Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi, kelainan ini berupa pertumbuhan
segitiga horizontal dari jaringan abnormal yang invasi ke kornea dari regio
kantus pada konjungtiva bulbi. (1) Pterigium sering dan berdistribusi pada
daerah dengan iklim panas. Prevalensi kejadian pterigium pada banyak
negara didunia berkisar antara 0,3-29%.

(2)

Pterigium tersebar diseluruh

dunia, tetapi lebih banyak terjadi didaerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi didaerah berdebu dan kering.
Prevalensi tinggi sampai 22% didaerah dekat ekuator dan kurang
dari 2% didaerah diatas 40 lintang.

(3)

Prevalensi pterigium meningkat

dengan umur, terutama dekade ke 2 sampai ke 3 dari kehidupan. Insiden


tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Rekuren lebih sering pada umur
muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih risiko daripada perempuan
dan berhubungan dengan merokok dan riwayat paparan lingkungan diluar
rumah. (3,4)
Kejadian pterigium di Australia, 44x lebih banyak terjadi didaerah
tropis, 11 x lebih banyak pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9x lebih
banyak pada pasien dengan riwayat tanpa kacamata dan 2x lebih banyak
pada pasien yang tidak memakai topi saat melakukan aktivitas diluar
rumah.

(5)

Sedangkan untuk kejadian pterigium di Indonesia sendiri,

pterigium lebih banyak terjadi didaerah sumatera dengan rata-rata umur


kejadian diatas 40 tahun (6) dengan prevalensi kejadian di Indonesia sekitar
13,1%. (7)
Penanganan dari pterigium terdiri dari penangan medikamentosa,
yang diberikan bila gejala yang ditimbulkan pterigium masih ringan dan
tidak mengganggu penglihatan. Sedangkan, untuk terapi pembedahan
dilakukan bila gejala dari pterigium sudah semakin progresif, sehingga
mengganggu

penglihatan,

menyebabkan

menimbulkan keluhan kosmetik. (8)

penglihatan

ganda

dan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Konjungtiva

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva (9)

Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari mata yang terdiri dari


membran mukosa tipis yang melapisi kelopak mata, kemudian
melengkung melapisi permukaan bola mata dan berakhir pada daerah
transparan pada mata yaitu kornea. Secara anatomi, konjungtiva dibagi
atas 3 bagian yaitu konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbaris dan
konjungtiva forniks. Namun, secara letak areanya, konjungtiva dibagi
menjadi 6 area yaitu area marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan
limbal. Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea pada limbus. (10)
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian, diantaranya : (11)
a. Konjungtiva palpebra
Mulai dari mucocutaneus junction, yang terletek diposterior
kelopak

mata

yaitu

dimana

epidermis

bertransformasi

menjadi

konjungtiva. Dari sini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam


kelopak mata. Konjungtiva pelpebra dibagi atas zona marginal,tarsal dan
orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga
konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dan sistem lakrimalis. Zona tarsal merupakan zona yang
melekat erat pada tarsus konjungtiva yang sangat vaskuler dan translusen.
Terakhir zona orbita, yang dimulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks.
b. Konjungtiva bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari skelra dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat dilihat. Konjungtiva bulbi
melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang
memungkinkan mata bergerak kesegala arah.
c. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan antara konjungtiva tarsal dan bulbi.
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan
arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersamasama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola
arteri membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebralis sehingga
membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva mendapat
persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus dan
relatif sedikit memiliki saraf nyeri. (10)
Fungsi dari konjungtiva sendiri adalah memproduksi air mata,
menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea dan melindungi mata dengan
mekanisme pertahanan non-spesifik berupa barier epitel, aktivitas
lakrimasi dan menyuplai darah.

Selain itu, juga terdapat pertahanan

spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya


jaringan limfoid pada mukosa dan antibodi dalam bentuk IgA. (11)

Pada konjungtiva juga terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi


menjadi dua grup besar yaitu : (1)
a. Penghasil musin
1.
Sel goblet ; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan
pada daerah inferonasal.
2.
Crypts of Henle ;

terletak sepanjang sepertiga atas dari

konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari


konjungtiva tarsalis inferior.
3.
Kelenjer Manz ; mengelilingi daerah limbus
b. Kelenjer asesori lakrimalis, kelenjer Krause dan kelenjer Wolfring
termasuk didalamnya yang terletak dibawah substansi propia.
II. Pterigium
II.1 Pengertian
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
intrapalpebra. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Asal kata pterygium adalah dari bahasa yunani, yang berarti pteron yang
artinya wing atau sayap. Pterigium umumnya berkembang pada pasien
yang tinggal pada iklim panas (iklim tropis dan subtropis), pasien dengan
pinguecula, pasien yang sering terkena paparan sinar ultraviolet (UV) atau
faktor lain seperti mata kering kronis.
karakteristik

lesi

yang

proliferatif,

(1,8,12,13,14,2,6,15)

infiltrat

Pterigium memiliki
inflamasi,

fibrosis,

angiogenesis, neovaskularisasi, dan remodelling ekstraseluler matriks. (13)


II.2Epidemiologi
Prevalensi kejadian pterigium pada banyak negara didunia berkisar
antara 0,3-29%. (2) Pterigium tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak
terjadi didaerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi didaerah
berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah
dekat ekuator, yakni daerah <37 lintang utara dan selatan dari ekuator.
Prevalensi tinggi sampai 22% didaerah dekat ekuator dan kurang dari 2%
didaerah diatas 40 lintang. (3)

Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi


pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke2 sampai ke 3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Rekuren lebih
sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko
daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok dan riwayat
paparan lingkungan diluar rumah. (3,4) Sedangkan untuk kejadian pterigium
di Indonesia sendiri, pterigium lebih banyak terjadi didaerah Sumatera
dengan rata-rata umur kejadian diatas 40 tahun

(6)

dan prevalensi di

Indonesia sendiri terjadi sekitar 13,1%. (7)


II.3Faktor Risiko
Faktor risiko yang sering mempengaruhi kejadian pterigium adalah
lingkungan yang diantaranya yakni radiasi ultraviolet sinar matahari,
iritasi kronik dari bahan tertentu diudara dan faktor herediter. (3,12,2,6)
a. Radiasi Ultraviolet (3)
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah
paparan sinar matahari (sinar UV). Sinar ultraviolet diabsorpsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Lamanya
waktu diluar rumah, keadaan iklim, penggunaan kacamata dan topi
merupakan faktor penting.
b. Faktor Genetik (3)
Berdasarkan penelitian case control, menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
c. Faktor Lain (3)
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area imbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjaadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru dari
patogenesis pterigium. Debu, kelembapan yang rendah dan trauma kecil
dari bahan pertikel tertentu, dry eye dan virus papiloma juga bisa menjadi
penyebab dari pterigium.

II.4Klasifikasi dan Gambaran Klinis

Gambar 2. Pterigium (8)

Sekitar 90% pterigium terletak didaerah nasal. Pterigium nasal dan


temporal dapat terjadi sama pada mata, namun untuk kejadian pterigium
temporal tunggal pada mata jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat
dan perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga
menutup visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. (16)
Pterigium dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu apex (head),
body and cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan
dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut
apex, dan kebelakang disebut cap. (16)
Sedangkan bila ditinjau dari morfologi pterigium, lesi pterigium
mempunyai 7 bagian yang diantaranya :
a. Hood, didepan bagian kepala. Berbentuk sabit, avaskular, berwarna
abu-abu.
b. Fuchs patches, terdapat pada bagian hood. Terlihat seperti bercak
berwarna abu-abu dan berada dibawah epitel kornea.
c. Stokerss line, suatu garis halus berwarna kuning-hijau, bentuk bulan
sabit, terletak pada bagian apex (head). Stokers line merupakan
suatu marker untuk pterigium kronis.

Gambar 4. Stokers Line pada pterigium (17)

d. Apex (head), bagian dari pterigium yang menginvasi kornea.


Berwarna putih, menonjol (raised), berikatan kuat dengan kornea
dan menyebabkan perubahan kecembungan dari kornea.
e. Collarate (collar), terdapat pada semua pterigium (kronis atau akut).
Ditemukan pada bagian limbus.
f. Body, lipatan atau strip dari jaringan yang kaya vaskularisasi.
Berbentuk trapezoid dan memanjang sampai area plica semilunaris.
g. Edge, dibentuk oleh lipatan konjungtiva yang menandakan batas
antara body pterigium dan konjungtiva sekitarnya.

Gambar 3. Morfologi Pterigium (14)


Ket : T = head of pterygium; c = collar of pterygium; C = body of pterygium;
arrow = progressive zone of Fuchs; arrowhead = Fuchss patch

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi menjadi dua tipe


yang diantaranya : (3,16)
a. Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea didepan kepala pterigium (cap pterigium).
b. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular dan akhirnya menjadi
membentuk membran yang tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, tetapi hanya keluhan kosmetik.
Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau
menyebabkan kornea astigmatisme dan menyebabkan pertumbuhan fibrosis
pada tahap regresif. Kadang-kadang terjadi diplopia yang menyebabkan
terbatasnya pergerakan mata. (1,3,16)
Pterigium dapat dibagi atas beberapa tipe, diantaranya : (1)

Gambar 4. Tipe-tipe pterigium


a. Tipe 1 : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stokers line atau deposit besi
dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering
asimtomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan yang lebih cepat.
b. Tipe 2 : menutupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah
operasi dan berpengaruh dengan air mata serta menimbulkan gejala
astigmatisme.
c. Tipe 3 : mengenai kornea lebih dari 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Pterigium dibagi dalam empat derajat (gradasi Younsong) , diantaranya
: (7)
a. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

b. Derajat 2 : jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
c. Derajat 3 : jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata.
d. Derajat 4 : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Pterigium juga dapat dibagi berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan penggunaan slit lamp : (6)
a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episklera terlihat jelas.
b. T2 (intermediate) : pembuluh darah episklera terlihat sebagian.
c. T3 (fleshy, opaqoe) : pembuluh darah episkelra tidak jelas.
5. Patofisioligi Pterigium
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan
sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi dan paparan terhadap debu dan angin serta zat iritan lainnya.
UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supresor gene p53 yang
terdapat pada sel basal dilimbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF dan VEGF (vascular endotheliall growth factor) menyebabkan regulasi
kolagenase, migrasi dan angiogenesis. (15,16)
Akibatnya terjadinya perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovascular. Jaringan subkonjungtiva mengalami
degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan
granulasi fibrovaskular dibawah epitel yaitu substansi propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabakan oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang
terjadi displasia. (15,16)
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisisensi limbal stem cell, terjadi konjungtivitalisasi pada
permukaan kornea dengan gejala pertumbuhan konjungtiva kearah kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan

pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini banyak ditemukan pada


pterigium dan banyak penelitian menunjukkan pterigium merupakan hasil
dari defisiensi atau disfungsi localized interplapebral limbal stem cell.
Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta
proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. (15,16)
6. Diagnosis (8,12,7,18)
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien yang diantaranya:
a. Mata sering berair dan tampak merah dan terkadang juga timbul
rasa gatal
b. Merasa seperti ada benda asing dan merasa tidak nyaman.
c. Timbul gangguan penglihatan berupa astigmatisme

akibat

tertariknya kornea oleh pertumbuhan pterigium


d. Pada pterigium dengan derajat yang lanjut, dapat menutupi pupil
dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
e. Riwayat bekerja diluar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar
matahari yang tinggi
b. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi terlihat pterigium sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva. Pterigium memberikan gambaran yang vaskular
dan tebal tetapi ada juga sebagian pterigium yang avaskular dan flat.
Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
ke kornea dan juga tidak menutup kemungkinan kejadian pterigium dari
arah temporal.
7. Diagnosa Banding
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguecula dan pseudopterigium.
a. Pinguecula

Gambar 5. Pterigium dan Pinguecula (19)

Pinguecula berbentuk kecil, meninggi, massa kekuningan dan


berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intaplapebra
dan kadang-kadang terinflamasi. Pienguecula sering terjadi pada iklim
sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan
perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor risiko utama dari
pinguecula. (16)
b. Pseudopterigium
Psudopterigium

mirip

dengan

pterigium,

dengan

jaringan

fibrovascular scar yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea.


Namun, bedanya dengan pterigium, psuedopterigium terjadinya akibat

inflamasi permukaan okular sebelumya seperti trauma, trauma kimia,


konjungtivitis sikatrik, trauma bedah dan ulkus perifer kornea. (1,16)
Ditinjau dari segi umur, pterigium lebih banyak terjadi pada usia
tua sedangkan pasudopterigium bisa terjadi disemua usia. Pseudopterigium
bisa terjadi disemua sisi pada mata dan pterigium sering terlokalisir
dibagian apertura palpebra. Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau
Fuchs pada kornea sedangkan psudopterigium tidak. Pembuluh darah
konjungtiva lebih menonjol di pterigium daripada di pseudopterigium dan
pada probe test, dengan melakukan probing dengan muscle hook
pseudopterigium dapat dimasukkan sonde dibawahnya sedangkan
pterigium tidak bisa. (20)

Gambar 6. Pseudopterigium (17)

c. Papil pada konjungtivitis vernal juga memberikan gambaran yang


menyerupai

pterigium.

Displasia,

seperti

karsinoma

juga

sering

menggambarkan gejala yang mirip dengan pterigium yang terkadang


berhubungan dengan paparan cahaya matahari dan tumbuh mengarah
kearah limbus. (12) Massa pada limbus lainnya seperti papiloma, squamosa
sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid atau sebaceous
karsinoma yang semunya ini lesi yang muncul mudah dibedakan dengan
pterigium. (16)

8. Penatalaksanaan Pterigium
a. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa dari pterigium lebih bersifat simptomatik.
Pengobatan yang biasa diberikan berupa penggunaan tetes mata seperti obat tetes

mata, dekongestan tetes mata, vasokontriktor dan kortokosteroid. Proteksi mata


yang sakit dengan penggunaan kacamata juga bisa mengurangi perasaan tidak
nyaman pada mata dan menghindari paparan sinar matahari, debu dan asap. (8,12)
b.

Pembedahan

Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Indikasi untuk eksisi pterigum


termasuk

ketidaknyamanan yang menetap, gejala yang mekin memberat,

gangguan penglihatan, ukurannya >3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif


menuju tengah kornea atau aksis visual dan adanya gangguan pergerakan bola
mata. (8,21)
Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal, gambaran
permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering dilakukan untuk
mengangkat pterigium menggunalan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium
kearah limbus. Walupun memisahkan pterigium dengan bare sclera kearah limbus
lebih disukai, namun ini tidak penting untuk memisahkan jaringan tenon secara
berlebihan didaerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan. Oleh
karena itu, trauma tidak sengaja didaerah jaringan otot. Setelah eksisi, kauter
sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. (16)
Beberapa pilihan untuk menutup luka pterigium, diantaranya : (8,21,22)
1. Bare Sclera : tidak ada jahitan atau benang absorbable digunakan untuk
meletakkan konjungtiva ke superfisial sclera didepan insersi rektus.
2. Simple closure : pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif
jika hanya defek kecil dikojungtiva)
3. Sliding flap : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap
konjungtiva, untuk menutup luka.
4. Rotational Flap : Insisi berbentuk U dibuat disekitar luka untuk membentuk
lidah dari konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
5. Conjungtiva Graft : suatu free graft yang biasanya dari konjungtiva superior
dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion Menbran Tranplantasi : mengurangi fkeuensi rekuren pterigium,
mengurangu fibrosis atau scar pada permukaan bola mata dan penelitian
baru mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblas
pterigium. Pemberian mytomicin C dan -irridiation dapat diberikan untuk
mengurangi rekuren.

7. Lamellar keratoplasty excimer laser phototheraupetic keratectomi dan


terbaru dengan menggunakan gabungan angiostatic steroid.

Gambar 7. Pembedahan Pterigium (21)

9. Komplikasi
Komplikasi pterigium : (16)
a. Distorsi atau penglihatan sentral berkurang
b. Mata Kemerahan
c. Iritasi
d. Scar/parut pada konjungtiva dan sklera
e. Diplopia atau penglihaan ganda.
Komplikasi pasca operasi : (23)
a.
Nyeri dan tidak nyaman pada pada
b.
Kosmetik
c.
Penglihatan berkurang
d. Pterigium yang berulang
e. Oembengkakan dan perdarahan akibat jahitan graft yang terbuka
f. Ulserasi kornea atau infeksi
g. Conjungtiva scar
10. Prognosis
Dari segi penglihatan dan kosmetik pasien yang telah dilakukan
eksisi pterigium berptognosis baik. Rasa tidak nyaman pada hari petama
post-operasi masih bisa ditoleransi oleh pasien, dan kebanyakan pasien
setelah 48 jam pertama post-operasi bisa beraktivitas kembali. Pasien

dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
conjungtiva graft atau transplantasi membran amnion. (16)
Pasien dengan risiko tinggi rimbulnya pterigium deperti riwayat
keluarga atau jarena seringnya terkena paparan sinar matahari sangan
dianjurkan menggunakan pelindung seperti kacamata sunblock dan
mengurangi paparan debu atau bhan iritan lainnya. (16,22)

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

Identitas Pasien

Nama

: Cut Hazlina Yusman

Umur

: 52 tahun

Jenis Kelamin

: perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Ulee-Kareng

No CM

: 0-79-56-27

Tanggal Pemeriksaan

: 29 September 2014

II.

Anamnesis

Keluhan Utama

: Rasa mengganjal dikedua mata dan berair.

Riwayat penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan tidak nyaman dikedua
mata/rasa mengganjal dikedua mata. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 6 bulan belakangan. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan matanya berair (+), dan berlendir (+), dan
silau bila terkena cahaya/photopobia(+). Mata merah (+),
mata berasa berpasir (+), nyeri (+), mata gatal minimal (+),
dan penglihatan kabur (+). Riwayat trauma -).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal tidak pernah mengalami keluhan seperti
ini sebelumnya dan menyangkal memiliki penyakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus dan asma.
Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Pasien biasa menggunakan obat tetes mata untk mengurangi
gejala pada matanya

Riwayat Kebiasaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien melakukan
kebiasaan ibu rumah tangga sebagaimana semestinya dan
pasien memiliki hobi merawat bunga.
III.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum

Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: compos mentis

Pemeriksaan Oftalmologi

IV.
V.

Kanan
5/12
Normal palpasi
Ortoforia
Kesegala arah
Dalam batas normal
Ada bercak dan berair
Dalam batas normal
Jernih
Cukup
Coklat,
bulat,
isokor,

Pemeriksaan
Visus
TIO
Hirshberg
Gerak Bola Mata
Palpebra
Konjungtiva Bulbi
Konjungtiva Tarsal
Kornea
COA
Iris/Pupil

Kiri
5/12
Normal Palpasi
Ortoforia
Kesegala arah
Dalam batas normal
Ada bercak dan berair
Dalam batas normal
Jernih
Cukup
Coklat, bulat, isokor,

RCL(+), RCTL(+)
Jernih
-

Lensa
Vitreous
Funduscopy

RCL(+), RCTL(+)
Jernih
-

Diagnosa : OS Pterigium
Terapi
: Asam Mefenamat 500 mg tab 2x1
Paracetamol 500 mg tab 3x 1

VI.
Anjuran : Eksisi Pterigium OS
VII.
Diagnosa post operasi :
Pterigium derajat II
VIII. Terapi post-operasi :
Cendoxytrol 1 tts/2 jam
Cefadroxyl 2x500 mg
Asam mefenamat 2x500 mg
Natrium diklofenat 2x1
IX.

Prognosis
Ocular dextra
Qua ad visam
Qua ad sanam
Qua ad vitam

Ocular sinistra
Bonam
Bonam
Bonam

Qua ad cosmetikan
X.

Bonam

Pembahasan
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju konjungtiva menuju
kornea pada daerah intraplapebra. Pterigium tumbu berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. Pterigum umumnya berkembang pada pasien yang
tinggal diiklim panas (iklim tropis dan subtropis).
Secara prevalensi, pterigium lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan
faktor risiko merokok, seringnya paparan dengan lingkungan luar dan
sering terjadi pada keadaan berdebu dan kering. Insiden pterigium
tertinggi pada umur 20-49 tahun. Kejadian pterigiu sangat berhubungan
erat dengan paparan sinar matahari, dan juga bisa disebabkan oleh udara
yang kering, inflamasi dan paparan terhadap debu dan angin serta zat iritan
lainnya. Selain dari proses paparan sinar ultraviolet, pterigium juga terjadi
akibat proses mutagenik. Ultraviolet-B (UV-B) yang merupakan faktor
mutagenic bagi tumor supresor gene p53 yang terdapat pada sel basal
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular
endothelial growth factors) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi dan
angiogenesis.
Pasien dengan visus OD/OS 5/12 dengan keluhan rasa tidak nyaman
atau mengganjal pada mata, mata berair (+), mata merah (+), mata
berlendir (+), silau/photopobia (+), mata berpasir (+), nyeri minimal (+),
mata gatal minimal (+) dan riwayat trauma (+). Pada mata kiri ditemukan
selaput segitiga dinasal dengan apeks melewati limbus dan belum
mencapai limbus.Palpebra dan konjungtiva tarsal dalam batas normal.
Kornea dan lensa jernih, iris/pupil berwarna coklat, bulat, isokor, RCL (+)
dan RCTL (+). Pemeriksaan funduscopy tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologis
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita OS Pterigium Derajat
II.
Penanganan

pada

pasien

pterigium

terdiri

dari

penanganan

medikamentosa dan pembedahan. Pengobatan medikamentosa bisa berupa

obat tetes mata, dekongestan tetes, vasokontriktor dan kortikosteroid.


Sedangkan pembedahan diindikasikan bila terjadi ketidaknyamanan yang
menetap, gejala yang makin memberat, gangguan penglihatan, ukurannya
>3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif menuju tengah atau aksis visual
dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Umumnya pterigium tumbuh
secara perlahan dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna,
dan karena itu prognosis adalah baik.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Kanski JJ, Bowling B. Pterigium: Clinical Opthalmology A Systemetic
Approach 7th edition BUtterworth Heinemann: Elsevier; 2011.
2. Leonard PK, Jocelyn LL, Donald THT. Current Concepts abd Technique in
Pterygium Teratment. Current Opinion in Opthalmology. 2007; 18: p. 308313.
3. Donald TT. Pterygium, Clinical Opthalmology-An Asian Perspective, Chapter
3.2 Singapore: Saunders Elsevier; 2005.
4. Waller SG, Adams PA. Pterygium, Duane's Clinical Opthalmology, Chapter
35, Vol 6: Lippincott William and Wilkins; 2004.
5. Waller GS, Adams PA. Pterigium, Duane's Clinical Opthalmology, Chapter
35, Vol 6. Lippincot Williams and Wilkins. 2004;: p. 1-10.
6. Gazzard S, Saw SM, Farook M, Koh D, Widjaja D, Chia SE, et al. Pterygium
in Indonesia :prevalence, severity and risk factors. British Journal
Opthalmology. 2022 July; 86: p. 1341-1346.
7. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GW. Pterigium:Panduan Manjaemen Klinis
Perdami Jakarta: CV Ondo; 2006.
8. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management Of Pterygium. Ophthalmic
Pearls. 2010 NOvemver;: p. 37-38.
9. Lang GK. Conjungtiva In:Opthalmology A Pocket Textbook Atlas New York:
Thieme Stutgart; 2000.
10. Riodan PE. Conjungtiva in Vuhgan and Asbury General Opthalmology,
Chapter 5,6 th Singapore: Mc Graw Hill; 2004.
11. Sihota R, Tandon R. Parsons's Disease Of The Eye India: Elsevier; 2007.
12. Pendergrast D. Pterygia and Pinguecula. Continuing Medical Education. 2006
December; 33(6).
13. Chui J, Girolamo DN, Wakefield D, Coreneo MT. The Pathogenesis of
Pterygium:Current Concepts and Their Therapeutic Implications. The Ocular
Surface. 2008 January; 6(1).
14. Tradjutrisno N. Pterygium: degeneration, exuberant wound healing or benign

neoplasm? UNiversa Medicina. 2008 September; 28(3).


15. Solomon AS. Pterygium. British Journal OPthalmology. 2006 June; 90.
16. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Thesis. Medan :
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran; 2009.
17. Subramaniam R. Pterygium. [Online].; 2008 [cited 2014 October. Available
from: www.opthalmology.com.
18. Jerome PF. Medical Scape. [Online].; 2011 [cited 2014 September. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.
19. Center AE. Pterigium dan Pinguecula. [Online].; 2010 [cited 2014 October.
Available
from:
http://aec.com/patient-resources/corneal-externaldisease/pterygium-and-pingu/.
20. Mata PDS. Ilmu Penyakit Mata Jakarta: Sagung Seto; 2002.
21. Opthalmology AAo. Basic and Clinical Science Course, Section 8, External
Disease And Cornea. 20005-2006;: p. 344-405.
22. Hossain P. Pterygium Surgery. Focus : The Royal College Of Opthalmologist.
2011.
23. Pterygium
:patient
Information.
Pterygium/Opthalmology/SDHCNHSFT/13/11/review date11/15. .

Anda mungkin juga menyukai