khususnya tentang kapital dan yang ketiga lapangan sosial 15 atau ranah.
Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu adalah habitus dan ranah (field).
Bourdieu memperluas memperluas tentang modal ke dalam beberapa kategori, seperti
modal sosial dan modal budaya. bagi Bourdieu, posisi individu terletak di ruang sosial
(social space) yang tidak didefinisikan oleh kelas, tetapi oleh jumlah modal dengan
berbagai jenisnya dan oleh jumlah relatif modal sosial, ekonomi, dan budaya yang
dipertanggung jawabkan16.
Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan dan pendidikan. konsep tersebut
digunakan pada tingkatan individu, a system of acquired dispositiions functioning on the
practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing
priciples of action. Bourdieu berpendapat bahwa perjuangan demi distingsi sosial
merupakan dimensi fundamental dari seluruh kehidupan sosial 17. Istilah ini merujuk
kepada ruang sosial dan terjalin dengan sistem disposisi (habitus) 18. Bagus Takwim
menjelaskan dalam pengantarnya 19 , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ...suatu
sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, trnasponsible
disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terrstruktur
dan terpadu secara objektif. sedangkan ranah oleh Bourdieu diartikan sebagai jaringan
relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari
kesadaran dan kehendak individual
Dengan kata lain, habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu
dan realitas sosial. Individu menggunakan habitus dalam berurusan dengan realitas sosial.
15

Ibid, Hal. 25
Richard harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes (editor) dalam (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik Pengantar Yang Paling Komprehensif Kepada
Pemikiran Pierre Bourdieu, 2009, Hal. xi
17
Ibid
18
Ibid
19
Ibid xvii
16

habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu


berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang
sosial. Secara mudah, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan
perwakilan konspetual dari benda-benda dalam realitas sosial. Berbagai macam skema
tercakup dalam habitus seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi,
berguna-tidak berguna, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, indah-jelek, dan
terhormat-terhina.20
Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosialyang merupakan arena bagi
perjuangan sumber daya. Individu, isntitusi, dan agen lainnya mencoba untuk
membedakan dirinya dari yang lain dan mendapatkan modal yang berguna atau berharga
dia arena tersebut. Dalam masyarakat modern, terdapat dua sistem hierarkisasi yang
berbeda. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi dan harta ditentukan oleh harta
modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua adalah budaya atau simbolik Dalam sistem
ini, status seseorang ditentukan oleh seberapa banyak modal simbolik atau modal
budaya yang dimiliki. Budaya juga merupakan sumber dominasi, dimana para intelektual
memegang peranan kunci sebagai spesialis produksi budaya dan pencipta kuasa
simbolik21.
Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi
objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah
bukan ikatan intersubjektif anatar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur
dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan
masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini
megnacu pada keselurahan konsepsi tentang dunia sosial. konsep ini menganlogikan
realitas sosial sebagai sebuah ruang dan pemahamannya menggunakan pendekatan
20
21

Ibid
Ibid, Hal. xii

topologi. Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai terdiri dari beragam ranah
yang emiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya serta sejumlah raung kontak.
Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian
ranah tempat orang-orang berebut berbagai modal. Dalam ruang sosial ini, individu
dengan habitusnya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang
menhasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya.

22

Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah,
dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah
juga merupakan produk dari medan daya daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu
ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal.
Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi
di dalam ranah. setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal modal khusus
agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya 23. secara ringkas Bourdieu
menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial tersebut dengan persamaan
: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik24.
Ide Bourdieu tentang Habitus bisa dimengerti dalam konsep yang lebih dikenal
tentang institusi dan kultur. Ketika Bourdieu berbicara tentang disposisi, seperti yang
telah kami jelaskan, dia mengacu pada pola kelakuan yang terstruktur dan norma-noram
serta pengertian yang diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi
institusi, atau peraturan formal dan informal yang menghambat dan memfasilitasi
tindakan manusia dan interaksi sosial, dan kultur atau kebiasaan berfikir dan
berkelakuan, dan arti yang menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang tertentu.
Dengan cara ini ke dua istilah memiliki arti saling berhubungan atau sebagian tumpang
tinfih. Formal, khususnya perturan legal, dan kontrak selalu perlu ditanamkan pada strata
22
23
24

