Anda di halaman 1dari 18

5

BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1. Orbita
Orbita adalah suatu rongga yang berisikan bola mata dengan jaringan lunak sebagai
bantalan bola mata. Rongga tersebut berbentuk piramid, yang memiliki dasar berbentuk
kuardrangular terbuka disebelah anterior, berukuran 4 cm horizontal dan 3,5 cm vertikal. Atap
orbita memiliki bentuk triangular. Dinding medial orbita berjarak 2,5 cm satu sama lainnya, dan
dinding lateralnya saling membentuk sudut dengan fossa lakrimal yang terletak pada kedalaman
2 cm. dinding orbita terdiri 7 macam tulang, yaitu tulang etmoid, frontal, lakrimal, maksila,
palatum, sphenoid dan zigomatik. Para ahli membagi rongga orbita menjadi 4 bagian, yaitu atap
orbita, dinding lateral, dinding medial dan dasar orbita.9-11

2.2. Tumor Orbita


Jenis tumor orbita: 9,12
1. Tumor orbita primer
Tumor orbita primer adalah tumor orbita yang berasal dari jaringan orbita sendiri. Tumor
orbita ini dapat bersifat jinak maupun ganas.
2. Tumor orbita sekunder
Tumor orbita sekunder adalah tumor orbita yang berasal dari berbagai organ lain di
tubuh. Sifat tumor ini biasanya ganas. Proptosis yang terjadi biasanya biasanya disertai
destruksi tulang orbita dan dapat terjadi oftalmoplegi.
3. Tumor epitel
Tumor orbita yang berasal dari jaringan epitel, yang termasuk jenis ini adalah karsinoma
sel basal atau basalioma, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna, adenokarsinoma.
Jenis-jenis tumor ini sering bersifat ganas.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan asal jaringan dan sifat tumor, dapat dibagi 4 kelompok yaitu tumor primer
jinak orbita, tumor primer ganas orbita, tumor epitel sekunder orbita, dan tumor invasi atau
metastasis.

2.3. Palpebra
Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungin
struktur-struktur mata yang rentan. Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulit disini paling
tipis diantara kulit di bagian lain. Muskulus orbikularis oculi melekat pada kulit. Permukaan
dalamnya disyarafi nervus facialis (nervus VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra.
Otot disini terbagi dalam bagian orbital, preseptal, dan paratarsal. Bagian orbital, yang terutama
berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertion temporal. Otot
praseptal dan paratarsal memiliki kaput medial superfisial dan profundus, yang turut serta dalam
pemompaan air mata.10
Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada palpebra inferior.
Sebuah alur yang dalam, biasanya diposisi tengah palpebra superior pada orang Caucasian,
merupakan tempat perlekatan serat-serat otot levator. Alur ini jauh lebih dangkal atau bahkan
tidak ada pada palpebra orang Asia. Dengan meningkatnya usia, kulit tipis palpebra superior
cenderung mengantung diatas alur palpebra itu sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga
menipiskan septum orbital sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya.11-13
Tumor pada mata dapat dibagi dua, tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak palpebra
sangat umum dan frekwensinya dengan bertambah semakin meningkatnya usia. Kebanyakan
mudah dikenali di klinik, dan eksisi dilakukan dengan alasan kosmetik. Meskipiun begitu
seringkali lesi ganas sulit dikenalin secara klinik, dan biopsi harus selalu dilakukan jika ada
kecurigaan keganasan.11-13
Tumor ganas palpebra, karsinoma sel basal dan sel skuamosa palpebra adalah tumor mata
ganas paling umum. Tumor-tumor ini paling sering terdapat pada orang bercorak kulit terang
atau kuning langsat yang terpajan menahun terhadap sinar matahari. Sembilan puluh lima persen

