Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Sectio Caesarea (SC)


1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan
buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan
dinding rahim dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram. Sementara menurut (Bobak et al, 2004) Sectio Caesarea
merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans abdominal. Menurut (Mochtar,
1998) Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau
Sectio Caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam
rahim.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Sectio Caesarea
merupakan suatu

pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka

dinding perut dan dinding uterus.


2. Indikasi Sectio Caesarea
Menurut Kasdu (2003) Indikasi pemberian tindakan Sectio Caesarea
antara lain:

11

12

a. Faktor janin
1) Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby),
menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan
janin yang berlebihan (macrosomia) karena ibu menderita kencing
manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan terlalu lama di jalan lahir
dapat membahayakan keselamatan janinnya.
2) Kelainan letak janin
Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan
letak lintang. Letak sungsang yaitu letak memanjang dengan kelainan
dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah. Sedangkan
letak lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak
lurus dengan sumbu memanjang janin. Oleh karena seringkali bahu
terletak diatas PAP (Pintu Atas Panggul), malposisi ini disebut juga
prensentasi bahu.
3) Ancaman gawat janin (fetal disstres)
Keadaan

janin

yang

gawat

pada

tahap

persalinan,

memungkinkan untuk segera dilakukannya operasi. Apabila ditambah


dengan kondisi ibu yang kurang menguntungkan. Janin pada saat belum
lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat.
Apabila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat ibu menderita tekanan
darah tinggi atau kejang rahim), serta pada tali pusat (akibat tali pusat

13

terjepit antara tubuh bayi), maka suplai oksigen (O2) yang disalurkan ke
bayi akan berkurang pula. Akibatnya janin akan tercekik karena
kehabisan nafas. Kondisi ini dapat menyebabkan janin mengalami
kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim. Apabila
proses persalinan sulit dilakukan melalui vagina maka bedah casarea
merupakan jalan keluar satu-satunya.
4) Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik, dan hidrosepalus
(kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyababkan
memutuskan dilakukan tindakan operasi.
5) Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan
keadaan gawat darurat pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan
persalinan dengan operasi yaitu Plasenta previa (plasenta menutupi
jalan lahir), Solutio Plasenta (plasenta lepas),

Plasenta accrete

(plasenta menempel kuat pada dinding uterus), Vasa previa (kelainan


perkembangan plasenta).
6) Kelainan tali pusat
Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu
prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung), dan terlilit tali pusat.
Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan
penyembuhan sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau di

14

samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir
sebelum bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera dilakukan sebelum
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafas
karena kekurangan oksigen (O2). Terlilit tali pusat atau terpelintir
menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke janin tidak lancar. Jadi,
posisi janin tidak dapat masuk ke jalan lahir, sehingga mengganggu
persalinan maka kemungkinan dokter akan mengambil keputusan untuk
melahirkan bayi melalui tindakan Sectio Caesaerea.
7) Bayi kembar (multiple pregnancy)
Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara Caesarea.
Kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Bayi kembar dapat mengalami sungsang
atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan melalui
persalinan alami. Hal ini diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban
yang berlebihan membuat janin mengalami kelainan letak. Oleh karena
itu, pada kelahiran kembar dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena
kemungkinan sewaktu-waktu dapat dilakukan tindakan operasi tanpa
direncanakan. Meskipun dalam keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar
lahir secara alami. Faktor ibu menyebabkan ibu dilakukannya tindaka
operasi, misalnya panggul sempit atau abnormal, disfungsi kontraksi
rahim, riwayat kematian pre-natal, pernah mengalami trauma persalinan

15

dan tindakan sterilisasi. Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan janin
harus dilahirkan dengan operasi.

b. Faktor ibu
1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35
tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki
penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit
jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre- eklamsia (kejang).
Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang
sehingga seringkali menyebabkan dokter memutuskan persalinan
dengan operasi caesarea.
2) Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Kondisi tersebut
membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir.
3) Persalinan sebelumnya Caesar
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.

16

4) Faktor hambatan panggul


Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit.
bemafas. Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma atau
tumor. Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau macet, yang
biasa disebut distosia.
5) Kelainan kontraksi rahim
Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate
uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat
melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak
terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. Apabila
keadaan tidak memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan
operasi Caesarea.
6) Ketuban pecah dini
Robeknya

kantung

ketuban

sebelum

waktunya

dapat

menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan membuat


air ketuban merembes keluar sehingga tinggal sedikit atau habis.
7) Rasa takut kehilangan
Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami
akan mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di
pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi tersebut sering
menyebabkan seorang perempuan yang akan melahirkan merasa

17

ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk


menghilangkan perasaan tersebut seorang perempuan akan berfikir
melahirkan melalui Caesarea.
3. Jenis Sectio Caesarea
Ada beberapa jenis Sectio Caesarea (SC). Menurut Mochtar (1998),
antara lain :
a. Sectio Caesarea Abdominalis
1) Sectio Caesarea transperitonealis
a) Sectio Caesarea klasik atau kopral dengan insisi memanjang pada
korpus uteri
b) Sectio Caesarea ismika atau profunda dengan insisi pada segmen
bawah rahim
2) Sectio Caesarea Ekstraperitonealis,
yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak
membuka kavum abdominal.
b. Sectio Caesarea Klasik (Kopral)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
3) Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal

18

Kekurangan :
1) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperinonealisasi yang baik
2) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
c. Sectio Caesarea Ismika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang pada segmen bawah
rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
1) Penjahitan luka lebih mudah
2) Penutupan luka dengan reperitonealisasi
3) Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan penyebaran
isi uterus ke rongga peritoneum
4) Perdarahan kurang
5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan
kurang/lebih kecil
Kekurangan :
1) Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.

Sementara menurut Kasdu (2003), membedakan jenis operasi Caesar


menjadi 2 yaitu sayatan melintang dan vertikal. Adapun jenis sayatannya,
operasi berlangsung sekitar 45-60 menit, tetapi proses melahirkan bayi sendiri
hanya berlangsung 5-10 menit Pemilihan jenis sayatan ini tergantung pada

19

perut pada operasi Caesarea sebelumnya, kembar siam, tumor (mioma uteri)
di segmen bawah uterus, hipervaskularisasi (pembuluh darah meningkat) di
segmen bawah uterus pada plasenta previa, kanker serviks, risiko bahaya
perdarahan apabila di lakukan tindakan sayatan melintang berhubung letak
plasenta, misalnya pada plasenta previa, janin letak lintang, atau kembar
dengan letak abnormal dan apabila akan melakukan histerektomi setelah janin
di lahirkan.
Terdapat kerugian dari operasi Caesarea dengan jenis sayatan
melintang, antara lain: lebih berisiko terkena peritonitis (radang selaput
perut), memiliki resiko empat kali lebih besar terkena rupture uteri pada
kehamilan selanjutnya, otot-otot rahimnya lebih tebal dan lebih banyak
pembuluh darahnya sehingga sayatan ini lebih banyak mengeluarkan darah.
Akibatnya, lebih banyak parut di daerah dinding atas rahim. Oleh karena itu,
pasien tidak dianjurkan hamil lagi, jika menggunakan anestesi lokal, sayatan
ini akan memerlukan waktu dan obat lebih banyak.
4. Anastesi pada Sectio Caesarea
Menurut Cunningham et al (2006), pembiusan adalah upaya untuk
menghilangkan rasa sakit dan nyeri pada waktu menjalani operasi. Seperti
pada tindakan pembedahan lainya, bedah Sectio Caesarea juga memerlukan
pembiusan atau anastesi. Ada 2 macam pembiusan yang biasa dilakukan
dalam operasi Sectio Caesarea, yaitu :

20

a. Anastesi lokal
Bius lokal merupakan alternative yang aman, namun anastesi ini tidak
dianjurkan pada ibu hamil yang menderita eklamsia, obesitas, atau alergi
terhadap lignokain (obat bius lokal). Pada pemberian obat anastesi, oleh
dokter dilakukan pada bagian lokal sekitar jaringan yang akan dilakukan
sayatan pada Sectio Caesarea, sehingga tidak mempengaruhi keadaan bagi
ibu dan bayi.
b. Anastesi regional/block spinal
Anastesi ini menghilangkan rasa dari bagian tubuh dengan cara
menghalangi transmisi rasa sakit dari serabut saraf. Pembiusan dengan
metode block spinal ini paling banyak dilakukan untuk kasus Sectio
Caesarea, sebab relative aman dan ibu tetap terjaga kesadaranya.
Pembiusan ini dilakukan dengan cara memasukan obat anastesi pada
daerah lumbal dengan jarum functie yang dosisnya telah diatur oleh tim
anastesi.
5. Perawatan Pasca Bedah Caesar
Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :
a. Perawatan luka insisi
Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan
sebagainya, lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik
pembalut luka diganti dan luka dibersihkan.

21

b. Tempat perawatan pasca bedah


Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke
dalam kamar rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar
udara selama beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera
pindahkan ke unit darurat untuk perawatan bersama-sama dengan unit
anastesi, karena di sini peralatan untuk menyelamatkan pasien lebih
lengkap. Setelah pulih barulah di pindahkan ke tempat pasien semula
dirawat.
c.

Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit
yang diperlukan, agar tidak terjadi dehidrasi.

d. Nyeri
Nyeri pasca opererasi merupakan efek samping yang harus diderita
oleh mereka yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri
tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat
operasi. Nyeri tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan
mengalami nyeri atau gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau
melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba.
Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan
didaerah operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat diberikan
obat-obat anti nyeri dan penenang seperti suntikan intramuskuler pethidin

22

dengan dosis 100-150 mg atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara


perinfus.
e. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu
jalanya penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah
terjadinya thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat
dimulai sejak 6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan pernafasan dapat
dilakukan pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar.
Pada hari kedua pasies dapat didukukan selama 5 menit dan dan diminta
untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk
kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus
menumbuhkan kepercayaan pada diri pasien bahwa ia mulai pulih.
Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk (semi
fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari
ke 3 sampai 5 pasca bedah.

B. Postpartum
1. Pengertian
Manurut Chaplin dalam Kartono (2006), postpartum adalah sesudah
kelahiran, satu istilah yang digunakan untuk mencirikan kondisi normal atau
kondisi patologis, sesudah kelahiran bayi.

23

Periode postpartum adalah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai
organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode
ini kadang disebut puerperium atau trimester ke empat kehamilan (Bobak et
al, 2004)
Masa puerperium atau nifas didefinisikan sebagai periode selama dan
tepat setelah kelahiran. Namun secara popular, diketahui istilah tersebut
mencakup 6 minggu berikutnya saat terjadi invulsi kehamilan normal
(Cunningham et al, 2006 )
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masa
postpartum adalah masa 6 minggu tepat setelah kelahiran bayi sampai organorgan reproduksi kembali kekeadaan normal sebelum hamil.
2. Perubahan fisik
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap
normal, dimana proses-proses pada

kehamilan berjalan terbalik. Banyak

faktor, termasuk tingkat energi tingkat kenyamanan, kesehatan bayi baru lahir,
dan perawatan serta dorongan semangat yang diberikan tenaga kesehatan
profesional ikut membentuk respons ibu terhadap bayinya selama masa ini.
Untuk memberi perawatan yang menguntungkan ibu, bayi, dan keluarganya,
seorang perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan
fisiologi ibu pada periode pemulihan, karakteristik fisik dan perilaku bayi baru

24

lahir, dan respons keluarga terhadap kelahiran seorang anak (Bobak et al,
2004)
Menurut Saleha (2009) perubahan fisiologis pada masa nifas, yaitu :
a. Uterus
Proses kembalinya uterus kekeadaan sebelum hamil setelah
melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta
keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir tahap ketiga
persalinan, uterus berada pada garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah
umbilicus dengan fundus bersandar pada promotorium sakralis. Pada
waktu 12 jam tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilikus.
Dalam beberapa hari kemudian perubahan involusio berlangsung dengan
cepat. Fundus turun kira-kira 1-2 cm setiap 24 jam. Pada hari ke-6 fundus
berada diantara umbilikus dengan pinggir atas simpisis pubis. Uterus tidak
dapat dipalpasi pada abdomen pada hari ke 9 postpartum. Seminggu
setelah melahirkan uterus sudah berada didalam panggul dan pada minggu
ke 6 beratnya menjadi 50-60 gram.
b. Afterpain
Setelah melahirkan tonus uterus meningkat sehingga fundus tetap
kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami multipara
dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang awal puerperium
yang disebut afterpains. Proses menyusui dan pemberian oksitosin

25

tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya dapat


merangsang kontraksi uterus.
c. Lokia
Pengeluaran lokia setelah melahirkan, jumlahnya berkurang secara
perlahan dan disertai perubahan warna. Lokia ini mengalami perubahan,
pada awalnya disebut lokia rubra berwarna merah terutama mengandung
darah dan debris desidua serta debris trofoblastik. Aliran menyembur,
menjadi merah muda atau coklat setelah 3-4 hari yang disebut lokia
serosa. Lokia serosa terdiri dari darah lama, serum, leukosit dan debris
jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi lahir, warna cairan ini menjadi
kuning sampai putih disebut lokia alba. Lokia alba biasanya bertahan
selama 2-6 minggu setelah bayi lahir dan berangsur berhenti.
d. Payudara
Konsentrasi hormon yang menstimulasi perkembangan payudara
selama hamil (estrogen, progesteron, human chorionic gonadotoprin,
prolaktin, kortisol dan insulin) menurun dengan cepat setelah bayi lahir.
Waktu yang dibutuhkan hormon-hormon ini untuk kembali ke kadar
sebelum hamil sebagian ditentukan oleh ibu menyusui atau tidak. Apabila
wanita memilih untuk tidak menyusui dan tidak menggunakan obat
antilaktogenik, kadar prolaktin akan turun dengan cepat. Sekresi dan
ekskresi kolostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah
melahirkan. Pada hari kedua atau ketiga ditemukan adanya nyeri seiring

26

dimulainya produksi air susu. Pada hari ketiga atau keempat bisa terjadi
pembengkakan (engorgement). Payudara teregang, bengkak, keras dan
nyeri bila ditekan serta hangat jika diraba. Apabila bayi belum mengisap
atau dihentikan, laktasi berhenti dalam beberapa hari atau satu minggu
e. Vagina dan perineum
Struktur penopang uterus dan vagina bisa mengalami cedera
sewaktu melahirkan. Jaringan penopang dasar panggul yang teregang
memerlukan waktu sampai enam bulan untuk kembali ketonus semula.
Relaksasi panggul berhubungan dengan pemanjangan dan melemahnya
topangan permukaan struktur panggul. Struktur ini terdiri atas uterus,
kandung kemih dan rektum. Walupun relaksasi dapat terjadi pada setiap
wanita, tetapi biasanya merupakan komplikasi langsung yang timbul
terlambat akibat melahirkan.
3. Perubahan psikologi
Menurut Saleha (2009) yang mengutip pendapat Reva Rubin (1963)
faktor adaptasi psikologi yang terjadi pada ibu postpartum terdiri dari 3 fase
juga dapat menyebabkan depresi postpartum, yaitu : a) fase taking in disebut
juga periode ketergantungan. Pada fase ini ibu berfokus pada diri sendiri dan
tergantung pada orang lain. Pikiran ibu masih berfokus pada persalinan dan
tenaganya diarahkan untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya, dibandingkan
dengan merawat bayinya. Perilaku yang ditunjukkan pasif dan tergantung, ibu
memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosionalnya.

27

Fase ini terjadi dalam 1 sampai 2 hari dan dapat diobservasi pada satu jam
setelah persalinan; b) fase taking hold merupakan perpindahan dari periode
ketergantungan menjadi mandiri. Pada fase ini tenaga ibu meningkat. Ibu
merasa lebih nyaman dan lebih berfokus pada bayi daripada dirinya sendiri.
Ibu lebih mandiri untuk memulai perawatan diri dan berfokus pada fungsi
tubuh. Ibu dapat menerima tanggungjawab dalam perawatan bayi seperti
mengontrol tubuhnya sendiri. Menurut Rubin, fase ini sangat ideal untuk
memberikan edukasi tentang perawatan diri dan bayinya. Fase ini berlangsung
mulai hari ketiga sampai sampai hari ketujuh; c) fase ketiga adalah letting go,
yang merupakan periode kemandirian dalam menjalankan peran sebagai ibu
baru. Ibu mulai dapat menjalankan peran barunya sebagai ibu secara penuh
sejalan dengan kemampuan merawat bayi dan semakin percaya diri. Fase ini
mulai sekitar dua minggu postpartum.

C. Nyeri
1. Pengertian
Menurut Asosiasi Internasional untuk Penelitian Nyeri (IASP) dalam
Potter (2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan
pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadiankejadian di mana terjadi kerusakan.

28

Menurut Mc Caffery dalam Potter (2006), nyeri adalah segala sesuatu


yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja
seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri.
Menurut Carpenito, L J (2005), nyeri adalah keadaan dimana individu
mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau
sensasi yang tidak menyenangkan.
Menurut Smeltzer & Bare (2002), nyeri adalah pengalaman emosional
dan sensori yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
actual atau potensial
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat didefinisikan nyeri secara
umum sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan baik ringan maupun
berat.
2. Fisiologis nyeri
Menurut Barbara C Long (1996), menjelaskan tentang fisiologis nyeri
sebagai berikut. Reseptor nyeri disebut noiceptor merupakan ujung-ujung
syaraf yang bebas, tidak bermyelin atau sedikit bermyelin dari neuron aferen.
Nociceptor-nociceptor tersebar luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pada
struktur-struktur yang lebih dalam seperti pada visera, persendian, dinding
arteri, hati dan kandung empedu. Noiceptor member respon yang terpilih
terhadap stimuli yang membahayakan seperti stimuli kimiawi, thermal, listrik
atau mekanis. Yang tergolong stimuli kimiawi terhadap nyeri adalah

29

histamine, bradikinin, prostaglandin, bermacam macam asam, sebagian bahan


tersebut dilepas oleh jaringan yang rusak. Anoksia yang menimbulkan nyeri
adalah oleh kimia yang dilepas oleh jaringan anoksia yang rusak. Spasmus
otot menimbulkan nyeri kerena menekan pembuluh darah yang menjadi
anoksia. Spasme otot dapat juga berakibat anoksia. Pembengkakan jaringan
menjadi nyeri akibat tekanan (stimuli mekanis) kepada nociceptor yang
menghubungkan jaringan. Nyeri tidak menimbulkan adaptasi adaptasi yang
berulang ulang pada beberapa kejadian bisa menjadi lebih sensitive untuk
beberapa lama. Pada keadaan patologis sensitifitas nyeri meningkat. Contoh,
luka yang terbakar karena matahari menjadi sangat peka terhadap nyeri
walaupun hanya sedikit sentuhan (stimulus mekanis).
3. Proses transmisi nyeri
Impuls-impuls nyeri disalurkan ke sum-sum tulang belakang oleh dua
jenis serabut-serabut yang bermyelin rapat serabut A-delta (cepat), serabutserabut lamban serabut C. Nyeri dapat diterangkan sebagai nyeri tajam atau
menusuk dan yang mudah diketahui lokasinya akibat dari impuls-impuls yang
disalurkan oleh serabut-serabut delta-A. Contoh dari nyeri tersebut ialah
seperti tusukan oleh jarum, rasa nyeri panas , tumpul atau gatal dan
yang lebih difus berasal dari impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut
C. Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat
inhibitori yang ditransmisikan ke serabut-serabut C. serabut-serabut syaraf
aferen masuk ke spinal lewat dorsal noot dan sinaps pada dorsal horn.

30

Dorsal horn terdiri dari beberapa lapisan yang saling bertautan. Lamina II dan
III membentuk daerah yang disebut subtantia gelatinosa. Subtantia P dilepas
pada sinaps dari SG dan diduga merupakan penyalur syaraf/neuro transmitter
utama dari impuls-impuls nyeri.
Impuls-impuls

nyeri

menyebrangi

sum-sum

belakang

pada

interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinalis asendens.


Paling sedikit terdapat enam jalur sendens untuk impuls-impuls nociptive
terletak pada belahan ventral dari sum-sum belakang yang paling utama
adalah spinothalamus tract (STT) / jalur spinotalamus dan spinoreticular track
(SKRT) / jalur spinoretikkuler. STT merupakan system yang diskriminatif dan
membawa informasi mengenai sifat dan stimulus kepada thalamus kemudian
ke kortek untuk di interpretasi. Impuls-impuls yang ditransmisi lewat SKT
(yang pergi ke batang otak dank e sebagian thalamus)mengaktifkan responrespon autonomi dan limbic (motivational affectice / evektif yang dimotivasi).
(Barbara C. Long, 1996)
4. Teori pengontrolan nyeri
Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) proses dimana
terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut
yang mengirim sensasi tedak nyeri memblok atau menurunkan transmisi
impuls nyeri melalui gerbang penghambat. Substantia Gelatinosa (SG) yaitu
area dari sel-sel khusus pada bagian ujung dorsal spinal cord mempunyai

31

peran sebagai mekanisme pintu gerbang yang dapat membuka dan menutup
yang dapat mengijinkan atau menolak lewatnya impuls nyeri. Mekanisme
pintu gerbang ini dapat merubah sensasi nyeri yang datang sebelum sampai ke
korteks dan menimbulkan persepsi nyeri. Jika menutup impuls nyeri tidak
sampai ke korteks dan jika terbuka akan sampai ke korteks dan menimbulkan
persepsi nyeri (Potter & Perry, 2006).
5. klasifikasi nyeri
Smeltzer & Bare (2002), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan
durasinya, yaitu:
a. Nyeri akut
Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan
dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan
atau cedera telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan
dan biasanya kurang dari 1 bulan. Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat
dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari beberapa detik hingga 6 bulan.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena

32

biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang


diarahkan pada penyembuhannya. Nyeri kronik sering didefinisikan
sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau lebih, meskipun dapat
berubah antara akut dan kronik.
Sementara Price & Wilson (2006), mengklasifikasikan nyeri
berdasarkan lokasi atau sumber, antara lain:
a. Nyeri somatik superfisial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan
jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit
dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila kulit
hanya yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai penyengat, tajam,
meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut
berperan menimbulkan nyeri, sifaf nyeri menjadi berdenyut.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot,
tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit dan
cenderung menyebar ke daerah sekitarnya.
c. Nyeri visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ
tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor

33

nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga.


Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peregangan atau
distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemiadan peradangan.
d. Nyeri alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah
di tubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering
dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen
medula spinalis yang sama dengan viksus yang nyeri tersebut berasal dari
masa mudigah, tidak hams di tempat organ tersebut berada pada masa
dewasa.
e. Nyeri neuropati
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang
merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP) yang
menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di SST atau SSP
dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri. Nyeri
neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau seperti
tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita akibat
instabilitas sistem saraf otonom (SSO). Dengan deminkian, nyeri sering
bertambah parah oleh stres emosi atau fisik (dingin, kelelahan) dan
mereda oleh relaksasi.

34

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri


Menurut Potter & Perry (2006) faktor-faktor yang menyebabkan nyeri,
antara lain :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana
anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam
respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang
merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri
sejak lama telah menjadi subyek penelitian yang melibatkan pria dan
wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor
biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa
memperhatikan jenis kelamin
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Menurut Clancy dan Vicar dalam
(Perry & Potter, 2006), menyatakan bahwa sosialisasi budaya menetukan
perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini dapat

35

mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga


terjadilah persepsi nyeri.
d. Makna nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda beda
apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan,
hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang melahirkan akan
mempersepsikan

nyeri, akibat cedera karena pukulan pasangannya.

Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan


dengan makna nyeri.
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien
pada stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada
kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri
individu meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya
selama waktu pengalihan.
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

36

menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah


sama dalam nyeri dan ansietas. Price (Potter & Perry, 2006), melaporkan
suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim limbik dapat
memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic
dapat memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni
memperburuk atau menghilangkan nyeri.
g. Keletihan
Keletihan

meningkatkan

persepsi

nyeri,

rasa

kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan


koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang
menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai
kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika mengalami
suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang.
h. Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berati bahwa individu
akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri
tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan muncul, dan juga sebaliknya.
Akibatnya klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

37

i. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat
merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang yang
bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.
Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri
membuat klien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang yang
memberi dukungan sangatlah berguna karena akan membuat seseorang
merasa lebih nyaman. Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak- anak
yang mengalami nyeri.
7. Proses keperawatan nyeri
a. Pengkajian nyeri
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengkajian nyeri menurut
Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut :
1) Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat
subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas
yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

38

Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin


adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu
sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.
Pengukuran

subyektif

nyeri

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan berbagai alat pengukur seperti Verbal Descriptor Scale


(VDS), Numerical Rating Scales (NRS), Visual Analog Scale (VAS).
a) Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang
garis. Pendeskripsi ini dirangking dari tidak terasa nyeri sampai
nyeri tidak tertahankan. Perawat menunjukan klain skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru
yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. VDS memungkinkan klien memilih sebuah kategori
untuk mendiskripsikan nyeri.

Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS)

39

b) Numerical Rating Scales (NRS)


Skala penilaian numerik (Nemerical Rating scales, NRS)
lebih digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

10

Gambar 2.2 Numerical Rating Scales (NRS)

c) Visual Analog Scale (VAS)


Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak
melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi

keparahan

nyeri.

VAS

dapat

merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat


mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa
memilih satu kata atau satu angka (Potter & perry, 2006).
Keadaan VAS ini telah dibuktikan oleh incractas korelasi
koefisien (ICCs) dengan 95% confidence internal (95% CIS) dan
Bland Altman analisis yang digunakan untuk menilai keandalan
diperoleh pasangan pengukuran VAS 1 menit terpisah 30 menit

40

selama 2 jam. Hasil yang diperoleh dari ringkasan ICC untuk


semua pasangan VAS skor adalah 0,97 [95% CI = 0,96-0,98] (Bijur,
2001). Hal tersebut menunjukan bahwa VAS cukup handal digunakan
untuk menilai nyeri.