Ibid, Hal. xx
Ibid
Ibid, Hla. xxi

sosial yang dalam dan informal, sering melibatkan faktor-faktor seperti kepercayaan,
tugas dan kewajiban (sehingga) suatu kontrak formal selalu mengambil corak khusus dari
kultur sosial informal yang ditanamkan25.
C. Deliberasi Politik Lokal dalam Pemilu dan Pilkada
Perubahan tatanan politik di Indonesia yang secara legalitas hukum tertuang
dalam ketetapan MPR RI No.XI/MPR/ 1998 tentang Pemilihan Umum, yang didalamnya
terkandung dua aspek fundamental terhadap perubahan tatanan politik di Indonesia yaitu
adanya kebebasan mendirikan partai politik dengan kembalinya menggunakan system
multi partai setelah dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin
dilakukan dengan mengadakan dua putaran pemilu; pemilu pertama untuk memilih
anggota DPR/MPR dan pemilu kedua memilih presiden dan wakil presiden secara
langsung pula. Kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dan
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam
UUD 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara
presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif dipilih secara terpisah oleh
rakyat. Perubahan hukum ketatanegaraan lewat reformasi dan amandemen konstistusi
(pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yang kemudian dijabarkan melalui
Undang-Undang No.12 Tahun 2003, dan pemilu presiden dan wakil presiden di atur
dalam pasal 6A yang selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003)
mengembalikan kedaulatan rakyat dengan memberi peluang kepada rakyat untuk
menggunakan hak pilihnya secara langsung3.

25

Hodgson 2001 dalam John Harris, Kristian Stokke dan Olle Tornquet (2009),
Hal. 26

Dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung juga membatasi
fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memilih presiden dan wakil
presiden selanjutnya, serta turut mempengaruhi sistem pemerintahan presidensial yang
dianut. Dimana sebelumnya melalui mekanisme pemilihan oleh MPR yang tidak jarang
melalui lobi politik yang memenangkan kontenstan yang tidak sesuai harapan rakyat.
Pembaharuan sistem politik Indonesia hasil reformasi politik dan reformasi
hokum

ketatanegaraan

diantaranya

adalah

perubahan

keanggotaan

Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD),
serta pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, serta pelaksanaan pilkada
langsung.
C. Pilkada Langsung
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia telah tiga kali melaksanakan
pemilihan umum yaitu 1999, 2004 dan 2009 dengan sistem multi partai. Dengan sistem
multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan
metode pendekatan dalam memperoleh suara terbanyak untuk memenangkan pemilu.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2003 telah membuka ruang kontestasi dalam memperebutkan kekuasaan dan
legitimasi kekuasaan politik. Telah tiga kali terjadi pergantian presiden sebagai bagian
dari proses demokrasi di tingkat nasional dan daerah. Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Langsung Tahun 2004 merupakan pengalaman baru dan telah berlangsung ke
dua kalinya bagi Bangsa Indonesia, sebagai salah satu kajian demokrasi presidensil. UU
No. 23 Tahun 2003. Di tingkat daerah, di beberapa Provinsi dan Kabupaten telah hampir
memasuki kali ke dua dalam pemilihan Kepala Daeraha secara langsung. Tingginya bias