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

karsinoma palpebra adalah dari jenis sel basal. Sisa 5% terdiri atas karsinoma sel skuamosa dan
karsinoma kelenjar meibom.14
Karsinoma sel basal, umumnya tumbuh lambat dan tanpa sakit, berupa nodul yang tidak
atau dapat berulkus. Karsinoma ini secara perlahan menyusupin ke jaringan sekitar namun tidak
bermetastasis. Studi potong-beku tepian irisan terutama penting untuk karsinoma sel basal
bersklerosis, karena tepian tumor secara klinis tidak nyata. Eksisi yang dikontrol secara
mikroskopik (teknik Mohs yang dimodifikasi), dipakai sejumlah ahli penyakit kulit untuk
mendapatkan eksisi total. Kasus tertentu dapat diobatin dengan cara seperti radioterapi dengan
nitrogen cair 14,15
Karsinoma sel skuamosa juga tumbuh lambat dan tanpa rasa sakit, seringkali berawal
sebagai sebuah nodul hiperkeratotik, yang dapat berulkus. Tumor radang jinak seperti
keratokanthoma sangat mirip karsinoma. Diagnosis tepat tergantung pada biopsi. Seperti
karsinoma sel basal, tumor ini dapat menyisip dan mengkikis jaringan sekitarnya, mereka dapat
pula menyebar ke limfonodus regional melalui sistim limfatik.17

Gambar 1.1 Karsinoma sel skuamosa 2

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Karsinoma kelenjar sebasea, paling sering muncul dari kelenjar meibom dan kelnjar Zeis,
namun dapat pula muncul dalam kelenjar sebasea alis mata atau karunkulum. Separuhnya mirip
lesi dan kelainan radang jinak seperti chalazion dan blepharitis menahun. Karsinoma ini lebih
agresif dari karsinoma sel skuamosa, sering meluas kedalam orbita, memasuki pembuluh limfe,
dan bermetastasis.17,18
Sarkoma jaringan lunak pada orbita jarang dan biasanya berupa perluasan ke anterior
tumor-tumor orbita. Rhabdomiosarkoma palpebra dan orbita adalah tumor ganas primer paling
umum di temukan dijaringan ini dalam dekade pertama kehidupan. Tumor palpebra adalah tanda
pertama. Kombinasi radioterapi biasanya efektif untuk mempertahankan fungsi mata dan
menghindari kematian.18
Melanoma ganas palpebra serupa dengan melanoma kulit dibagian lain dan terdiri atas tiga
golongan berbeda: melanoma yang menyebar superfisial, melanoma ganas lentigo, dan
melanoma nodular. Tidak semua melanoma ganas berpigmen. Kebanyakan lesi yang berpigmen
pada kulit palpebra bukan melanoma. Karenanya harus di biopsi untuk menegakkan diagnosis.
Prognosis melanoma kulit tergantung kedalaman invasi atau kedalaman lesi. Tumor dengan
kedalaman kurang dari 0,76 mm jarang bermetastase.18
Tumor dan pseudotumor (non-spesific orbital inflamtion, idiopathic orbital inflammation
atau orbital inflammatory syndrome) kadang kala sangat sulit dibedakan. Pseudotumor adalah
lesi inflamasi yang menyerupai lesi neoplastik terdiri dari respon sel pleomorfis dan reaksi
jaringan fibrovaskular tanpa diketahui penyebabnya, baik local maupun sistemik.19-22
Pseudotumor pertama sekali dideskripsikan oleh Birch-Hirscfield pada tahun 1905
terhadap sindrom dengan gambaran klinis jinak atau neoplasma ganas yang pada saat dilakukan
eksplorasi bedah dan biopsy didapatkan jaringan inflamasi. Diagnosis ini kemudian meluas
menjadi keranjang sampah penyakit lain yang sulit di diagnosis pada saat itu. Dengan
berkembangnya metode diagnosis tumor mata, spectrum pseudotumor semakin menyempit.
Defenisi pseudotumor pada literature terkini adalah inflamasi orbita non spesifik tanpa
ditemukannya penyebab spesifik baik local maupun sistemik.20,21
Pseudotumor merupakan lesi jinak yang sering ditemukan di orbita. Pada sebuah seri
tumor orbita selama 50 tahun terdapat 83 pasien dengan diagnosis pseudotumor atau insidennya

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

mencapai 4,6% dari total tumor orbita. Insiden yang sebenarnya di perkirakan lebih tinggi karena
sejumlah besar kasus tidak dibiopsi.22 Shields dkk23 yang melakukan survey terhadap 1264
pasien dalam periode 30 tahun di Wills Eye Hospital mendapat pseudotumor pada 98 kasus (8%)
Patogenesis pseudotumor dipahami bersamaan dengan ditelitinya mekanisme inflamasi.
Makrofag memproses dan mempersentasekan antigen untuk limfosit T helper untuk mengawalin
respon imun seluler. Pada T helper berproliferasi dan memproduksi sitokinin dan mengakibatkan
sel T efektor bertambah banyak dan mengakibatkan lisis sel. Sitokinin yang dihasilkan akan
menarik dan mengaktifkan makrofag. Sitokini selain mengakibatkan lisis sel yang mengandung
antigen, juga mengakibatkan kerusakan jaringan dan fibrosis secara klinis didapatkan sebagai
nyeri orbita, pembengkakan dan menurunkan fungsi. Pada saat yang bersamaan, respon humoral
diawalin dimana sel B berproduksi, sebagian membentuk folikel, sebagian lagi berubah menjadi
sel plasma yang membentuk antibodi. Apabila jaringan mengalami perbaikan, maka akan tampak
gambaran peradangan kronis.23

Gambar 2.1 Patogenesis pseudotumor5


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

10

2.4. Protrusi Bola Mata


Protrusi bola mata diukur dari puncak kornea menuju garis sejajar yang dilalui oleh kedua
titik margin rima orbita lateral.
2.4.1. Proptosis
Proptosis adalah peningkatan yang abnormal dari nilai protrusi bola mata. Eksoftalmus
adalah proptosis yang biasanya disertai dengan kelainan kelenjar tiroid, sedangkan enoftalmus
adalah penurunan abnormal nilai protursi bola mata.2 Pseudoproptosis disebabkan akibat
penonjolan bola mata yang bukan disebabkan peningkatan isi bola mata. Penyebab dari
pesudoproptosis adalah antara lain membesarnya bola mata akibat myopia tinggi, kelemahan
atau parese otot ekstra ocular, enoftalmos mata sebelahnya, ukuran orbita yang tidak simetris,
fisura palpebra yang tidak simetris (umumnya akibat kelopak mata ipsilateral atau parese saraf
wajah atau ptosis kontralateral).26
Ada studi biopsi terhadap kasus proptosis pada anak-anak yang dilakukan oleh Shields
dkk, mendapatkan bahwa 85% kasus proptosis disebabkan oleh lesi jinak seperti kista, lesi
inflamasi, atau hamartoma. Rabdomiosarkoma, retinoblastoma, dan leukemia terdapat pada
sisanya 25% kasus proptosis.27
Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28
Jenis Lesi

Jumlah

Persentase (%)

Selulitis orbita

22

38,6

Glioma saraf optic-kiasma optikum

14,1

Graves ophthalmopati

14,1

Rabdomiosarkoma orbita

12,3

Neuroblastoma metastasis

7,0

Neurofibroma orbita

5,2

Hemangioma orbita

3,5

Sarcoma Ewing (metastase)

3,5

Kista dermoid orbita

1,7

Total

57

100

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

11

Abnormalitas kraniofasial akibat trauma wajah atau kelainan congenital dapat menyebabkan
proptosis
2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata
Tindakan pengukuran protrusi mata disebut eksoftalmometri. Teknik eksoftalmometri ini
merupakan teknik pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien dengan kelainan orbita.
Terdapat 3 jenis pengukuran eksoftalmometri, yaitu:2
a. Eksoftalmometri absolut, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan nilai
rerata standar yang ada. Eksoftalmometri absolut sangat penting dalam diagnosis
proptosis bilateral, karena pada keadaan ini protrusi kedua mata.
b. Eksoftalmometri relatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan mata
sebelahnya pada individu yang sama. Eksoftalmometri relative penting dalam diagnosis
proptosis unilateral. Sebagian besar penelitian yang telah ada mendapatkan nilai relatif
protrusi bola mata yang tidak lebih dari 2 mm
c. Eksoftalmometri komparatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan
mata yang sama dalam periode waktu tertentu. Eksoftalmometri komparatif penting
dalam memonitor perubahan besar protrusi seiring waktu yang berjalan, sehingga dapat
mengikutin progresifitas proptosis tersebut.
Pada beberapa studi, pengukuran luar daerah orbita atau fotografi teleh dilakukan
untuk mengukur anatomi mata dan daerah sekitar wajah. Namun, teknik ini tidak dapat
menggambarka tulang dan jaringan lunak secara akurat.29
Alat eksoftalmometri hingga saat ini yang paling sering digunakan adalah Hertel
eksoftalmometri, namun alat ini sulit dipakai apabila terdapat kelainan pada rim orbita
lateral, seperti pada pasien dengan riwayat pengambilan tulang rima orbita lateral pada
dekompresi orbita dan pengangkatan tumor orbita.30

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 3.1. Cara pemeriksaan Hertel Eksoftalmometri pada Pasien31

Bogren dkk22 membandingkan Hertel eksoftalmometri dengan teknik pengukuran


secara radiografik. Mengukur dengan teknik radiografik pada protrusi bola mata secara
akurat dan sensitif. Namun, pengukuran ini sangat rumit dan mahal. Hertel eksoftalmometri
yang digunakan sebagai pembanding teknik radiografik tersebut dinyatakan lebih mudah
digunakan dan lebih siap sedia untuk kepentingan klinis. Hertel eksoftalmometri telah
banyak digunakan oleh para klinisi untuk menentukan protrusi bola mata pasien.22 Pada
tahun 2001, Kim dan Choi25 membandingkan pengukuran oleh CT Scan orbita dengan
Hertel eksoftalmometri di Korea dan menentukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
antara kedua alat ukur tersebut.
2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata
Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa parameter orbita seperti jarak rima orbita
lateral dan jarak antara pupil memiliki korelasi positif dengan nilai protrusi bola mata.2,9,21,25
Namun usia, jenis kelamin, antropometri tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan status
refraksi masih memberikan variasi terhadap nilai protrusi bola mata. Panjang sumbu bola mata
diduga juga memiliki hubungan dengan nilai protrusi bola mata.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

13

2.5.1. Usia
Fledelius dkk9 pada tahun 1986 meneliti perubahan posisi bola mata seiring pertumbuhan
dan saat dewasa pada subjek dengan rentang usia 5-80 tahun. Pada penelitiannya ditemukan
bahwa terdapat hubungan liniar antara nilai protrusi bola mata dengan usia hingga usia 20 tahun,
selanjutnya nilai protrusi bola mata menjadi stabil.
Nucci dkk6 pada penelitinnya menilai protrusi bola mata pada anak usia 3-10 tahun di Itali
dan menemukan rerata nilai protrusi bola mata pada kelompok usia 3 tahun adalah 9,111,57
mm, 9,942,04 mm untuk kelompok usia 5 tahun, 11,301,35 mm dan 11,671,38 mm pada
kelompok usia 10 tahun. Pada penelitian ini tampak rerata nilai protrusi bola mata keliatannya
stabil setelah usia 7 tahun.
Sodihi dkk15 mendapatkan nilai protrusi bola mata pada rentang usia 3-10 tahun secara
linier meningkat kemudian menurun pada dekade kedua dan meningkat lagi pada dekade ketiga.
Nilai protrusi bola mata stabil setelah dekade ketiga dan keempat. Peningkatan nilai protrusi bola
mata pada dekade kedua hingga dekade ketiga diduga akibat peningkatan deposit lemak.
Ghozi dkk8 tahun 1984 meneliti nilai protrusi bola mata pada subyek di Jogyakarta. Pada
kelompok usia 6-12 tahun memiliki nilai protrusi bola mata sebesar 16,421,77 mm pada lakilaki dan 16,641,96 mm pada perempuian. Pada penelitian ini tidak terlihst adanya hubungtan
antara nilai protrusi bola mata dengan usia. Namun di Indonesia maupun di luar negeri ada
beberapa studi

yang btelah dilakukan maka terdapat perbedaan pola hubungtan antara nilai

protrusi bola mata dengan usia yang dapat disebabkan pertumbuhan orbita dan ras.
2.5.2. Jenis Kelamin
Waever dkk29 menemukan bahwa parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi
bola mata dari rima orbita lateral, protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior,
perimetri rima orbita memiliki ukuran yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita. Chan
dkk4 dan Quant dkk22 menemukan bahwa laki-laki memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan wanita. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki postur
tubuh yang lebih besar dibandingkan wanita.21 penelitian yang dilakukan Ghozi di Jogjakarta

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

14

tahun 1984 ditemukan nilai protrusi bola mata secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki
daripada wanita.8
Kaye dkk32 meneliti 462 pasien dengan rentang usia 9-82 tahun dan menemukan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan wanita.
Tsai dkk33 mendapatkan perbedaan signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan
wanita.
Pengaruh jenis kelamin terhadap nilai protrusi bola mata masih kontroversi. Hal ini diduga
terjadi karena pengaruh ras.
2.5.3 Antropometri
Peyster dkk34 menemukan bahwa pada pasien dengan obesitas, terdapat peningkatan lemak
orbita dibandingkan pasien normal. Wear dkk29 meneliti antropometri orbita dan mata pada 39
subjek dengan ras Kaukasia. Mereka melakukan analisis korelasi multivariat antara tinggi badan
dengan parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral,
protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior, perimetri rima orbita) dan menemukan
bahwa tinggi badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi adanya variasi antropometri
orbita.
Smoldrers dkk4 penelitiannya berupa nilai protrusi bola mata pada subjek dengan
IMT 30kg/m2 dan dibandingkan dengan control 26>IMT 20 kg/m2. Mereka menemukan
bahwa pasien obesitas memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih tinggi serta diameter otot
rektus medial yang lebih besar. Hal ini diduga akibat meningkatnya ukuran leak retro orbita dan
otot intraorbita pada subjek dengan IMT

30kg/m2

Kaskouli dkk21 pada penelitiannya ditemukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara
protrusi bola mata dengan tinggi badan dan berat badan pada kelompok anak-anak, sedang pada
kelompok remaja ditemukan korelasi yang signifikan dengan tinggi badan dan berat badan.
Inkonsistensi hubungan nilai protrusi bola mata dengan antropometri (tinggi badan, IMT)
diduga akibat dari jumlah sampel yang sedikit dari penelitian-penelitian yang sudah ada.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

15

2.5.4. Parameter Orbita


Beberapa penelitian menemukan korelasi linear yang positif antar nilai protrusi bola mata
dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil.21,22,32 Hal ini diduga akibat lebih landainya
rongga orbita pada jarak rima orbita lateral yang lebih besar. Meskipun nilai protrusi bola mata
dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil memiliki korelasi yang positif, keadaan
tersebut bukan sesuatu proses sebab akibat, namun merupakan hal yang terjadi bersamaan.21
2.5.5. Ras dan Etnis
Penelitian di berbagai negara telah dilakukan dalam upaya pencarian nilai normal protrusi
bola mata. Kashkauli dkk21 meneliti nilai proetrusi bola mata di Iran dan menemukan rerata nilai
protrusi bola mata sebesar 14,21,8 mm pada kelompok anak-anak. Quant dkk22 mendapat nilai
protrusi bola mata pada anak di Hongkong sebesar 15-17mm. Fledelius dkk9 meneliti nilai
protrusi bola mata pada ras Kaukasia pada tahun 1986. Mereka mendapatkan nilai protrusi bola
mata pada kelompok usia 5-10 tahun sebesar 13,61,75 mm untuk perempuan dan 13,71,4 mm
untuk laki-laki. Sodhi dkk15 meneliti nilai protrusi bola mata pada populasi India, mereka
menemukan rerata nilai normal protrusi bola mata kelompok usia 3-10 tahun pada jenis kelamin
laki-laki adalah 13,02 mm (mata kanan) dan 13,09 mm (mata kiri), sedangkan pada jenis kelamin
perempuan adalah 13,06 mm (mata kanan) dan 13,03 mm (mata kiri).
Berdasarkan berbagai ;penelitian yang telah dilakukan, tampak variasi nilai normal
protrusi bola mata menurut ras atau etnis dilokasi geografis tertentu. Nilai normal protrusi bola
mata yang sesuai dengan ras atau etnis setempat dibutuhkan sebagai evaluasi adanya kelainan di
orbita juga untuk menilai keberhasilan pengobatan kelainan di orbita.
2.5.6. Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata
Status refraksi menyatakan status bayangan yang terbentuk pada posisi tertentu dari retina.
Status refraksi terdiri dari emetropia dan ametropia. Emetropia adalah status refraksi dimana
cahaya sejajar dengan datang dari objek jauh tak terhingga sampai tepat di retina pada mata yang
tidak berakomodasi. Ametropia adalah keadaan selain emetropia. Ametropia dibagi menjadi
aksial dan refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata cenderung lebih panjang pada myopia, dan
lebih pendek hipermetropia. Pada ametropia refraktif, panjang sumbu bola mata umumnya

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

16

normal, namun kekuatan refraksi bola mata yang asbnormal. Pada myopia refraktif kekuatan
refraksi tinggi sedangkan pada hipermetropia kekuatan refraksi rendah.
Faktor biometri yang mempengaruhi status refraksi yaitu kurvatura kornea, kedalaman bilik
mata depan, ketebalan lensa, panjang vitreus, dan panjang sumbu bola mata.35 Faktor genetik
memiliki korelasi yang signifikan terhadap kejadian myopia. Faktor lingkungan seperti aktifitas
lihat dekat, status antropometri, tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan dengan kejadian
myopia. Saw dkk36 pada penelitian terlihat bahwa tinggi badan berhubungan dengan refraksi
yang lebih negative/myopia. Berat badan yang lebih besar dan anak yang lebih obesitas
cenderung memiliki refraksi kearah hiperopia. Penemuan tersebut bervariasi berdasarkan jenis
kelamin. Nora dkk35 menemukan bahwa obesitas juga memperlihatkan hubungan dengan
kejadian myopia walaupun kekuatan hubungan lemah. Penelitian ini tidak mendapatkan
hubungan tinggi badan terhadap kejadian myopia.36
Quant dkk22 pada penelitiannya memasukkan subjek dengan semua status refraksi dan
menemukan bahwa status refraksi memiliki korelasi negatif lemah dengan nilai protrusi bola
mata. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah subjek dengan myopia tinggi. Penelitian ini juga
menemukan bahwa panjang bola mata dan status refraksi memiliki korelasi yang kuat pada
subjek anak-anak di Hongkong. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai protrusi bola mata
pada myopia tinggi. Sehingga dalam menilai protrusi bola mata, perlu mempertimbangkan status
refraksi juga.
Chan dkk4 pada tahun 2009 melakukan penelitian yang merupakan studi berbasis populasi
pertama yang menilai hubungan protrusi bola mata dengan biometri. Penilaian biometri dan
status refraksi yang dilakukan oleh Chan dkk dapat menganalisa peran panjang sumbu bola mata
terhadap pseudoproptosis. Mereka menemukan bahwa meskipun terdapat korelasi positif antara
derajat miopia dengan panjang bola mata, namun spherical equivalent tidak berhubungan dengan
protrusi bola mata. Pada analisis regresi mereka menemukan bahwa panjang sumbu bola mata
merupakan faktor prediktor bebas terhadap nilai protrusi bola mata, sedangkan status refraksi
tidak mempengaruhi nilai protrusi bola mata secara signifikan.4

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

17

2.6. Pengobatan Tumor Orbita


Pengobatan yang diberikan pada penderita tumor orbita tidaklah sama, tergantung dari
jenis tumor dan stadium pada saat tumor ditemukan. Pada tumor jinak, tindakan pembedahan
mudah dilakukan tanpa mengganggu bola mata, sehingga penglihatan dan kosmetik wajah tidak
terganggu. Namun bila pada pemeriksaan mikroskopik dan patologi anatomi (PA) menunjukkan
tanda-tanda keganasan, maka harus segera dilakukan pengangkatan secara radikal dan
eksenterasi, yaitu membuang tumor beserta seluruh isi dan jaringan yang ada di dalam rongga
orbita, termasuk bola mata dan periosteum dinding orbita. Pada tumor yang sudah stadium lanjut
dan sudah terdapat metastatasis sistemik atau intrakranial, tidak lagi dilakukan tindakan operatif,
melainkan dengan tindakan radioterapi atau kemoterapi.7,13

2.7. Eksenterasi Orbita


Eksenterasi orbita adalah tindakan pengangkatan seluruh isi bola mata, jaringan lunak
orbita, periosteum dinding orbita, beserta kelopak mata.7,14-16

2.7.1. Teknik operasi eksenterasi orbita


Operasi eksenterasi orbita ada 2 jenis, yaitu:
1. Eksenterasi orbita total
Sesuai dengan defenisi pembedahan diatas pada eksenterasi total, kelopak mata tidak
ditinggalkan. Teknik operasi eksenterasi orbita total: dengan melakukan insisi
sepanjang rima orbita, pada perbatasan periosteum dan periorbita, yang dilanjutkan
dengan pengelupasan periorbita untuk dapat segera mengeluarkan isi orbita, lalu
dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin di daerah apeks. Insisi
permulaan dapat dilakukan di kuadran mana saja, tetapi lebih sering di lakukan
didaerah yang kurang vaskularisasinya. Daerah yang kurang vaskularisasinya berada di
kuadran temporal. Pada saat insisi, perdarahan yang terjadi cukup banyak dan dapat
merepotkan ahli bedah. Untuk mencegah perdarahan itu teknik operasi yang lebih

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

18

disukai adalah operasi dengan menggunakan CO2 laser. Insisi dapat dilakukan
sekaligus dengan cepat dapat memperhatikan perdarahan yang terjadi, kecuali yang
berasal dari arteri. Perdarahan akan segera berhenti pada saat periorbita dan periosteum
telah diangkat dan setelah amputasi dilakukan didaerah apeks. Tetapi perdarahan masih
dapat terjadi setelah pengelupasan periosteum, karena darah berasal dari pembuluh
darah infra orbita superior dank anal optik. Perdarahan dari sumber ini dapat diligasi
atau dikauterisasi. 7,14,15
2. Eksenterasi orbita subtotal
Eksenterasi subtotal merupakan modifikasi dari eksenterasi total (klasik), dengan tidak
mengangkat kelopak mata. Eksentersi subtotal biasanya dilakukan pada tumor orbita
yang terlokalisir, berbatas tegas, satu nodul dan belum berinvasike kelopak mata.
Sebagai contoh, tumor epibulbar yang belum bereksistensi ke palpebra dapat di batasi
dengan mengangkat isi orbita saja. Umumnya para penderita lebih memilih
pembedahan eksenterasi subtotal daripada eksenterasi total. Tetapi pada beberapa
tumor ganas tindakan eksenterasi subtotal tidak dibenarkan, walaupun tumor masih
dalam stadium dini. Teknik operasi eksenterasi orbita subtotal, bola mata dan jaringan
orbita atau tumor epibulbar diangkat sekaligus. Insisi dilakukan mengelilingin daerah
forniks, dilanjutkan dengan melakukan pengelupasan periorbita untuk dapat
mengeluarkan isi orbita, lalu dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin
di daerah apeks. Untuk mengatasi perdarahan, dilakukan ligasi dan kauterisasi sama
seperti teknik operasi eksenterasi total.7,14,15

2.8. Kornea
Kornea adalah jaringan yang bersifat transparan dan avaskular, berfungsi membiaskan
dan meneruskan cahaya kedalam bola mata serta melindungi bagian dalam bola mata dari
lingkungan luar. Kornea memiliki diameter horizontal 11-12 mm dan vertikal 9-11 mm.10/24
Kornea mempunyai bentuk kurvatura yang prolate.25 Bentuk prolate dari kurvatura kornea akan
mengakibatkan bagian sentralnya lebih steep dan kekuatan refraksi lebih besar daripada bagian
perifer. Kekuatan refraksi bagian perifer lebih kecil daripada begian sentral mengakibatkan sinar

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

19

yang melalui kornea bagian perifer akan direfraksikan tidak sekuat sinar yang melalui bagian
sentral kornea.26
Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit25
Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang menyerupai
epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan
epitel kornea. Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan
melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat
ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.25
Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan
heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal
merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.25,26
Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein
pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.

Gambar 3. Lapisan kornea2

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

20

2.9. Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks dimata. Untuk melihat, mata harus berfungsi
sebagai suatu alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks dan sebagai suatu transducer yang
efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu merubah rancangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus
dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan
yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut, sel
ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.
Diretina perifer banyak fotoreaseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan
sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti ini adalah bahwa makula
terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian
retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama
penglihatan perifer dan malam (skotopik).7

Gambar 3. Retina
Retinoblastoma adalah tumor masa anak-anak yang jarang tetapi dapat fatal. Dua pertiga
kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, walaupun jarang dilaporkan. Retinoblastoma dapat
tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma endofitik kemudian meluas
kedalam korpus vitreum. Kedua jenis ini secara bertahap akhirnya mengisi mata dan meluas

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

21

melalui saraf optikus ke otak dan disepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emirasi di sklera ke
jaringan orbita lainnya. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma besar. Mata dengan
tumor yang berukuran lebih kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi
plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi. Kadang-kadang diperlukan kemoterapi
untuk penanganan kasus rekuren, terutama untuk menyelamatkan mata kedua pada kasus
bilateral apabila mata pertama telah dienukleasi, dan untuk penyakit metastatik. 7
Pada retina sering juga terjadi tumor, misalnya retinoblastoma yang terjadi pada anak.

Gambar 4. Retinoblastoma dan Gambaran CT Scan 2


Kasus retina blastoma banyak terjadi pada anak-anak dibawah 1 tahun. Gejala awal dari
retinoblastoma adalah mata penderita seperti mata kucing, dan biasanya anak tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

22

merasa sakit, juga orangtuanya tidak menyadarinya kalau retinoblastoma sudah menyerang
anaknya, Gejala akan terlihat bila retinoblastoma ini sudah stadium lanjut. Maka perlunya
memberikan informasi mengenai retinoblastoma ini ke masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai