Anda di halaman 1dari 2

Jakarta - Mahkamah Konsitusi (MK) kembali mengubah UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, UU yang paling mendasar karena mengatur rumah tangga


warga negara. Selama 42 tahun, UU itu tidak ada yang berani menyentuh untuk
merevisinya.

Mahkamah Konstitusi (MK) pertama kali mengubah UU Nomor 1/1974 pada Februari
2012. Kala itu, UU Perkawinan menyatakan anak biologis yang lahir di luar
perkawinan dinyatakan tidak mendapatkan hak keperdataan dari ayah biologis. Tapi
oleh MK, hal itu dianulir. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat tidak tepat dan
tidak adil ketika hukum menetapkan bahwa anak yang lahir karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya.

"Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang menghamili
dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak," putus Ketua MK Mahfud MD saat
membacakan putusannya.

Terlebih, ketidakadilan itu lantaran hukum meniadakan hak-hak anak terhadap


bapaknya (biologis). Padahal, berdasarkan perkembangan teknologi yang ada
memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-
laki tertentu (tes DNA).

"Peristiwa kelahiran anak akibat hubungan seksual itu adalah hubungan hukum
mengandung hak dan kewajiban timbal balik antara anak, ibu, dan bapak," ucap
hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.

Oleh sebab itu, MK mewajibkan ayah biologis memberikan hak keperdataan kepada
anak biologisnya. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan menjadi:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan


ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.

Empat tahun berlalu, MK kembali mengubah UU Perkawinan, yaitu soal Perjanjian


Kawin. Bila sebelumnya Perjanjian Kawin hanya bisa dilakukan sebelum perkawinan,
maka kini bisa dilakukan selama masa perkawinan berlangsung. Tujuannya yaitu:

1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga
harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka
bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta
kekayaan bersama atau gono-gini.

2. Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan
mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta
izin dari pasangannya (suami/istri).

4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta
izin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan
aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Oleh sebab itu, maka MK memutuskan konstitusional bersyarat pada pasal yang
dimaksud. Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi:

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Harus dimaknai:

Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Adapun Pasal 29 ayat 3 yang awalnya berbunyi:

Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Harus dimaknai:

Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali


ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan

Adapun Pasal 29 ayat 4 yang awalnya berbunyi:

Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.

Harus dimaknai:

Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta


perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan
perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai