Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas
fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis
sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional
dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan postpartum
dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius. Definisi
baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang yang dapat mengganggu homeostasis tubuh atau
mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori perdarahan postpartum. 1
Perdarahan postpartum dapat membunuh wanita dalam waktu 2 jam apabila tidak ditangani
dengan baik. Kemampuan seorang wanita untuk menanggulangi akibat buruk perdarahan tergantung pada
status kesehatan sebelumnya, ada tidaknya anemia, ada tidaknya hemokonsentrasi seperti pada
preeklamsia dan ada tidaknya dehidrasi. Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3 volume darah atau 1000 ml
harus segera mendapatkan penanganan. Volume darah (dalam ml) dihitung dengan rumus berat badan
(BB) dalam kg dikalikan dengan angka 80.2
Perdarahan postpartum dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan plasenta atau
setelah plasenta lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum dan selama plasenta lahir lebih dikenal sebagai
perdarahan kala III dan perdarahan setelah plasenta lahir sebagai perdarahan kala IV. Berdasarkan waktu
kejadiannya perdarahan postpartum dibagi dua yakni yakni perdarahan postpartum dini (terjadi dalam 24
jam pertama setelah bayi lahir) dan perdarahan postpartum lanjut (terjadi setelah 24 jam sejak bayi lahir).
Perdarahan yang terjadi dalam kala IV sering disebut disebut juga perdarahan postpartum segera
(immediate postpartum bleeding).1
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan
penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan
penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi
lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal 1,2,3. Kondisi dalam
persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka
batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit,
kadar Hb < 8 g/dL 2.
Perdarahan post partum dibagi menjadi1,2:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum
hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum
hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa
nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.
II. ETIOLOGI

a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga
uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi
pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri
ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau
lepas keseluruhan.4,5
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam
hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun
sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah

lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus,
dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah.
Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca
persalinan.4
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat 4:
1. Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar, hidramnion
atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana
sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.5

b. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir.
Hal tersebut disebabkan4,6 :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian plasenta
sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta
belum lepas dari dinding uterus disebabkan 4,6:
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua sampai
miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus sampai di bawah
peritoneum (plasenta perkreta).

Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya
usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta) 5.

c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif
dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang
disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan
potongan plasenta dikeluarkan4.

d. Robekan Jalan Lahir


Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan
dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina. Setelah
persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks
dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan. Robekan jalan lahir selalu memberikan
perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal
dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk
hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah
vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan
melakukan ligasi.5,6

e. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara
mendadak atau terjadi perlahan. Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi
tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah
kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada
4

plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam
beberapa tingkat :5,6,7
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.
Apabila kelainan ini sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan
bisa menyebabkan syok.

III. FAKTOR RESIKO

Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan resiko perdarahan postpartum antara lain :1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Pelahiran janin besar (makrosomi).


Pelahiran dengan menggunakan forceps
Persalinan pervaginam setelah operasi sectio secarea.
Persalinan yang dipacu dengan oksitosin
Multipara
Hidramnion
Riwayat dengan perdarahan postpartum
Pasien dengan plasenta previa

IV. DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis :4

Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil,
ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus

Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin
karena luka jalan lahir
Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada pemeriksaan
dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta.
Tabel 1. Gejala dan tanda-tanda klinik perdarahan post partum5

Gejala dan Tanda


Penyulit
- Uterus tidak berkontraksi dan Syok
5

Diagnosis Kerja
Atonia uteri

lembek.

Bekuan

darah

- Perdarahan segera setelah serviks


anak lahir

pada

atau

posisi

telentang

akan

menghambat

aliran

darah keluar
- Darah segar mengalir segera Pucat
setelah bayi lahir

Robekan jalan lahir

Lemah

- Uterus berkontraksi dan keras Menggigil


- Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir setelah Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
30 menit

traksi berlebihan

- Perdarahan segera

Inversio uteri akibat

- Uterus berkontraksi dan keras tarikan


-

Plasenta

atau

Perdarahan lanjutan
sebagian Uterus
berkontraksi Retensi sisa plasenta

selaput tidak lengkap

tetapi

tinggi

fundus

- Perdarahan segera
- Uterus tidak teraba

tidak berkurang
Neurogenik syok

- Lumen vagina terisi massa

Pucat dan limbung

Inversio uteri

- Tampak tali pusat (bila


plasenta belum lahir)
- Sub-involusi uterus

Anemia

Endometritis atau sisa

- Nyeri tekan perut bawah dan Demam

fragmen

plasenta

pada uterus

(terinfeksi atau tidak)

- Perdarahan sekunder
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium4,5,6

Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar

hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk1,3.


Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal3.
6

Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan2,3.

b. Pemeriksaan radiologi4,5,6

Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau
radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat

adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta1,3.


USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko
tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti
plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya1,2,3.

VI. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum ada 3 yakni pencegahan, penghentian


perdarahan dan mengatasi syok. Pendekatan resiko, meskipun menimbulkan kontroversi tetap
masih mendapatkan tempat untuk diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor resiko tinggi
terjadinya perdarahan postpartum sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang
mempunyai unit tranfusi dan perawatan intensif.3 Pada penanganan perdarahan postpartum,
pilihan terapi yang cepat dan tepat akan menentukan tingkat keberhasilan. Prinsip dasar dari
penanganan perdarahan postpartum adalah haemostasis atau menghentikan perdarahan dengan
cepat. Untuk memudahkan mengingat prosedur yang harus dilakukan, akronim Haemostasis
dapat digunakan (Tabel 2).2
Tabel 2. Penanganan Umum Perdarahan Postpartum2

1. Manajemen Aktif Kala III


Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan manajemen aktif kala III. Merupakan tindakan
(intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi
uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena atoni uteri. 7 Tindakan ini
meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) peregangan tali pusat
terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir.8 Oksitosin 10 unit disuntikan secara
intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Peregangan tali pusat secara
terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta
mengejan. Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk menghidari inversi.
Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat,
palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti. 8 Rekomendasi
kunci yang dianjurkan dalam praktek untuk menekan kejadian perdarahan postpartum adalah
sebagai berikut (Tabel 6).7
Pada tahun 2006 WHO mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk meminimalisasi
morbiditas dan mortalitas maternal:
1. Manajemen aktif harus dilakukan pada semua wanita oleh dokter ahli
2. Dokter ahli harus menggunakan uterotonika (oksitosin, ergonovine, misoprostol, dan
carboprost) untuk mencegah perdarahan postpartum.
3. Klem tali pusat lebih awal hanya direkomendasikan pada bayi yang membutuhkan
resusitasi.

Tabel 2. Rekomendasi Kunci Pedarahan Post Partum7


8

2. Uterotonika
Uterotonika utama yang dipakai dalam pencegahan dan penanganan perdarahan
postpartum adalah oksitosin dan metilergonovin. Society of Obstetricians and Gynecologist of
Canada (SOGC) Clinical Practice Guidline merekomendaskan pemakaian oksitosin dan
metilergonovin sebagai berikut (Tabel 7).9
Tabel 3. Penggunaan Uterotonika9

3. Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang banyak digunakan dalam praktek
obstetrik karena sifatnya yang memacu kontraksi miometrium. Misoprostol lebih unggul

dibanding prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2 karena sifatnya yang stabil pada
temperatur kamar, murah dan mudah penggunaannya.10
Adanya perdarahan postpartum setelah persalinan harus segera ditangani dengan tepat.
Penanganan lini pertama dengan pemberian uterotonika yaitu oksitosin dan ergometrin yang
dilanjutkan dengan masase uterus. Misoprostol dapat digunakan apabila dengan metode ini
perdarahan tidak dapat dihentikan. Dalam situasi di mana uterotonika tidak tersedia, pemberian
misoprostol 600 g dapat digunakan sebagai terapi utama perdarahan postpartum. Misoprostol
dapat diberikan secara oral ataupun sublingual.11
4. Penanganan perdarahan postpartum yang telah terjadi (establihed postpartum hemorrhage)
a. Intervensi medis
Jika dengan managemen aktif kala III perdarahan vaginal masih berlangsung, maka
harus segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam 500 ml
cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama dilakukan pemeriksaan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi
sisa plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara mengatasi syok (ABC's) dengan memasang
venokateter besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring tanda vital dan memasang
kateter untuk memonitor jumlah urin yang keluar. Monitoring saturasi oksigen juga perlu
dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin, golongan darah dan skrining koagulasi.9
Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia (resusitasi
cairan). Kelambatan atau ketidaksesuaian dalam memberikan koreksi hipovolemia merupakan
awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan postpartum. Meskipun pada perdarahan
kedua komponen darah yaitu plasma dan sel darah hilang, tetapi penanganan pertama untuk
menjaga homeostasis tubuh dan mempertahankan perfusi jaringan adalah dengan pemberian
cairan. Larutan kristaloid (saline normal atau ringer laktat) atau koloid harus segera diberikan
dengan jumlah 3 kali estimasi darah yang hilang, tetapi larutan kristaloid lebih diutamakan.
Dextran tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet. Dosis maksimal untuk
larutan koloid adalah 1500 ml per 24 jam.7,9
b. Intervensi bedah
Pasien harus diletakkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang baik sehingga
adanya robekan di perineum, vagina dan seviks dapat diidentifikasi. Jika robekan jalan lahir
dapat disingkirkan maka segera dilakukan eksplorasi kavum uterin untuk menyingkirkan adanya
10

retensi sisa plasenta. Jika setelah manuver ini perdarahan masih berlangsung dan kontraksi uterus
lembek, maka atoni uteri adalah penyebab perdarahan.
Beberapa intervensi bedah yang dapat dilakukan adalah kompresi bimanual, tampon
uterus (uterine packing, tamponade test), jahitan pada placental bed, jahitan segi empat ganda
(multiple square suture), jahitan B-Lynch, ligasi arteria uterina, ligasi arteria iliaka interna,
histerektomi, tampon intraabdominal (intraabdominal packing) dan embolisasi arteria iliaka
interna atau arteria uterina.12
5. Kompresi Bimanual
Kompresi bimanual dilakukan dengan satu tangan (tangan kanan mengepal) ditempatkan
di forniks anterior dan tangan kiri mengangkat korpus dan menekan ke arah tangan yang di
dalam vagina. Cara ini setidaknya dapat menghentikan perdarahan sementara sambil menyiapkan
langkah lainnya.
6. Tampon Uterus (Uterine Packing)
Tindakan ini dipertimbangkan bila terapi obat-obatan tidak berhasil atau sambil menunggu
tindakan operatif. Pada keadaan di mana korpus berkontraksi baik sedang segmen bawah rahim
tidak, seperti pada plasenta letak rendah, maka tampon uterus bermanfaat. Bila seluruh uterus
lembek dan serviks terbuka lebar maka tampon tidak efektif karena tampon tidak mendapat
tahanan dari bawah. Tampon harus dipasang dengan padat dan hanya meninggalkan bagian
sedikit di dalam vagina untuk mengangkat setelah 24 jam.12
7. Histerektomi Peripartum
Insidensi melakukan histerektomi peripartum berkisar antara 7-13 per 100.000 persalinan
dan sebagian besar terjadi bersamaan dengan seksio sesarea. Indikasi utama adalah plasenta
akreta, inkreta dan perkreta, atoni uterin, ruptur uterin, hematoma ligamentum latum, robekan
serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah
arteria uterina. Histerektomi supraservikal dapat dilakukan kalau dibutuhkan operasi yang lebih
cepat. Teknik B-Lynch dan teknik Lasso-Budiman, keduanya merupakan teknik yang aman,
sederhana, mudah, dan efektif untuk menghentikan perdarahan pascapersalinan yang disebabkan

11

oleh atonia uteri. Bila terjadi kegagalan, histerektomi adalah pilihan terakhir. Kedua teknik
tersebut juga merupakan metode yang efektif untuk mempertahankan uterus dan fertilitas.13
8. Tampon Intraabdominal
Histerektomi tidak menjamin bahwa perdarahan pasti berhenti. Perdarahan bisa terjadi
karena gangguan faktor pembekuan (consumptive coagulopathy) atau manipulasi yang
berlebihan. Sebuah tampon padat ditaruh di tempat sumber perdarahan dan diangkat setelah 24
jam setelah gangguan perdarahan terkoreksi.12
9. Tranfusi Darah
Sel darah merah yang dimampatkan (Packed Red Cells, PRC) lebih banyak digunakan
untuk mengatasi syok hemoragik. Tujuan transfusi darah pada kedaan ini adalah restorasi cairan
intravaskular yang hilang dan pemulihan kapasitas membawa oksigen oleh sel darah merah
(oxygen carrying-capacity). Kemampuan membawa oksigen sel darah merah pada seorang
individu yang sehat tidak akan terganggu sampai kadar hemoglobin turun di bawah 6-7 g/dL.
Kehilangan darah lebih dari 20-25% atau dengan kecurigaan koagulopati memerlukan
penggantian faktor koagulasi. Pemeriksan faktor koagulasi juga diperlukan setelah pemberian 510 unit PRC.14
Tabel 4. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara
Oksitosin
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1
pemberian awal

Ergometrin
IM atau IV (lambat):

L larutan garam 0,2 mg


fisiologis

Misoprostol
Oral atau rektal 400
mg

dengan

tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan

IV: 20 U dalam 1L

Ulangi 0,2 mg IM 400

larutan garam

setelah 15 menit

fisiologis dengan 40 Bila


tetes/menit
Dosis

diperlukan,

2-4

masih
beri
Total 1200 mg atau 3

larutan fisiologis
dosis
Pemberian IV secara Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi
12

jam

setelah dosis awal

IM/IV setiap 2-4 jam


maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg (5 dosis)

per hari
Kontraindikasi

mg

atau hati-hati

cepat atau bolus

kordis, hipertensi

Asma

Gambar 1. Manajemen Perdarahan Postpartum9

VII. KOMPLIKASI

13

Syok terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa disebabkan oleh kegagalan
kerja jantung (syok kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga terjadi redistribusi cairan yang beredar
(intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (syok
hipovolemik) atau karena perdarahan banyak (syok hemoragik). Tanda dan gejala syok hemoragik
bervariasi tergantung pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan hilangnya darah (Tabel 3). 15
Tabel 3. Tanda, Gejala dan Klasifikasi Syok Hemoragik (Wanita dengan Berat Badan 60-70 kg) 15

Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan penurunan


volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung
meningkat dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah
merah untuk mengangkut oksigen juga menurun sedang kenaikkan kontraktilitas otot jantung
membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Keadaan ini cepat memacu terjadinya kegagalan
miokardium. Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa oksigen
menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme
anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi dan
memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang
berakibat kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga
mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang
mengakibatkan terjadinya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan
yang berakhir dengan kematian.16 Evaluasi pada pasien meliputi riwayat medis yang lengkap, seperti
riwayat koagulopati dan riwayat terapi anti koagulan, harus dilakukan. Pemeriksaan fisik yang lengkap
dapat menunjukkan adanya memar atau petekia yang luas. Pemeriksaan untuk menilai status koagulasi
dan konsultasi harus dipertimbangkan. Resiko komplikasi perdarahan harus dicatat pada rekam medis
didiskusikan dengan pasien.15

BAB III
14

KESIMPULAN
Secara tradisional, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml
atau lebih darah setelah kala tiga persalinan selesai. Perdarahan postpartum sering bersifat akut,
dramatik, underestimated dan merupakan sebab utama kematian maternal. Beberapa keadaan yang

dapat menimbulkan resiko perdarahan postpartum antara lain : Pelahiran janin besar
(makrosomi), pelahiran dengan menggunakan forceps, persalinan pervaginam setelah operasi
sectio secarea, persalinan yang dipacu dengan oksitosin, multipara, hidramnion, riwayat dengan
perdarahan postpartum dan pasien dengan plasenta previa.
Penyebab paling sering dalam terjadinya perdarahan postpartum adalah atonia uteri.
Dimana uterus yang mengalami overdistensi yang dikarenakan kelahiran gemeli, makrosomi
(janin besar), hidramnion sehingga uterus mengalami hipotonia setelah persalinan. Selain atonia
uteri, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum dapat terjadi.
Diantaranya potongan plasenta yang tertinggal, laserasi saluran genital bawah, ruptur uteri,
inversi uteri, plasentasi abnormal dan koagulopati.
Dalam mendiagnosis perdarahan postpartum, kita dapat mendiagnosis dengan cara melihat
berdasarkan gejala klinisnya, palpasi uterus, memeriksa plasenta dan ketuban, eksplorasi kavum uteri,
inspekulo dan dengan pemeriksaan laboratorium.
Penanganan perdarahan postpartum ditujukan pada 3 hal yakni pencegahan, penghentian
perdarahan dan mengatasi syok. Penanganan aktif kala III persalinan merupakan tindakan preventif yang
harus diterapkan pada setiap persalinan. Oksitosin dan metilergonovin merupakan obat lini pertama baik
dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Misoprostol dengan dosis 600- 1000 g dapat dipakai bila
obat lini pertama gagal. Restorasi cairan melalui dua jalur infus dengan venokateter ukuran besar adalah
tindakan pertama mengatasi syok hemoragik. Larutan kristaloid sebanyak 3 kali estimasi jumlah darah
yang hilang dapat mempertahankan perfusi jaringan. Dalam keadaan yang sangat mendesak (perdarahan
mencapai 40% volume darah) dan masih berlangsung pemberian darah yang sesuai tanpa crossmatching
adalah tindakan live safing yang dapat dibenarkan.
Tindakan bedah dilakukan bila usaha menhentikan perdarahan secara medis tdak berhasil.
Tindakan tersebut adalah kompresi bimanual, tamponade, jahitan B Lynche, histerektomi dan tamponade
intraabdominal. Bila terjadi gejala DIC maka pengobatan khusus DIC harus segera diberikan mulai dari
transfusi platelet, dan fresh frozen plasma cryoprecipitate.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Cuningham FG, et al. Postpartum Hemorrhage. William Obstetrics 22th p463. Connecticut: Appleton
and Lange, 2005.
2. Ramanathan, Gand Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage.

J Obstet Gynaecol Can

2006;28(11):967973.
3. WHO. World Health Report 2005Make every mother and child count. Geneva: World Health
Organization, 2005.
4. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan Medis
RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
5. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002, Perdarahan Setelah
Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR
POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
6. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.com
7. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam
Physician 2007;75:875-82.
8. John RS. Management of Third Stage of Labor. Medscape Reference. emedicine.medscape.com
9. Schuurmans N, et al. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of Postpartum
Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(4):271-81.
10. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. NEngl J Med 2001; 344
(1):38-45.
11. J Blum, et al. Treatment of Postpartum Hemorrhage. International Federation of Gynecology and
Obstetric. Ireland:Elseiver.
12. Dean Leduc. Active Management of The Third Stage of Labour: Prevention and Treatment
Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2009;31(10):980-993.
13. Muhammad Nurhadi Rahman, dkk. Penggunaan Teknik B-Lynch dan Teknik Lasso-Budiman untuk
Penanganan Perdarahan Pascapersalinan akibat Atonia Uteri. Case Report Vol.34 No.4 Oktober 2010.
14. Statewide Maternity and Neonatal Clinical guidelines Program. Primary Postpartum

Hemorrhage. July 2009.


15. Marzi I. Hemorrhagic shock: update in pathophysiology and therapy. Acta Anaesthesiol Scand Suppl
1997;111:42-4.
16. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam
Physician 2007;75:875-82.

16

Anda mungkin juga menyukai