Tidak Ada Nyeri

Nyeri Berat

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)


Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami
skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif
bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter & perry, 2006).
2) Karakteristik nyeri
Karakteristik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri, dan
kemungkinan penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan) serat irama
(terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya

41

intenstias nyeri) dan kulitas nyeri (misalnya seperti ditusuk, seperti


terbakar, sakit, seperti digencet dan sebagainya).
3) Faktor-faktor yang meredakan nyeri
Berbagai perilaku sering diidentifikasikan klien sebagai faktor
yang mengubah intensitas nyeri (misal aktivitas, istirahat, pengerahan
tenaga, positi tubuh, penggunaan obat bebas, dan sebagainya) dan apa
yang diyakini klien dapat membantu dirinya. Perilaku ini sering
didasarkan pada upaya try and error.
4) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
Misalnya, terhadap pola tidur, nafsu makan, konsentrasi,
interaksi dan aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan
ansietas dan nyeri kronis yang berhubungan dengan depresi
5) Kekhawatiran individu tentang nyeri
Dapat meliputi masalah yang luas seperti beban ekonomi,
prognosis serta berpengaruh terhadap peran dan citra diri.
8. Metode mengatasi nyeri
Menurut Barbara C. L (1996) menjelaskan metode mengatasi nyeri ada
dua yaitu, tindakan peredaan nyeri secara farmakologis dan non farmakologis.
a. Tindakan peredaan nyeri secara farmakologis
Obat-obatan dapat mengurangi nyeri dengan berbagai cara. Tiap obat
yang diberikan dapat mengurangi nyeri. Nyeri dapat dikurangi dengan
mengganggu/memblok transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi

42

dan dengan mengurangi respon cortical terhadap nyeri. Sebagian obatobatan seperti narkotika dapat mempengaruhi keduanya baik perspsi
maupun respon.
1) Analgesik narkotik
Opiate merupakan yang terkenal untuk mengendalikan nyeri
sedang sampai yang berat.
2) Analgesik nonnarkotik
a) Aspirin
Aspirin merupakan analgesik yang dipakai secara luas untuk
nyeri yang ringan sampai sedang. Aspirin berkhasiat setelah 15
menit sampai 20 menit, memuncak 1 jam sampai 2 jam dan
berkhasiat selama 3 jam sampai 4 jam.
b) Acetaminophen
Acetaminophen sama seperti aspirin untuk analgesic, tapi
tidak anti inflamatori. Kurang menimbulkan perubahan dan efek
samping lebih sedikit tapi dapat menimbulkan kerusakan hati yang
parah. Dipakai oleh pasien yang alergi terhadap aspirin.
c) Obat-obatan nonsteroidal antiinflamatori
Butazolidin merupakan NSAIDs yang berkhasiat anti
inflamatori yang kuatyang diberikan dalam jangka waktu yang
pendek sampai sedang atau gawat. Disamping obat ini mempunyai
khasiat analgesic, namun tidak dipakai secara umum untuk

43

analgesikterhadap nyeri sedang karena kurang bisa ditolelir oleh


semua orang dan mempunyai banyak efek samping termasuk
perubahan hematologi, iritasi gastric, dan gangguan cairan dan
elektrolit.
b. Tindakan pereda nyeri secara nonfarmakologis
1) Distraksi
Merupakan

suatu

metode

untuk

menghilangkan

atau

menurunkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian klien pada hal


lain sehingga akan lupa terhadap nyeri yang dialaminya. Antara lain,
membaca,

mendengar

musik

yang

disuka,

menonton

TV,

membayangkan hal-hal yang menyenangkan dengan menutup mata


(imajinasi terbimbing).
2) Relaksasi
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari
ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikankan individu
control diri ketika rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik, dan emosi
pada nyeri. Contoh relaksasi adalah nafas dalam.
3) Stimulasi kulit
Dapat dilakukan dengan cara pemberian kompres dingin dan
hangat.

44

4) Massase/pemijatan
Masasse kulit memberikan efek penurunan kecemaan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok
atau menurunkan inpuls nyeri. Beberapa strategi stimulasi kulit
lainnya juga menggunakan mekanisme ini. Masase adalah stimuasli
kulit tubuh secara umum, dipusatkan pada punggung dan bahu, atau
dapat dilakukan pada satu atau beberapa bagian tubuh dan dilakukan
sekitar 10 menit pada masing-masing bagian tubuh untuk mencapai
hasil relaksasi yang maksimal.

D. Teknik relaksasi nafas dalam


1. Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dimana dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, napas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan,
selain dapan menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga
bias meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigen darah (Smeltzer
& Bare, 2002).

45

2. Tujuan
Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi
nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu
menurunkan nyeri dan menurunkan kecemasan.
3. Efek relaksasi
Perry & Potter (2006), menyatakan bahwa ada 9 efek relaksasi, yaitu
a. Relaksasi dapat menurunkan nadi, tekanan darah dan pernafasan,
b. Relaksasi dapat menurunkan konsumsi oksigen,
c. Penurunan ketegangan otot
d. Relaksasi dapat menurunkan kecepatan metabolisme,
e. Relaksasi dapat meningkatkan kesadaran global,
f. Relaksasi dapat mengurangi perhatian terhadap stimulus lingkungan,
g. Relaksasi dapat membuat tidak adanya perubahan posisi volunter,
h. Relaksasi dapat meningkatkan perasaan damai dan sejahtera, dan
i. Relaksasi dapat mengubah kewaspadaan menjadi santai dan dalam
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi nafas dalam terhadap
penurunan nyeri, antara lain :
a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami spasme.

46

b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk


melepaskan opoid endogen yaitu endoprin dan enkefain (Smeltzer & Bare,
2002)
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat .
Relaksasi melibatkan otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain
sehingga mudah dilakukan kapan saja dan sewaktu-waktu.
5. Komponen teknik relaksasi
a. Lingkungan yang tenang, menghindarkan sebanyak mungkin kebisingan
dan gangguan-gangguan
b. Posisi yang nyaman
c. Sikap yang dapat dirubah, mengosongkan semua pikiran-pikiran dari alam
sadar
d. Keadaan mental (yang baik: memusatkan perhatian pada suara, kata-kata,
ungkapan, imaginasi, abjek atau pola nafas, untuk merubah fikiran2 secara
internal menjadi pikiran yang lebih dapat diterima)
6. Prosedur relaksasi
Prosedur teknik relaksasi napas dalam menurut Priharjo (2003) adalah
bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan
diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi
yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan
desakan udara masuk selama inspirasi. Langkah-langkah teknik relaksasi
nafas dalam adalah sebagai berikut :
a. Ciptakan lingkungan yang tenang
b. Usahakan tetap rileks dan tenang

47

c. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara
melalui hitungan 1,2,3
d. Perlahan-lahan udara dihembuskan lewat mulut sambil merasakan
ekstremitas atas dan bawah rileks
e. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
f. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan lewat mulut
perlahan-lahan
g. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
h. Usahakan tetap konsentrasi mata sambil terpejam
i. Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
j. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
k. Ulangi sampai 15 kali, dengan diselingi istirahat setiap 5 kali
l. Bila nyeri menjadi hebat, anjurkan pasien untuk bernafas secara dangkal
dan cepat.

48

E. Kerangka teori
Post Operasi Sectio Caesarea

Adaptasi Fisiologi :
1. Uterus mengalami involusi.
2. Afterpain
Nyeri uterus pada awal masa
nifas.
3. Lokia
4. Payudara
Terdapat nyeri karena terjadi
penurunan hormon setelah
melahirkan.
5. Vagina dan Perinium

Nyeri

Manajemen
nyeri teknik
relaksasi
nafas dalam

Perubahan
nyeri

Adaptasi psikologi :
1. Taking in period
Hari 1-2 postpartum
-mobilisasi
-pola istirahat
-pola makan
2. Talking hold period
Hari ke 2-4 postpartum
3. Letting go period
Masa pulang ke rumah

Gambar 2.4. Kerangka teori


Keterangan : yang dicetak tebal yang diteliti.
Sumber : Teori Reva Rubin (1963), Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas,
2009

49

F. Kerangka Konsep

Intensitas nyeri
sebelum nafas
dalam

Relaksasi nafas
dalam

Intensitas nyeri
setelah nafas dalam

Dibandingkan

Gambar 2.5. Kerangka konsep pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap
perubahan skala nyeri ibu primigravida post operasi Sectio Caesarea.

G. Hipotesis
Ada pengaruh pemberian teknik relaksasi nafas dalam yang signifikan
terhadap
Caesarea.

perubahan intensitas nyeri ibu primigravida post operasi Sectio

Anda mungkin juga menyukai