Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 INFEKSI SALURAN KEMIH
2.1.1 Definisi
Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter,
buli-buli, ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang
menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin (Sukandar, E.,
2004).
Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria): bakteriuria bermakna
5

menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 10

colony

forming unit (cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa
disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (convert
bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai persentasi klinis ISK
dinamakan bakteriuria bermakna asimtomatik. Pada beberapa keadaan pasien
dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna
(significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per lapangan pandang.
(Sukandar, E., 2004)
2.1.2 Klasifikasi
Infeksi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi di dalam saluran
kemih. Akan tetapi karena adanya hubungan satu lokasi dengan lokasi lain
sering didapatkan bakteri di dua lokasi yang berbeda. Klasifikasi diagnosis
Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria yang dimodifikasikan dari panduan
EAU (European Association of Urology) dan IDSA (Infectious Disease Society of
America) terbagi kepada ISK non komplikata akut pada wanita, pielonefritis non
komplikata akut, ISK komplikata, bakteriuri asimtomatik, ISK rekurens, uretritis
dan urosepsis (Naber KG et al). Pielonefritis akut (PNA) adalah proses inflamasi
parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis (PNK)
mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa
kecil.

Obstruksi saluran kemih dan refluks

vesikoureter

dengan atau

tanpa
bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal
yang ditandai pielonifritis kronik yang spesifik. (Sukandar, E., 2004)
1

Selain itu, ISK juga dinyatakan sebagai ISK uncomplicated (simple) dan
ISK complicated. ISK simple adalah infeksi yang terjadi pada insan sehat
dan tidak menyebar ke tempat tubuh yang lain. ISK simple ini biasanya
sembuh sempurna sesuai dengan pemberian obat. Sementara ISK complicated
adalah infeksi yang disebabkan oleh kelainan anatomis pada seluran kemih,
menyebar ke bagian tubuh yang lain, bertambah berat dengan underlying
disease, ataupun bersifat resisten terhadap pengobatan. Berbanding dengan yang
simple, ISK complicated lebih sukar diobati.
2.1.3 Epidemiologi
ISK tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria,
dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun
perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada
laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus).
Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan.
Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1 % meningkat menjadi
5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik
meningkat mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor
predisposisi seperti berikut litiasis, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal
polikistik, nekrosis papilar, diabetes mellitus pasca transplantasi ginjal, nefropati
analgesik, penyakit sickle-cell, senggama, kehamilan dan peserta KB dengan
table progesterone, serta kateterisasi. (Sukandar, E., 2004)

Table Epidemiologi ISK menurut usia dan jenis kelamin (Nguyen,


H.T.,2004):
Insidens (%)

Faktor risiko

Umur

(tahun)

Perempuan

<1

0,

2,7

Foreskin, kelainan anatomi gastrourinary

1-5

4,5
7

0,

Kelainan amatomi gastrourinary

6-15

4,5

0.
5

Kelainan fungsional gastrourinary

20

0,
5

Hubungan seksual, penggunaan

Diaphragm

20

Pembedahan, obstruksi prostate,

16-35

35

36-65

Lelaki

pemasangan kateter
40

>65

35

Inkontinensia, pemasangan kateter,


obstruksi prostat

Pada anak yang baru lahir hingga umur 1 tahun, dijumpai bakteriuria di
2,7% lelaki dan 0,7% di perempuan (Wettergren, Jodal, and Jonasson, 1985).
Insidens

ISK

pada

lelaki

yang

tidak

disunat

adalah

lebih

banyak

berbanding dengan lelaki yang disunat (1,12% berbanding 0,11%) pada usia
hidup 6 bulan pertama ( Wiswell and Roscelli, 1986). Pada anak berusia 1-5
tahun, insidens bakteriuria di perempuan bertambah menjadi 4.5%, sementara
berkurang di lelaki menjadi 0,5%. Kebanyakan ISK pada anak kurang dari 5
tahun adalah berasosiasi dengan kelainan congenital pada saluran kemih, seperti
vesicoureteral reflux atau obstruction. Insidens bakteriuria menjadi relatif
constant pada anak usia 6-15 tahun. Namun infeksi pada anak golongan ini
biasanya berasosiasi dengan kelainan fungsional pada saluran kemih seperti
dysfunction voiding.

Menjelang remaja, insidens ISK bertambah secara

signifikan pada wanita muda mencapai


20%, sementara konstan pada lelaki muda. Sebanyak sekitar 7 juta kasus cystitis
akut yang didiagnosis pada wanita muda tiap tahun. Faktor risiko yang
utama yang berusia 16-35 tahun adalah berkaitan dengan hubungan seksual.
3

Pada usia lanjut, insidens ISK bertambah secara signifikan di wanita dan lelaki.
Morbiditas

dan mortalitas ISK paling tinggi pada kumpulan usia yang <1 tahun dan
>65 tahun. (Nguyen, H.T., 2004).
2.1.4 Etiologi
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh
kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik
pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%.
Enterobakteria seperti Proteus mirabilis (30 % dari infeksi saluran kemih
pada anak laki-laki tetapi kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella
pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa
Organisme

gram

positif

dapat

juga

sebagai penyebab.

seperti Streptococcus faecalis (enterokokus),

Staphylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans jarang ditemukan.


Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran kemih pada anak
laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada ISK nosokomial atau ISK
kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan Pseudomonas
(Lumbanbatu, S.M., 2003).

2.1.5. Pathogenesis
Pathogenesis bakteriuria asimtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung
dari patogenitas dan status pasien sendiri (host).

A. Peran patogenisitas bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk


Escherichia coli

diduga terkait dengan etiologi ISK. Patogenisitaas E.coli

terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS).


Hanya IG serotype dari 170 serotipe O/ E.coli yang berhasil diisolasi rutin
dari pasien ISK klinis,

diduga

strain E.coli

ini

mempunyai

patogenisitas khusus (Sukandar, E., 2004).


B. Peran

bacterial

attachment

of

mucosa.

Penelitian

membukt ikan

bahwa fimbriae merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai


kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada
umumnya P fimbriae akan terikat pada P blood group antigen yang terdpat
pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah (Sukandar, E., 2004).
C. Peranan faktor virulensi lainnya. Sifat patogenisitas lain dari E.coli
berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti -hemolisin,
cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin
dan enterobactin). Hampir 95% -hemolisin terikat pada kromosom
dan

berhubungan degan pathogenicity island (PAIS) dan hanya 5% terikat


pada gen plasmio. (Sukandar, E., 2004)
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami
perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO
ini menunjukan ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi
bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu,
ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal.
(Sukandar, E., 2004).

D. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


1. Faktor Predisposisi Pencetus ISK.
Penelitian epidemiologi klinik mendukung hipotensi peranan
status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK. Jadi
faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria
sering mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan
struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis
ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan
proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi.

Endotoksin

(lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini


sifatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika.
Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks
visikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang
dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa
edema dengan/tanpa hipertensi. (Sukandar, E., 2004).
2. Status Imunologi Pasien (host).
Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah
dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk kepekaan terhadap
ISK.

Pada tabel di bawah dapat dilihat beberapa faktor yang dapat

meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status


secretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas
immunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat
terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe
fimbriae

bakteri)

(Sukandar, E., 2004)

dan

dengan

fenotipe

golongan darah Lewis.

Table Faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan terhadap infeksi


saluran kemih (UTI) (Sukandar, E., 2004).
Genetic

Biologis

Status

Kelainan congenital

Perilaku
Senggama

nonsekretorik

Lainnya
Operasi
urogenital

Antigen

Urinary tract

Penggunaan

golongan darah

obstruction

diafragma,

ABO

Riwayat infeksi

kondom,

saluran kemih

spermisida,

sebelumnya

penggunaan,

Diabetes inkontinensi

penggunaan

Terapi estrogen

antibiotic terkini.

Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih
normal (ISK tipe sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah nonsekretorik dibandingkan kelompok sekretorik. Penelitian lain melaporkan sekresi
IgA urin

meningkat

dan diduga

mempunyai peranan penting

untuk

kepekaan terhadap ISK rekuren. (Sukandar, E., 2004)


2.1.6.

Patofisiologi

ISK
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu
steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Utero distal
merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious Grampositive dan gram negative. (Sukandar, E., 2004)
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari
uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi
mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini, dipermudah refluks
vesikoureter.

Proses

invasi

mikroorganisme

hematogen

sangat

jarang

ditemukan di klinik, mungkit akibat lanjut dari bakteriema. Ginjal diduga


merupakan lokasi

infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus


aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokkokus aureus)
dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut
(PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen. (Sukandar, E., 2004)
2.1.7

Presentasi

klinis

ISK
Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus
dilakuakan investigasi faktor predisposisi atau pencetus.
a. Pielonefritis Akut (PNA).
Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5 C), disertai
mengigil

dan

sekit

pinggang.

Presentasi

klinis PNA ini sering

didahului gejala ISK bawah (sistitis).


b. ISK bawah (sistitis).
Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakiuria, nokturia,
disuria, dan stanguria.
c. Sindroma Uretra Akut (SUA).
Presentasi klinis SUA sulit

dibedakan dengan sistitis. SUA sering

ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 thun. Presentasi klinis


SUA sangat miskin (hanya disuri dan sering kencing) disertai cfu/ml
5
urin <10 ; sering disebut sistitis abakterialis. Sindrom uretra akut (SUA)
dibagi 3 kelompok pasien, yaitu:
i. Kelompok
uria

pertama

pasien

dengan

piuria,

biakan

3 5
dapat diisolasi E-coli dengan cfu/ml urin 10 -10 .

Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau


uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon
baik terhadap antibiotik standar seperti ampsilin.
ii. Kelompok

kedua

pasien

leukosituri

10-50/lapangan

pangdang tinggi dan kultur urin steril. Kultur khusus


ditemukan clamydia trachomalis atau bakteri anaerobic.
iii. Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.

d. ISK rekuren.

ISK rekuren terdiri 2 kelompok; yaitu: a). Re-infeksi (re- infections).


Pada

umumnya

episode

infeksi

dengan

interval

>6

minggu

mikroorganisme (MO) yang berlainan. b). Relapsing infection. Setiap


kali infeksi disebabkan MO yang sama, disebabkan sumber infeksi
tidak mendapat terapi yang adekuat. (Sukandar, E., 2004)

2.1.8 Pemeriksaan penunjang diagnosis


ISK
Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa puter, kultur
urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protocol standar untuk pendekatan
diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi
sampel urin harus sesuai dengan protocol yang dianjurkan. (Sukandar, E., 2004)
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,
harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan
untuk mengetahui adanya batu atau

kelainan anatomis yang merupakan faktor

predisposisi ISK.Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi


ISK termasuklah ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos perut, pielografi
IV, micturating cystogram), dan isotop scanning. (Sukandar, E., 2004)
Pemeriksaan laboratorium
1. Urinalisis
a.

Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap
dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang
pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada
sediment

urin

menunjukkan adanya keterlibatan

ginjal.

Namun

adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat


pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri
yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur.

Gambar Leukosuria
b.

Hematur ia
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila
dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan
oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus
ataupun
oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis
papilaris.

2. Bakterio lo gis
a.

Mikroskopis
Dapat

digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan

gram. Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang


minyak emersi.
b.

Biakan bakteri

Gambar Biakan bakteri

Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila


ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna sesuai dengan criteria Cattell,
1996:

Wanita,

simtomatik
2
>10 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau
5
10 organisme pathogen apapun/ml urin, atau
Adanya pertumbuhan organisme pathogen apapun pada urin
yang diambil dengan cara aspirasi suprapubik
Laki-laki, simtomatik
3
>10 organisme patogen/ml urin
Pasien asimtomatik
5
10 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin berurutan.

3. Tes kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya
adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduks i nitrat bila
dijumpai
lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai
dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas
99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien
sebelumnya
diet rendah nitrat, diuresis banyak,
asinetobakter.

4.
slide)

Tes Plat-Celup (Dip-

infeksi oleh enterokoki dan

Gambar Plat celup


Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi
perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan
digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung
plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman semalaman
pada

suhu

37

membandingkan

C.
pola

Penentuan

jumlah

pertumbuhan

pada

kuman/ml

dilakukan

dengan

lempeng

perbenihan

dengan

serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang


sesuai dengan jumlah kuman antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin
yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis
kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui.
2.1.9

Manajemen

ISK
2.1.9.1

Infeksi

saluran

kemih

bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliput i intake cairan yang banyak,
antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi asimtomatik untuk alkalinisasi
urin:

Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48jam


dengan antibiotika tunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200mg

Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisi (lekositoria)


diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari

Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila


semua gejala hilang dan tanpa lekositoria.

Reinfeksi
infection)

berulang

(frequent

re-

Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif diikut


i koreksi faktor resiko.

Tanpa faktor predisposisi


- Asupan cairan banyak
- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi
antimikroba takaran tunggal (misal trimetroprim 200mg)
- Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

3
Sindroma uretra akut (SUA). Pasien dengan SUA dengan hitungan kuman 10 5
10 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia memberikan hasi l
yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobic diperlukan
antimikroba yang serasi, misal golongan kuinolon. (Sukandar, E., 2004)

2.1.9.2 Infeksi saluran kemih atas


Pielonefritis akut. Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan
rawat inap untuk memlihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral
paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut adalah seperti
berikut:
- Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotika oral.
- Pasien sakit berat atau debilitasi.
- Terapi antibiotika oral selama rawat jalan mengalami kegagalan.
- Diperlukan invesstigasi lanjutan.
- Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi.
- Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus, usia lanjut.
The Infection Disease of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72jam sebelum diketahui MO
sebagai penyebabnya yaitu fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa
ampisilin

dan

sefalosporin

dengan spectrum luas

dengan

atau

tanpa

aminoglikosida.
Antibiotika merupakan terapi utama pada ISK. Hasil uji kultur dan tes
sensitivitas sangat membantu dalam pemilihan antibiotika yang tepat. Efektivitas
terapi antibiotika pada ISK dapat dilihat dari penurunan angka lekosit urin

disamping hasil pembiakan bakteri dari urin setelah terapi dan perbaikan status
klinis pasien. Idealnya antibiotika yang dipilih untuk pengobatan ISK harus
memiliki

sifat-sifat

sebagai

berikut

dapat

diabsorpsi

dengan

baik,

ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta
memiliki spektrum terbatas untuk mikroba yang diketahui atau dicurigai.
Pemilihan antibiotika harus disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping
juga memperhatikan riwayat antibiotika yang digunakan pasien (Coyle and
Prince,
2005).

2.1.10.
Pencegahan
Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik
bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria
disertai presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria harus rutin dengan jadual
tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama
perempuan, dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan
kateterasi laki-laki dan perempuan. (Sukandar, E., 2004)

2.2. Uji Sensitiviatas Antibiotika (Antibiotic Sensitivity


Test)
Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan
oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat/membasmi mikroba
lain (jasad renik / bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia yaitu
mikroba penyebab infeksi pada manusia (Saepudin, Sulistiawan, R.Y., dan
Hanifah, S., 2007).
Tes uji kepekaan antibiotika merupakan suatu metode untuk menentukan
kerentanan suatu orgamisme terhadap terapi antibiotika yang diberikan. Apabila
organism infeksius telah dikenali, ia dikultur dan diuji terhadap beberapa
jenis obat antibiotic (tergantung jenis mikroba sama ada gram positif atau gram
negative). Sekiranya pertumbuhan mikroba dihambat oleh aksi obat tersebut, ia
dilaporkan sebagai sensitive/peka terhadap antibiotic tersebut. Jika pertumbuhan

mikroba tidak dihambat oleh antibiotik, dikatakan sebagai resisten terhadap obat
tersebut. (The Free Dictionary by Farlex)
Identifikasi suatu mikroba selalu dikerjakan bersamaan dengan tes
AST. Ini dapat memberi gambaran jenis mikroba yang telah dikultur
sekaligus mengenali jenis antibiotika yang harus dipertimbangkan. Kepekaan
suatu isolasi terhadap antibiotic tertentu diukur dengan mencapai Minimim
Inhibitory Concentration (MIC) atau breakpoint. Ini merupakan konsentrasi
minimal/terendah (diuji di double dilutions) antibiotika dimana isolate tidak
dapat

memberikan

pertumbahan

yang

tampak

setelah

inkubasi

(Rapidmicrobiology).
Penetapan kerentanan patogen terhadap antimikroba penting untuk
menyelidik antibiotik yang sesuai untuk mengobati penyakit. Tidak ada gunanya
menggunakan antibiotik yang tidak efektif untuk menlawan mikroorganisme
penyebab penyakit. Ada beberapa prosedur berbeda yang digunakan oleh ahli
mikrobiologi klinis untuk menentukan sensitivitas mikroorganisme terhadap
antibiotik, antara lain metode Cakran KIRBY-BAUER dan Metode Konsentrasi
Hambatan Minimum (KHM) atau Minimum inhibitory concentration (MIC)
(Harmita dan Radji, M., 2008).
Cara yang mudah untuk menetapkan kerentanan organisme terhadap
mikroorganisme terhadap antibiotik adalah degan mengokulasi pelat agar dengan
biakan dan membiarkan antibiotik berdifusi ke media agar. Cakram yang telah
mengandungi

antibiotik

diletakakkan

di

permukaan

pelat

agar

yang

dengan

luas

mengandung
mikroorganisme yang

ingin

diuji.

Konsentrasi sebanding

bidang difusi. Pada jarak tertentu pada masing-masing cakram, antibiotik


berdifusi sampai pada titik antibiotik tersebut tidak lagi menghambat
pertumbuhan mikroba. Efektivitas antibiotik ditunjukkan oleh zona hambatan.
Zona hambatan tampak sebagai area jernih atau bersih yang mengelilingi
cakram tempat zat dengan aktivitas antimikroba terdifusi. Diameter zona dapat
diukur dengan penggaris dan hasil dari eksperimen ini merupakan satu
antibiogram (Harmita dan Radji, M., 2008).

2.2.1.

Metode

Cakram

KIRBY-

BAUER
Metode difusi agar telah digunakan secara luas dengan menggunakan

cakram kertas saring yang tersedia secara komersial, kemasan yang menujukkan
konsentrasi antibiotik tertentu juga tersedia. Efektivitas relatif

antibiotik yang

berbeda menjadi dasar bagi spektrum sensitivitas suatu organisme. Informasi ini,
bersama dengan berbagai pertimbangan farmakologi, digunakan dalam memilih
antibiotik untuk pengobatan (Harmita dan Radji, M., 2008).
Ukuran zona hambatan dapat dipengaruhi oleh kepadatan atau viskositas
media biakan, kecepatan difusi antibiotik, dan interaksi antibiotik dengan media.
Selain itu, zat yang ditemukan mempunyai efek samping signifikan tidak bolah
digunakan untuk terapi karena zat ini mungkin juga mempunyai efek samping
signifikan pada sistem yang diobati (Harmita dan Radji, M., 2008).
Metode cakram mewakili prosedur sederhana untuk menyelidik zat dalam
menentukan apakah zat tersebut signifikan dan mempunyai aktivitas antibiotik
yang berguna (Harmita dan Radji, M., 2008).