konflik dalam Pilkada, menyebabkan wacana tentang Pilkada Gubernur belakangan akan
dikembalikan pada system pemilihan melalui DPRD Provinsi.
Adanya jarak antara pemilu dengan sirkulasi elit di masa orde baru disebabkan
ketertutupan politik dengan adanya pemusatan kekuasaan di tangan Suharto, yang setelah
reformasi terjadi sirkulasi elit yang terbuka dan kompetitif dimulai Pemilihan Umum
1999 yang disusul pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung 2004.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah daerah sangat bercorak sentralistik,
dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan dan penentuan pejabat kepala daerah yang
harus memperoleh persetujuan presiden. Namun sejak runtuhnya otoriter orde baru,
bermunculan tuntutan berbagai daerah agar mereka dapat menentukan sendiri kepala
daerah masing-masing. Sehingga muncul Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai
hasil reformasi politik. Pergeseran tersebut bertujuan menciptakan pemberdayaan politik
masyarakat lokal yang dalam pelaksanaannya masih terbatas pada legislative daerah.
Dalam sejarah Indonesia sampai pada masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli
oleh elite politik pusat dan daerah dengan tidak memberi kesempatan rakyat memilih
secara langsung kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Adanya perbedaan tata cara
dan mekanisme pemilihan yang selama ini dikonstruksi untuk memilih anggota
legislative serta presiden dan wakil presiden yang melibatkan partisipasi rakyat dalam
menggunakan hak pilihnya. Namun sebaliknya pilkada dilakukan dengan sistem
pemilihan perwakilan oleh anggota dewan atau diangkat/ditunjuk oleh pejabat pusat.
Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya dan salah satu produk era
reformasi adalah UU No.22 tahun 1999 mengenai desentralisasi, yang dalam praktik
pilkada menimbulkan keprihatinan dan kekecewaan dengan munculnya isu maraknya
politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik di
tingkat lokal maupun pusat. Kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 tahun

2004 tentang Pemerintahan daerah (otonomi daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 dan Peraturan
Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka peluang
kepada rakyat untuk mewujudkan aspirasi daerah dengan memiliki pemimpin lokal yang
dipilih oleh rakyat melalui pilkada langsung. Perubahan ini sangat signifikan terhadap
perkembangan demokrasi di daerah.
Alasan mengapa harus diselenggarakan pilkada langsung karena: Pertama,
meningkatnya partisipasi politik rakyat daerah; Kedua, legitimasi politik yang dapat
memberikan dampak legitimasi yang lebih kuat terhadap kepemimpinan daerah terpilih;
Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; dan Keempat, akuntabilitas
yang merupakan persoalan mendasar dalam memillih seorang pemimpin. Dalam artian
pilkada langsung harus dapat mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif daerah
yang kuat. Selain itu, pelaksanaan pilkada langsung harus berkualitas, sederhana, efisien,
dan mudah dilakukan. Pilkada langsung juga harus membuka ruang selebar-lebarnya
terjadinya kompetisi yang adil antara para calon yang bersaing dengan melibatkan
partisipasi rakyat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yang berlangsung
sampai dengan pemilihan, serta proses-proses politik pasca pemilihan.
Dengan demikian kepala daerah terpilih akan lebih akuntabel pada rakyat dan
bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan
berorientasi pada rakyat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) serta potensi
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) bisa berkurang
pada golongan tertentu. Perubahan politik nasional dengan mengadakan pemilihan
langsung terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden diikuti
dengan pemilihan langsung gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya dengan perubahan sistem pilkada adalah merupakan mata rantai
reformasi politik untuk mewujudkan politik yang demokratis di Indonesia. Dalam suatu
masyarakat demokratis, rakyat berperan tidak untuk memerintah atau menjalankan
keputusankeputusan politik. Namun terdapat pemilihan umum yang berperan untuk
menghasilkan suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya
menghasilkan suatu eksekutif nasional dan pemerintah. 26
D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang bersatu dengan
kekerabatan yang nyata atau dirasakan dan keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan
sebenarnya tidak diketahui, anggota klan tetap dapat anggota pendiri atau leluhur di
puncak. Obligasi kekerabatan berbasis mungkin hanya simbolis di alam, di mana saham
marga yang di tetapkan nenek moyang yang merupakan simbol persatuan marga. Klan
paling mudah di gambarkan sebagai suku atau Sub kelompok suku. Kata marga berasal
dari clann berarti anak dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia. Pada tahun 1425
kata itu di bawa ke Inggris sebagai nama untuk sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia
dan Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota bisa mengidentifikasi dengan
lambang untuk menunjukan bahwa mereka adalah kaum independen.
Dalam budaya yang berbeda dan situasi, klan bisa berarti hal yang sama seperti
kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yang
membedakan adalah bahwa marga merupakan bagian kecil dari suatu masyarakat yang
lebih besar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia,
Cina, Jepang dan klan klan Rajput di India dan Pakistan, yang ada sebagai kelompok
kerabat di negara masing-masing. Namun, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band
juga dapat komponen masyarakat yang lebih besar. Mungkin yang paling terkenal suku,
26

Tesis Sugiprawaty, Etnisitas, Primordialisme, Dan Jejaring Politik Di


Sulawesi Selatan (Studi Pilkada Di Sulawesi Selatan Th 2007-2008), Hal. 10

12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. suku-suku Arab adalah kelompok kecil dalam
masyarakat Arab, dan Ojibwa band adalah bagian kecil dari suku Ojibwa di Amerika
Utara. Dalam beberapa kasus diakui beberapa suku marga-marga yang sama, seperti
beruang dan klan rubah dari Chickasaw dan suku Choctaw.
Selain dari tradisi yang berbeda dari kekerabatan, kebingungan konseptual lebih
lanjut muncul dari penggunaan sehari-hari istilah tersebut. Di negara-negara pascaSoviet, misalnya, sangat umum untuk berbicara tentang klan di referensi ke jaringan
informal dalam bidang ekonomi dan politik. penggunaan ini mencerminkan asumsi
bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain dalam sangat dekat dan saling
mendukung dengan cara yang kurang lebih sama solidaritas antara sanak saudara.
Namun, marga-marga Norse, yang tter, tidak dapat diterjemahkan dengan suku atau
band, dan akibatnya mereka sering diterjemahkan dengan rumah atau baris.
Sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun 1998,dinamika politik diaerah
memasuki era baru pula. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan dan mulai
memainkan peran di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yang terorganisir, dan
memiliki simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal
tidak terlepas dari adanya jaringan atau klan yang terjadi antara kesatuan geneologis yang
mempunyai kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan adanya integrasi social, kelompok
kekerabatan yang besar, kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas unilinear. Klan
kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua keturunan seorang nenek moyang yang di
perhitungkan dari garis keturunan laki-laki atau wanita.
Bangunan klan tidak terlepas dari siapa patron awal yang membangun pondasi
yang kuat yang membawanya sehingga klan tersebut atau jaringan mampu berada pada
level kekuatan kekuatan yang kuat untuk kemudian dikonsolidasikan pada tataran elit
yang kemudian menjadi kekuatan yang kuat ditingkatan lokal dan nantinya pada

tingkatan skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan
besar dimana membangun klan atau jaringan itu sendiri yang nantinya dapat
mempengaruhi proses politik atau sebuah kebijakan dan efek sosial politik dari opini
politik klan yang dibangun.
Pola komunkasi yang kuat yang dibangun sebuah kelompok kekerabatan jaringan
keluaraga atau adalah salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan keluarga
di tingkatan elit poltik lokal yang memungkinkan terjadinya dominasi kekuasaan pada
arah proses kebijakan nantinya, semua itu tidak terlepas dari usaha yang dibangun patron
awal sehingga klan atau jaringan keluaraga tersebut menjadi suatu kesatuan yang kuat
pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru dari klan yang
sama, yang kuat, dan yang nantinya akan meneruskan proses politik yang sedang
berlangsung.
Klan dalam politik ada dalam satu keluarga dimana mereka dalam hal ini
keluarga mampu menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam
politik ini merupakan sesuatu yang diturunkan atas faktor keturunan dan ada yang
menyebut gejala ini sebagai kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya
sebagai klan atau keluarga politik, fanatisme pada keluarga terinspirasi dari peribahasa
Jerman Blut ist dicker als wasser yang secara harfiah berarti hubungan darah (keluarga)
lebih kuat dibandingkan ikatan lain ( dari aspek loyalitasnya ).
E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep pengaruh pengaruh yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah bila tekanan yang diberikan kepada pengaurh eksperimental dan
pengaruh lingkungan itu ternyata benar,maka masuk akal untuk beranggapan bahwa
pengaruh tersebut akan terus berkelanjutan menjadi penting selama usia dewasa,dan
bahwa proses sosialisasi itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja.

Bagan pokok dari tingkah laku politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yang
lebih muda,akan tetapi adalah lebih mungkin menciptakan suatu situasi dalam mana
terdapat interaksi diantara sosialisasi politik dini dengan pengaruh - pengaruh
eksperimental dan lingkungan dari masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan
sosialisasi orang dewasa.
Satu contoh terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang
menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera sesudah
pemilihan mereka: dan bahwa tingkah aku legislatif berikutnya sebagian ditentukan oleh
pengetahuan,nilai nilai, dan sikap sikap mereka seperti yang ada terdapat sebelum
pemilihan, dan sebagian lagi oleh pengalaman pengalaman mereka semasa menjadi
anggota badan legislatif, ditambah lagi dengan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan
baru didalam lembaga legislatif.Dalam keadaan seperti itu suatu tingkatan sosialisasi
tidak dapat dihindarkan dari pengalaman sehari hari pria dan wanita pada umumnya.
Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum banyak diteliti orang,
sekalipun terdapat beberapa pembuktian yang muncul dari studi studi mengenai tingkah
laku pemilihan/elektoral, kesadaran kelas, pengaruh dari situasi situasi kerja dan
perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya

mungkin untuk

mengsugestikan, bahwa bidang bidang mengenai sosialisasi orang dewasa itu adalah
penting. Justru seperti halnya anak yang diantarkan secara bertahap kepada kontak
dengan dunia disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian pula halnya para remaja
dan perubahan dari masa remaja menjadi dewasa, menunjukan adanya suatu tahap
lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.
Beberapa kontak yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja ada
yang berkelanjutan dalam bentuk yang agak mirip melalui persahabatan dan perkenalan:
sedang yang lainnya dapat diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya

seperti pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media


massa, namun beberapa daripadanya dan pengalaman pengalaman yang mereka yang
meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru
sedemikian ini akan memperkokoh sosialisasi sebelumnya, akan tetapi bagi orang lain
akan menyebabkan kemunculan berbagai tingkatan konflik yang mungkin mengakibatkan
timbulnya perubahan perubahan penting dalam tingkah laku politik.
Kepindahan dari daerah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan
dari organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti agama,
penerapan fakta dan opini melalui media massa semua ini menyebabkan dampak yang
berarti kepada tingkah laku politik sekarang.
F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan pakar teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan
perhatian terhadap kultur dan proses sosialisai yang menanamkan (internalization) norma
dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yang mempersatukan orang
secara bersama dalah sekumpulan gagasan bersama. Pakar teori jaringan menolak
pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang harus memusatkan perhatian pada
pola

ikatan

objektif

yang

menghubungkan

anggota

masyarakat 27.

William

mengungkapkan pandangan ini:


Analisis jaringan lebih ingin mempelajari keteraturan individu dan
kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka
seharusnya berperilaku. Karena itu pakar analisis jaringan mencoba menghindarkan
penjelasan normatif dan perilaku sosial. Mereka menolak setiap penjelasan nonstruktural
yang memperlakukan proses sosial sama dengan penjumlahan ciri pribadi aktor
individual dan norma yang tertanam.
27

Mizruchi, 1994 dalam Wellman 1983, Hal. 162

Setelah menjelaskan apa yang menjadi bukan sasaran perhatiannya, teori


jaringan lalu menjelaskan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yang
menghubungkan

anggota

masyarakat

(individual

dan

kolektifitas).Wellman

mengungkapkan sasaran perhatian utama teori jaringan sebagai brikut:


Analisis jaringan memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat,
bahwa usaha utama sosiolog adalah mempelajari sturktur sosialcara paling langsung
mempelajari stuktur sosial adalah menganalisis pola ikatan yang menghubungkan
anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yang berada dibawah pola
jaringan biasa yang sering muncul kepermukaan sebagai system social yang kompleks
Aktor dan perilakunya dipandang sebagai dipaksa oleh struktur social ini. Jadi, sasaran
perhatian analisis jarigan bukan pada aktor sukarela, tetapi pada paksaan structural 28.
Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur
mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman
dan Wortley, 1990), tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan(Baker,1990;Clawson,
Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi dan Koening, 1986) dan masyarakat. Hubungan
dapat terjadi ditingkat struktur social skala luas maupun ditingkat yang lebih
mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu seperti tindakan
yangmelekatdalam hubungan pribadi konkret dan dalam strktur(jaringan) hubungan
itu(1985:490).Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau
kolektifitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai (kekayaan,
kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung
terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain.
Satu aspek penting analisis jaringan adalah bahwa analisis ini menjauhkan
sosiolog dari studi tentang kelompok dan kategori sosial dan mengarahkannya untuk
28

