Anda di halaman 1dari 34

BLEFARITIS (PERADANGAN PADA KELOPAK MATA)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Blefaritis terbagi menjadi anterior (mempengaruhi tepi anterior dan bulu
mata) dan posterior (mempengaruhi kelenjar meibom). Blefaritis adalah
salah satu gangguan kelopak mata yang paling umum sering dikaitkan
dengan gangguan film air mata. Hal ini lebih umum sering terjadi pada
wanita muda. Salah satu yang paling menyertai gejalanya madarosis yang
terinfeksi. Infeksi Staphylococcus dikaitkan dengan madarosis, poliosis dan
trichiasis dari bulu mata. Blefaritis ditandai dengan peradangan pada tepi
kelopak mata. Hal itu dapat menyebabkan mata merah, gatal, dan iritasi
kelopak mata pada satu atau kedua mata. Blefaritis juga dapat
menyebabkan terjadinya konjungtivitis dan sifatnya terulang (Osaiyuwu
dan Ebeigbe, 2010).
Blefaritis melibatkan kulit dan bulu mata sedangkan gangguan kelenjar
meibom diakibatkan seboroik, obstruktif atau campuran. Blefaritis terjadi
interaksi yang kompleks dari berbagai faktor, termasuk sekresi yang
abnormal, organisme atau mikroba dan kelainan film air mata. Blefaritis
dengan berbagai gejala dan tanda, dan berhubungan dengan kondisi
dermatologis seperti dermatitis seboroik, dan rosasea (Jackson, 2008).
Blefaritis kronik merupakan paling umum pada pasien saat pemeriksaan
klinis mata seperti iritasi. Berdasarkan gejala klinis yang paling sering
adalah blefaritis posterior 24%, mata kering 21% dan blefaritis anterior
12%. Hasil survei Amerika Serikat prevalensi gejala blefaritis selama 12
bulan terakhir adalah terasa gatal dan terbakar, iritasi setelah
menggunakan komputer selama lebih dari 3 jam, kelopak mata terasa
berat dan bengkak, serpihan bulu mata, mata kering atau iritasi, mata
terasa berair terutama di pagi hari dan mata merah. 79,3% melaporkan
memiliki gejala paling sedikit satu gejala selama 12 bulan dan 63%
melaporkan memiliki gejala lebih dari satu (Lindstrom, 2011)
Berdasarkan penelitian Werdich et al 2011 melaporkan survei pasien
blefaritis menunjukkan prevalensi yang sama tinggi masing-masing 86%
dan 94%. Prevalensi temuan klinis sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
gejala yang dilaporkan sendiri. Empat belas persen dari total pasien

melaporkan tidak ada gejala dan enam persen tidak memiliki tanda-tanda
klinis blefaritis. Data normalisasi menunjukkan bahwa kebanyakan pasien
memlikiki penyakit ringan sampai sedang berdasarkan kedua gejala dan
temuan pemeriksaan klinis. Insidensi adalah 50% dan 36% untuk ringan,
32% dan 50 % sedang, dan hanya 4% dan 8% untuk gejala yang parah dan
tanda blefaritis masing-masing.
Secara demografis, kecenderungan lebih tinggi penularan blefaritis
ditemukan pada populasi kelas sosial ekonomi rendah, dan penduduk yang
tinggal di daerah perkotaan. Terdapat hubungan antara blefaritis dengan
beberapa penyakit inflamasi (gastritis, ulkus peptikum, asma, atrophy, dan
colitis ulseratif), kondisi psikologis (kecemasan, sindrom iritasi usus,
neurosis dan depresi), hormonal (hipotiroidi dan hipertrofi prostat), penyakit
kardiovaskular (arteri koronaria, hiperlipidemia, hipertensi dan penyakit
jantung iskemik)dan kondisi mata lainnya (kalazion dan pterygium)
(Nemet et al, 2011).
BAB 2
2.1. Definisi Blefaritis
Blefaritis adalah radang yang sering terjadi pada kelopak merupakan
radang kelopak dan tepi kelopak. Radang bertukak atau tidak pada tepi
kelopak biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut (Ilyas, 2010).
2.2 Anatomi Palpebra
Palpebra adalah lipatan tipis yang terdiri atas kulit, otot dan jaringan
fibrosa, yang berfungsi melindungi struktur-struktur mata yang rentan.
Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulitnya paling tipis di antara
kulit di bagian tubuh lain. Di palpebra terdapat rambut halus, yang hanya
tampak dengan pembesaran. Di bawah kulit terdapat jaringan areolar
longgar yang bisa mengembang pada edema massif. Musculus orbicularis
oculi melekat pada kulit. Permukaan dalamnya dipersarafi nervus cranialis
facialis (VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra. Otot ini
terbagi atas bagian orbital, praseptal dan pratarsal. Bagian orbital, yang
terutama berfungsi untuk menutup mata dengan kuat, adalah suatu otot
sirkular tanpa insersio temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki
caput medial superficial dan profondus yang berperan dalam pemompaan
air mata (Eva dan Whitcher, 2009).
Tepian palpebra ditunjang oleh tarsus, yaitu lempeng fibrosa kaku yang
dihubungkan ke tepian orbita oleh tendo-tendo kantus medialis dan
lateralis. Septum orbitale, yang berasal dari tepian orbita, melekat pada

aponeurosis levatoris, kemudian menyatu dengan tarsus. Pada palpebra


inferior, septum bergabung dengan tepi bawah tarsus. Septum merupakan
sawar yang penting antara palpebra dan orbita (Eva dan Whitcher, 2009).
Terbenam di dalam lemak terdapat kompleks otot levator-retraktor utama
palpebra superior dan padanannya, fasia kapsulopalpebra di palpebra
inferior. Otot levator berorigo di apeks orbita. Saat memasuki palpebra, otot
ini membentuk aponeurosis yang melekat pada sepertiga bawah tarsus
superior. Pada palpebra inferior, fasia kapsulopalpebra berasal dari
musculus rectus inferior dan berinsersio pada batas bawah tarsus. Ia
berfungsi menarik palpebra inferior membentuk lapisan berikutnya, yang
melekat pada konjungtiva. Otot-otot simpatis ini juga merupakan retraktor
palpebra. Konjungtiva melapisi permukaan dalam palpebra. Konjungtiva
palpebralis menyatu dengan konjungtiva yang berasal dari bola mata dan
mengandung kelenjar-kelenjar yang penting untuk pelumasan kornea (Eva
dan Whitcher, 2009).
Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada
palpebra inferior. Sebuah alur yang dalam, biasanya terdapat di posisi
tengah palpebra superior bangsa kulit putih, merupakan tempat
melekatnya serat-serat otot levator. Alur ini jauh lebih dangkal atau bahkan
tidak ada pada palpebra pada orang Asia. Dengan meningkatnya usia, kulit
tipis palpebra superior cenderung menggantung di atas alur palpebra
tersebut dan bisa sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga menipiskan
septum orbitale sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya (Eva dan
Whitcher, 2009).
Kantus lateralis terletak 1-2 mm lebih tinggi dari kantus medialis. Karena
longgarnya insersio tendo ke tepian orbita, kantus lateralis akan sedikit
naik saat melihat ke atas (Eva dan Whitcher, 2009).

2.2.2. Pembuluh Darah dan Limfe Palpebra


Pasokan darah palpebra datang dari arteria lacrimalis dan opthalmica
melalui cabang-cabang palpebra lateral dan medialnya. Anastomosis di
antara arteria palpebralis lateralis dan medialis membentuk cabang-cabang
tarsal yang terletak di dalam jaringan areolar submandibular. Drainase
vena dari palpebra mengalir ke dalam vena opthalmica dan vena-vena
yang membawa darah dari dahi dan temporal. Vena-vena itu tersusun
dalam pleksus pra dan pascatarsal. Pembuluh limfe segmen lateral
palpebra berjalan ke dalam kelenjar getah bening preaurikular dan parotis.
Pembuluh limfe dari sisi medial palpebra mengalirkan isinya ke dalam
kelenjar getah bening submandibular (Eva dan Whitcher, 2009).
2.3. Etiologi Blefaritis
Blefaritis dapat disebabkan infeksi dan alergi yang biasanya berjalan kronis
atau menahun. Blefaritis alergi dapat terjadi akibat debu, asap, bahan
kimia iritatif dan bahan kosmetik. Infeksi kelopak dapat disebabkan kuman
Streptococcus alfa atau beta, Pneumococcus dan Pseudomonas.Demodex
folliculorum selain dapat merupakan penyebab dapat pula merupakan
vektor untuk terjadinya infeksi Staphylococcus. Dikenal bentuk blefaritis
skuamosa, blefaritis ulseratif dan blefaritis angularis. Blefaritis sering
disertai dengan konjungtivitis dan keratitis (Ilyas, 2010).
2.4. Faktor Resiko Blefaritis
Berdasarkan American Optometric Association 2002, ada beberapa hal
faktor resiko blefaritis antara lain:

Penyakit sistemik yang mendasarinya

Dermatitis seboroik

Akne rosasea

2.2.1 Persarafan Sensoris Palpebra

Dermatitis atopik dan psoriasis

Persarafan sensoris palpebra berasal dari divisi pertama dan kedua nervus
trigeminus (V). Nervus lacrimalis, supraorbitalis, supratrochlearis,
infrarochlearis, dan nasalia eksterna adalah cabang-cabang divisi oftalmika
nervus kranial kelima. Nervus infraorbitalis, zygomaticofacialis, dan
zygomaticotemporalis merupakan cabang-cabang divisi maksilaris (kedua)
nervus trigeminus (Eva dan Whitcher, 2009).

Sika keratokojuntivitis

2.5. Patofisiologi Blefaritis


Blefaritis anterior dapat disebabkan bakteri stafilokokk dan seborreik.
Blefaritis stafilokok dapat disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus,
yang
sering
ulseratif
atau Staphylococcus
epdiermidis (stafilokok

koagulase-negatif). Blefaritis seborreik (non-ulseratif) umumnya berkaitan


dengan keberadaan Pityrosporum ovale meskipun organisme ini belum
terbukti menjadi penyebabnya. Sering kali kedua jenis blefaritis ada secara
bersamaan (infeksi campur). Seborrhea kulit kepala, alis, dan telinga sering
menyertai blefaritis seborreik. Pada blefaritis posterior merupakan
peradangan palpebra akibat disfungsi kelenjar meibom. Blefaritis anterior
dan posterior bisa terjadi secara bersamaan. Dermatitis seboroik umumnya
disertai dengan disfungsi kelenjar meibom. Kolonisasi atau infeksi strain
stafilokokok dalam jumlah memadai sering disertai dengan penyakit
kelenjar meibom dan bisa menjadi salah satu penyebab gangguan fungsi
kelenjar meibom. Lipase bakteri dapat menimbulkan peradangan pada
kelenjar meibom dan konjungtiva serta menyebabkan terganggunya film air
mata (Eva dan Whitcher, 2009).
2.6. Manifestasi Klinis Blefaritis
Gejala utamanya blefaritis anterior adalah iritasi, rasa terbakar dan gatal
pada tepi palpebra. Mata yang terkena bertepi merah. Banyak sisi atau
granulasi terlihat menggantung di bulu mata palpebra superior dan
inferior. Sedangakan blefaritis posterior bermanifestasi dalam aneka
macam gejala yang mengenai palpebra, air mata, konjungtiva dan kornea.
Perubahan kelenjar meibom mencakup peradangan muara meibom,
sumbatan muatan kelenjar oleh sekret yang kental, pelebaran kelenjar
meibom dalam lempeng tarsus dan keluarnya sekret abnormal lunak mirip
keju bila kelenjar itu dipencet. Tepi palpebra tampak hiperemis dan
telangiektasia. Palpebra juga membulat dan menggulung ke dalam sebagai
akibat parut pada konjungtiva tarsal, membentuk hubungan yang abnormal
antara film air mata prakornea dan muara-muara kelenjar meibom. Air
mata mungkin berbusa atau sangat berlemak (Eva dan Whitcher, 2009).
2.7. Klasifikasi Blefaritis
2.7.1

Blefaritis Bakterial

Infeksi bakteri pada kelopak dapat ringan sampai sangat berat. Diduga
sebagian besar infeksi kulit superficial kelopak diakibatkan Streptococcus.
Bentuk infeksi kelopak dikenal sebagai folikulitis, impetigo, dermatitis
eskematoid. Pengobatan pada infeksi ringan ialah dengan memberikan
antibiotic lokal dan kompres basah dengan asam borat, Pada blefaritis
sering diperlukan pemakaian kompres hangat. Infeksi yang berat diberikan
antibiotic sistemik (Ilyas, 2010).
2.7.2

Blefaritis Superfisial

Bila infeksi kelopak superficial disebabkan oleh Staphylococcus maka


pengobatan yang terbaik adalah dengan salep antibiotic seperti
sulfasetamid dan sulfisoksazol. Sebelum pemberian antibiotic krusta
diangkat dengan kapas basah. Bila terjadi blefaritis menahun maka
dilakukan penekanan manual kelenjar Meibom untuk mengeluarkan nanah
dari kelenjar Meibom yang biasa menyertainya (Ilyas, 2010).
2.7.3. Blefaritis Sebore
Blefaritis sebore biasanya terjadi pada laki-laki usia lanjut (50 tahun)
dengan keluhan mata kotor, panas, dan rasa kelilipan. Gejalanya adalah
sekret yang keluar dari kelenjar meibom, air mata berbusa pada kantus
lateral, hyperemia, hipertrofi papil pada konjungtiva. Pada kelopak dapat
terbentuk kalazion, hordeolum, madarosis, poliosis, dan jaringan keropeng.
Blefaritis sebore merupakan peradangan menahun yang sukar
penanganannya. Pengobatannya adalah dengan memperbaiki kebersihan
dan membersihkan kelopak dari kotoran. Dilakukan pembersihan dengan
kapas lidi hangat. Dapat dilakukan pembersihan dengan nitras argenti 1%.
Salep sulfonamide berguna aksi keratolitiknya. Kompres hangat selama 510 menit. Kelenjar meibom ditekan dan dibersihkan dengan shampoo bayi.
Pada blefaritis sebore antibiotik diberikan lokal dan sistemik seperti
tetrasiklin oral 4 kali 250 mg (Ilyas, 2010).
2.7.4. Blefaritis Skuamosa
Blefaritis skuamosa adalah blefaritis disertai terdapatnya skuama atau
krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak mengakibatkan
terjadinya luka kulit. Merupakan peradangan tepi kelopak terutama yang
mengenai kelenjar kulit di daerah akar bulu mata dan sering terdapat pada
orang dengan kulit berminyak. Blefaritis ini berjalan bersama dengan
dermatitis sebore (Ilyas, 2010).
Penyebab blefaritis skuamosa adalah kelainan metabolic ataupun oleh
jamur. Pasien dengan blefaritis skuamosa akan merasa panas dan gatal.
Pada blefaritis skuamosa terdapat sisik berwarna halus-halus dan
penebalan margo palpebra disertai dengan madarosis. Sisik ini mudah
dikupas dari dasarnya tanpa mengakibatkan perdarahan (Ilyas, 2010).
Pengobatan blefaritis skuamosa ialah dengan membersihkan tepi kelopak
dengan shampoo bayi, salep mata, dan steroid setempat disertai dengan
memperbaiki metabolisme pasien. Penyulit yang dapat terjadi pada
blefaritis skuamosa adalah keratitis dan konjungtiva (Ilyas, 2010).

2.7.5. Blefaritis Ulseratif


Merupakan peradangan tepi kelopak atau blefaritis dengan tukak akibat
infeksi Staphylococcus. Pada blefaritis ulseratif terdapat keropeng berwarna
kekuning-kuningan yang bila diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan
mengeluarkan darah disekitar bulu mata. Pada blefaritis ulseratif skuama
yang terbentuk bersifat kering dan keras, yang bila diangkat akan luka
dengan disertai perdarahan. Penyakit ini bersifat infeksius. Ulserasi berjalan
lanjut dan lebih dalam dan merusak folikel rambut sehingga
mengakibatkan rontok (madarosis) (Ilyas, 2010).
Pengobatan dengan antibiotic dan hygiene yang baik. Pengobatan pada
blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid, gentamisin atau basitrasin.
Biasanya disebabkan stafilokok maka diberi obat staphylococcus. Apabila
ulseratif luas pengobatan harus ditambah antibiotic sistemik dan diberi
roboransia. Penyulitnya adalah madarosis akibat ulserasi berjalan lanjut
yang merusak folikel rambut, trikiasis, keratitis superficial, keratitis
pungtata, hordeolum, dan kalazion (Ilyas, 2010).
2.7.6. Blefaritis Angularis

trigeminus superficial merupakan gejala yang khusus pada infeksi herpes


zoster mata (Ilyas, 2010).
Pengobatan herpes zoster tidak merupakan obat spesifik tapi hanya
simtomatik. Pengobatan steroid superficial tanpa masuk ke dalam mata
akan mengurangkan gejala radang. Terdapat berbagai pendapat mengenai
pengobatan steroid sistemik. Pengobatan stroid dosis tinggi akan
mengurangkan gejala yang berat. Hati-hati kemungkinan terjadinya viremia
pada penderita penyakit yang menahun. Infeksi herpes zoster diberi
analgesic untuk mengurangkan rasa sakit, penyulit yang dapat terjadi pada
herpes zoster oftalmik adalah uveitis, parese otot penggerak mata,
glaucoma, dan neuritis optik (Ilyas, 2010).
2.7.7.2. Herpes Simpleks
Vesikel kecil dikelilingi eritema yang dapat disertai dengan keadaan yang
sama pada bibir merupakan tanda herpes simpleks kronik. Dikenal bentuk
blefaritis simpleks yang merupakan radang tepi kelopak ringan dengan
terbentuknya krusta kuning basah pada tepi bulu mata, yang
mengakibatkan kedua kelopak lengket (Ilyas, 2010).

Blefaritis angularis merupakan infeksi Staphylococcus pada tepi kelopak di


sudut kelopak atau kantus. Blefaritis angularis yang mengenai sudut
kelopak mata (kantus eskternus dan internus) sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pada fungsi pungtum lakrimal. Blefaritis
angularis disebabkan Staphylococcus aureus atau Morax Axenfeld.
Biasanya kelainan bersifat rekuren. Blefaritis angularis dapat diobati
dengan sulfa, tetrasiklin dan seng sulfat. Penyulit pada pungtum lakrimal
bagian medial sudut balik mata yang akan menyumbat duktus lakrimal
(Ilyas, 2010).

Tidak terdapat pengobatan spesifik. Bila terdapat infeksi sekunder dapat


diberi antibiotic sistemik atau topikal. Pemberian kortikosteroid merupakan
kontraindikasi karena dapat mengakibatkan menularnya herpes simpleks
pada kornea. Asiklovir dan IDU dapat diberikan terutama pada infeksi dini
(Ilyas, 2010).

2.7.7. Blefaritis Virus

Infeksi jamur pada kelopak superficial biasanya diobati dengan griseofulvin


terutama efektif untuk eipdermomikosis. Diberikan 0,5-1 gram sehari
dengan dosis tunggal atau dibagi rata. Pengobatan diteruskan 1-2 minggu
setelah terlihat gejala menurun. Untuk infeksi kandida diberi pengobatan
nistatin topikal 100.000 unit per gram (Ilyas, 2010).

2.7.7.1. Herpes Zoster


Virus herpes zoster dapat memberikan infeksi pada ganglion gaseri saraf
trigeminus. Biasanya herpes zoster akan mengenai orang dengan usia
lanjut. Bila yang terkena ganglion cabang oftalmik maka akan terlihat
gejala-gejala herpes zoster pada mata dan kelopak mata atas (Ilyas, 2010).
Gejala tidak
yang terlihat
badan terasa
kornea bila

akan melampaui garis median kepala dengan tanda-tanda


pada mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan
demam. Pada kelopak mata terlihat vesikel dan infiltrate pada
mata terkena. Lesi vesikel pada cabang oftalmik saraf

2.7.8. Blefaritis Jamur


2.7.8.1. Infeksi Superfisial

2.7.8.2. Infeksi Jamur Dalam


Pengobatan infeksi jamur dalam adalah secara sistemik. Infeksi
Actinomyces dan Nocardia efektif diobati dengan sulfonamid, penisilin atau
antibiotic spektrum luas. Amfoterisin B dipergunakan untuk pengobatan
Histoplasmosis, sporotrikosis, aspergilosis, torulosis, kriptokokosis dan
blastomikosis (Ilyas, 2010).

Pengobatan Amferoterisin B dimulai dengan 0,05-0,1 mg/Kg BB, yang


diberikan intravena lambat selama 6-8 jam. Dilarutkan dalam dekstrose 5%
dalam air. Dosis dinaikkan sampai 1 mg/Kg BB, dosis total tidak boleh
melebihi 2 gram. Pengobatan diberikan setiap hari selama 2-3 minggu
setelah gejala berkurang. Penyulit yang terberat adalah kerusakan ginjal
yang akan membuat urea darah meningkat dan terdapatnya cast dan
darah dalam urin. Bila terjadi peningkatan urea nitrogen darah melebihi 50
atau kreatinin lebih 2 maka pengobatan harus dihentikan. Obat ini toksik
dan memerlukan penentuan indikasi pemakaian yang tepat (Ilyas, 2010).

3.

Obat tetes mata atau salep antibiotik misalnya eritromisin,


bacitracin,
polimiksin,
gentamisin
(American
Optometric
Association, 2002)

Peradangan yang jelas pada struktur-struktur mengharuskan pengobatan


aktif, termasuk terapi antibiotik sistemik dosis rendah jangka panjang,
biasanya doxycyline (100 mg dua kali sehari) atau eritromisin (250 mg tiga
kali sehari), tetapi juga berpedoman pada hasil biakan bakteri dari tepi
palpebra dan steroid topikal lemah (sebaiknya jangka pendek) misalnya
prednisolon 0,125% dua kali sehari (Eva dan Whitcher, 2009)

2.7.8.3. Blefaritis Pedikulosis


BAB 3
Kadang-kadang pada penderita dengan hygiene yang buruk akan dapat
bersarang tuma atau kutu pada pangkal silia didaerah margo palpebra.
Pengobatan pedikulosis adalah dengan aplikasi salep merupakan
ammoniated 3%. Salep fisotigmin dan tetes mata DFP cukup efektif untuk
tuma atau kutu ini (Ilyas, 2010).
2.7.9. Alergi
2.7.9.1. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak penyebabnya adalah bahan yang berkontak pada
kelopak, maka dengan berjalannya waktu gejala akan berkurang.
Pengobatan dengan melakukan pembersihan kelopak dari bahan penyebab,
cuci dengan larutan NaCl, beri salep mengandung steroid sampai gejala
berkurang (Ilyas, 2010).
2.7.9.2. Blefaritis Urtikaria
Urtikaria pada kelopak terjadi akibat masuknya obat atau makanan pada
pasien yang rentan. Untuk mengurangi keluhan umum diberikan steroid
topikal ataupun sistemik, dan dicegah pemakaian steroid lama. Obat
antihistamin untuk mengurangi gejala alergi (Ilyas, 2010)
2.8. Penatalaksanaan Blefaritis
Pengobatan pada blefaritis akut adalah menjaga kebersihan dan pemberian
obat antibiotik Tidak ada pengobatan yang lengkap untuk blefaritis kronik.
Pengobatan blefaritis antara lain :
1.
2.

Menjaga higene (misalnya kompres)


Pemakaian shampoo anti ketombe misalnya selenium

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Blefaritis adalah radang yang sering terjadi pada kelopak merupakan
radang kelopak dan tepi kelopak. Radang bertukak atau tidak pada tepi
kelopak biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut. Blefaritis dapat
disebabkan infeksi dan alergi yang biasanya berjalan kronis atau menahun.
Blefaritis alergi dapat terjadi akibat debu, asap, bahan kimia iritatif dan
bahan kosmetik. Infeksi kelopak dapat disebabkan kuman Streptococcus
alfa
atau
beta,
Pneumococcus
dan
Pseudomonas.Demodex
folliculorum selain dapat merupakan penyebab dapat pula merupakan
vektor untuk terjadinya infeksi Staphylococcus. Dikenal bentuk blefaritis
skuamosa, blefaritis ulseratif dan blefaritis angularis. Blefaritis sering
disertai dengan konjungtivitis dan keratitis (Ilyas, 2010). Gejala utamanya
blefaritis anterior adalah iritasi, rasa terbakar dan gatal pada tepi palpebra.
Mata yang terkena bertepi merah. Banyak sisi atau granulasi terlihat
menggantung di bulu mata palpebra superior dan inferior. Sedangkan
blefaritis posterior bermanifestasi dalam aneka macam gejala yang
mengenai palpebra, air mata, konjungtiva dan kornea (Eva dan Whitcher,
2009). Dan memiliki beberapa klasifikasi blefaritis sesuai dengan
penyebabnya (Ilyas, 2010).
3.2. Saran
Dalam penanganan blefaritis sebaiknya harus benar-benar teliti, sebab
blefaritis dapat menimbulkan komplikasi. Terutama kebersihan mata juga
perlu dijaga dalam kebiasaan sehari-hari. Selama ini blefaritis mungkin
salah satu penyakit mata yang ringan, tetapi juga dapat menimbulkan
dampak yang lebih parah. Penatalaksanaan blefaritis pasien diberikan
edukasi bagaimana melakukan perawatan mata.

KERATITIS
Anatomi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan avaskuler sebagai membran pelindung
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi dan
diameternya sekitar 11 12 mm (horizontal) dan 10 11 mm (vertikal).
Indeks refraksi kornea 1.376. Tetapi dalam mengkalibrasi keratometer
untuk menghitung kombinasi kekuatan optik lengkung kornea anterior dan
posterior digunakan indeks refraksi 1.3375. Kornea asferis, walaupun jarijari lengkung kornea sering didapatkan sebagai cermin cembung
sferosilindris membentuk tengah permukaan anterior kornea, yang disebut
kornea gap.1

Penampang bola mata

1.

Rata-rata jari-jari tengah kornea 7-8 mm (6.7-9.4 mm). kornea member


kontribusi 43.25 dioptri (74%) dari total 58.60 dioptri mata orang normal.
Kornea juga menyebabkan astigmatisme pada sistem optikal. 1
Kornea merupakan jaringan transparan, yang bentuknya hampir sebagai
lingkaran dan sedikit lebih lebar pada daerah trasversal (12 mm) dari pada
arah vertikal dan mengisi bola mata di bagian depan. Kornea memiliki
kemampuan refraksi yang sangat kuat, yang menyuplai 2/3 atau sekitar
70% pembiasan sinar. Karena kornea tidak memiliki pembuluh darah, maka
kornea akan berwarna jernih dan memiliki permukaan yang licin dan
mengkilat. Bila terjadi perubahan, walaupun kecil pada permukaan kornea,
akan mengakibatkan gangguan pembiasan sinar dan menyebabkan
turunnya tajam penglihatan secara nyata.2

2.

3.

Kornea sangat sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf


sensorik ini berasal dari nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus
nasosiliaris yang merupakan cabang saraf oftalmikus dari nervus
trigeminus. Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk
merupakan selaput bening mata dengan ketebalan kornea dibagian sentral
hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan
Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel.
Lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva
bulbaris), merupakan lapisan sel yang menutupi permukaan kornea.
Lapisan ini terdiri dari 5-6 lapisan sel tipis, sel polygonal dan sel gepeng
yang saling tumpang tindih yang akan cepat berdegenerasi bila kornea
mengalami trauma. Tebal lapisan epitel kira-kira 0,05 mm. epitel dan film
air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng,
sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal
di sampingnya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal
menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal
dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi. Bila penetrasi
trauma lebih dalam maka akan meninggalkan parut (scar). Parut yang
timbul akan meninggalkan area opak yang menyebabkan kornea
kehilangan kejernihannya.2
Membrane Bowman, merupakan membran jernih yang aseluler terletak
dibawah lapisan epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Karena lapisan
ini sangat kuat dan sulit untuk dipenetrasi, maka lapisan ini melindungi
kornea dari trauma yang lebih dalam, namun lapisan ini tidak memiliki
daya regenerasi.
Stroma, merupakan lapisan kornea yang paling tebal mencakup sekitar
90% dari ketebalan kornea. Bagian ini tersusun dari lamellae fibril-fibril
kolagen dengan lebar sekitar 1m yang saling terjalin hampir mencakup
seluruh diameter kornea yang tersusun sangat teratur sedangkan dibagian
perifer kolagen ini bercabang; terbentuknya serat kolagen memakan waktu
lama, dan kadang mencapai 15 bulan. Lamellae ini berjalan sejajar dengan
permukaan kornea dan karena ukuran dan periodisitasnya yang membuat
kornea menjadi lapisan dengan yang jernih dan dapat dilalui cahaya.
Lamellae terletak didalam suatu zat dasar proteoglikan hidrat bersama
dengan keratinosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar.4

4.

5.

Membrane Descemet, adalah sebuah membran elastik yang jernih tampak


amorf pada pemeriksaan mikroskopik elektron dan merupakan membran
basalis dari endotel kornea. Membran ini berkembang terus seumur hidup
dan mempunyai tebal 40 mm.
Lapisan Endotel, berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel
berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran
descemet melalui hemidosom dan zonula okluden. Endotel dari kornea ini
dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh
endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak
lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan
sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema
kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan
terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan
kejernihan kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan
terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea. 2,3,5

Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
strukturnya yang seragam, avaskuler dan deturgesens. Deturgesens, atau
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
Endotel lebih penting dari epitel dalam proses dehidrasi. Cedera kimia atau
fisik pada endotel jauh lebih berat dari pada cedera pada epitel. Kerusakan
atau cedera pada sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang
jika sel-sel epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film airmata
prakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik; proses itu dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.

1.
2.
3.

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak


dapat melalui epitel utuh, dan substansia larut air dapat melalui stroma
yang utuh. Oleh karena itu agar dapat melalui kornea, obat harus larut
lemak dan larut air sekaligus. Kegunaan kornea adalah sbb:
Kornea mempunyai kemampuan membiaskan cahaya yang paling kuat
dibanding dengan sistem optik retaktif lainnya.
Kubah kornea akan membiaskan sinar kelubang pupil didepan lensa.
Kubah kornea yang semakin cembung akan memiliki daya bias yang kuat.
Peran kornea sangat penting dalam menghantarkan cahaya masuk
kedalam mata untuk menghasilkan penglihatan yang tajam, maka kornea
memerlukan kejernihan, kehalusan dan kelengkungan tertentu
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah adalah pembuluh-pembuluh
darah limbus, humor aquous dan air mata. Kornea superfisial juga
mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dan nervus kranialis
V (trigeminus).

Penampang kornea
Gambar 3. Histologi kornea

Transparansi kornea disebabkan karena beberapa faktor diantaranya


karena kornea tidak mempunyai zat tanduk, pembuluh darah, struktur dan
susunan jaringan relatif homogen dan teratur. Permukaan kornea dikelilingi
oleh cairan , agar mampu menahan cairan pada tingkat tertentu maka
dibagian depan kornea terdapat epitel dan dibagian belakang diliputi
endotel, yang berfungsi memompa cairan keluar kornea apabila berlebihan.

Definisi
Keratitis sendiri diartikan sebagai peradangan pada kornea yang ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang dan edema kornea pada lapisan kornea
manapun yang dapat bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi.
Epidemiologi
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar
antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada
tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan
laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka kejadian
keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi
karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang
buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau
infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain,
serta higienis dan nutrisi yang tidak baik,dan kadang-kadang tidak
diketahui penyebabnya.
Patofisiologi
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera, stroma yang
avaskuler dan membrane Bowman mudah terinfeksi oleh berbagai macam
mikroorganisme seperti amoeba, bakteri dan jamur. Streptococcus
pneumonia (pneumokokus) adalah bakteri pathogen kornea sejati;
pathogen lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah
(misalnya pada pasien yang mengalami defisiensi imun) agar dapat
menimbulkan infeksi.
Moraxella liquefaciens, yang terutama terdapat pada peminum alkohol
(sebagai akibat kehabisan piridoksin), adalah contoh bakteri oportunistik
dan dalam beberapa tahun belakangan ini sejumlah bakteri oportunis
kornea baru ditemukan. Diantaranya adalah Serratia marcescens,
kompleks Mycobacterium
fortuitum-chelonei, Streptococcus
viridians,
Staphylococcus epedermidis, dan berbagai organisme coliform dan Proteus,
selain virus dan jamur.
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada
waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan
lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea
pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai
injeksi pada kornea. Sesudah ituterjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-

sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,


yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi
tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna
kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan
pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut,
namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan
akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi
yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan
badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris
dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat
terbentuk hipopion.

1.
a.

Klasifikasi Keratitis
Pembagian keratitis ada bermacam-macam :
Menurut kausanya
Bakteri
Banyak ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain. Streptococcus
pneumonia merupakan penyebab ulkus kornea bakteri di banyak bagian
dunia. Penyebab lainnya yaitu Pseudomonas aeruginosa, Moraxella
liquefaciens, Streptococcus beta-hemolyticus, Staphylococcus aureus,
Mycobacterium fortuitum, S. epidermidis. Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Neiseria sp,Corynebacterium dhiptheriae, K.
aegyptus dan Listeria merupakan agen berbahaya oleh karena dapat
berpenetrasi ke dalam epitel kornea yang intak.Karakteritik klinik ulkus
kornea oleh karena bakteri sulit untuk menentukan jenis bakteri sebagai
penyebabnya, walaupun demikian sekret yang berwarna kehijauan dan
bersifat
mukopurulen
khas
untuk
infeksi
oleh
karena P.
aerogenosa.Kebanyakan ulkus kornea terletak di sentral, namun beberapa
terjadi di perifer.1,3,4,6
Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea
terutama jenis P.aeroginosa. Batas yang maju menunjukkan ulserasi aktif
dan infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. Biasanya
kokus gram positif,Staphylococcus aureus, S. Epidermidis, Streptococcus
pneumonia akan memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk
bulat atau lonjong, berwarna putih abu abu pada anak tukak yang
supuratif, daerah kornea yang tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan
tidak terlihat infiltrasi sel radang. Bila tukak disebabkan oleh P.
Aeroginosa makan tukak akan terlihat melebar secara cepat, bahan
purulent berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaan tukak.

b.

c.

d.
e.

Infeksi bakteri umumnya kondisi yang mengancam penglihatan. Secara


klinis onset nyerinya sangat cepat disertai dengan injeksio konjungtiva,
fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bakterial,
inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada.
Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme seperti mycobakteria atau
bakteri anaerob infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh.
Penggunaan kortikosteroid, kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi
kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya infeksi bakterial. 1,8
Virus
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise,
limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3
kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral,
walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada
pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi
biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes
simpleks didominasi oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi
perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi
tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi
atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes
zoster oftalmikus.
Jamur
Keratitis fungi banyak dijumpai pada para pekerja pertanian, sekarang
makin banyak dijumpai diantara penduduk perkotaan, dengan dipakainya
obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Sebelum era kortikosteroid,
ulkus kornea fungi hanya timbul bila stroma kornea kemasukan sangat
banyak organisme, suatu peristiwa yang masih mungkin timbul di daerah
pertanian. Mata yang belum terpengaruhi kortikosteroid masih dapat
mengatasi organism sedikit-sedikit, seperti yang terjadi pada lazimnya
penduduk perkotaan.
Pada ulkus fungi terdapat infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial dan lesi-lesi satelit
(umumnya infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama
ulserasi). Lesi utama dan sering juga lesi satelit merupakan lesi endotel
dengan tepian tidak teratur di bawah lesi kornea utama, disertai reaksi
kamera anterior yang hebat dan abcess kornea.
Alergi
Defisiensi vitamin

f.

g.
2.
a.

b.

c.

d.

3.
a.

Biasanya lesi berupa ulkus terletak dipusat dan bilateral berwarna kelabu
dan indolen, disertai kehilangan kilau kornea di daerah sekitarnya. Kornea
melunak dan sering terjadi perforasi.
Kerusakan N.V (nervus trigeminus)
Jika nervus yang mempersarafi kornea terputus karena trauma, tindakan
bedah peradangan atau karena sebab apapun, kornea akan kehilangan
kepekaannya yang merupakan salah satu pertahanan terhadap infeksi
yaitu reflex berkedip. Pada tahap awal ulkus neurotropik pada pemeriksaan
fluorescein akan menghasilkan daerah-daerah dengan berupa berupa
bercak terbuka.
Idiopatik
Menurut tempatnya
Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis
serta pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang
terlibat (misalnya: pada keratitis punctata superficialis). Perubahan pada
epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecilkecil, pembentukan filament, keratinisasi partial dan lain-lain. Lesi-lesi ini
juga bervariasi pada lokasinya di kornea. Semua variasi ini mempunyai
makna diagnostik yang penting.
Keratitis subepitelial
Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal infiltrat
subepitelial pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan
adenovirus 8 dan 19). Umunya lesi ini dapat diamati dengan mata
telanjang namun dapat juga dikenali pada pemeriksaan biomikroskopik
terhadap keratitis epitelial.
Keratitis stroma
Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai penebalan
kornea, pengkeruhan, atau parut; penipisan dan perlunakan yang dapat
berakibat perforasi; dan vaskularisasi.
Keratitis endothelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat edema kornea, yang mulamula mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari edema yang
disebabkan oleh peningkatan TIO, yang mulai pada epitel kemudian pada
stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih dapat terlihat
kelainan endotel kornea melalui slit-lamp. Sel-sel radang pada endotel
(endapan keratik atau KPs) tidak selalu menandakan adanya penyakit
endotel karena sel radang juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior.
Menurut prof. I Salim
Keratitis superficial nonulceratif
Contoh :
Keratitis pungtata superficial

b.

c.

d.

Keratitis numularis dari Dimmer


Keratitis disiformis dari Westholf
Keratokonjungtivitis epidemika
Keratitis superficial ulcerative
Contoh :
Keratitis pungtata superficial ulceratif
Keratitis flikten
Keratitis herpetika
Keratitis sika
Rosasea keratitis
Keratitis profunda nonulceratif
Contoh :
Keratitis interstisial
Keratitis pustuliformis profunda
Keratitis disiformis
Keratitis sklerotikum
Keratitis profunda ulcerative
Contoh :
Keratitis et lagoftalmus
Keratitis neuroplastik
Xeroftalmia
Trakoma dengan infeksi sekunder
Gonore
Ulkus serpens akut
Ulkus serpens kronik
Ulkus ateromatosis
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat
trauma, adnya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh
sangat sakit dan keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat
dibedakan dari gejalanya. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh
pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama
keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas,
selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,
adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang

sedikit kabur, dan


(blepharospasme).

silau

(fotofobia)

serta

sulit

membuka

mata

Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak
serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis
maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena
kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media
pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada kornea
umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi
terletak sentral pada kornea.
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris
yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang
disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya
juga berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata
yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen. 2,3,4
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan
apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau
merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang
lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam
mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea
seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan,
pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel,
lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan
keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga
berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap
pengobatan. 6

1.
2.
3.

4.
5.
6.

Pemeriksaan diagnosis yang biasa dilakukan adalah :


Ketajaman penglihatan
Tes refraksi
Pemeriksaan slit-lamp (biomikroskop), penting untuk pemeriksaan kornea
dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan
pencahayaan yang terang.
Respons reflex kornea
Goresan ulkus untuk analisis dan kultur
Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dapat memperjelas lesi epitel
superficial yang tidak mungkin terlihat bila tidak dipulas
Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi pada kornea
baik yang bersifat dangkal atau superficial maupun dalam menimbulkan

rasa sakit dan fotofobia. Lesi pada kornea juga mempunyai makna
diagnostik yang penting (Tabel.1). Lesi pungtata pada kornea dapat dimana
saja tapi biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan
berisi titik-titik abu-abu yang kecil. Keratitis epitelial sekunder terhadap
blefarokonjungtivitis stafilokokus dapat dibedakan dari keratitis pungtata
superfisial karena mengenai sepertiga kornea bagian bawah. Keratitis
epitelial pada trakoma dapat disingkirkan karena lokasinya dibagian
sepertiga kornea bagian atas dan ada pannus. Banyak diantara keratitis
yang mengenai kornea bagian superfisial bersifat unilateral atau dapat
disingkirkan berdasarkan riwayatnya.3

Keratitis adenovirus
Keratitis sindrom Sjorgen

Keratitis
terpapar
akibat
lagoftalmus atau eksoftalmus
Keratokonjungtuvitis vernal

Keratitis trofik-sekuele HS, HZ


dan destruksi ganglion gaseri
Keratitis karena obat-terutama
antibiotika spectrum luas
Keratitis superficial punctata
(SPK)
Keratokonjungtivitis
limbic
superior
Keratitis rubeola, rubella dan
parotitis epidemika
Trachoma
Keratitis defisiensi vitamin A

Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus namun


paling mencolok di daerah pupil
Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik,
terpulas fluorescein; filament epithelial dan mukosa
khas; terutama belahan bawah kornea
Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas fluorescein;
terutama di belahan bawah kornea
Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan berbercakbercak kelabu, paling mencolok di daerah pupil
atas. Kadang-kadang membentuk bercak epithelium
opak
Edema epitel berbercak-bercak; difus namun
terutama di fissure palpebrae, pukul 9-3
Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan edema
seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel
Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau lonjong;
menimbul bila penyakit aktif
Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di sepertiga
atas kornea; filament selama eksaserbasi; hiperemi
bulbar, limbus berkeratin menebal, mikropanus
Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah pupil
Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein pada
sepertiga atas kornea
Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel akibat
keratinisasi partial; berhubungan dengan bintikbintik bitot

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada
kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi,
serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu
dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit,
fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.

No.
1.
2.
3.

Berikut ini adalah jenis keratitis dan bentuknya:


Jenis keratitis
Bentuk keratitis
Keratitis stafilokok
Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama
sepertiga bawah kornea
Keratitis herpetik
Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau lonjong)
dengan edema dan degenerasi
Keratitis varicella-zoster
Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang linear
(pseudosendrit)

Sebagian
besar
para
pakar
menganjurkan
melakukan debridement sebelumnya.Debridement epitel
kornea
selain
berperan untuk pengambilan
spesimen
diagnostik, juga untuk
menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus.
Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang
sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu
mengurangi kandungan virus epithelial jika penyebabnya virus,
konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin,
penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya
infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu:
natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat
membantu epitelisasi dapat diberikan. 3
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang
mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas
oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu kontak
kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini
bertujuan
untuk
mempercepat
penyembuhan
dan
mencegah
terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan
keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemeberian
steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis
tersebut adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus
diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama
dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan
berakibat timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah
kemungkinan infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri
juga steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan
kortikosteroid
pada
keratitis
menurut
beberapa
jurnal
dapat
dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian
tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan
subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya

kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan
menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,
supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan
dengan palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian
siklopegik mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi
dilatasi pupil dan mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan
akomodasi. Terdapat beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin,
dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan
juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada
keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 3040 menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan
normal kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga
memberikan efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.
Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin,
efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali
setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan
efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30
menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai untuk melebarkan
pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan
lemcyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan
tersebut gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu
dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada
sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak
perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya
dianjurkan agar tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu
karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang
biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu,
terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi
sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat
memperberat lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan

menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau


handuk, sapu tangan, dan tissue.1
Prognosis
Prognosis quo ad vitam pada pasien keratitis adalah bonam. Sedangkan
prognosis fungsionam pada keratitis sangat tergantung pada jenis keratitis
itu sendiri. Jika lesi pada keratitis superficial berlanjut hingga menjadi ulkus
kornea dan jika lesi pada keratitis tersebut telah melebihi dari epitel dan
membran bowman maka prognosis fungsionam akan semakin buruk. Hal ini
biasanya terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya kurang
adekwat, kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang
sudah dianjurkan, terdapat penyakit sistemik lain yang dapat menghambat
proses penyembuhan seperti pada pasien diabetes mellitus, ataupun dapat
juga karena mata pasien tersebut masih terpapar secara berlebihan oleh
lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari ataupun debu.
Pemberian kortikosteroid topikal untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan
penyakit
hingga
bertahun-tahun
serta
dapat
pula
mengakibatkan timbulnya katarak dan glaukoma yang diinduksi oleh
steroid.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.

8.

9.

Daftar Pustaka
American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San
Fransisco 2006-2007 : 8-12, 26-35
Biswell R, MD. Kornea. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan P, ed.Oftalmologi
Umum 14th ed. Jakarta : Widya Medika; 2000, 129-52
Wijana Nana SD. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal; 1993, 86-102
Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta,
2005 : 147-158.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal: 56
Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the
American Medical Association; 144:1544-1549. Available at :http://webeye.
ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm
Suhardjo. 1999. Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster Oftalmikus.
Cermin Dunia Kedokteran No.122; 36-38. Available at : http//cermin Dunia
Kedokteran2.mht
Susetio B. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata dalam Cermin dunia
kedokteran. 1993; Available from : http//www.kalbe.co.id-files-cdk-filescdk_087_mata.html
Singh D. Keratitis fungal. Available from:URL:http:///www.eMedicine.com
/oph/topic99.htm.

UVEITIS
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG

Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling


bersinergi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ
yang berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini
adalah suatu lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan
sklera disebut uvea (Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000).
Uvea terdiri atas 3 struktur; iris, badan siliar, dan koroid. Iris merupakan
bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Iris disusun oleh jaringan ikat
longgar yang mengandung pigmen dan kaya akan pembuluh darah. Korpus
siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol ke dalam
mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan
perluasan lapisan khoroid ke arah depan.

Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.


Khoroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah
dan sel-sel pigmen sehingga tampak berwarna hitam (Jusuf, 2003).
Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua
bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea
merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh
darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan
pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea,
retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Sehingga
kadang gejala yang dikeluhkan pasien mirip dengan penyakit mata yang
lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan pasien uveitis secara umum
yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata nyeri, fotofobia,
pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora (Ilyas, 2005; Jusuf,
2003; Vaughan et all, 2000).
Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa
parameter. Adapun parameter yang digunakan antara lain: demografi;
lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit;
karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi.
Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk
diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang costefective dapat terlaksana (Farooqui, Foster, dan Sheppard, 2008).

PERADANGAN PADA UVEA (UVEITIS)


A.

ANATOMI DAN FISIOLOGI UVEA

Mata sebagai organ penglihatan manusia, tersusun atas elemen-elemen


yang memiliki struktur yang berbeda-beda. Struktur yang dimiliki oleh
masing-masing elemen menunjang fungsi dari elemen tersebut dalam
fisiologis penglihatan manusia. Salah satu elemen mata manusia adalah
uvea yaitu suatu lapisan vaskular tengah mata yang membungkus bola
mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea terdiri atas 3 unsur yaitu
iris, badan siliar, dan koroid (Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000).

Gambar 1. Anatomi bola mata


Iris (Iris, pelangi)
Iris merupakan bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Struktur ini
muncul dari badan siliar dan membentuk sebuah diafragma di depan lensa.
Iris juga memisahkan bilik mata depan dan belakang. Celah di antara iris
kiri dan kanan dikenal sebagai pupil.
Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan
kaya akan pembuluh darah. Permukaan depan iris yang menghadap bilik
mata depan (kamera okuli anterior) berbentuk tidak teratur dengan lapisan
pigmen yang tak lengkap dan sel-sel fibroblas. Permukaan posterior iris
tampak halus dan ditutupi oleh lanjutan 2 lapisan epitel yang menutupi
permukaan korpus siliaris. Permukaan yang menghadap ke arah lensa
mengandung banyak sel-sel pigmen yang akan mencegah cahaya melintas
melewati iris. Dengan demikian iris mengendalikan banyaknya cahaya yang
masuk ke dalam mata dan cahaya akan terfokus masuk melalui pupil
(Jusuf, 2003; Vaughan et all, 2000).
Pada iris terdapat 2 jenis otot polos yaitu otot dilatator pupil dan otot
sfingter/konstriktor pupil. Kedua otot ini akan mengubah diameter pupil.
Otot dilatator pupil yang dipersarafi oleh persarafan simpatis akan
melebarkan pupil, sementara otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh

persarafan parasimpatis (N. III) akan memperkecil diameter pupil (Guyton,


1997; Vaughan et all, 2000).
Jumlah sel-sel melanosit yang terdapat pada epitel dan stroma iris akan
mempengaruhi warna mata. Bila jumlah melanosit banyak mata tampak
hitam, sebaliknya bila melanosit sedikit mata tampak berwarna biru (Jusuf,
2003).

obyek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang
Serat-serat longitudinal muskulus siliaris menyisip ke dalam anyamananyaman trabekula untuk mempengaruhi besar pori-porinya (Guyton dan
Hall, 1997; Vaughan et all, 2000).

Khoroid (choroid)

Badan Siliaris (Korpus siliaris)


Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol
ke dalam mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini
merupakan perluasan lapisan khoroid ke arah depan. Korpus siliar disusun
oleh jaringan penyambung jarang yang mengandung serat-serat elastin,
pembuluh darah dan melanosit.
Badan siliaris membentuk tonjolan-tonjolan pendek seperti jari yang
dikenal sebagai prosessus siliaris. Dari prosessus siliaris muncul benangbenang fibrillin yang akan berinsersi pada kapsula lensa yang dikenal
sebagai zonula zinii (Jusuf, 2003).
Korpus siliaris dilapisi oleh 2 lapis epitel kuboid. Lapisan luar kaya akan
pigmen dan merupakan lanjutan lapisan epitel pigmen retina. Lapisan
dalam yang tidak berpigmen merupakan lanjutan lapisan reseptor retina,
tetapi tidak sensitif terhadap cahaya. Sel-sel di lapisan ini akan berfungsi
sebagai pembentuk humor aqueaeus (mengeluarkan cairan filtrasi plasma
yang rendah protein ke dalam bilik mata belakang (kamera okuli posterior))
(Vaughan et all, 2000).
Humor aqueaeus mengalir dari bilik mata belakang (kamera okuli posterior)
ke bilik mata depan (kamera okuli anterior) melewati celah pupil (celah di
antara iris dan lensa), lalu masuk ke dalam jaringan trabekula di dekat
limbus dan akhirnya masuk ke dalam kanal Schlemm. Dari kanal Schlemm
humor aqueaeus masuk ke pleksus sklera dan akhirnya bermuara ke sistem
vena (Vaughan et all, 2000).
Korpus siliar mengandung 3 berkas otot polos yang dikenal
sebagai muskulus siliaris. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat
longitudina, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkulaer adalah untuk
mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembahlembah di antara processus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada
kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk

Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.


Khoroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah
dan sel-sel pigmen sehingga tampak berwarna hitam. Lapisan ini tersusun
dari jaringan penyambung jarang yang mengandung serat-serat kolagen
dan elastin, sel-sel fibroblas, pembuluh darah dan melanosit. Khoroid terdiri
atas 4 lapisan yaitu (Vaughan et all, 2000):
1. Epikhoroid merupakan lapisan khoroid terluar tersusun dari serat-serat
kolagen dan elastin.
2. Lapisan pembuluh merupakan lapisan yang paling tebal tersusun dari
pembuluh darah dan melanosit.
3. Lapisan koriokapiler, merupakan lapisan yang terdiri atas pleksus
kapiler, jaring-jaring halus serat elastin dan kolagen, fibroblas dan
melanosit. Kapiler-kapiler ini berasal dari arteri khoroidalis. Pleksus ini
mensuplai nutrisi untuk bagian luar retina.
4. Lamina elastika, merupakan lapisan khoroid yang berbatasan dengan
epitel pigmen retina. Lapisan ini tersusun dari jarring-jaring elastik padat
dan suatu lapisan dalam lamina basal yang homogen.

B.
DEFINISI, ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI PERADANGAN UVEA
(UVEITIS)
Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua
bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa uvea merupakan lapisan vaskular mata yang
tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi
kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi
elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen
mata penting lainnya.

Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui secara pasti sehingga


patofisiologi yang pasti dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum,
uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis sering dihubungkan
dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulat
reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang
dapat melukai sel dan pembuluh darah uvea.
Uveitis juga dapat ditemukan dengan hubungannya dengan kelainan
autoimun, seperti SLE (Systemic Lupus Erythematosus) dan Rheumatoid
Arthritis (RA). Pada kasus ini, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas yang menyebabkan penimbunanan kompleks imun pada
jaringan uvea.
Penyebab ganda telah dibuktikan menyebabkan terjadinya uveitis anterior.
Kebanyakan tipe uveitis anterior merupakan reaksi peradangan steril,
dimana hal inilah yang membedakan dengan uveitis posterior yang sering
disebabkan oleh infeksi. Persentase terjadinya uveitis anterior idiopatik
antara 38-70% dari seluruh kejadian uveitis anterior. Kemudian penyebab
terbanyak kedua adalah terjadinya onset akut (HLA)-B27 positif atau HLAB27 yang berhubungan dengan penyakit tertentu.

gambar 2. Pembagian uveitis berdasarkan tempat peradangan yang terjadi

a. Uveitis anterior

C.

KLASIFIKASI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa


parameter. Adapun parameter yang digunakan antara lain: demografi;
lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit;
karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi.
Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk
diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang costefective dapat terlaksana. Adapun klasifikasi dari uveitis antara lain (Ilyas
dkk, 2002):
1.

Lokasi utama dari bercak peradangan :

Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi


dari The International Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada
tahun 1987. Sedangkan lokasi anatomi dari proses inflamasi adalah salah
satu tanda penting bagi proses patogenesis dan penanganan dari uveitis.
Klasifikasi IUSG berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:

Uveitis anterior; meliputi iritis, iridosiklitis dan siklitis anterior; yaitu


peradangan intraokular yang paling sering terjadi. Uveitis anterior dapat
terjadi apabila terjadi peradangan pada segmen anterior bola mata.
Berdasarkan data epidemiologi, kebanyakan dari pasien uveitis tidak
memiliki gejala sistemik yang terkait dengan uveitis, namun 50% pasien
mengalami peradangan yang disebabkan oleh trauma, dan paling sering
disebabkan oleh sindrom idiopatik postviral (Sindrom HLA-B27, herpes
simpleks, dan herpes zoster, Fuchs heterochromic iridocyclitis, dan
beberapa penyakit arthritis lainnya). Penyakit sekunder iatrogenik sering
ditemukan post operasi, komplikasi pembedahan, implant sklera,
transplantasi kornea, distrupsi kapsula, ataufixed haptic dan implantasi
lensa intraokular yang difiksasi dengan iris.
Penyebab Uveitis anterior
Autoimun:
-

Artritis rheumatoid juvenilis

- Uveitis terinduksi-lensa

Spondilitis ankilosa

- Sarkoidosis

Sindrom reiter

- Penyakit chron

Kolitis ulserativa

- Psoriasis

dan sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat


edem pada pemeriksaan slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah,
dapat ditemukan deposit endotel berwarna coklat keabu-abuan yang
disebut keratic precipitates (KP).

Infeksi:
-

Sifilis

- Herpes simpleks

Tuberkulosis

- Onkoserkiasis

Lepra (morbus Hensen)

- Adenovirus

Herpes Zoster

Keganasan:
-

Sindrom masquerade

- Limfoma

Retinoblastoma

- Melanoma maligna

Leukemia

Lain-lain:
-

Idiopatik

- Iridosiklitis heterokromik Fuchs

Uveitis traumatika

- Gout

Ablatio retina

- Krisis galukomatosiklitik

Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal
yang dalam dan tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya.
Gejala akan memburuk apabila terpapar cahaya sehingga pasien sering
datang ke pasien dengan mengenakan kacamata. Epifora yang terjadi
dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata,
dan tidak ada hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan.
Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang
masih lebih baik, walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut).
Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan
pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan menyebabkan
pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva

Gambar 3. Keratic precipitates (KP)


Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit
(hipopion); dan flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar
yang meradang; dan dapat ditemukan pada kamera okuli anterior sehingga
kamera okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris dapat mengalami
perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat
terjadi perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai
tambahan kadang terlihat nodul granulomatosa pada stroma iris.

Hipopion
Sinekia Posterior

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan


siliar. Namun saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat
perakumulasi pada trabekulum. Apabila debris ditemukan signifikan, dan
apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal maka dapat terjadi
peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.

b. Uveitis intermediate
Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea
anterior atau posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona
intermediate mata. Ini terutama terjadi pada orang dewasa muda dengan
keluhan utama melihat bintik-bintik terapung di dalam lapangan
penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada
perbedaan distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit,
kemerahan, maupun fotofobia. Pasien mungkin tidak menyadari adanya
masalah pada matanya, namun dokter melihat adanya kekeruhan dalam
vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan oftalmoskop.
Fler

Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat


beberapa sel di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia
posterior dan anterior. Sel radang lebih besar kemungkinan terlihat di
ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan slitlamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek

sering menampakan kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer.


Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering menutupi pars plana.
Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu terlihat adanya
selubung perivaskuler pada pembuluh retina.

d.

2. Penyakit Non Infeksi:


a.

Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur


membaik dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul
edema makular kistoid dan parut makular permanen, selain katarak
subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan membranmembran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang
jarang terjadi.
Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya
pengobatan yang menolong namun hanya dipakai pada kasus yang berat,
terutama bila penglihatan menurun sekunder akibat edema makular. Mulamula dipakai kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon
atau retrobulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan
demikian meningkatkan resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien
ini menyembuh setelah operasi katarak.

c.

Uveitis posterior

Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi


koroiditis, korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol),
retinokoroiditis (bila peradangan retinanya lebih menonjol), retinitis dan
uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan
salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali
dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan
perjalanan penyakit, (3) hubungannya dengan penyakit sistemik.
Penyebab uveitis posterior
1.Penyakit infeksi

Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca

Autoimun:

Penyakit Behcet

Sindrom vogt-koyanagi-Harada

Poliarteritis nodosa

b.

- Oftalmia simpleks
- Vaskulitis retina

Keganasan:

Sarkoma sel reticulum

- Leukemia

Melanoma maligna

- Lesi metastatik

c.

Etiologi tak diketahui:

Sarkoidosis

Koroiditis geografik

Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut

- Retinopati birdshot
- Epiteliopati pigmen retina

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan


herpes. Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa
(seperti tuberkulosis, sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis,
atau sindrom yang tidak biasa seperti korioretinitis serpiginous
atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral,
limfoma, atau sarkoidosis.

Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang
menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang
a.
Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi imun manusia
tidak pernah menimbulkan sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan
HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.
vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior umumnya
berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan
b.
Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic Nocardia,
kehilangan penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya
Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab penyakit Lyme).
disertai uveitis anterior, yang pada gilirannya kadang-kadang diikuti
sebentuk glaukoma sekunder.
c.
Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus

Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom


samaran, seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis
posterior pada kelompok umur ini adalah infeksi sitomegalovirus,
toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.
Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior
termasuk toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi
sitomegalovirus, sindrom samaran, panensefalitis sklerosis subakut, dan
kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen posterior. Dalam
kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial
adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada,
sifilis, endoftalmitis candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen
misalanya meningitis meningococcus.
Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita
sindrom nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus,
retinitis, sarcoma sel retikulum, atau kriptokosis.
Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat
toksoplasmosis, kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut,
atau infeksi bakteri endogen. Onset uveitis posterior bisa akut dan
mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen posterior mata
yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut,
dan infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain
onsetnya lambat.

d. Uveitis difus atau panuveitis (peradangan pada kamera okuli


anterior, vitreous, retina, dan koroid)
Istilah uveitis difus merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang
lebih merata dari semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain
pada uveitis difus tidak memiliki tempat peradangan yang predominan
dimana peradangan merata pada kamera okuli anterior, vitreous, dan
retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal).
Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada
toxocariasis
infantil,
endoftalmitis
bakterial
postoperasi,
atau
toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik
secara khas tidak ada.

2.

Berat dan perjalanan penyakit :

a.

Akut

b. Sub-akut
c.

Kronik

d. Rekurens

Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi


akut, subakut, kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis
(inflamasi iris) akut sering terjadi pada dewasa muda. Gejala awal yang
sering dirasakan adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia (sensitif terhadap
cahaya). Seringnya, pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya
iritis akut seperti adanya riwayat anggota keluarga lain mengalami hal
yang sama. Hubungan dengan faktor genetik ini sering terjadi pada
penyakit lain misalnya pada ankylosing spondylitis (arthritis pada
punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis. Berdasarkan
perjalanan penyakit, terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6 minggu dan
selalu muncul hanya pada satu mata. Beberapa pasien dapat mengalami
serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang mengalami
serangan berulang.
Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan
badan siliar (struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis
sering menunjukan gejala minimal hingga keparahan yang mampu
merusak mata. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan kronik
iridosiklitis adalah anak-anak yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile.
Pada anak-anak ini, khususnya gadis yang berusia 2-6 tahun, merupakan
usia yang sangat berpotensial untuk terjadinya kondisi ini. Banyak dari
anak-anak ini tidak mengeluhkan gejala yang berhubungan dengan
penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis mata untuk
merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter spesialis
mata karena iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah
arthritis rheumatoid juvenil timbul, anak-anak yang memiliki riwayat seperti
ini memerlukan check up periodik hingga usia remaja.

3.

Berdasarkan patologinya :

a.

Non-granulomatosa

Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan


organisme patogen dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid,
diduga peradangan ini adalah semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis
nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni iris
dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi selsel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel
mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau
hipopion di dalam kamera okuli anterior.

teratur karena terbentuk sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar


terlihat di permukaan posterior kornea dengan slitlamp. Tampak kemerahan
(flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri atas kelompok
sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe). Nodul-nodul ini
sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris
disebut nodul busacca.

Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit,


injeksi, fotofobia, dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum
korneal yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah limbus. Deposit
putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior kornea dapat
dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan
mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika
terdapat sinekia posterior maka pupil tampak tidak teratur.
Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan
terpajan terhadap toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis.
Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh dalam tubuh harus pula dicari.

b.

Granulomatosa

Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif


ke jaringan oleh organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium
tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini jarang
ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan. Kemungkinankemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan klinik dan
laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian
traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok
nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena.
Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea terutama
terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan
dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis,
spirochaeta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarkoidosis atau
oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab spesifik langka lainnya.
Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior,
uveitis posterior, dan keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara.
Penglihatan menjadi kabur dan mata tersebut memerah secara difus
daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama berat
dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak

Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat


dan nodul Koeppe dan Busacca

d.

Parasit : Toksoplasma, toksokara

Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris

e.

Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika

dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior

f.
Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple
sclerosis, sarkoidosis, penyakit vaskuler.

Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak
putih-kekuningan samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum
berkabut. Kasus posterior demikian pada umumnya digolongkan sebagai
penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling melekat erat,
retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses
penyembuhan, kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur
timbul di tepian bintik-bintik putih kekuningan. Pada tahap sembuh,
umumnya terdapat deposit pigmentasi yang cukup banyak. Jika makula
tidak terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna.
Pasien umumnya tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan
pandang sesuai dengan daerah parut.

4.

Demografi, lateralitas dan faktor penyerta :

a.

Distribusi menurut umum

b.

Distribusi menurut kelamin

c.

Distribusi suku bangsa atau ras

d.

Unilateral dan bilateral

e.

Penyakit yang menyertai atau mendasari

5.

Penyebab yang diketahui :

a.

Bakteri : tuberkulosa, sifilis

g.

Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma

h.

Lain-lain : AIDS

D.

PENDEKATAN DIAGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit


itu. Misalnya, karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan
iritis akan mengeluh sakit dan fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak
mengaburkan penglihatan kecuali bila prosesnya berat atau cukup lanjut
hingga mengeruhkan humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid
sendiri tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya
koroid dengan retina, penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina,
penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus juga dapat menjadi keruh
sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang merdang.
Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan
vitreus dan bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara
umum pasien yang sedang mengalami peradangan uvea akan
mengeluhkan gejala-gejala umum sebagai berikut:
-

Mata merah (hiperemis konjungtiva)

Mata nyeri

Fotofobia

Pandangan mata menurun dan kabur

Epifora

b.
Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-KoyanagiHarada, Sindrom Behcet.
c.

Jamur : Kandidiasis

REFERAT : ANTIBIOTIK PADA MATA


TETRASIKLIN

1.

Farmakodinamik

Golongan tetrasiklin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein


bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya
antibiotik ke dalam ribososm bakteri. Pertama secara difusi pasif melalui
kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transpor aktif. Setelah masuk
antibiotik berikatan secara reversibel dengan ribosom 30S dan mencegah
ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut
mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat
terhentinya sintesis protein. Tetrasiklin termasuk antibiotika broad
spektrum. Spektrum golongan tetrasiklin umumnya sama, sebab
mekanisme kerjanya sama, namun terdapat perbedaan kuantitatif dari
aktivitas masing-masing derivat terhadap kuman tertentu. Derivat dari
tetrasiklin yaitu: demeklosiklin, klortetrasiklin, doksisiklin, methasiklin,
oksitetrasiklin, dan minosiklin.
Mekanisme resistensi yang terpenting adalah diproduksinya pompa protein
yang akan mengeluarkan obat dari dalam sel bakteri. Protein ini dikode
dalam plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain melalui
proses transduksi atau konjugasi. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin
biasanya disertai resistensi terhadap semua jenis tetrasiklin lainnya.

2.

Farmakokinetik

Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Absorpsi sebagian
besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya makanan dalam
lambung menghambat penyerapan, kecuali minosiklin dan doksisiklin.
Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan
kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap
seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya
terdapat dalam antasida, dan juga ferum.
Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam
jumlah yang bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar golongan
tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak
tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan
jaringan tubuh cukup baik. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri dan
terdapat dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan

tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan


lebih baik.
Metabolisme
Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di hati, sehingga
kurang aman pada pasien gagal ginjal.
Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan
melalui empedu. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam
empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat
yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatik, maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu
lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu
atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami akumulasi dalam darah.
Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.
3. Penggunaan Klinik
Indikasi
Penggunaan topikal hanya dibatasi untuk infeksi mata dan kulit saja. Salep
mata golongan tetrasiklin efektif untuk mengobati trakoma dan infeksi lain
pada mata oleh bakteri gram-positif dan gram negatif yang sensitif. Selain
itu juga untuk profilaksis oftalmia neonatorum pada neonatus
akibat Neisseria gonorrhoe atau Chlamydia trachomatis.
Penyakit konjungtivitis inklusi dapat diobati dengan hasil baik selama 2-3
minggu, dengan memberikan salep mata atau obat tetes mata yang
mengandung golongan tetrasiklin. Pada trakoma pemberian salep mata
golongan tetrasiklin yang dikombinasi dengan doksisiklin oral 2 x 100
mg/hari selama 14 hari memberikan hasil pengobatan yang baik.
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap golongan antibiotik tetrasiklin.
Interaksi Obat
Bila tetrasiklin diberikan dengan metoksifluoran maka dapat menyebabkan
nefrotoksisk. Bila dikombinasikan dengan penisilin maka aktivitas
antimikrobanya dihambat.

Efek samping
Sensasi terbakar pada mata.
Sediaan
Suspensi 10mg/cc dan salep mata tetrasiklin hidroklorida 1% 10mg/g.
Dosis
Lapisan tipis salep mata tiap 2-4 jam atau 1 tetes suspensi tiap 6-12 jam
(dapat digunakan lebih sering); dosis tunggal digunakan untuk pencegahan
oftalmia neonatorum.

sistemik dapat terjadi melalui saluran nasolakrimal. Jalur ekskresi


kloramfenikol utamanya melalui urin. Obat ini mengalami inaktivasi di hati.
Proses absorpsi, metabolisme dan ekskresi dari obat untuk setiap pasien,
sangat bervariasi, khususnya pada anak dan bayi. Resorpsinya dari usus
cepat. Difusi kedalam jaringan, rongga, dan cairan tubuh baik sekali,
kecuali ke dalam empedu. Plasma-t1/2-nya rata-rata 3 jam. Didalam hati,
zat ini dirombak 90% menjadi glukoronida inaktif. Bayi yang baru dilahirkan
belum memiliki enzim perombakan secukupnya maka mudah mengalami
keracunan dengan akibat fatal. Ekskresinya melalui ginjal, terutama
sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh.