(sumber: Rapidmikrobiology)
Gambar d i a t a s menunjukkan suatu hasil daripada metode cakram. Bakteri
tersebut adalah sensitif terhadap antibiotika C dan D, sementara resisten
terhadap A, B, dan E.
Tabel Interpretasi sensitivitas antibiotic (diameter zona hambat dalam
mm)

2.2.2. Metode Konsentrasi Hambatan Minimum (KHM)


Konsentrasi hambatan minimum (KHM) adalah konsentrasi antibiotik
terendah

yang

masih

dapat

menghambat

pertumbuhan

organisme

tertentu. Prosedur ini digunakan untuk menentukan konsentrasi antibiotik


yang masih efektif untuk mencegah pertumbuhan patogen dan mengindikasikan
dosis antibiotik yang efektif untuk mengontrol infeksi pada pasien. Inokulum
mikroorganisme

yang

yang mengandung

telah distandarisasi ditambahkan ke dalam tabung

seri enceran suatu

antibiotika,

dan

pertumbuhan

mikroorganisme akan termonitor dengan perubahan kekeruhan. Dengan cara ini,


KHM antibiotik yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme in vitro
dapat ditentukan (Harmita dan Radji, M., 2008).
2.2.3. Kepekaan Kuman Terhadap Antibiotik
Rumah sakit merupakan tempat penggunaan antibiotik paling banyak
ditemukan. Di negara yang sudah maju 13 37 % dari seluruh penderita yang
dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal ataupun
kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30 80 % penderita yang dirawat
di rumah sakit mendapatkan antibiotik. (Saepudin, Sulistiawan, R.Y., dan
Hanifah, S., 2007).
Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman resisten terhadap
antibiotika. Faktor yang penting adalah faktor penggunaan antibiotika dan
pengendalian infeksi. Oleh karena itu, penggunaan antibiotika secara bijaksana
merupakan hal yang sangat penting disamping penerapan pengendalian infeksi
secara baik untuk mencegah berkembangnya kuman-kuman resisten tersebut ke
masyarakat (Hadi, 2006). Data yang akurat berkenaan dengan kuantitas
penggunaan antibiotika sangat diperlukan. Data-data tersebut akan lebih bernilai
jika dikumpulkan, dianalisis,

serta disajikan dengan suatu sistem atau

metode yang terstandar (Saepudin, Sulistiawan, R.Y., dan Hanifah, S., 2007).
Resisitensi antibiotik dapat berlaku secara natural terhadap sesuatu mikroba/
kombinasi obat, atau resisten yang didapat (acquired resistance), dimana
penyalahgunaan

antimikroba disebabkan populasi yang terexpose kepada lingkungan dengan


mikroba yang resisten secara genetik (mutasi spontaneous atau DNA transfer dari
sel lain yang resisten). Mikroba tersebut dapat tumbuh dan menyebar
(Rapidmicrobiology).
Setiap wilayah perlu mengembangkan suatu kebijakan penggunaan
antibiotika sesuai prevalensi resistensi setempat. Situasi penggunaan antibiotika
memang harus dievaluasi dari waktu ke waktu dan disesuaikan dengan
hasil monitoring kepekaan kuman yang mutakhir serta masukan yang dapat
diberikan oleh klinikus (Nelwan, 2006). Diketahuinya pola kepekaan kuman juga
sangat bermanfaat

untuk menetapkan kebijakan perputaran penggunaan

antibiotika (antibiotics cycling) sebagai salah satu upaya meminimalkan kejadian


resistensi. Perubahan
infeksi

penggunaan

antibiotika

untuk

pengobatan

suatu

sangat mungkin dan bahkan harus dilakukan dengan catatan dilakukan

atas dasar pertimbangan pola kepekaan setempat. Dengan demikian terapi


antibiotika diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal (Saepudin,
Sulistiawan, R.Y., dan Hanifah, S., 2007).

Anda mungkin juga menyukai