Wellman, 1983, Hal. 156

mempelajari ikatan dikalangan dan antar aktor yang tak terikat secara kuat dan tak
sepenuhnya memenuhi persyaratan kelompok 29(Wellman, 1983:169). Contoh yang baik
dari ikatan seperti ini adalah diungkap dalam karya Granoveter(1973:1983) tentang
ikatan yang kuat dan lemah Granoveter membedakan antara ikatan yang kuat, misalnya
hubungan antara seseorang dan teman karibnya, dan ikatan yang lemah, misalnya
hubungan antara seseorang dan kenalannya.
Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yang mempunyai ikatan yang
kuat atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yang kuat itu penting,
sedangkan ikatan yang lemah dianggap tak penting untuk dijadikan sasaran studi
sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah dapat menjadi sangat penting.
Contoh, ikatan lemah antara dua aktor dapat membantu sebagai jembatan antara da
kelompok yang kuat ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yang lemah seperti itu,
kedua kelompok mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya dapat
menyebabkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan
lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yang ikatannya sangat kuat
dan akan kekurangan informasi tentang apa yang terjadi di kelompok lain maupun dalam
masyarakat lebih luas. Karena itu ikatan yang lemah mencegah isolasi dan
memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya dengan lebih baik ke dalam masyarakat
lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yang lemah, ia segera
menjelaskan bahwa, Ikatan yang kuat pun mempunyai nilai (1983: 209; Lihat Bian,
1997). Misalnya, orang yang mempunyai ikatan kuat memiliki motivasi lebih besar untuk
saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberikan bantuan.

G. Kerangka Pikir
29

Ibid, Hal. 169

Di tengah gegap gempita deliberasi politik di negeri ini baik melalui skema
Pemilu legislatif dengan sistem terbuka dengan menggunakan suara terbanyak maupun
dengan skema Pilkada Langsung Gubernur Wakil Gubernur dan Bupati Wakil Bupati.
Tampaknya politik klan yang berbasis pada jejaraing politik keluarga masih mendapatkan
ruang yang istimewa. Deliberasi politik dalam skema Pemilu Legislatif dengan system
multi partai dan system suara terbanyak semestinya diwarnai kontestasi yang massif
dalam memperebutkan suara rakyat. Akan tetapi kenyetaannya, di berbagai daerah,
Pemilu Legislatif banyak diikuti oleh kerabat dan keluarga penguasa dan pejabat terkenal
dengan modal politik dan ekonomi yang kuat, sehingga tidak jarang partai politik peserta
pemilu terutama dari partai partai baru, maupun partai partai besar berebutan untuk
merekrut kalangan-kalangan kerabat/keluarga penguasa/pejabat sebagai anggota dan
calon legislative dari partainya.
Deliberasi sistem politik pada saat yang sama membuka ruang kontestasi akan
tetapi pada saat yang sama juga menciptakan ruang politik dimana keluarga/kerabat dari
elit-elit politik dan penguasa juga turut bersaing. Dalam

mencapai tujuan-tujuan

politiknya baik penguasa maupun elit-elit politik lainnya yang telah memiliki posisi
politik mapan jejaring politik keluarga akan lebih mudah untuk dikonsolidasikan untuk
kepentingan politik jangka panjang melalui solidaritas kekeluargaan.
Menguatnya politik klan di tengah system deliberative ini oleh banyak kalangan
dikatakan sebagai neopatrimonialisme. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional.
Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan
ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut
neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu
pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," Anak atau keluarga
para elite masuk institusi yang disiapkan: partai politik, Lembaga perwakilan, birokrasi,

Kelompok penekan, LSM, Ormas, asosiasi professional, paguyuban kedaerah maupun


etnis dan sebagainya.
Amich Alhumami, peneliti sosial di University of Sussex, Inggris, menyebut
politik kekerabatan proses rekrutmennya didasarkan pada sentimen kekeluargaan. Politik
kekerabatan, papar Amich, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis
kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus
menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di
atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker than
water --darah lebih kental daripada air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan --karena dapat
mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges-- harus
berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja. Kekuasaan terdistribusi dan
bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah 30.
Para kerabat -- lantaran pertalian darah-- dianggap lebih dapat dipercaya dan tak
mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para
elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau
calon kepala daerah. Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena
political privileges keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban/karbitan. Bukan
political credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati/otentik.
Political credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosialpolitik yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine,
kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan seseorang
menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara objektif diakui
masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan pengalaman
pendidikan yang panjang. Amich mengakui, banyak pula tokoh politik nasional yang
tumbuh, selain karena mewarisi darah aristokrasi politik keluarga, juga memiliki political
30

Gatra.Com. Dinasti Politik Lokal Makin Kental

credentials yang mereka bangun sendiri. Dalam konteks penelitian ini, Muh. Yasin
Limpo, Maupun Syahrul Yasin Limpo adalah tokoh politik yang membangun political
credentials melalui kombinasi dua jalan tadi. Sedangkan putr, saudara dan kerabatnya
yang lain menempuhnya melalui jalan yang pertama.
Dua tokoh politik yang berhubungan darah itu, selain secara genetikal punya
talenta dan keistimewaan bawaan, juga memiliki rekam jejak dan pencapaian individual
yang mendapat pengakuan publik. Simak pula dinasti-dinasti politik besar dunia:
Kennedy (Amerika Serikat), Gandhi (India), Bhutto (Pakistan), atau Gemayel dan Hariri
(Lebanon), yang sekalipun mewarisi tradisi politik keluarga yang kental, setiap tokohnya
memiliki political credentials yang otentik.
Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan skema berfikir dari kerangka
teorinya Pierre Bourdieu tentang Habitus, Modal, Ranah dan Praktek 31. kerangka ini
cukup representative untuk menyingkap bagaimana awal mula kemunculan politik dari
klan Yasin Limpo hingga kemudian kontinuitas pengaruh politik mereka yang tetap
bertahan secara mantap di tengah ketatnya persaingan politik di masa demokrasi
deliberatif sekarang ini.
Konteks institusional dan kultural (habitus) dan kesinambungan kekuasaan sosial
dalam suatu bidang politik secara intrinsik saling berhubungan. Menurut Bourdieu,
bidang-bidang politik digolongkan oleh suatu kompetisi bagi hak legitimasi untuk
berbicara atas nama orang lain. Posisi sebagai pembicara mungkin didasarkan pada
kapital simbolik personal (misanya ketenaran, kehormatan dan popularitas), tetapi lebih
signifikan berada di dalam institusi negara dan partai politik, dan diberikan kepada
individu sebagai perwakilan. Ini berarti

bahwa keseimbangan kekuasaan di bidang

politik lokal akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sumber daya (dalam bentuk
31

Rishard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes (Ed), (Habitus x Modal ) +
Ranah = Praktik; Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu, 2005

kapital baik ekonomi, politik, maupun kultural simbolik) lembaga dan pemain politik
serta hubungan di antara mereka.
Pada kerangka politik dan demokratisasi lokal, pandangan Bourdieu tentang
Habitus, Modal, ranah dan praktek, termanifestasi pada model semakin menguatnya
simbolitas-simbolitas lokal yang dieksploitasi oleh elit-elit lokal dalam persaingan
mereka di ranah politik lokal. isu-isu sengit hingga segmentasi etnisitas, kekeluargaan
kemudain menjadi alat politik yang lumrah digunakan dalam kerangka mempengaruhi
dan meraih posisi politik, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

2.2. SKEMA PIKIR

HABITUS

MODAL

Pendidikan Politik
Dalam Keluarga

Modal
Ekonomi

Interaksi dan
Kerjasama
Dalam Keluarga
Peran-Peran
Politik

Modal
Politik
Modal
Simbolik

RANAH

pemilu

Pilkada

Anggota Keluarga

JARINGAN POLITIK
KELUARGA / KLAN

Konstalasi
Jaringan
Politik
Politik
Sul-Sel

PRAKTIK

Struktur Politik :
Infrastruktur
Politik
Suprstruktur
Politik

Anda mungkin juga menyukai