Anda di halaman 1dari 16

Kampus Tercinta IISIP Jakarta

Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

JEPANG DAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI BARU


Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi Model Taiwan

Makalah Kelompok 7
Disusun Oleh:

Sela Prihanjani

2011230025

Reykha Mega Pratiwi

2011230063

Redita Adenisty

2011230006

Agung Dwi Saputra

2011230090

Wesley J. J.

2010230055

2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada abad ke-21 ini, dikenal juga dengan sebutan The Pasific Century yang
menjelaskan bahwa perputaran perekonomian dunia sekarang sedang digalakkan
olehNegara-negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik, khususnya dominasi
keberhasilan negara-negara di wilayah Asia Timur. Seperti kita ketahui bahwa Jepang
adalah negara industri yang termaju di Asia. Banyak perusahaan-perusahaan besar
multinasional Jepang yang telah mendunia, seperti beberapa contoh diantaranya
adalah: SONY, HONDA, HITACHI dan sebagainya. Adanya nilai-nilai paham
Konfusianisme yang menjadi jiwa dan membentuk karakter masyarakat Jepang
diyakini sebagai salah satu cikal bakal faktor mendasar dibalik kemajuan Jepang saat
ini hingga bisa menjadi negara yang mewakili Asia yang bisa disejajarkan bangsa
Barat (Kwon, 2007: 57). Hal ini diperkuat oleh adanya kutipan sebagai berikut;
Conceptualisations of East Asia in the post-1945 period typically referred to countries
of Confucian heritagewith East Asia (essentially the three Chinasthe Peoples
Republic, Hong Kong, and TaiwanJapan and Korea) being seen as distinctive
regions (Ravenhill, 2008: 3).
Masih berasal dari sumber yang sama, pengaplikasian paham Konfusianisme di
kawasan Asia Timur ini ternyata mengakibatkan kemungkinan negara-negara di
kawasan tersebut dalam menerapkan kapitalisme dengan cara yang berbeda oleh
kapitalisme yang telah dilakukan oleh Barat. Kapitalisme di Asia Timur juga cenderung
bersifat less adversarial, less

individualistic,

dan

less

self-interested. Akibatnya

konsep Konfusianisme membantu mendorong terciptanya institusi ekonomi yang


berbeda dari kapitalisme di negara lain. Kedua, dengan adanya esensialisasi
konfusianisme, terdapat penekanan bahwa masyarakat di Asia Timur memiliki
karakteristik ekonomi yang sama yang mendorong bentuk ekonomi yang kompetitif,
hemat, fokus pendidikan, serta menghormati wewenang yang ada, sehingga hal
tersebut menciptakan kondisi yang kondusif untuk kesuksesan di Asia Timur. Dari

penjabaran tersebut, dapat dipahami bahwa nilai-nilai Konfusianisme juga memberikan


pengaruh terhadap fenomena Industrialisasi yang terjadi di kawasan Asia Timur.
Di Era Pasifik ini, istilah Newly Industrializing Countries (NICs,) mulai sering
dipergunakan dalam beberapa kajian dan diskusi-diskusi internasional. Negara-negara
Indsutri Baru, atau juga bisa disebut Empat Naga Kecil Asia (The Four Little
Dragons), menunjuk kepada Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura yang
prestasi ekonomi mereka telah diakui dalam kawasan tersebut. NICs tidak bisa
terlepas dari faktor Jepang sebagai Negara sentral dengan gagasannya yang terkenal,
yakni konsep formasi angsa terbang (The Flying Geese Formation). Konsep ini
memiliki makna bahwa negara-negara di Asia menjalankan pembangunan ekonomi
mengikuti pola Jepang sebagai Negara sentral yang berada di garis depan industri
kapitalis dan dengan bersifat team work maka efek yang akan dimiliki ialah
mempengaruhi langit globalisasi secara lebih kuat.
Pada model negara pembangunan (developmental state) di Jepang ada
beberapa hal yang sangat membedakannya. Jepang meninggalkan komitmen ideologi
yang berlebihan maupun kepemilikan atas semua alat produksi dan sumber daya oleh
negara pada dasawarsa terakhir di abad ke-19, yakni ketika korupsi dan efesiensi
sudah demikian parah hingga memaksa pemerintah Jepang membiarkan pertumbuhan
swasta. Model negara pembangunan ini mencoba untuk meyesuaikan semua tujuantujuan pembangunan dengan berlangsungnya mekanisme pasar, dimana harga-harga
ditentukan oleh ukuran nilai yang nyata dan bukan oleh keputusan ataupun selera
penguasa, hak milik perorangan diakui secara penuh oleh, serta pembuatan keputusan
didesentralisasikan.
Pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, setelah kinerja ekonomi yang
mengesankan dan terpenuhinya standar hidup masyarakatnya ke arah yang lebih baik,
dalam taraf yang berbeda, Taiwan pun mulai terbuka. Kaum oposisi mulai mendapat
tempat yang lebih baik dan aneka prinsip demokrasi mulai dipraktikan secara luas.
Ternyata strategi ekonomi yang sangat menekankan kepada pertumbuhan ini
membawa perubahan-perubahan juga terhadap struktur pekerjaan pada rasion, modal
dalam sektor industri, tingkat kehlian dalam pendidikan dan juga memicu serangkaian
perubahan yang bersifat mendasar dalam liku kehidupan politik.

Didalam perjalanannya Jepang melakukan misi kolonialisme ke kawasan Asia


lebih tepatnya di kawasan Asia Timur dengan menduduki Taiwan guna memenuhi
kebutuhan industri dasar dan sekunder dari proses industrialisasinya sehingga menjadi
negara maju dan mengglobal dengan berbagai produk nasionalnya sehingga disebut
sebagai negara sentral. Sedangkan Taiwan diperlakukan sebagai negara yang di
eksploitasi untuk memasok kebutuhan industrialisasi dari Jepang atau disebut dengan
negara pinggiran. Karena hubungan antara negara sentral dengan negara pinggiran
itulah maka Taiwan pun banyak terinspirasi meniru Jepang dalam melakukan model
pembangunan ekonominya. Sebagai negara yang terkategori lamban dalam
membangun industrinya, Taiwan memilih model negara pembangunan ini sebagai
solusi untuk mengatasi aneka masalah keterbelakangan dan ketergantungannya pada
pihak-pihak luar. Biasanya, sistem negara yang tumbuh dalam model negara
pembangunan ini adalah negara dengan sistem pemerintahan yang bersifat otoriter,
dalam artian bahwa semua usaha dan kegiatan ekonomi mendapat perhatian yang
sangat besar dan disertai usaha-usaha guna menciptakan stabilisasi politik, apa pun
caranya dan berapa pun harganya. Pada model negara pembangunan yang ada di
Taiwan, sistem politiknya bahkan lebih otoriter dibandingkan dengan yang ada di
Jepang.
Signifikansi peran Jepang sebagai negara sentral yang mendominasi
pembangunan ekonomi di Taiwan dapat dilihat dari sepanjang tahun 1997 hingga
tahun 1999 yang menunjukkan bahwa nilai ekspor Jepang ke Taiwan tetap lebih besar
dibandingkan nilai impor dari Taiwan. Berikut tabel datanya:

1999

Tabel 1.
Perdagangan Luar Negeri Jepang dan Taiwan (Milyan Yen)
Tahun

Ekspor

Impor

1997

3335,2

1510,9

1998

3340,4

1336,3

Januari

228,4

100,7

April
Juli
November

257,2
281,7
283,4

122,6
129,7
140,9

Sumber: Japan Economic Almanac (Supriyadi, 2008)

Ketimpangan tersebut akhirnya mendorong Taiwan untuk bergabung dengan WTO


agar dapat mengurangi defisit perdagangan dengan Jepang. Dari tabel tersebut juga
dapat terlihat upaya yang dilakukan oleh Jepang untuk masuk ke dalam ruang lingkup
perekonomian Taiwan melalui jalan perdagangan luar negeri yang nantinya akan
membuka jalan lain yang akan digunakan oleh investor-investor asal Jepang untuk
melakukan investasi asing langsung ke industri-industri di Taiwan.

1.2. Perang China Jepang (1894-1895)


Dalam mengkaji perkembangan Taiwan, maka secara tidak langsung juga tak
akan terlepas dari sejarah terbentuknya Taiwan. Sejarah berdirinya Taiwan juga
dilatarbelakangi oleh Perang China-Jepang yang dinamakan Pemberontakan Tonghak
artinya Ajaran Timur. Gerakan ini awalnya bersifat keagamaan yang bertujuan
memadukan Buddhisme, Konfusianisme, dan Daosisme; sebagai lawan dari
Kekeristenan yang biasa disebut Sohak atau Ajaran Barat.
Jepang menyatakan perang kepada China pada tanggal 1 Agustus 1894,
setelah sehari sebelumnya Kaisar Guangxu mengumumkan pernyataan perang yang
sama terhadap Jepang. Tentara Jepang berhasil mendesak pasukan China keluar dari
Korea bahkan sampai memasuki wilayah China. Jepang berhasil menduduki wilayah
pinggiran antara lain Manchuria dan Semenanjung Liaodong dan China kalah oleh
imperialisme Jepang akibatnya lambat laun Jepang menguasasi beberapa wilayah
China diantaranya:
1)
2)
3)
4)
5)

Port Arthur
Dairen
Weihaiwei
Taiwan
Kepulauan Pescadores
Penguasaan wilayah-wilayah ini diakui sebagai salah satu keberhasilan

kepemimpinan Kaisar Meizi yang sebelumnya menyerap pengatuhan teknologi abrat


dan memodernkan dirinya sehingga dapat menunjukkan diri kepada China.

Dari peperangan tersebut berbuah suatu perjanjian damai yaitu Shimonoseki


Treaty pada tanggal 19 Maret 1895, berisikan sebagai berikut:
1) China mengakui kemerdekaan Korea
2) Menyerahkan Semenanjung Liaodong, Taiwan, dan Kepulauan Pescadores kepada
Jepang
3) Membayar pampasan atau kerugian perang sebesar 200 juta mata uang perak
kepada Jepang
4) Membuka lebih banyak kota pelabuhan bagi Jepang
5) Kapal-kapal dagang Jepang boleh memasuki aliran Sungai Yangzi mulai dari
Yizhang hingga ke Chongqing, serta sungai yang menghubungkan Shanghai,
Xuzhou, dan Hangzhou.

Atas kemenangannya dari Cina pada tahun 1895 maka berdasarkan perjanjian
Shimoseki, Taiwan dan Pascadores diserahkan kepada Jepang secara resmi menjadi
negara sentral dan dimulailah proses dimana Taiwansebagai negara pinggiran
mengalami fase ketergantungan teknologi industri yang ditandai dengan dibukanya
akses pasar dengan dunia luar yang sebelumnya sangat tertutup.
Diberlakukannya supremasi hukum, standarisasi sistem moneter, memperbaiki
tingkat kesehatan umum, perbaikan sistem pendidikan, pembangunan sarana fisik,
seperti: pembangunan jalan kereta api, pembangunan generator pembangkit tenaga
listrik yang telah menjadikan Taiwansebagai satu-satunya negara selain Jepang
sebagai negara sentral yang memiliki pembangkit listrik, serta meningkatkan
produktivitas produk pertanian seperti gula dan beras sebesar 75%.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. The Flying Geese Formation dan Negara-Negara Industri Baru


Model ganko keitei (the flying geese) dikemukakan untuk pertama kalinya oleh
Akamatsu pada tahun 1930-an. Uraiannya dapat dipakai untuk menjelaskan siklus
produksi atas suatu jenis sektor industri dan restrukturisasi industri domestik serta
keterkaitannya dengan ekspansi Jepang ke negara-negara tetangganya. Model
tersebut pada intinya hendak menjelaskan betapa sebuah negara yang mengawali
industrialisasi dengan cara mengimpor produk-produk industri yang sudah jadi dari
negara-negara lain, kemudian melaksanakan industrialisasi pengganti atau subtitusi
impor, atau yang dikenal sebagai ISI (Industrialization Subtitution Import), dan
berusaha mengembangkan industrinya lebih jauh agar bisa mengekspor produkproduk industri ke negara lain, atau strategi EPI (Export Promotion Industry). Model ini
memperlihatkan bahwa selama ini Jepang telah, paling sedikit menjalani tiga tahap
siklus produksi dengan negara-negara tetangganya, yakni dengan cara merelokasikan
atau memindahkan sektor-sektor industrinya yang memang perlu perluasan ke negara
industri baru disekelilingnya.
Pada tahap pertama, sektor industri yang dipindahkan oleh Jepang ke Korea
dan Taiwan adalah industri tekstil yang terus dilakukan sampai Jepang muncul menjadi
kekuatan ekonomi

dunia. Tahap kedua merelokasi sektor industri berat dan kimia

termasuk industri baja, perlengkapan militer dan bahkan sektor industri permobilan
(yang masih berlangsung sampai pada dasawarsa 1980-an). Akhirnya industri-industri
yang mempergunakan teknologi tinggi juga ikut dipindahkan, misalnya sektor industri
elektronik, komunikasi, komputer, silicon chip, microprocessor, dan produk-produk
serba canggih lainnya.

2.2. Jepang sebagai Negara Sentral dengan Taiwan sebagai Negara Pinggiran
Dalam perjalanan Jepang melakukan misi kolonialisme ke kawasan Asia Timur
dengan menduduki Taiwan dan Korea Selatan guna memenuhi kebutuhan industri
dasar dan sekunder dari proses industrialisasinya sehingga menjadi negara maju yang
mengglobal dengan berbagai produk nasionalnya sehingga disebut sebagai negara
sentral. Sedangkan Taiwan dan Korea Selatan diperlakukan sebagai negara yang
dieksploitasi untuk memasok kebutuhan industrialisasi Jepang atau disebut dengan

negara pinggiran. Karena hubungan antara negara sentral dan negara pinggiran itulah
maka Taiwan dan Korea Selatan pun banyak terinspirasi meniru Jepang dalam
melakukan model pembangunan ekonominya. Walaupun tidak jarang pula karena sifat
sentimen sebagai negara-negara terjajah menolak akan warisan konsep dan budi baik
Jepang sebagai penjajah, akan tetapi fenomena yang harus diakui bersama adalah
Taiwan telah berhasil sejajar dengan negara sentralnya di Asia Timur dengan
kapitalisasi ekonomi dan rangkaian produk hasil industrinya yang sejajar dengan
negara sentralnya. Selain itu sebuah bangsa pinggiran juga memerlukan interpendensi
dengan tatanan institusi internasional (sekali pun dengan sentral) seperti: pemilihan
kebijakan yang memihak kepentingan negara, peran institusi dan motif politik dari
kepemimpinan yang kuat, dan kriteria tersebut kemudian dioperasionalkan oleh Taiwan
itu sendiri.
Taiwan memilih menerapkan pola perubahan struktur industrinya diberbagai
bidang, dalam peningkata industri bidang pertanian melalui konsep Three Pin dari
mulai peningkatan kualitas produk, memperkuat merek produk agro bisnis, setelah
memiliki kecukupan dalam ketahanan pangan maka strategi selanjutnya terkonsentrasi
kepada industri yang berkelanjutan yang berorientasi pada ekspor , melalui
peningkatan produksi bahan baku termasuk tranformasi ke industri teknologi padat
modal sepeti industri tekstil, petro kimia, teknologi informasi, permesinan hingga alat
elektronik.

2.3. Model Industrialisasi Taiwan


Pengaruh masa penjajahan Jepang di Taiwan terhadap proses industrialisasi
sangatlah besar. Minat Jepang di Taiwan pada awalnya lebih tertuju kepada produksi
beras dan gula. Namun bila dibandingkan dengan Korea Selatan, pengaruh Jepang
tentu saja lebih besar terhadap negara tersebut. Hal ini mengingat bahwa jarak Korea
dari Jepang lebih dekat dan sebelumnya suatu integrasi ekonomi memang telah
dibangun Jepang dengan Korea Selatan dan Manchuria (yang kini menjadi wialayah
Cina).
Kegiatan sektor-sektor industri dalam skala kecil di Taiwan yang tumbuh pada
masa imperialisme Jepang ini merupakan cikal bakal kekuatan industri Taiwan pada
masa seusai Perang Dunia Kedua. Jepang telah meningkatkan taraf pendidikan dan
tingkat keahlian penduduk lokal. Banyak diantara mereka mulai menyadari pentingnya

pengolahan pertanian secara ilmiah dan komersial, sehingga pendapatan para petani
Taiwan pada masa penjajahan ini bahkan lebih besar dari pada jumlah pendapatan
para petani Jepang sendiri. Unsur penting lainnya yang diwariskan Jepang adalah
sitem otoriter pemerintahan dalam mengatur perekonomian yang tentu saja
memudahlam pemerintah Kuomintang untuk meneruskan pengaturan ekonomi dan
administrasi di wilayah tersebut.

2.4. Faktor-faktor Keberhasilan Pembangunan Ekonomi Taiwan


2.4.1. Figur Kepemimpinan Chiang Kai Shek
Ciang Kai-shek sebagai pemimpinm sekalus tokoh pembaharu masyarakat
Taiwan, telah berhasil meletakan dasar pembangunan sekaligus memastikan bahwa
tahapan tahapan yang dicapai sesuai dengan perencanaan. Salah satu kebijakan
dasarnya adalah dibuatnya model yang menyalurkan semangat kewirausahawan
rakyatnya. Kebijakan berikutnya adalah memberi peran kepada pelaku industri
menengah

untuk

bekerja

sama

dengan

institusi

internasional

untuk

dikembangakansecara menyebar dan merata ke seluruh wilayah Taiwan. Membangun


jalan-jalan kereta api dan jalan bebas hambatan, meningkatkan fasilitas kesehatan,
memimpin gerakan anti narkotik, menciptakan aturan untuk menstabilitas harga,
penegakan hukum serta sangsi-sangsinya, penataan industri pertanian serta
melakukan gerakan hidup baru baru melalui semangat Confucian.
Pada tahun 1953 melalui tahapan strategi pembangunan ekonomi yang telah
dicanangkan (The First in Series of four Years Economic Plans) secara bertahap
Taiwan melakukan transformasi ekonomi pertanian dari yang sebelumnya gula dan
beras sebagai komoditas andalan beralih kepada jenis industri yang beragam dan
ekonomi komersil. Sebaik apapun penanganan sektor industri tidak terlepas dari
perlunya pembangunan infrastruktur, begitupun dengan konsep yang yang telah dibuat
pada masa pemerintahan Chiang Khai Shek yaitu konsep Global Village di Taiwan,
dimana telah dirancang tahapan pembangunan yang terpadu dimana pembangunan
sosial ekonomi masyarakat pedesaan (pendidikan, pertanian, dan infrastruktur yang
merata hingga kepedesaan sehingga akan mampu menarik investasi.

Program

strategi

pembangunan

ekonomi

Taiwan

yang

fundamental

berlangsung sejak tahun 1952 hingga tahun 1999, periode ini merupakan masa
peralihan dari masyarakat yang berbasis agrikultur (meliputi persawahan, pertenakan,
perikanan dan kehutanan) menjadi masyarakat yang berbasis industri. Perencanaan
program strategi pembangunan ini dapat dibagi menjadi tiga fase dimana setiap
fasenya pemerintah memformulasikan perencanaan ekonomi dan politik yang
disesuaikan dengan kebutuhan domestik dan internsional bagi kesejahteraan
rakyatnya.

2.5. Sasaran dan Tahapan Pembangunan Di Taiwan


Strategi Pembangunan ekonomi Taiwan pada tahun 1952 sampai dengan tahun
1999 yang membentuk strategi pembangunan dan membentuk konsep Global Village
yaitu: strategi, sasaran dan pencapaian pembangunan yang terdiri dari:
(Fase I : 1952 1962) : membangun sumber daya dan infrastruktur dasar sebagai titik
tolak tahapan selanjutnya, meliputi:
a. Deklarasi situasi Emergency Degree (1949) yaitu adanya ancaman dari ideologi
komunis Cina dan keberlangsungan proses demokratisasi.
b. Perbaikan Human Capital melalui pendidikan terpadu disemua tingkatan.
c. Pertanian sebagai primadona dasar: Gula, Padi, Teh, Pisang, Tekstil sebagai
produk ekspor andalan.
d. Membangun sosial ekonomi masyarakatpedesaan disektor pertanian melalui
kebijakan Land Reform (1951)
e. Menjadikan (SME,s : Small and Medium-Sized Enterprises) sebagai pilar
kebangkitan kekuatan industrialisasi nasional yang menyebar keseluruh
f.

wilayah.
Dideklarasikannya pelaksanaan empat tahun pertama pelaksanaan Economic
Development Plan: fokus kepada rekonstruksi pertanian dan peningkatan
produksi beras, pupuk dan hydro elektronik power (1953-1956).

(Fase II : 1963 1980): masa peralihan dari gas agribisnis menjadi industridan jasa
padat modal dan investasi, meliputi:
a. Dideklarasikannya 10 proyek utama bidang infrastruktur meliputi: 6 infrastruktur
bidang transport, 3 infrastruktur bidang industri dan 1 infrastruktur bidang
Power Site.
b. Set uo (TRI: Industrial Technology Research Institute) 1974
c. Set up Scientific Technologi Development Project (1979)

d. Set up Institute for Information Industri (1979)

(Fase III : 1981 1999): Perubahan struktur industriyang berbasis Information


Technology Industries dan tentang penguasaan pasar global, regional maupun
internasional:
a. Dideklarasikannya berakhirnya masa Emergency Degree yaotu berakhirnya era
ancama ideologi komunis Cna, melakukan demokratisasi yang lebih luas di
Taiwan serat membina hubungan dengan negara Cina lebih baik.
b. Pelaksanaan perencanaan tahapan pembangunan yang dijalnkan sebagai
acuan pertumbuhan.

Berikut ini adalah uraian lengkap dari rencana pembangunan dan sebagai acuan
pembangunan:
1. 1953 1956: The First Four- years Economic Development Plan:
Konsentrasi kepada: rekonstruksi dan peningkatan produksi beras, pupuk,
Hydro Elektronok Power
2. 1957 1960: The Second Four-Years Economic Development Plan:
Konsentrasi kepada: subtitusi import, industri dan agrikultur meningkat secra
significant sehingga menyumbang kenaikan ekonomi
3. 1961-1964: pemberian instensif pada industri ekspor, peningkatan kualitas
pelayanan

dasar,

pengembangan

energi,

kontribusi

industri

kepada

pertumbuhan agrikultur, eksplorasi dan pengembangan terhadap kepulauan


yang memeiliki keterbatasan sumber daya alam
4. 1965-1968: The Fourth Four-years Economic Development Plan:
Kosentrasi kepada penanggulangan dampak-dampak yang
atas terjadinya
pembatasan bantuan diluar negeri (Amerika Serikat dan Jepang) guna menuju
kemandirian negara
5. 1969-1972: The Fifth Four-Years Economic Development Plan:
Peningkatan daya saing produk industri unggulan yang telah memberi
pendapatan signifikan seperti: industri kimia dan jasa pelabuhan peti kemas
6. 1973-1976 The Sixth Four-Years Economy Development Plan:
Didalam perjalanannya karena terjadi resesi ekonomi dan hanya mampu
menaikan GNP 19 persen saja, sehingga periode ini di ganti dengan tahan The
Six-Year Plan pada (1976-1981) dengan berkonsentrasi kepada: ekspansi
industri dasar, penyelesaian dan pengembangan infrastruktur

2.5.2. Gerakan Reformasi Lahan (Land Reform): Pra syarat Pembangunan


Ekonomi
Pada tahun 1949, bersamaan dengan datangnya Amerika sebagai negara
sentral maka Chiang Khai Sek memulai gerakan Land Reform yang didukung penuh
oleh Amerika, dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi dan penggunaan tanah
sebaik-baiknya untuk meningkatkan pendapatan para petani sehingga mampu
mempersempit kesenjangan pendapatan anatara petani dan tuan tanah. Keberhasilan
Taiwan melakukan gerakan reformasi lahan sebelum mengalami pertumbuhan
ekonomi yang tinggi telah memberikan andil besar kepada distribusi pembangunan
ekonomi domestik yang besar.
Adapun tahapan-tahapan penting yang berkaitan dengan gerakan reformasi
lahan adalah sebagai berikut:
I.
Pada tahun 1949-1953, Partai Kuomintang (KMT) melakukan reformasi lahan
dimana program reformasi ini dilakukan tidak hanya untuk pemerataan hasilhasil pembangunan tetapi juga memiliki dimensi politis yaitu agar dapat
melakukan mobilisasi yang dijalankan oleh Partai Komunis Cina. Minimnya
hubungan

dengan

kelompok-kelompok

elit

sebagai

penguasa

wilayah

setempat, melimpahnya jumlah pewawis lahan serta bersama kekuatan untuk


II.

disebar ke pedesaan telah menjadikan program ini sukses.


Pada tahun 1953 dilakukan program reformasi kelembagaan yaitu dengan
dibentuknya (ESB: Badan Stabilitas Ekonomi) Taiwan yang langsung dipimpin
oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh beberapa komisi yang bertugas

III.

menangani berbagai masalah pembangunan yang berbeda.


Dibentuk Asosiasi Industri dan Perdagangan Nasional Taiwan dengan peran
sebagai jalur komunikasi dan sosialisasi program-program pembangunan
pemerintah pusat kepada kelompok-kelompok dunia usaha.

2.6. Konsep Global Village Sebagai Fondasi Tranformasi Industrialisasi


Kekalahan dinasti Chiang Kai Shek atas dinasti Mao dengan ideologi
komunisnya di Cina Daratan pada tahun 1949 bed=rdampak kepada pindahnya pusat
pemerintahan

Cina Daratan. Chiang Kai Shek bersama 1.5 juta penduduknya

mengungsi ke Taiwan yang pada saat itu bersamaan dengan pecahnya perang Korea
pada 1950. Mao pada saat itu tetap

berupaya untuk menginvasi Taiwan, namun

Amerika Serikat telah menyiapkan Armada Tujuh ke perairan Taiwan. Kemudian

berkat bantuan militer dan ekonomi dari AS, Chiang Kai Shek langsung membuat gran
desain pembangunan ekonomi serta Land Reform yang kemudian dikelan dengan The
Global Village.
Pembangunan yang terjadi di Taiwan dilakukan dengan memodernisasi industri
pertanian sebagai dasar menuju masyarakat industri kecil menengah (SME,s: small
and medium sized enterprises) untuk mejadi kekuatan dominan sehingga terciptanya
oenguatan ekonomi yang nyata, yang dapat membuat rakyat mampu bersaing dengan
dunia internasional. Keberhasilan konsep dasar pembangunan di Taiwan meliputi
faktor-faktor berikut:
a)
b)
c)
d)

Tingginya Produktivitas Masyarakat Tradisional


Membangun Ekonomi pedesaan melalui Pendidikan dan Pertanian
Modernisasi industri pertanian
Pertanian Sebagai Bisnis Strategi Pengembangan Industri.
Penguasaan Teknologi didalam proses industrialisasi ini jelas tidak lepas dari

sosok Jepang yang lebih dulu mengalami kemajuan didalam formasi angsa terbang,
kesuksesan Jepang demikian berdampak bagi Taiwan sebagai negara kolonimya.
Jepang mengajarkan betul kepada Taiwan sebagai negara koloninya yang mampu
membuat produk yang dapat memasok kebutuhan Jepang. Pada akhirnya produk
Taiwan bukanlah kompetitor bagi Jepang, tetapi komplemen bagi Jepang. Strategi
industrialisasi ini cukup sukses dijalakan, sehingga faktor industri kecil dan menengah
yang ada di Taiwan terdorong utnuk lebih maju lagi baik dari segi kualitas produk dan
investasi yang dimilikinya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Adanya nilai-nilai paham Konfusianisme yang cenderung bersifat less
adversarial, less

individualistic,

dan

less

self-interested membentuk karakter

masyarakat Jepang diyakini sebagai salah satu cikal bakal faktor mendasar dibalik
kemajuan Jepang saat ini hingga bisa menjadi negara yang mewakili Asia yang bisa
disejajarkan bangsa Barat. Pengaruh masa penjajahan Jepang di Taiwan terhadap
proses industrialisasinya sangatlah besar. Model Development State Jepang yang
telah memberikan pengaruh besar terhadap negara-negara pinggiran merupakan
usaha-usaha integrasi ekonomi Jepang terhadap wilayah-wilayah jajahannya yang
memang dilancarkan secara intens dan serius.
Taiwan memilih model negara pembangunan ini sebagai solusi untuk
mengatasi aneka masalah keterbelakangan dan ketergantungannya pada pihak-pihak
luar. Taiwan pun banyak terinspirasi meniru Jepang dalam melakukan model
pembangunan ekonominya. Hal ini membawa dampak positif berupa perbaikan sarana
dan fasilitas infrastruktur di Taiwan.

Warisan kolonialisme Jepang memberikan

dampak yang positif, satu manfaat penting dari pengalaman Taiwan didalam masa
kolonialisme Jepang adalah aneka proses dan kegiatan yang kemudian hari
mempercepat serta memudahkan keterlibatan mereka dalam usaha industrialisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Dickson, Anna K, 1995, Development and International Relations, Cambridge: Politiy
Press.
Fx, Sutopo. 2009. China Sejarah Singkat. Jogjakarta: Garasi.
Gilpin, Robert, Jean M., 2001. Global Political Economy Understanding the
International Economic Order. New Jersey: Princeton University Press Government
Information Office, 2006, Taiwan at a Glance 2005-2006.
Hadi, Syamsul. 2005. Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto: Politik
Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia. Jakarta: Pelangi Cendikia.
Hughes, Helen, 1992. Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Lim Hua Sing. 2008. Japan & China in East Asean Integration. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, hal.197-198
Munandar, Haris.1995. Ekonomi-Politik di Asia Pasifik. Jakarta: Erlangga.
Rudy, T. May. 2003. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah
Global; Isu, Konsep, Teori dan Paradigma. Bandung: PT. Refika Aditama
Supriyadi, Ucup. 2008. Tesis. Fenomena Keberhasilan Pembangunsn Korea Selatan
dan Taiwan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Taiwan Government Informsyion Office. 2003. Taiwan Engine of Economic Growth.
Taiwan: Brosur.

Referensi:
Calder, K & Ye, Min. 2010. The Making of North East Asia, Ch. 10, pp. 225-250.
Stanford: Stanford University Press.

Christensen, Thomas J. 2003. China, the US-Japan Alliance, and the Security
Dilemma in East Asia, pp. 25-56 in G John Ikenberry & M Mastanduno (eds),
International Relations Theory and the Asia Pacific. New York: Columbia University
Press.
Dosch, Jorn. 2004. The United States in the Asia Pacific, pp. 17-34 in Michael K
Connors, Remy Davidson, Jorn Dosch (eds), The New Global Politics of the AsiaPacific.
Kwon, Keedon. 2007. Economic Development in East Asia and a Critique of the PostConfucian Thesis. Theory and Society. Vol. 36, no. 1, pp. 55-83.
Ravenhill, John. 2008. East Asian Regionalism: Much Ado about Nothing?. Working
paper (Australian National University, Department of International Relations, Research
School of Pacific and Asian Studies : Online); 2008/3, hal. 1-41.
Situs Online (Website):
http://www.isop.ucla.edu/eas/documents/1895shimonoseki-treaty.htm
http://geography.about.com/library/cia/blctaiwan.html
http://www.infoplease.com/atlas/country/taiwan.html
http://www.infoplease.com/country/profiles/taiwan.html

Anda mungkin juga menyukai