3.
KLORAMFENIKOL
1.

Farmakodinamik

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik yang memiliki mekanisme kerja


menghambat sisntesis protein bakteri pada tingkat ribosom. Obat ini terikat
pada ribosom
subunit
50S.
Kloramfenikol menyekatkan
ikatan
persenyawaan aminoacyl dari molekul tRNA yang bermuatan ke situs
aseptor kompleks mRNA ribosom. Kegagalanaminoacyl untuk menyatu
dengan baik pada situs aseptor menghambat reaksi transpeptidase yang
dikatalisasi oleh peptidyl transferase. Peptida yang ada pada situs donor
pada kompleks ribosom tidak ditransfer ke asam amino aseptornya,
sehingga sintesis protein terhenti.

Penggunaan Klinik

Indikasi
Untuk terapi infeksi superficial pada mata yang disebabkan oleh bakteri,
blepharitis, post operasi katarak, konjungtivitis bernanah, traumatik
keratitis, trakoma dan ulceratif keratitis.
Kontraindikasi
Pada pasien yang hipersensitif terhadap kloramfenikol. Pasien neonatus.
Interaksi Obat
Dapat menghambat respon terhadap terapi vitamin B12 atau asam folat.
Efek Samping

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi


kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman
tertentu. Kloramfenikol emiliki spektrum luas. Spektrum antibakteri
kloramfenikol meliputi Salmonella spp, Clamydia, Haemophillus, D.
pneumoniae, S. pyogens, S. viridans, Neisseria, Bacillus spp, C. diphtheriae,
Mycoplasma, Rickettsia, Treponema dan kebanyakan kuman anaerob.

Rasa pedih dan terbakar mungkin terjadi saat aplikasi kloramfenikol pada
mata. Reaksi hipersensitivitas dan inflamasi termasuk mata merah, dan
edema. Neuritis optikus, penglihatan kabur selama beberapa menit setelah
penggunaan. Pada terapi jangka panjang ditemukan kasus anemia aplastik.
Sediaan
Tetes mata kloramfenikol 1 %; botol 5 mL.

2.

Farmakokinetik
Salep mata kloramfenikol 1 % (10mg/g); tube 5 g.

Setelah
pemberian
kloramfenikol
melalui
mata,
absorpsi
obat
melalui kornea dan konjunctiva, selanjutnya menuju humor aquos. Absorpsi
terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi

Dosis

Tetes mata 1-2 tetes atau sedikit salep mata setiap 3-6 jam.

GENTAMICIN
1.

Farmakodinamik

Aktivitas antibakteri terutama tertuju pada basil gram Negatif yang aerobik.
Aktivitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri fakultatif dalam
kondisi anaerobik rendah sekali. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan
kenyataan bahwa transpor gentamisin (golongan aminoglikosida)
membutuhkan oksigen (trasnpor aktif). Aktivitas terhadap bakteri Grampositif sangat terbatas. Gentamisin aktif terhadap enterokokus dan
streptokokus lain tetapi efektivitas klinis hanya dicapai bila digabung
dengan penisilin. Walaupun in vitro 95% galur S. aureus sensitif terhadap
gentamisin tetapi manfaat klinik belum terbukti sehingga sebaiknya obat
ini jangan digunakan tersendiri untuk indikasi tersebut. Galur resisten
gentamisin cepat timbul selama pajanan tersebut.
Mekanisme kerja aminoglikosida berdifusi lewat kanal air yang dibentuk
oleh porin protein pada membran luar dari bakteri gram negatif masuk ke
ruang periplasmik. Sedangkan transpor melalui membran dalam sitoplasma
membutuhkan energi. Fase transpor yang tergantung energi ini
bersifat rate limitting, dapat di blok oleh Ca2+ dan Mg2+, hiperosmolaritas,
penurunan pH dan anaerobik suatu abses yang bersifat hiperosmolar.
Setelah masuk sel, aminoglikosid terikat pada ribosom 30S dan
menghambat sintesis protein. Terikatnya aminoglikosid pada ribosom ini
mempercepat transpor aminoglikosid ke dalam sel, diikuti dengan
kerusakan membran sitoplasma, dan disusul kematian sel. Yang diduga
terjadi
adalah miss
reading kode
genetik
yang
mengakibatkan
terganggunya sintesis protein. Aminoglikosida bersifat bakterisidal cepat.
Pengaruh
aminoglikosida
menghambat
sintesis
protein
dan
menyebabkanmiss reading dalam penerjemahan mRNA, tidak menjelaskan
efek letalnya yang cepat.
2.

Farmakokinetik

Gentamisin sebagai polikation bersifat sangat polar, sehingga sangat sukar


diabsorpsi melalui saluran cerna. Gentamisin dalam bentuk garam sulfat
yang diberikan IM baik sekali absorpsinya. Kadar puncak dicapai dalam
waktu sampai 2 jam. Sifat polarnya menyebabkan aminoglikosid sukar
masuk sel. Kadar dalam sekret dan jaringan rendah, kadar tinggi dalam

korteks ginjal, endolimf dan perilimf telinga, menerangkan toksisitasnya


terhadap alat tersebut.
Ekskresi gentamisin berlangsung melalui ginjal terutama dengan filtrasi
glomerulus. Gentamisin diberikan dalam dosis tunggal menunjukkan jumlah
ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi
hampir seluruhnya berlangsung melalui ginjal, maka keadaan ini
menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan. Walaupun demikian
kadar dalam urin mencapai 50-200 mg/mL, sebagian besar ekskresi terjadi
dalam 12 jam setelah obat diberikan.
Gangguan fungsi ginjal akan menghambat ekskresi gentamisin,
menyebabkan terjadinya akumulasi dan kadar dalam darah lebih cepat
mencapai kadar toksik. Keadaan ini tidak saja menimbulkan masalah pada
penyakit ginjal, tetapi perlu diperhatikan pula pada bayi terutama yang
baru lahir atau prematur, pada pasien yang usia lanjut dan pada berbagai
keadaan, yang disertai dengan kurang sempurnanya fungsi ginjal. Pada
gangguan faal ginjal t gentamisin cepat meningkat. Karena
kekerapannya terjadi nefrotoksisitas dan ototoksitas akibat akumulasi
gentamisin, maka perlu penyesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal.

3.

Penggunaan Klinik

Indikasi
Konjungtivitis, Blefaritis, Keratitis, Keratokonjungtivitis, Dakriosistitis, Ulkus
Kornea, Meibomianitis akut, Episkleritis akut, Blefarokonjunctivitis.
10 mg dapat disuntikan secara subkonjungtiva untuk infeksi mata yang
berat.
Kontra Indikasi
Alergi terhadap Gentamisina serta penderita yang hipersensitif terhadap
salah satu antibiotik golongan aminoglikosid.
Efek Samping
Hipersensitivitas dan alergi dapat terjadi meskipun jarang, iritasi.
Interaksi Obat

Gentamisin mengalami inaktivasi jika dicampur dengan karbenisilin.

Distribusi

Sediaan

Didistribusikan secara luas ke cairan ekstrasel setelah pemberian IM atau


IV. Menembus plasenta. Penetrasi buruk ke CSS.

Salep mata 0,3 % (3 mg/g) ; tube 3,5 g.


Metabolisme dan Ekskresi
Tetes mata 0,1 %; botol 5 mL.
Tetes mata 0,3 % (3 mg/cc); botol 5 mL.
Larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1.5 mL; 80 mg/2mL; 120 mg/3
mL; 280 mg / 2mL.

Ekskresi terutama melalui ginjal (>90%). Penyesuaian dosis diperlukan


untuk setiap penurunan fungsi ginjal. Dimetabolisme oleh hati dalam
jumlah minimal.
3.

Penggunaan Klinik

Dosis

Indikasi

Salep 2-3x/hari.

Pengobatan infeksi mata superficial, seperti konjungtivitis, Blefaritis,


Keratitis, Keratokonjungtivitis, Dakriosistitis, Ulkus Kornea, Meibomianitis
akut, Episkleritis akut, Blefarokonjunctivitis.

Tetes mata 1-2 tetes setiap 2-4 jam, dinaikkan 2 tetes setiap jam untuk
infeksi berat.

TOBRAMICIN
1.

Farmakodinamik

Tobramisin tidak jauh berbeda sifatnya dengan gentamisin, termasuk


spektrum antimikrobanya. Karena itu, tobramisin digunakan sebagai
pengganti gentamisin. Aktivitas tobramisin yang superior terhadap P.
aeruginosa dibanding gentamisin menyebabkan obat ini terpilih untuk
mengatasi infeksi oleh kuman tersebut. Obat ini tidak memperlihatkan
sinergisme dengan penisilin terhadap enterokok dan inaktif terhadap
mycobacterium. Dibandingkan terhadap gentamisin, terdapat petunjuk
bahwa tobramisin bersifat kurang nefrotoksik, tetapi hal ini belum terbukti
secara klinis.

IM, IV : Pengobatan infeksi basiler gram negatif dan infeksi akibat


stafilokokus bila penisilin atau obat yang kurang toksik lainnya
dikontraindikasikan atau telah terjadi resistensi terhadap gentamisin.
Kontra Indikasi
Alergi terhadap Tobramisin serta penderita yang hipersensitif terhadap
salah satu antibiotik golongan aminoglikosid.
Efek Samping
Hipersensitivitas dan alergi dapat terjadi meskipun jarang, rasa terbakar
atau tersengat pada mata. Ginjal : Nefrotoksik.
Interaksi Obat
Diinaktivasi oleh penisilin bila diberikan bersamaan.
Sediaan

2.

Farmakokinetik
Tetes mata 3mg/cc; Salep 3mg/g.

Absorbsi
Obat ini tersedia sebagai larutan 80mg/2ml untuk suntikan IM.
Diabsorpsi dengan baik setelah pemberian IM. Absorpsi minimal setelah
pemberian topikal.

Untuk infus tobramisin dilarutkan dalam dekstrose 5% atau larutan NaCl


isotonis dan diberikan dalam 30-60 menit. Jangan diberikan lebih dari 10
hari.
Dosis
Semua dosis setelah dosis pembebanan awal harus ditentukan berdasar
fungsi ginjal/kadar dalam darah.
Dewasa dan anak-anak: 1 cm lapisan salep 2-3 kali sehari (tiap 3-4 jam
untuk infeksi berat) atau 1-2 tetes larutan tiap 4 jam (tiap 30-60 menit
untuk infeksi berat).
IM, IV (Dewasa) : 0,75-1,25 mg/kg tiap 6 jam atau 1-1,7 mg/kg tiap 8 jam
(sampai 8 mg/kg/hari dalam dosis terbagi)
IM, IV (Bayi yang sudah besar dan anak-anak) : 1,5-1,9 mg/kg tiap 6 jam
atau 2-2,5 mg/kg tiap 8-16 jam.

Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini


bervariasi dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata
normal) hingga gejala berat, fotofobia, dan hilang penglihatan yang
berhubungan dengan injeksi yang muncul dan hipopion. Faktor diluar gejala
mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis anterior.
Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus
diketahui. Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata
harus menjadi pertimbangan. Riwayat rinci dan review dari sistem
merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi pasien dengan
uveitis.

c.
Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun,
tergantung kondisi dari produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan
sel radang, putih dan merah.
d.

Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.

e.
pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara
langsung mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus
ketika cahaya secara langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari
temuaan ini yaitu:
Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra
iritis dan beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.

Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis


pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain:
1.

ada

beberapa

Pemeriksaan subyektif mata

a.
Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi
pemeriksaan tajam pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata.
b.
Pada mata
penglihatan

yang

terkena

akan

mengalami

penurunan

tajam

c.
Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil
yang normal

3.

Pemeriksaan funduskopi

4.

Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp

a.
Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi,
edem, ulkus, atau benda asing.
b.

2.

Pupil dalam kondisi miosis

Pemeriksaan obyektif mata

Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:


a.
Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam
kondisi normal
b.
Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada
uveitis sering ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan
semakin meningkat menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya
dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak dengan arah
menjauhi limbus.)

Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea

c.
Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates /
KP (sel darah putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang
maka diklasifikasikan ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada
uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak (gambaran granula
mutton-fat).
d.
Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang
menyebabkan kamera okuli anterior tampak kotor.
e.
Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat
ditemukan pada kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi
derajat +1 s/d +4:
-

0 tidak ditemukan

+1 ditemukan dalam jumlah sedikit

a.

Kortikosteroid

+2 ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat


jelas)

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan


yaitu dengan cara:

+3 iris dan lensa terlihat berkabut

+4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi)

Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran


asam arakidonat dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan
sitokin, dan membatasi aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan
dengan indikasi adanya peradangan yang bukan disebabkan karena infeksi.

5.

Pemeriksaan laboratorium

a.
Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan
anamnesis ditemukan hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik.
Namun pemeriksaan laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien
mengalami uveitis nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang
khas.
b.
Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan
uveitis rekurens, pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan
tanda khas maka dilakukan pemeriksaan laboratorium nonspesifik, seperti
tes darah lengkap, dll.

E.

PENANGANAN PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat


dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera
melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata
merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada
kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada
pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi
nyeri dan peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas
kortikosteroid topikal atau sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat
yang dapat dipakai adalah:
1.

Pemberian Obat Anti Radang

Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

Mengurangi pembentukan jarangan parut

Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis


juga sangat bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian
dalam jumlah minimal untuk mengontrol inflamasi harus diberikan untuk
menurunkan peluang terjadinya komplikasi.Initial dose yang digunakan
untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg
setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid
diberhentikan tanpa tapering of. Dosis yang paling kecil dengan masa
kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek
samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan
terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada
malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH
yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada
malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi
adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4
minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk
mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara
penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis
selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat
diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena
kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian
dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh.
Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis
pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan.
Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang
seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah

bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik.
Seterusnya dapat diberikan selang sehari.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:


-

Menurunkan daya reaksi jaringan

Mengaktifkan proliferasi bakteri

Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama

Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

Menambah kemungkinan infeksi jamur

Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi
dan pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan
untuk uveitis kronik atau uveitis yang mengancam penglihatan
(menyebabkan kebutaan).

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:


Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid
topikal tetes. Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan,
frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat
yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk precipitate,
sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan.
Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga
pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior


terkena atau ketika mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi.
Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum pemberian steroid
jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive
terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam
transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan
dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak digunakan
pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena penebalan
sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:


1.
Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan
kebutaan
2.
Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode
lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:


- Prednisolone
1%
(pred
forte) steroid
paling
kuat
dan
merupakan drug of choiceuntuk uveitis. Prednisolone dapat menurunkan
reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari leukosit PMN dan
menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat
menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu
prednisolone juga tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan
prednisolone dan pasien sedang mengalami infeksi jamur, virus, dan
bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa).
Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko
menimbulkan katarak dalam pemakaian jangka panjang.

b.

Obat anti inflamasi nonsteroid

Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi
untuk menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien

memiliki kondisi kontra.Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari


kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid
tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes
simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan
dengan alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai
dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberkulosis aktif,
gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified
derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak,
osteoporosis, kehamilan. Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang
bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon, indometasin, salisilat, natrium
diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi Drugs (NSAIDs) yang
lainnya .

2.

Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi


dilatasi pupil, selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga
melumpuhkan akomodasi. Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan
fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat
midriatik. Efek maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi
kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali 2 minggu setelah
obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi cepat,
demam, merah, dan mulut kering.
Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia
25-75 menit dan midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan
bertahan selama 1 jam. Namun efek ini dapat menurun pada kondisi parah.
Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis dibandingkan
siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan
pada pasien yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang
hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1
gtt 3dd (dewasa).
Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90
menit dan midriasis setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan
selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis.

Homatropine merupakan agent of choiceyang sering digunakan pada


uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan
pada pasien yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang
hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd
(dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak
responsif terhadap steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang
berhubungan dengan terapi sebelumnya, immunosupresan dapat
digunakan. Immunosuppressif agen merupakan terapi pilihan awal pada
penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener
granulomatosis, dan skleritis nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut
dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang mengancam jiwa, dan
terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat
meningkalkan kondisi pasien. Imunomodulatory terapi sering diperlukan
dalam kondisi penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid seperti
pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-koyanagi-harada (VKH),
sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk
target spesifik yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun
medikasi ini telah dipelajari dan diteliti pada pasien dengan rheumatoid
arthritis dan crohn disease, persamaan pada patogenesis penyakit ini yang
menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk penanganan peyakit
inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai
pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering ditemukan
pada penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis
Factor alpha) contoh adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor
interleukin-2 contoh daclizumab.
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi
intraocular melalui injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa
laporan kasus melaporkan adanya manfaat dalam penggunaan
triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman
refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral
ini memiliki waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan
berulang kali (multipel). Sehingga resiko terjadi pembentukan katarak dan
peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk terjadinya
endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang


diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi
penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam
rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami opasitas
untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat dalam terapi
inflamasi dan immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan
struktural yang dapat terjadi pada mata misalnya pembentukan katarak,
glaukoma sekunder, ablasio retina).

Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada


peradangan uvea antara lain:

Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan


untuk minimal jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi
komplit (eradikasi komplit dari sel kamera okuli anterior dan sel vitreus
aktif). Secara umum, 24-48 jam preoperative, topical prednisolone asetat
1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam kondisi sadar) dengan
prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami. Steroid
intraokular dan periokular dapat diberikan saat operatif sedang
berlangsung. Medikasi sistemik dan topikal diberikan dengan dosis
diturunkan secara perlahan tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi.

b.
Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan
iris pada lensa di beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang
berakibat pupil terfiksasi tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler.
Adanya sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma dengan
memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga
menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.

Selain penanganan di atas, terdapat


diperhatikan sebagai follow-up yaitu:
-

hal-hal

yang

perlu

Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan

Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan
pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.

a.
Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan
terjadi akibat peradangan iris pada uveitis anterior. Sinekia ini
menyebabkan sudut iridokornea menyempit dan mengganggu drainase
dari humor aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada kamera
okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular,

c.
Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat
terkumpulnya sel-sel radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga volume
pada kamera okuli anterior meningkat dan terjadi glaukoma.
Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang
jarang terjadi.

2.

Atrofi nervus optikus

Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami


atrofi nervus optikus sehingga terjadi kebutaan permanen.

Oftalmologis harus melakukan tapering of dosis untuk kortikosteroid


dan sikloplegik yang dipakai dalam terapi medikamentosa
Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap
1-6 bulan.

F.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)

3.

Katarak komplikata

Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek


langsung pada fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah
subkapsul posterior dan akhirnya mengenai seluruh struktur lensa. Katarak
yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis visualnya tidak sebaik katarak
senilis biasanya.

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis yaitu:


1.

Glaukoma sekunder
4.

Ablasio retina

5.

Edema kistoid macular

6.

Efek penggunanan steroid jangka panjang.

dan lemak

11. Elektrolit
Efek samping
sistemik:

yang

dapat

terjadi

akibat

pemberian

steroid
12. Sistem immunitas

Tempat

Macam efek samping

1.

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus


peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

Saluran cerna

Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila


dilakukan penanganan yang tepat.
Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh
diri), nafsu makan bertambah.
-

2.

Otot

3.

Susunan saraf pusat

Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.

Osteoporosis,fraktur,
tulang panjang.

vertebra,

skoliosis,

fraktur

KESIMPULAN
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis,
purpura, telangiektasis.
Uveitis adalah proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari
uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan
Glaukoma dan katarak subkapsular posteriorvaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat
memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat
Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan
beberapa elemen mata penting lainnya.
Kenaikan tekanan darah

4.

Tulang

5.

Kulit

6.

Mata

7.

Darah

8.

Pembuluh darah

9.
Kelenjar
kortek

kompresi

Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang


pasti dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat
disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis sering dihubungkan dengan infeksi
seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulate reaksi imunitas
secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai sel
Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
dan pembuluh darah uvea.
meninggi, obesitas, bufalo hump, perlemakan hati.
-

adrenal

10. Metabolisme

bagian

protein,

KH

Atrofi, tidak bisa melawan stres

Uveitis
diklasifikasi
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia,
paralisis,
tetani, berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter
yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan;
aritmia kor)
durasi, onset, dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang
terjadi;
dan penyebab
dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi
Tb dan
herpes
sangat
penting
dalam
diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga
simplek, keganasan dapat timbul.
penanganan yang cost-efective dapat terlaksana.

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat


dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera
melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata
merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada
kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan kepada
pasien. Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk
mengurangi nyeri dan peradangan. terapi pembedahan yang diindikasikan
dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsy
untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam rencana pengobatan,
dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor
segmen posterior mata. Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari
uveitis bagus apabila dilakukan penanganan yang tepat.

Gordon, Kilbourn. (2009). Iritis and Uveitis. Diakses tanggal 3 Maret 2010,
dariwww.emedicine.medscape.com
Guyton, Arthur. C., Hall, John. E.. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. EGC: Jakarta.
Ilyas, Sidarta, dkk. (2002). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-2. Sagung Seto: Jakarta.
Ilyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Janigian, Robert. H. (2010). Uveitis, Evaluation and Treatment. Diakses
tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Janigian, Robert. H.. Filippopoulos, Theodoros.. Welcome, Brian. A..
(2008). Uveitis,
Intermediate. Diakses
tanggal
3
Maret
2010,
dari www.emedicine.medscape.com

DAFTAR PUSTAKA
Anterior,
2010,

Jusuf, Ahmad. Aulia. (2003). Diakses tanggal 3 Maret 2010,


dariwww.staff.ui.ac.id/internal/132015140/material/ SISTEMPENGLIHATAN.
doc

Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, NonGranulomatose.Diakses


tanggal
3
Maret
2010,
dari www.emedicine.medscape.com

Vaughan, Daniel. G., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul.. (2000). Oftalmologi


Umum. Edisi 14. Widya Medika: Jakarta.

Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph.


Granulomatose. Diakses
tanggal
dari www.emedicine.medscape.com

D..
3

(2010). Uveitis,
Maret

Farooqui, Saadia. Zohra.. Foster, C. Stephen.. Sheppard.. (2008). Uveitis,


Classification.Diakses
tanggal
3
Maret
2010,
dari www.emedicine.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai