ABSTRAK
Latar Belakang
Efikasi pengobatan otitis media akut dengan menggunakan antimikroba masih controversial
Metode
Pada penelitian acak, buta ganda ini, anak-anak usia 6 sampai 35 bulan dengan otitis media akut
yang didiagnosis dengan kriteria yang ketat, menerima amoxicillin-klavulanat (161 anak) atau
placebo (158 anak) selama 7 hari. Tujuan utama adalah untuk mengetahui waktu terjadinya
kegagalan pengobatan dari dosis pertama diberikan hingga akhir kunjungan pengobatan pada
hari ke-8. Definisi gagal pengobatan berdasarkan kondisi anak keseluruhan (termasuk efek
samping) dan tanda otitis media akut pada pemeriksaan otoskop.
Hasil
Kegagalan pengobatan terjadi sebanyak 18,6% pada kelompok anak yang mendapat amoxicillinklavulanat dibandingkan 44,9% pada kelompok anak yang mendapat placebo (p<0.001).
Perbedaan antara kedua grup sudah tampak sejak kunjungan pertama (hari ke-3), dimana terjadi
kegagalan pengobatan sebanyak 13,7% pada kelompok anak yang mendapat amoksisilinklavulanat dibandingkan kelompok anak yang mendapat placebo sebanyak 25,3%. Secara
keseluruhan, amoksisilin-klavulanat menurunkan prgresi terjadinya gagal pengobatan sebanyak
62% (hazard ratio 0,38%; convidence interval 95% (CI) 0.25 sampai 0.59; p<0.001) dan
dibutuhkannya pengobatan penyelamatan sebanyak 81% (6.8% vs 33.5%; hazard ratio 0.19%;
95% CI 0.10 sampai 0.36; p<0.001). Analgetik atau antipiretik diberikan sebanyak 84.2% pada
kelompok amoksisilin klavulanat dan 85.9% pada kelompok palsebo. Efek samping secara
signifikan lebih sering terjadi pada kelompok amoksisilin-klavulanat dibandingkan kelompok
placebo. Total 47.8% anak pada kelompok amoksisilin-klavulanat mengalami diare, sedangkan
pada kelompok placebo terjadi sebanyak 26.6% (p<0.001); eksema terjadi sebanyak 8,7% pada
kelompok amoksisilin-klavulanat sedangkan pada kelompok placebo 3.2% (p=0.04).
Simpulan
Pengobatan otitis media akut pada anak dengan menggunakan antimikroba memberikan
keuntungan dibandingkan dengan placebo, meskipun lebih banyak muncul efek samping.
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi pasien mana yang akan mendapat lebih
banyak keuntungan, dalam rangka meminimalisir pengobatan antimikroba yang tidak perlu dan
perkembangan resistensi bakteri.
Otitis media akut merupakan penyakit infeksi bakteri yang paling sering terjadi pada
anak-anak. Antimikroba sudah menjadi pengobatan utama dalam tatalaksana otitis media akut
sejak tahun 1950, ketika penelitian yang pertama kali dilakukan memberikan hasil bahwa terapi
dengan antimikroba menunjukkan perbaikan outcome. Meski demikian, belum ada konsensus
tentang terapi optimal untuk otitis media akut. Karena pengobatan otitis media akut merupakan
alasan utama digunakan antimikroba pada pasien rawat jalan, maka para ahli mengharapkan
antimikroba digunakan dengan bijaksana. Beberapa guidelines tentang manajemen otitis media
akut merekomendasikan untuk dilakukan observasi sebelum antimikroba digunakan.
Rekomendasi tersebut berdasarkan meta-analisis yang menyimpulkan bahwa agar 1 anak sembuh
dari gejala, dibutuhkan 7 sampai 17 anak perlu diobati dengan agen antimikroba. Namun,
beberapa ahli mengemukakan bahwa penelitian yang diambil untuk meta-analisis memiliki
kekurangan penting, seperti bias pada pemilihan pasien, beragamnya kriteria diagnostik, dan
spektrum serta dosis agen antimikroba yang kurang optimal.
Kami melakukan penelitian acak, buta ganda, placebo terkontrol terhadap efikasi
pengobatan antimikroba pada kelompok umur dengan kejadian otitis media akut tertinggi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efikasi terapi antimikroba dalam pengobatan otitis
media akut dengan kriteria diagnostik yang ketat dan spektrum serta dosis antimikroba yang
adekuat.
METODE
Kriteria pasien dan kriteria diagnostik
Anak-anak usia 6 sampai 35 bulan dengan gejala akut dimasukkan untuk skrining
diagnostik. Daftar kriteria eksklusi, serta deskripsi dan penjelasan terdapat dalam lampiran
tambahan. Anak-anak yang telah didiagnosis otitis media akut menurut protokol layak masuk
kedalam kriteria inklusi pada penelitian ini. Tiga kriteria yang harus ada untuk mendiagnosis
otitis media akut yaitu: pertama, cairan telinga tengah harus terdeteksi oleh sarana pemeriksaan
otoskop pneumatic yang menunjukkan minimal 2 temuan pada membran timpani yaitu: posisi
bulging, menurun atau tidak adanya mobilitas, warna yang abnormal atau opasitas yang bukan
disebabkan skar, atau adanya air-fluid interfaces. Kedua, minimal didapatkan satu tanda-tanda
inflamasi akut pada membran timpani, yaitu: didapatkan patch atau garis eritem atau peningkatan
vaskular pada membran timpani keseluruhan, yang menonjol, atau berwana kuning. Ketiga, anak
harus memiliki gejala akut, seperti demam, nyeri telinga atau gejala sistem pernafasan. Orangtua
dari setiap anak diminta informed consent secara tertulis. Protokol penelitian ini sudah disetujui
oleh komite etik Rumah Sakit Finlandia Barat Daya.
Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian placebo terkontrol, acak, buta-ganda yang diinisiasi
oleh peneliti dan dikerjakan secara independen tanpa sponsor. Tujuan penelitian adalah untuk
menilai efikasi pengobatan antimikroba dengan menilai perbaikan dari gejala dan tanda otitis
media akut. Hipotesis penelitian ini adalah amoxicillin-klavulanat dapat menurunkan resiko
terjadinya gagal pengobatan.
Pada kunjungan pertama (hari pertama), gejala pasien, riwayat kesehatan, demografi dan
karakteristik klinis dicatat. Sampel nasofaring diambil, dan pemeriksaan klinis dilakukan
termasuk pemeriksaan otoskop dan timpanometrik. Rincian tentang sampel nasofaring, kultur
bakteri dan analisis resistensi terhadap agen mikroba, serta pemeriksaan otoskop terdapat pada
lampiran tambahan.
Pasien yang memenuhi syarat dipilih secara random dan diberi amoxicillin-klavulanat
(amoksisilin 40 mg/KgBB/hari dan klavulanat 5,7 mg/KgBB/hari, dibagi 2 dosis) atau plasebo
selama 7 hari. Penampilan dan rasa plasebo sama dengan pengobatan antimikroba. Orangtua
pasien diberi buku harian dan diminta untuk mencatat gejala, dosis obat, dan pengobatan lainnya,
ketidakhaadiran anak dari tempat penitipan dan orangtua mereka dari tempat kerja, serta
mencatat efek samping. Demam adalah temperatur tubuh lebih atau sama dengan 38o C. kami
mendukung penggunaan analgetik dan antipiretik serta kami mengizinkan penggunaan tetes
telinga analgetik dan tetes hidung dekongestan maupun dekongestan semprot.
Kunjungan pertama setelah kunjungan perdana dijadwalkan 2 hari setelah pemberian obat
yang digunakan untuk penelitian (hari ke-3). Kunjungan pengobatan terakhir dijadwalkan sehari
setelah pemberian dosis obat terakhir (hari ke-8). Pada kunjungan tersebut, buku harian, kapsul
obat yang digunakan maupun tidak digunakan dikembalikan, kepatuhan dalam penggunaan obat
yang diteliti dilakukan penilaian. Orang tua diminta menghubungi peneliti jika orangtua pasien
merasa kondisi anaknya tidak membaik secara memuaskan atau malah memburuk; kunjungan
tambahan dijadwalkan pada hari apa saja pada minggu tersebut. jika dimungkinkan, peneliti yang
sama yang melakukan pemeriksaan pada tiap kunjungan. Pada setiap kunjungan, peneliti
bertanya kepada orangtua tentang kondisi keselurahan anaknya, yang dicatat dengan sehat,
membaik, atau tidak ada perubahan, atau memburuk. Anak tersebut kemudian diperiksa oleh
peneliti. Pada tiap kunjungan, peneliti dapat mengganti obat yang diteliti dengan pengobatan
penyelamatan jika kondisi anak atau hasil pemeriksaan otoskop menunjukkan perubahan yang
warranted. Orangtua diminta untuk tetap memperbolehkan anaknya ikut dalam penelitian untuk
penilaian pada follow up meskipun obat yang diberikan tidak digunakan lagi.
Outcome
outcome utama adalah waktu terjadi kegagalan pengobatan, dimana komposisinya terdiri dari 6
komponen independen seperti: tidak ada perbaikan pada kontrol pertama (hari ke-3) (kecuali jika
orang tua merasa kondisi keseluruhan anak membaik, seluruh kasus dianggap gagal pengobatan).
Kondisi keseluruhan anak memburuk pada kunjungan manapun, tidak ada perbaikan pada
pemeriksaan otoskop di kunjungan terakhir pengobatan (hari ke-8), perforasi membran timpani
pada waktu kapanpun, infeksi berat (mastoiditis, pneumonia) yang memerlukan pengobatan
antimikroba sistemik pada kunjungan kapanpun, dan alasan lainnya untuk menghentikan
penggunaan obat yang diteliti (efek samping atau ketidakpatuhan terhadap obat yang diteliti)
kapanpun. Waktu gagal pengobatan adalah saat peneliti menemukan komponen tersebut untuk
pertama kali selama hari penelitian. Beberapa komponen dapat ditemukan secara bersamaan
tetapi hal ini tidak diharuskan. Dua komponen pertama berdasarkan pengakuan orangtua yaitu
penilaian kondis anak termasuk adanya efek samping yang dilaporkan kepada peneliti. Empat
komponen lainnya dinilai oleh peneliti sendiri.
Outcome sekunder yang dinilai peneliti adalah waktu pemberian pengobatan
penanggulangan dan perkembangan otitis media akut kontralateral. Data penggunaan analgetik
dan antiperetik, ketidakhadiran anak dari tempat penitipan dan orangtua dari tempat kerja, serta
perbaikan setiap gejala dilihat dari buku harian. Hasil pengobatan pada kunjungan terakhir
dinilai berdasarkan penilaian orangtua terhadap kondisi keseluruhan anak yang dilaporkan
kepada peneliti dan dari pemeriksaan otoskop. Terjadinya efek samping dilihat dari catatan pada
buku harian dan dari pengakuan orangtua ketika ditanya oleh peneliti.
Analisis statistik
Kami memperkirakan dengan 260 pasien, penelitian ini akan memiliki kekuatan sebesar
90% untuk mendeteksi 15 % reduksi absolut kegagalan pengobatan pada kelompok amoksisilinklavulanat dibandingkan kelompok placebo, dengan menganggap 25% reduksi absolut terjadi
gagal pengobatan pada kelompok placebo, dengan kesalahan tipe I 0,05. Kami merencanakan
untuk menggunakan 320 pasien dengan menghitung 20% kemungkinan pasien mengundurkan
diri dari penelitian.
Metode Kaplan-Meier digunakan untuk menganalisis waktu terjadinya kejadian dengan
menggunakan tes log-rank. Hazard rasio dan konvidens interval dihitung berdasarkan model
regresi Cox. Outcome yang bersifak kategorik dibandingkan dengan menggunakan tes chisquare.
Seluruh analisis dilakukan berdasarkan data populasi dimulainya pengobatan hingga
selesainya pengobatan. Semua penilaian p value secara dua sisi dan tidak bisa digunakan untuk
tes multiple. Seluruh analisis dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.
HASIL
Subjek Penelitian
Total subjek penelitian adalah 319 pasien, dengan 161 pasien dimasukkan pada kelompok
amoksisilin-klavulanat dan 158 pasien pada kelompok placebo. Rata-rata kepatuhan terhadap
obat yang diteliti sekitar 94% yang dinilai berdasarkan catatan buku harian, sedangkan
berdasarkan jumlah obat yang dikembalikan adalah 99% dengan tidak ada perbedaan signifikan
diantara ke-2 kelompok (gambar 1 dan tabel 1).
Outcome Primer
Gagal pengobatan terjadi pada 30 (18.6%) anak dari 161 anak yang mendapat
amoksisilin-klavulanat, dan 71 (44.9%) anak dari 158 anak yang mendapat placebo (p<0.001).
analisis Kaplan-Meier menunjukkan perbedaan kurva dari ke-2 grup sudah tampak sejak
kunjungan kontrol pertama, hari ke-3 (gambar 2A).
Pada kunjungan tersebut, 13.7% anak-anak pada kelompok amoksisilin-klavulanat dan
25.3% anak pada kelompok placebo mengalami kegagalan pengobatan. Jarak kedua kurva makin
melebar selama follow-up dan memuncak pada kunjungan pengobatan terakhir pada hari ke-8.
Secara keseluruhan, amoksisilin-klavulanat menurunkan resiko terjadinya gagal pengobatan
sebesar 62% (hazard ratio 0.38; konvidens interval 95% 0.25-0.59; p<0.001). untuk menghindari
terjadinya gagal pengobatan pada 1 anak, 3.8 anak (konvidens interval 95% 2.7-6.2) perlu
diobati dengan amoksisilin-klavulanat.
Masing-masing komponen dari 6 komponen outcome primer lebih jarang terjadi pada
kelompok amoksisilin klavulanat dibandingkan kelompok placebo. Penentuan gagal pengobatan
berdasarkan kondisi anak secara keseluruhan pada kelompok amoksisilin-klavulanat terjadi pada
27 anak sedangkan kelompok placebo pada 48 anak. Berdasarkan kondisi anak keseluruhan dan
pemeriksaan otoskop tidak didapatkan anak yang mengalami kegagalan pengobatan pada
kelompok amoksisilin-klavulanat sedangkan pada kelompok placebo 6 anak. Didapatkan 2 anak
pada kelompok amoksisilin klavulanat dan 15 anak pada kelompok placebo berdasarkan hasil
pemeriksaan otoskop. Sedangkan berdasarkan alasan apapun untuk menghentikan pemberian
obat yang diteliti adalah 1 anak pada kelompok amoksisilin klavulanat dan 2 anak pada
kelompok plasebo. Pada analisis subkelompok, didapatkan hasil yang serupa pada anak dengan
otitis media akut unilateral dan otitis media akut bilateral.
Outcome sekunder
Pengobatan penanganan dilakukan pada 11 (36.7%) anak dari 30 anak pada kelompok
amoksisilin-klavulanat dan 53 (74.6%) dari 71 anak dari kelompok plasebo yang mengalami
kegagalan pengobatan (p<0.001). Dibutuhkannya pengobatan penanganan menurun sebesar 81%
dengan pengobatan amoksisilin-klavulanat dibandingkan plasebo (hazard ratio 0.19; CI 95%
0.10-0.36;p<0.001). kasus yang membutuhkan pengobatan penanganan terjadi sebesar 6.8% dan
33.5% dari seluruh anak pada kelompok amoksisilin-klavulanat dan pasebo secara berturut-turut.
Otitis media akut kontralateral terjadi pada 13 dari 159 anak pada kelompok amoksisilinklavulanat (8.2%) dan 29 dari 156 anak (18.6%) pada kelompok plasebo p=0.007. tidak ada
perbedaan signifikan antara ke-2 kelompok jika dilihat dari penggunaan agen analgetik atau
antipiretik. Pada anak yang mendapat pengobatan dengan antipiretik dan analgetik rata-rata
waktu untuk sembuh adalah 3.6 hari pada kelompok amoksisilin dan 3.4 hari pada kelompok
plasebo (p=0.45). ketidakhadiran dilaporkan terjadi sebanyak 107 dari 672 (15.9%) hari followup pada kelompok amoksisilin-klavulanat dan 144 dari 568 (25.4%) hari pada kelompok plasebo
(penurunan 9.4 poin presentase; CI 95% -13.9- -4.9; p<0.0001 ). Kehadiran orangtua ke klinik
sehingga absen dari tempat kerja didapatkan lebih sedikit secara signifikan pada kelompok
amoksisilin-klavulanat dibandingkan kelompok plasebo. (81 hari (12.1%) vs 101 hari (17.8%))
penuurunan 5.7 poin presentase; CI 95% - 9,7- -1.8; p=0.005.
Pada kunjungan pengobatan terakhir, didapatkan hasil pengobatan yang lebih baik secara
signifikan pada kelompok amoksisilin-klavulanat dibandingkan kelompok plasebo jika dilihat
dari kondisi anak secara keseluruhan dan pemeriksaan otoskop (p<0.001 untuk ke-2 outcome).
Kondisi anak memburuk atau tidak menunjukkan perbaikan terjadi pada 11 anak (6.8%) dalam
kelompok amoksisilin-klavulanat dibandingkan 29 anak (29.7%) pada kelompok plasebo (ratarata 22.9 poin menurun dengan amoksisiln klavulanat; CI 95% -31.4 sampai -14.4). pemeriksaan
otoskop tidak membaik atau memburuk terjadi pada 8 anak (5%) dan 60 anak (38%) pada
kelompok amoksisilin-klavulanat dan plasebo secara berturut-turut. (menurunkan 33.0 nilai
presentase dengan amoksisilin-klavulanat). Didapatkan 1 anak (0.6%) pada kelompok
amoksisilin-klavulanat dan 10 anak (6.3%) pada kelompok plasebo mengalami perburukan
kondisi berdasarkan kondisi keseluruhan dan pemeriksaan otoskop, dimana 13 anak (8.1%) pada
kelompok amoksisilin-klavulanat dan 4 anak (2.5%) pada kelompok plasebo didapatkan sembuh
secara sempurna berdasarkan kondisi anak keseluruhan danpemeriksaan otoskop (peningkatan
5.5 poin persentase;CI 95% 0.6-10.5).
Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa amoksisilin-klavulanat lebih superior dibandingkan
plasebo dalam pengobatan otitis media akut. Outcome primer, yakni waktu terjadinya kegagalan
pengobatan, incorporated 6 komponen independen, termasuk gejala akut dan pemeriksaan
otoskop yang dibutuhkan untuk diagnosis otitis media akut. Selain itu, komposisi outcome
primer menilai net efek dari pengobatan, karena penilaian kondisi pasien keseluruhan juga
termasuk terjadinya efek samping. Penelitian ini tidak bisa digunakan untuk menilai efek
pengobatan pada tiap komponen dari komposisi outcome primer.
Namun, amoksisilin-klavulanat secara signifikan menurunkan terjadinya 2 komponen,
yaitu perburukan kondisi anak secara keseluruhan dan kurangnya perbaikan dari pemeriksaan
otoskop, serta menurunkan terjadinya perforasi membrane timpani dan infeksi berat.
Pengobatan dengan antimikroba dalam menangani otitis media akut memberikan efek
yang lebih menguntungkan dibandingkann plasebo pada penelitian ini dibandingkan penelitianpenelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan kejadian terjadinya kegagalan
pengobatan lebih tinggi pada kelompok plasebo, dan pengobatan dengan antimikroba
menunjukkan hasil yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Kaleida et al menunjukkan,
kegagalan pengobatan terjadi sebesar 8% pada pasien yang tidak sakit berat dan 24% pada pasien
dengan sakit berat. Perbedaan absolut terjadinya kegagalan pengobatan antara kelompok
antimikroba dan plasebo adalah 4 poin persentase dan 12 poin persentase. Pada penelitian ini,
didapatkan kejadian gagal pengobatan pada kelompok plasebo sebesar 44.9%, dengan perbedaan
pada ke-2 grup sebesa 26 poin persentase. Angka yang dibutuhkan untuk mengobati 1 anak agar
memberikan keuntungan dengan pengobatan antimikroba sebagaimana dihitung dari penelitian
kami adalah sebesar 3.8, dibandingkan 7 dari 17 pada basis metanalisis.
Perbedaan bermakna antara pengobatan dengan amoksisilin-klavulanat dengan plasebo
juga terlihat dari dibutuhkannya pemberian pengobatan penyelamatan. Pada penelitian ini
pemberian pengobatan penyelamatan pada kelompok amoksisilin-klavulanat sama seringnya
dengan penelitian sebelumnya. Sebaliknya, 3 anak dari kelopok plasebo pada penelitian kami
memerlukan pengobatan penyelamatan dibandingkan rata-rata 12% dari penelitian sebelumnya.
Keputusan kami untuk tetap memberikan pengobatan penyelamatan pada anak yang mengalami
perbaikan kondisi namun tidak menunjukan perbaikan pada pemeriksaan otoskop dapat dikritik.
Namun, anak-anak ini masih menunjukan manifestasi klinis otitis media akut setelah 1 minggu
diobservasi. Bahkan ketika anak-anak tersebut sudah dieksklusi dari analisis, anak-anak pada
kelompok plasebo yang memerlukan pengobatan penyelamatan didapatkan secara signifikan
lebih sering dibandingkan kelompok amoksisilin-klavulanat. Lebih besarnya keuntungan yang
diperoleh dengan pengobatan antimikroba pada penelitian ini dibandingkan penelitian
sebelumnya dikarenakan perbedaan metodologi. Pada penelitian ini hanya anak-anak yang
memenuhi kriteria diagnosis yang ketat yang dimasukkan dalam penelitian, dan penelitian ini
tidak mengeksklusi pasien berdasarkan keparahan gejala atau pemeriksaan otoskop. Sebagai
tambahan, kami menggunakan dosis dan spektrum antimikroba yang adekuat.
Perbaikan dari beberapa gejala terjadi lebih cepat pada kelompok amoksisilin
dibandingkan kelompok plasebo. Temuan ini tidak diperkirakan, karena ke-2 kelompok
penelitian mendapatkan agen antipiretik dan analgetik, dan telah disebutkan bahwa gejala
membaik secara spontan. Selain itu, meskipun bakteri dapat ditemukan selalu ditemukan di
telinga tengah pada otitis media akut, gejala-gejala tidak spesifik menunjukkan otitis media akut
tetapi malah menunjukkan gejala infeksi pernafasan tipe virus. Kami menganalisis efek
pengobatan pada gejala dan hasil menunjukkan hal yang sama seperti dikemukakan para ahli
yakni efek amoksisilin-klavulanat terhadap gejala muncul lebih cepat. Efek pengobatan paling
cepat tampak pada penyembuhan demam. Cepatnya perbaikan demam pada hari pertama
pengobatan antimikroba juga didapatkan pada kasus pneumonia anak. Pada penelitian ini, efek
pengobatan terhadap gejala lainnya muncul pada hari ke-2, pada hari ke-3 dan seterusnya
pengobatan penyelamatan dilakukan lebih sering pada kelompok plasebo dibandingkan
kelompok amoksisilin-kalvulanat. Seperti yang dikemukakan Mygind et al, penilaian efek
pengobatan terhadap gejala sebaiknya juga menilai diperlukannya pengobatan penyelamatan
pada pasien dengan gejala berat. Meskipun gejala-gejala tersebut cenderung sembuh secara
spontan seperti yang didapatkan pada penelitian ini. Hasil penelitian kami berbeda dengan
anggapan bahwa pengobatan dengan antimikroba harus ditunda untuk melihat apakah gejalagejala otitis media akan sembuh tanpa pengobatan tersebut.
Karena tidak ada gejala spesifik yang mengarah ke otitis media akut pada anak usia
preverbal, sehingga penting untuk memeriksa efek pengobatan pada tempat terjadinya infeksi,
yakni telinga tengah. Pada akhir pengobatan, pemeriksaan otoskop menunjukkan 5% anak dari
kelompok amoksisilin-klavulanat dan 38% anak dari kelompok plasebo mengalami perburukan
atau tidak ada perbaikan dari pemeriksaan otoskop. Apakah anak-anak tersebeut beresiko
mengalami adanya cairan pada telinga tengah persisten masih merupakan pertanyaan untuk
penlitian di masa mendatang. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian kami sebelumnya
tentang otitis media dengan timpanotomi-tube otthorea yang menunjukkan bahwa pengobatan
antimikroba dapat memperbaiki infeksi pada telinga tengah.
Berdasarkan perspektif yang lain, penelitian ini menunjukkan setengah dari anak
kelompok plasebo tidak mengalami kegagalan pengobatan dan dua per tiganya tidak
memerlukan pengobatan penyelamatan. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak semua pasien
otitis media akut membutuhkan pengobatan antimikroba. Karena itu penting kedepannya untuk
membuat kriteria pasien yang tidak membutuhkan pengobatan antimikroba. Identifikasi penanda
prognosis dan penggunaan kriteria diagnosis yang ketat dapat menurunkan penggunaan
antimikroba pada otits media akut. Penurunan penggunaan obat antimikroba dapat mengurangi
terjadainya resistensi bakteri.
Kesimpulannya, penelitian ini memberikan bukti bahwa pada anak usia 6 sampai 35
bulan, pengobatan untuk otitis media akut dengan spektrum agen antimikroba yang adekuat
seperti amoksisilin klavulanat memberikan keuntungan. Pengobatan dengan agen antimikroba
menurunkan resiko terjadinya kegagalan pengobatan dengan memperbaiki kondisi pasien
berdasarkan kondisi keseluruhan dan pemeriksaan otoskop.
CRITICAL APPRAISAL
Judul
Paula A. Thtinen, M.D., Miia K. Laine, M.D., Pentti Huovinen, M.D., Ph.D.,Jari Jalava, Ph.D.,
Olli Ruuskanen, M.D., Ph.D., and Aino Ruohola, M.D., Ph.D.
Jurnal/Tahun /Volume/ No. :
The New England Journal of Medicine/364/2
ANALISIS PICO
Problem/Patient
Intervention
kontroversial
Amoksisilin-klavulanat
Comparison
Plasebo
Outcome
Validitas
1a. Apakah alokasi pasien terhadap
Ya
[ ]
random.
random ?
Tidak
[]
Ya
tersembunyi ?
[ ]
Tidak
[]
[ ]
pasien
Tidak
[ ]
Ya
[]
dalam hasil/kesimpulan
kesimpulan ? (Apakah
Tidak
Ya
hari
Tidak
[[ ]
Ya
[ ]
randomisasi
dikelompokkan dalam
Tidak
randomisasi ?
[ ]
Ya
[ ]
sama
diperlakukan sama ?
Tidak
[
Ya
[ ]
penelitian ?
Tidak
Applicable
1. Apakah pasien yang kita miliki
Ya
dalam penelitian ?
Tidak
[ ]
Ya
pernafasan
Kriteria inklusi dan eksklusi sesuai
[ ]
Tidak
Ya
[]
Tidak
[
terjadi
Ya
[]
Tidak
5. Apakah intervensi yang akan
]
Ya
[ ]
Tidak
[
Kesimpulan: dari laporan penelitian dapat disimpulkan bahwa laporan penelitian ini valid dan
dapat diaplikasikan
Level of evidence 1B
CRITICAL APPRAISAL
A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT
FOR ACUTE OTITIS MEDIA
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti
Program Pendidikan Klinik Stase Anak
Di RSUD dr.Soeroto Ngawi
Oleh :
Galenisa Falinda Santika Putri
Pembimbing:
Dr. Siswanto Basuki M.Sc, Sp.A
PENDIDIKAN KLINIK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
RSUD DR SOEROTO NGAWI
2014