PENDAHULUAN
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi, kelainan ini berupa pertumbuhan
segitiga horizontal dari jaringan abnormal yang invasi ke kornea dari regio
kantus pada konjungtiva bulbi. (1) Pterigium sering dan berdistribusi pada
daerah dengan iklim panas. Prevalensi kejadian pterigium pada banyak
negara didunia berkisar antara 0,3-29%.
(2)
dunia, tetapi lebih banyak terjadi didaerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi didaerah berdebu dan kering.
Prevalensi tinggi sampai 22% didaerah dekat ekuator dan kurang
dari 2% didaerah diatas 40 lintang.
(3)
(5)
penglihatan,
menyebabkan
penglihatan
ganda
dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Konjungtiva
mata
yaitu
dimana
epidermis
bertransformasi
menjadi
lesi
yang
proliferatif,
(1,8,12,13,14,2,6,15)
infiltrat
Pterigium memiliki
inflamasi,
fibrosis,
(6)
dan prevalensi di
b. Derajat 2 : jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
c. Derajat 3 : jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata.
d. Derajat 4 : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Pterigium juga dapat dibagi berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan penggunaan slit lamp : (6)
a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episklera terlihat jelas.
b. T2 (intermediate) : pembuluh darah episklera terlihat sebagian.
c. T3 (fleshy, opaqoe) : pembuluh darah episkelra tidak jelas.
5. Patofisioligi Pterigium
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan
sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi dan paparan terhadap debu dan angin serta zat iritan lainnya.
UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supresor gene p53 yang
terdapat pada sel basal dilimbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF dan VEGF (vascular endotheliall growth factor) menyebabkan regulasi
kolagenase, migrasi dan angiogenesis. (15,16)
Akibatnya terjadinya perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovascular. Jaringan subkonjungtiva mengalami
degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan
granulasi fibrovaskular dibawah epitel yaitu substansi propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabakan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang
terjadi displasia. (15,16)
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisisensi limbal stem cell, terjadi konjungtivitalisasi pada
permukaan kornea dengan gejala pertumbuhan konjungtiva kearah kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan
akibat
mirip
dengan
pterigium,
dengan
jaringan
pterigium.
Displasia,
seperti
karsinoma
juga
sering
8. Penatalaksanaan Pterigium
a. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa dari pterigium lebih bersifat simptomatik.
Pengobatan yang biasa diberikan berupa penggunaan tetes mata seperti obat tetes
Pembedahan
9. Komplikasi
Komplikasi pterigium : (16)
a. Distorsi atau penglihatan sentral berkurang
b. Mata Kemerahan
c. Iritasi
d. Scar/parut pada konjungtiva dan sklera
e. Diplopia atau penglihaan ganda.
Komplikasi pasca operasi : (23)
a.
Nyeri dan tidak nyaman pada pada
b.
Kosmetik
c.
Penglihatan berkurang
d. Pterigium yang berulang
e. Oembengkakan dan perdarahan akibat jahitan graft yang terbuka
f. Ulserasi kornea atau infeksi
g. Conjungtiva scar
10. Prognosis
Dari segi penglihatan dan kosmetik pasien yang telah dilakukan
eksisi pterigium berptognosis baik. Rasa tidak nyaman pada hari petama
post-operasi masih bisa ditoleransi oleh pasien, dan kebanyakan pasien
setelah 48 jam pertama post-operasi bisa beraktivitas kembali. Pasien
dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
conjungtiva graft atau transplantasi membran amnion. (16)
Pasien dengan risiko tinggi rimbulnya pterigium deperti riwayat
keluarga atau jarena seringnya terkena paparan sinar matahari sangan
dianjurkan menggunakan pelindung seperti kacamata sunblock dan
mengurangi paparan debu atau bhan iritan lainnya. (16,22)
BAB II
LAPORAN KASUS
I.
Identitas Pasien
Nama
Umur
: 52 tahun
Jenis Kelamin
: perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
Alamat
: Ulee-Kareng
No CM
: 0-79-56-27
Tanggal Pemeriksaan
: 29 September 2014
II.
Anamnesis
Keluhan Utama
Riwayat Kebiasaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien melakukan
kebiasaan ibu rumah tangga sebagaimana semestinya dan
pasien memiliki hobi merawat bunga.
III.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Pemeriksaan Oftalmologi
IV.
V.
Kanan
5/12
Normal palpasi
Ortoforia
Kesegala arah
Dalam batas normal
Ada bercak dan berair
Dalam batas normal
Jernih
Cukup
Coklat,
bulat,
isokor,
Pemeriksaan
Visus
TIO
Hirshberg
Gerak Bola Mata
Palpebra
Konjungtiva Bulbi
Konjungtiva Tarsal
Kornea
COA
Iris/Pupil
Kiri
5/12
Normal Palpasi
Ortoforia
Kesegala arah
Dalam batas normal
Ada bercak dan berair
Dalam batas normal
Jernih
Cukup
Coklat, bulat, isokor,
RCL(+), RCTL(+)
Jernih
-
Lensa
Vitreous
Funduscopy
RCL(+), RCTL(+)
Jernih
-
Diagnosa : OS Pterigium
Terapi
: Asam Mefenamat 500 mg tab 2x1
Paracetamol 500 mg tab 3x 1
VI.
Anjuran : Eksisi Pterigium OS
VII.
Diagnosa post operasi :
Pterigium derajat II
VIII. Terapi post-operasi :
Cendoxytrol 1 tts/2 jam
Cefadroxyl 2x500 mg
Asam mefenamat 2x500 mg
Natrium diklofenat 2x1
IX.
Prognosis
Ocular dextra
Qua ad visam
Qua ad sanam
Qua ad vitam
Ocular sinistra
Bonam
Bonam
Bonam
Qua ad cosmetikan
X.
Bonam
Pembahasan
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju konjungtiva menuju
kornea pada daerah intraplapebra. Pterigium tumbu berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. Pterigum umumnya berkembang pada pasien yang
tinggal diiklim panas (iklim tropis dan subtropis).
Secara prevalensi, pterigium lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan
faktor risiko merokok, seringnya paparan dengan lingkungan luar dan
sering terjadi pada keadaan berdebu dan kering. Insiden pterigium
tertinggi pada umur 20-49 tahun. Kejadian pterigiu sangat berhubungan
erat dengan paparan sinar matahari, dan juga bisa disebabkan oleh udara
yang kering, inflamasi dan paparan terhadap debu dan angin serta zat iritan
lainnya. Selain dari proses paparan sinar ultraviolet, pterigium juga terjadi
akibat proses mutagenik. Ultraviolet-B (UV-B) yang merupakan faktor
mutagenic bagi tumor supresor gene p53 yang terdapat pada sel basal
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular
endothelial growth factors) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi dan
angiogenesis.
Pasien dengan visus OD/OS 5/12 dengan keluhan rasa tidak nyaman
atau mengganjal pada mata, mata berair (+), mata merah (+), mata
berlendir (+), silau/photopobia (+), mata berpasir (+), nyeri minimal (+),
mata gatal minimal (+) dan riwayat trauma (+). Pada mata kiri ditemukan
selaput segitiga dinasal dengan apeks melewati limbus dan belum
mencapai limbus.Palpebra dan konjungtiva tarsal dalam batas normal.
Kornea dan lensa jernih, iris/pupil berwarna coklat, bulat, isokor, RCL (+)
dan RCTL (+). Pemeriksaan funduscopy tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologis
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita OS Pterigium Derajat
II.
Penanganan
pada
pasien
pterigium
terdiri
dari
penanganan
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Kanski JJ, Bowling B. Pterigium: Clinical Opthalmology A Systemetic
Approach 7th edition BUtterworth Heinemann: Elsevier; 2011.
2. Leonard PK, Jocelyn LL, Donald THT. Current Concepts abd Technique in
Pterygium Teratment. Current Opinion in Opthalmology. 2007; 18: p. 308313.
3. Donald TT. Pterygium, Clinical Opthalmology-An Asian Perspective, Chapter
3.2 Singapore: Saunders Elsevier; 2005.
4. Waller SG, Adams PA. Pterygium, Duane's Clinical Opthalmology, Chapter
35, Vol 6: Lippincott William and Wilkins; 2004.
5. Waller GS, Adams PA. Pterigium, Duane's Clinical Opthalmology, Chapter
35, Vol 6. Lippincot Williams and Wilkins. 2004;: p. 1-10.
6. Gazzard S, Saw SM, Farook M, Koh D, Widjaja D, Chia SE, et al. Pterygium
in Indonesia :prevalence, severity and risk factors. British Journal
Opthalmology. 2022 July; 86: p. 1341-1346.
7. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GW. Pterigium:Panduan Manjaemen Klinis
Perdami Jakarta: CV Ondo; 2006.
8. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management Of Pterygium. Ophthalmic
Pearls. 2010 NOvemver;: p. 37-38.
9. Lang GK. Conjungtiva In:Opthalmology A Pocket Textbook Atlas New York:
Thieme Stutgart; 2000.
10. Riodan PE. Conjungtiva in Vuhgan and Asbury General Opthalmology,
Chapter 5,6 th Singapore: Mc Graw Hill; 2004.
11. Sihota R, Tandon R. Parsons's Disease Of The Eye India: Elsevier; 2007.
12. Pendergrast D. Pterygia and Pinguecula. Continuing Medical Education. 2006
December; 33(6).
13. Chui J, Girolamo DN, Wakefield D, Coreneo MT. The Pathogenesis of
Pterygium:Current Concepts and Their Therapeutic Implications. The Ocular
Surface. 2008 January; 6(1).
14. Tradjutrisno N. Pterygium: degeneration, exuberant wound healing or benign