Anda di halaman 1dari 3

BELENGGU PENDIDIKAN

Beberapa

dekade terakhir ini, dunia

pendidikan

digemparkan

dengan

berbagai permasalah yang sangat pelit. Di


mulai dengan perdebatan masalah UN
penting atau tidak?, sampai pada
permasalahan

teknis

UN

2013

yang

menyisakan tanda tanya yang jauh dari


sebuah jawaban yang dapat memberi
keyakinan atas sebuah jalan keluar. Tidak
kalah pelitnya lagi, dalam kurun waktu
singkat banyak oknum guru tersandung
permasalah

hukum,

baik

yang

melakukan tindak kekerasan, pelecehan,


dan banyak lagi permasalah yang dilatar belakangi oleh sisi psikologi individu. Sehingga
pertanyaan yang muncul,..apa yang melatar belakangi?
Dari berbagai masalah yang muncul tersebut, seharusnya pemerintah khusunya
dan kita semua pada umumnya dapat menilik dan berpikir secara runtut, sebuah akar
permasalah dari keseluruhan. Seharusnya, Indonesia mulai sadar bahwa ada sesuatu
yang menjadikan pendidikan di Indonesia bertindak seperti seorang psikofat, yang
bertindak tanpa kendali dengan mengatas namakan kebenaran.
Secara

fundamental

pendidikan

dalam

kehidupan

bertujuan

untuk

mengantarkan anak manusia pada kehidupan beradab yang berbudaya dan beretika.
Di lihat dari tujuan itu, jelas bahwa pendidikan adalah sesuatu yang berdasar pada
keetiadaan untuk menciptakan sesuatu yang kompleks. Jika begitu, kenapa
kenyataannya manusia Indonesia yang sejatinya diharapkan menjadi manusia yang
beradab yang berbudaya dan beretika menyjadi beringas?. Dimana, kita seolah-olah
dihadapkan kembali kepada kisah para wangyang kuno atau kisah Ken Arok yang
mewujud pada generasi bangsa sekarang. Dengan bangunan persepsi individu mereka,
bahwa kekuatan fisik dan kenakalan adalah sebuah keharusan dan kebanggaan.
Dimana, menjadi anak baik adalah sebuah kutukan dan kehinaan yang semua orang
akan menertawakan.

Kesemuaan itu menunjukan betapa belum mapannya pendidikan yang


berlangsung di Indonesia. Sikap sistem dan pola pemerintahan Indonesia dalam
menjadikan pendidikan hasil sebuah politik yang mapan, hanya sebuah mimpi di siang
bolong. Pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian sebuah politik bersih menjadikan
sasaran empuk para penjahat politik. Pendidikan dijadikan sebagai kebutuhan politik
sesaat, yang menciptakan penjara atas proses pemanusiaan. Sehingga, yang tampak
hanya sebuah keperluan untuk sebuah kehormatan bukan sebuah keharusan sebagai
perjuangan atas kepedulian terhadap kehidupan manusia beradab yang berbudaya dan
beretika.
Gaya politik dan pemerintahan seperti itu, akan membuat pendidikan menjadi
sebuah desain senjata yang mematikan. Pendidikan yang digadang-gadangkan sebagai
pilar pembangunan sumber daya manusia akan menjadi sebuah museum yang hanya
mampu memberika cerita masa lalu. Apabila kita mau mengingat pada masa-masa
orde lama-orde baru banyak negara yang belajar sistem pendidikan pada negara
Indonesia, salah satunya negara yang satu rumpun dengan Indonesia yaitu Malaysia. Dan,
banyak prasasti yang menunjukan bahwa Indonesia yang dikenal dengan nama
Nusantara sebagai pusat pendidikan. Mungkin kita masih ingat dengan kerajaan
Sriwijaya yang ada di Sumatera, pada masanya Sriwijaya menjadi pusat pendidikan
khususnya untuk orang-orang agama Hindu.
Begitu keramatnya sebuah pendidikan dalam menciptakan manusia, sehingga
dengan pendidikan seorang guru dapat menciptakan generasi penerus sesuai dengan
paradigma yang mereka bangun. Pendidikan tidak hanya sebagai ajang mengadu daya
ingat tetapi lebih dari itu pendidikan adalah ajang upacara yang sakral. Sehingga untuk
membahasan lebih jauh tentu kita perlu mengerti apa yang di maksud dengan
memanusiakan manusia yang menjadi visi, misi dan tujuan pendidikan. Kalimat yang
sangat indah dan sangat idealis untuk sebuah pencapaian. Memanusiakan manusia
adalah sebuah konsep yang menyentuk segalah sisi dan dimensi sebagai manusia.
memanusiakan manusia artinya, dengan pendidikan setiap peserta didik digembleng
agar dapat menjadi manusia. Sebagaimana, Plato menyatkan bahwa manusia adalah
binatang yang berakal budi. Manusia akan mejadi manusia kalau ia mempunyai
akal dan mempunyai budi. Ada sebuah pepatah yang tidak asing lagi manusia bisa
lebih mulia dari para malaikat dan juga bisa lebih hina dari pada binatang.
Pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada satu dimensi kecerdasan
akademis tetapi juga mencakup multi-kecerdasan yang mesti dimiliki oleh seorang
manusia, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan

kecerdasan spiritual. Pendidikan harus dilepaskan dari taktik-taktik politik. Yang


berasumsi kemenangan adalah nomor satu dan kebenaran adalah nomor belakang.
Politik

yang menjadikan roh pendidikan yang sebenarnya mati. Kesalahan dalam

memandang pendidikan hasil politik akan menjadikan pendidikan terbelenggu pada


ruang hampa udara. Sesungguhnya pendidikan adalah hasil politik tetapi pendidikan
tidak boleh dipolitisasi.
Pendidikan di Indonesia sekarang seperti seseorang yang diutus untuk
mengumpulkan emas sebanyak mungkin sedangkan dia sendiri terkurung pada ruang
penjara yang gelap dengan pengawasan super ketat. Sehingga, kemampuan berpikirpun
seakan hilang dan yang dilakukan hanya sebuah kepura-puraan. Pura-pura mengais
tanah seakan-akan beberapa waktu lagi akan menemukan tumpukan emas yang
diinginkan pesuruh.
Bagaimana pendidikan mampu membentuk generasi muda yang jujur dan
amanah, jika seorang guru sudah melakukan tindakan yang tidak jujur dan manah.
Kenapa beitu, apa yang terjadi?, hampir setiap penerimaan CPNS di seluruh Indonesia
dengan pola pesanan. Semua itu bukan sebuah rahsia lagi. Tentu semua itu pengaruh
dari tindakan para politikus dan pemerintah yang sedang berkuasa dalam mempolitisasi
pendidikan dengan kekuasaan dan otoritasnya. Apa yang dapat Indonesia harapkan
dari hasil sebuah mesin yang sudah gagal?. Produk yang seperti apa yang di tunggu
dan dinanti-nanti bangsa ini, dari pendidikan yang diatur dan dikelolah oleh orang-orang
gagal?.

Rabial Kanada
Mahasiswa Pascasarjana UNNES
Prodi Manajemen Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai