Anda di halaman 1dari 3

Jakarta, Sejumlah ahli menyimpulkan letusan lumpur

Lapindo bukan karena human error. Juga tidak pada prosedur


eksplorasi tak layak. Penyebabnya, begitu due dilligence dua
penelitian, karena faktor alam: gempa! Teori Richard Davies,
geolog asal Universitas Durham, Inggris, tentang lumpur
Lapindo, terbantahkan. Davies sebelumnya berpendapat
lumpur disebabkan prosedut kegiatan eksplorasi yang tak
layak. Dia menilai pengeboran gas Banjar Panji-1 tak
memenuhi syarat kelayakan.Banyak pihak yang menjadikan
penelitian Davies sebagai pijakan berpikir dan bertindak.
Lapindo nyaris tersudut. Padahal, letusan lumpur, menurut
penelitian sebagian besar ilmuwan dari berbagai negara, disebabkan gempa bumi yang pernah
melanda Yogyakarta dan sekitarnya.Kesimpulan penelitian itu terungkap dalam dua laporan
terbaru yang dipaparkan dalam acara komunitas ilmuwan geolog di Cape Town, Afrika
Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa bencana letusan lumpur Sidoarjo bukan dipicu
kegiatan pengeboran. Laporan pertama dibuat berdasarkan studi due dilligence mengenai
proses pengeboran. Pada laporan bertajuk Pengamatan pada Perencanaan Peristiwa Banjar
Panji-1 dan Alasan Program Pengeboran, terungkap banyak hal. Antara lain soal perencanaan
yang selayaknya operasi pengeboran demi menjaga prosedur industri. Perencanaan juga
dilakukan dengan standar tinggi dengan menjaga keselamatan kru."Gempa dan gempa-gempa
susulan di Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkannya merupakan kunci penyebab
kejadian," demikian penggalan dalam laporan tersebut. Laporan ini ditulis dua orang insinyur
petroleum terkemuka. Mereka adalah Maurice Dusseault PhD dari Universitas Waterloo,
Kanada dan Baldeo Singh, insinyur S3 dari Massachusetts Institute of Technology, AS.
Bencana letusan lumpur Sidoarjo berawal pada tanggal 29 Mei 2006. Peristiwa itu terjadi
setelah gempa bumi yang berkekuatan 6,3 skala richter menyerang Yogyakarta dan
sekitarnya. Lumpur panas mulai meletus dari retakan panjang pada jarak 200 km dari pusat
terjadinya gempa. Sejak itu, 150.000 m3 lumpur terus keluar tiap hari, menggenangi desadesa sekitar dan menyebabkan kerusakan pada infrastruktur lokal. Menurut para ahli, aliran
lumpur sepertinya dapat berkelanjutan hingga waktu lama.Laporan kedua due diligence
disodorkan Ralph Adams, insinyur asal Kanada yang sudah berpengalaman 29 tahun dalam
pengeboran minyak dan gas di Indonesia. Adams menulis laporan Banjar Panji-1 Well
Control Incident Report."Program pengeboran dan perubahan rangka sumur pengeboran
bukan menjadi penyebab letusan. (Semburan) dibuka oleh gempa besar kurang dari 24 jam
sebelum kena sumur," tulisnya. Dua hasil penelitian ini memperkuat kajian tim geologi
Norwegia, Prancis, dan Rusia yang menyimpulkan gempa bumi Yogyakarta sebagai
penyebab terjadinya letusan lumpur Sidoardjo. Tim yang dipimpin volkanolog lumpur, Dr.
Adriano Mazzini dari University of Oslo, telah melaporkan hal ini di Earth and Planetary
Science Letters pada 12 Juli 2007. "Ini menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut
mendistribusikan tekanan berulang-ulang di beberapa bagian pada pulau Jawa," tulis Dr.
Mazzini dalam laporannya. Di beberapa tempat yang dapat memperparah pecahan pada
kesalahan terdahulu, menyebabkan tekanan hawa menjadi lembab. Sehingga menyerap dan
menghasilkan letusan melalui banyak proses di bawah permukaan tanah. Semula, pendapat
Davies sempat menghasilkan perhatian besar dari media. Beberepa LSM menggunakannya
untuk menyerang perusahaan eksplorasi joint-venture Indonesia-Australia, Lapindo Brantas
Inc. Lapindo berhasil membela diri di pengadilan saat di tuntut oleh sebuah LSM lokal.
Sebab LSM tersebut gagal memberikan bukti-bukti yang menunjukan kesalahan Lapindo.

Argume
n1

Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas


tersebut. Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi
di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini
didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur
(liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan
kerusakan sedimen.7 Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di
Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan
dengan Surabaya.8 Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada
lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada
kedalaman 2.000-6.000 kaki.9 Lagipula, dengan merujuk gempa di California
(1989) yang berkekuatan 6.9 Mw, dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada
jarak 110 km dari episenter gempa, maka karena gempa Yogya lebih kecil yaitu
6.3 Mw seharusnya radius terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km.10 Akhirnya,
kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum
sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul.11 Hal itu diakui bahwa
semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.12
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi
pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi
pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki.13 Ketika Lapindo
mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka
belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona
bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran
dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera
dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan
mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum
terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis
dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur
operasional standar.14
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan
proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50%
participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.15 Dalam kasus
semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga sengaja menghemat biaya
operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi,
keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang
dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok
Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo
untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional
pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak
memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur
yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.16
Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi),
Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing
contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas
sumberdaya alam.17

Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur


panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama
menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai
kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas
dan sumberdaya alam (SDA) dijual kepada
swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an
sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan
manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang
menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan
taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana
ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus
bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas,
seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada
dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan
26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah
(2002) karena eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah
tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo,
Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak
Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak
Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo,
mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.

Argum
en 2

Anda mungkin juga menyukai