Anda di halaman 1dari 22

IMUNOPATOGENESIS PENYAKIT PULPA

IMUNOLOGI SECARA UMUM


Sel-sel yang bertanggungjawab atas berbagai strategi pertahanan imun secara umum
adalah leukosit.
1. Neutrofil, spesialis fagositik yang sangat mudah bergerak (mobile) dan memakan serta
menghancurkan bahan-bahan yang tidak diperlukan.
2. Eosinofil, mengeluarkan zat kimiawi yang menghancurkan cacing parasit dan berperan
dalam manifestasi alergi.
3. Basofil, mengeluarkan histamin dan heparin, dan juga terlibat dalam manifestasi reaksi
alergi.
4. Limfosit, terdiri dari limosit T dan limfosit B. (akan dijelaskan selanjutnya)
5. Monosit, berubah menjadi makrofag, yaitu spesialis fagositik yang berukuran besar.
Leukosit berada dalam darah hanya untuk beberapa saat. Sebagian besar leukosit keluar
dari pembuluh untuk berada di jaringan dalam tugas pertahanannya.
Hampir semua leukosit berasal dari prekursor sel bakal yang umum di sumsum tulang
dan kemudian dikeluarkan ke dalam darah, kecuali limfosit, yang sebagian besar berasal
dari koloni-koloni limfosit di berbagai jaringan limfoid. Jaringan limfoid merupakan
jaringan yang menyimpan, menghasilkan, atau mengolah limfosit. Jaringan-jaringan
limfoid yang berada dalam tubuh adalah:
a. Sumsum tulang, yang berfungsi sebagai:
-

Asal dari semua sel darah

Tempat pengolahan dan pematangan limfosit B

b. Kelenjar limfe, tonsil (organ limfoid dekat farings yang terdiri atas lekukan epitel),
adenoid, apendiks, dan bercak Peyer (kelompok limfoid dalam saluran cerna) atau gut
associated lymphoid tissue (GALT) yang memiliki fungsi:
-

Pertukaran limfosit dengan limfe (menyingkirkan, menyimpan, memproduksi, dan


menambahkan). Cairan limfe mengandung beberapa protein dari darah, monosit, dan
banyak limfosit.

Limfosit residen (yang ada dalam jaringan-jaringan tersebut) menghasilkan antibodi


dan mensensitisasi sel T, yang kemudian dikeluarkan ke limfe.

Makrofag residen membersihkan mikroba dan debris lain berupa partikel dari limfe.

c. Limpa
Merupakan organ viseral yang terletak antara fundus gaster dan diafragma, memiliki
fungsi:
-

Pertukaran limfosit dengan limfe (menyingkirkan, menyimpan, memproduksi, dan


menambahkan).

Limfosit residen menghasilkan antibodi dan mensensitisasi sel T, yang kemudian


dikeluarkan ke darah.

Makrofag residen membersihkan mikroba dan debris lain berupa partikel, terutama
sel darah merah yang aus, dari darah.

Menyimpan sejumlah kecil sel darah merah, yang dapat ditambahkan ke darah
melalui kontraksi limpa jika diperlukan.

d. Timus
Organ yang bentuknya tidak beraturan terletak dalam mediastinum dekat pembuluhpembuluh besar jantung, yang memiliki fungsi:
-

Tempat proses pematangan limfosit T

Mengeluarkan hormon timosin


Jaringan-jaringan limfoid memiliki letak strategis untuk mencegat mikroorganisme

invasif sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menyebar terlalu jauh. Contohnya,
limfosit yang menempati tonsil dan adenoid berada di tempat strategis untuk menyambut
mikroba yang masuk melalui inhalasi.

Sistem Imun Non-spesifik


Komponen Imun Non-spesifik
Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan badan terdepan dalam menghadapi
berbagai serangan mikroorganisme dan dapat memberikan respons langsung terhadap

antigen tanpa memandang apakah agen pencetus pernah atau belum pernah dijumpai..
Komponen-komponen sistem imun non-spesifik terdiri atas:
1. Pertahanan fisik dan mekanis, yaitu kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan
bersin yang dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk kedalam tubuh. Kulit yang
rusak misalnya luka bakar dan selaput lendir yang rusak karena asap rokok akan
meningkatkan risiko infeksi.
Strukur kulit
Kulit terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan epidermis di bagian luar dan dermis di
bagian dalam. Lapisan dermis tersusun dari banyak sel epitel. Bagian dalam epidermis
selnya hidup, berbentuk kubus dan selalu membelah. Sedangkan bagian luar selnya
mati dan menggepeng. Lapisan dermis banyak mengandung jaringan ikat, yaitu serat
elastin dan serat kolagen. Di antara jaringan-jaringan ikat itu terdapatkelenjar keringat,
kelenjar sebasea, folikel rambut, lapisan lemak, pembuluh darah dan saraf. Semua
bagian ini berperan dalam mendukung fungsi kulit sebagai protektor tubuh. Misalnya
kelenjar keringat. Ia mensekresi keringat yang bersifat agak asam sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
Ada beberapa sel pada kulit yang berperan dalam sistem imun, yaitu:
-

Melanosit. Menghasilkan melanin yang memberi warna pada kulit dan melindungi
kulit dari radiasi sinar ultraviolet.

Kreatinosit. Menghasilkan keratin yang membentuk lapisan protektif serta


membentuk rambut dan kuku. Selain itu ia juga menghasilkan interleukin1 yang
mempengaruhi pematangan limfosit di kulit

Langerhans. Merupakan sel yang mengolah dan menyajikan antigen ke sel T helper
sehingga dapat mempermudah respons imun di kulit.

Granstein. Fungsinya sama seperti langerhans, hanya saja ia bekerja untuk sel T
supresor sehingga dapat mengerem respons imun yang diaktifkan di kulit.

2. Pertahanan biokimia, yaitu bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar
sebasea kulit, kelenjar kulit telinga dan spermin dalam semen merupakan bahan yang
berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorida dalam lambung, lisozim dalam

keringat, ludah air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman gram
positif dengan jalan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu mengandung pula
laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakteri terhadap Escherichia
coli dan staphylococcus. Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan
kuman gram negatif dengan bantuan komplemen. Laktoferin dan transferin dalam
serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas.
3. Pertahanan humoral.
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan humoral, yaitu:
a. Sistem komplemen, mengacu pada sekitar 20 jenis protein yang terlarut dalam
plasma darah dan berbentuk inaktif, yaitu C1, C2, C3, C4 sampai C9 faktor B,
faktor D dan faktor P serta beberapa protein pengatur.
Sistem komplemen memiliki dua jalur pengaktifan, yaitu:
1. Jalur klasik: melalui pengikatan C1, C2 dan C4 ke komplek antigen-antibodi.
2. Jalur alternatif: melalui interaksi antara faktor B, D dan P dengan molekul
polisakarida di dinding membran bakteri atau jamur.
Kedua jalur ini lalu bersatu mengaktifkan C3 yang lalu terpecah menjadi dua
komponen, yaitu C3a dan C3b. Hal ini mengaktifkan suatu jalur terminal yang
menyebabkan sel lisis, fagositosis dan inflamasi.
Ketika C3b berikatan dengan membran sel target, memicu pembentukan kompleks
protein komplemen yang disebut MAC (membarane attack complex). MAC
membentuk pori-pori di permukaan membran sel target sehingga menyebabkan sel
tersebut lisis. Molekul C3b yang membungkus mikroorganisme menyebabkan
terjadinya opsonisasi sehingga makrofag dan neutrofil lebih mudah berikatan
dengan antigen. C3a dan C5a memicu terjadinya inflamasi dengan menstimulasi sel
mast dan basofil untuk mengeluarkan histamin.
b.

Interferon, merupakan suatu zat kimia berupa glikoprotein yang dikeluarkan oleh
sel yang terinfeksi virus. Ia menghasilkan resistensi nonspesifik terhadap virus
dengan secara sementara menghambat replikasi virus di sel host yang lain. Setelah
dilepaskan oleh sel yang terinfeksi virus, interferon berikatan dengan reseptor

membran sel-sel di sekitarnya atau sel lain di tempat yang lebih jauh melalui aliran
darah. Ia memberi sinyal kepada sel-sel lain agar mempersiapkan diri terhadap
invasi virus.
Interferon tidak memiliki efek antivirus langsung. Artinya, ia tidak langsung
bekerja menghancurkan virus. Interferon memicu pembentukan enzim-enzim
penghambat virus di sel tempat ia berikatan. Ia menginduksi sel tersebut untuk
membentuk enzim yang dapat merusak RNAm virus sehingga menghambat sistesis
DNA virus dalam sel tersebut. Akibatnya, walaupun virus dapat menginvasi sel, ia
tidak mampu mengatur sintesis protein untuk replikasi dirinya.
Selain memiliki efek antivirus, interferon juga berfungsi untuk meningkatkan
aktivitas fagositik makrofag, merangsang pembentukan antibodi serta memiliki efek
antikanker dengan cara meningkatkan kerja sel-sel pembunuh (sel natural killer dan
sel T sitotoksik) dan memperlambat pembelahan sel kanker dan menekan
pertumbuhan sel tumor.
c.

C Reaktif Protein (CRP), dibentuk oleh badan pada saat infeksi. Peranannya
adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen.

4. Pertahanan seluler terdiri dari : a) Fagosit atau makrofag, b) Sel NK yang berperan
dalam sistem imun non spesifik seluler.
a. Fagosit atau makrofag, merupakan sel dalam tubuh yang dapat melakukan
fagositosis, tetapi sel utama yang berperan pada pertahanan non spesifik adalah sel
mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfoknulear seperti neutrofil.
Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel hemopoetik. Fagositosis dini yang
efektif pada invasi kuman akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Penghancuran
kuman terjadi dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis (menangkap), fagositosis
(memakan), membunuh dan mencerna.
Fagositosis antigen oleh makrofag menggunakan mekanisme endositosis dan
eksositosis. Pertama-tama makrofag mengenali suatu benda asing. Lalu ia
mendekati antigen tersebut dan membungkusnya menggunakan kaki semu sehingga
terbentuk vesikel dalam sel makrofag yang berisi antigen. Vesikel lisosom lalu

bergabung dengan vesikel antigen dan menghancurkan antigen tersebut dengan


mensekresi enzim hidrolitik. Partikelpartikel yang tidak dapat dihancurkan lalu
dikeluarkan melalui eksositosis.
b. Natural Killer Cell (sel NK) adalah sel limfoid tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem
imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi sehingga disebut juga non-B non-T
atau sel populasi ke tiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus
atau sel neoplasma pada perjumpaan pertamanya.
Cara kerja sel NK yaitu ketika ia mengenali adanya antigen, sel bermigrasi
mendekati antigen tersebut. Lalu membrannya menempel pada permukaan
membran antigen. Lalu sel NK melepaskan vesikel yang berisi molekul-molekul
perforin. Molekul ini lalu membentuk pori-pori di membran sel sasaran (antigen)
sehingga membran tersebut bocor dan zat-zat jadi mudah berpindah ke dalam atau
keluar sel. Akibatnya sel antigen mengalami lisis.
Respons tubuh terhadap mekanisme pertahanan non spesifik dapat berupa demam
atau peradangan (inflamasi). Demam merupakan respons sistemik terhadap invasi
mikroorganisme. Ketika demam, suhu tubuh menjadi naik akibat sekresi pyrogen oleh
leukosit dan makrofag yang merangsang hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh.
Sebenarnya demam merupakan suatu respons adaptif tubuh untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dengan cara menahan menahan zat besi dan zinc -yang dibutuhkan
bakteri untuk membelah- di hati. Selain itu demam juga meningkatkan tingkat metabolisme
sel sehingga memperecepat proses perbaikan jaringan. Namun, jika demam terlalu tinggi
dapat berbahaya karena dapat menyebabkan denaturasi enzim sehingga mengganggu proses
metabolisme.
Inflamasi terjadi ketika jaringan tubuh terluka akibat trauma mekanis, panas yang
tinggi, zat kimia yang berbahaya atau infeksi bakteri, virus atau jamur. Inflamasi dapat
mencegah persebaran agen-agen perusak ke jaringan di sekitarnya. Selain itu ia juga
menghancurkan sel debris dan patogen serta mengatur proses perbaikan jaringan.

Inflamasi (Radang)
Inflamasi atau biasa juga disebut radang adalah respon nonspesifik terhadap invasi
benda asing atau kerusakan jaringan.
Tanda Utama/ Karakteristik Radang
Tanda utama radang atau Cardinal Symptom disebabkan oleh perubahan yang
terjadi pada pembuluh darah. Tanda ini ditetapkan oleh Cornelius Celcus, yaitu:
1. Rubor (merah), disebabkan karena adanya hipereia aktif karena bertambah banyaknya
vaskularisasi di daerah tersebut.
2. Kalor (panas), disebabkan oleh bertambah banyaknya vaskularisasi yang menjaga
suhu tubuh. Sedangkan panas seluruh tubuh atau demam disebabkan oleh pelepasan zat
kimia yaitu pirogen endogen (EP) yang menyebabkan pengeluaran prostaglandin di
dalam Hipotalamus yang mengatur suhu tubuh sehingga suhu tubuh naik.
3. Dolor (sakit), disebabkan oleh distensi lokal di dalam jaringan yang membengkak dan
oleh efek langsung zat-zat lokal di ujung-ujung reseptor neuron aferen yang
mempersarafi daerah tersebut. Zat bradikinin juga menghasilkan rasa nyeri pada
permukaan kulit sebelum terjadi migrasi sel darah putih.
4. Fungtio laesa (berkurangnya fungsi), disebabkan karena adanya rasa sakit. Bagian
organ tubuh tersebut tidak dapat berfungsi dengan sempurna. Hal ini juga dapat
disebabkan oleh edema.
Macam-macam Sel Radang
1. Sel Polimorfonuklear/PMN (granulosit): neutrofil, eusinofil, basofil
2. Limfosit
3. Monosit/makrofag
4. Sel plasma

Mekanisme Peradangan (Inflamasi)

Respons peradangan secara keseluruhan sangatlah mirip apapun pencetusnya (baik


itu invasi bakteri, cedera kimiawi, atau trauma mekanis), walaupun terdapat perbedaanperbedaan ringan, bergantung pada penyebab dan lokasi kerusakan. Respons peradangan
ini merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis sehinggan respons perubahan yang
ada sering terjadi secara bersamaan. Maka dari itu, proses radang dikelompokkan dalam 3
kejadian yang saling berhubungan, yaitu:
1. Perubahan pada pembuluh darah (perubahan hemodinamik)
Ketika cedera, muncul stimulus untuk dilepaskannya zat kimia tertentu (msl,
histamin) yang dikeluarkan oleh sel mast dari jaringan yang akan menstimulasi
terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut. Zat-zat ini akan tersebar di
dalam jaringan dan menyebabkan vasodilatasi pada arteriol baik secara langsung
maupun tidak langsung. Cara langsung bekerja pada pembuluh darah dan cara tidak
langsung bekerja melalui lengkung refleks akson yang mula-mula menyebabkan

vasokontriksi yang kemudian akan diikuti oleh vasodilatasi. Perubahan arteriol ini
terjadi beberapa menit setelah cidera jaringan. Sedangkan dilatasi kapiler yang terjadi
setelah itu disebabkan oleh efek langsung dari bahan humoral terhadap dindingnya
yang tipis. Vasodilatasi pembuluh darah ini mengakibatkan peningkatan aliran darah ke
tempat cedera. Akibatnya, leukosit fagositik dan protein plasma lebih banyak tiba di
tempat tersebut untuk respons pertahanan.
Selain perubahan di atas, terjadi juga perubahan pada sel endotel pembuluh darah
sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat dan cairan plasma dapat
keluar ke jaringan sehingga tekanan hidrostatik darah lebih tinggi. Dengan keluarnya
cairan dari pembuluh darah, sel-sel darah merah akan berubah menjadi lebih lengket
satu sama lain dan menggumpal. Akibatnya darah menjadi lebih kental dan pergerakan
menjadi lebih lambat. Aliran darah yang lambat akan menyebabkan terjadinya stasis,
bahkan kadang-kadang dapat terhenti sama sekali yang disebut dengan stagnasi total.
Pada keadaan normal, sel darah mengalir secara aksial, yaitu berada di tengah
pembuluh darah, sedangkan di tepinya berisi cairan bening yang dinamakan zona
plasma. Pada awalnya, leukosit yang lebih besar dari eritrosit berada paling jauh dari
dinding pembuluh darah, dikelilingi oleh sel darah merah. Jika terjadi suatu radang,
aliran darah yg lambat menyebabkan penggumpalan eritrosit sehingga eritrosit menjadi
lebih besar daripada leukosit. Akibatnya sel darah putih akan terdesak ke pinggir,
sedangkan sel darah merah akan pindah ke tengah. Makin lambat aliran darah, sel darah
putih akan menempel pada sel endotel dinding pembuluh darah. Keadaan ini disebut
dengan pavementing (marginasi).
Bersamaan dengan itu, terjadi pula perubahan aliran limfe. Makin banyak cairan
eksudat terkumpul di jaringan, saluran limfe juga akan melebar. Selain itu, sel
endotelium pembuluh limfe menjadi permeabel sehingga sel dan molekul yang lebih
besar dapat melewati dinding pembuluh. Hal ini berguna untuk membantu eksudat
daerah radang. Sel darah putih yang melekat pada pembuluh darah akan mengeluarkan
pseudopodian, bergerak secara amuboid sehingga dapat keluar dari pembuluh darah ke
jaringan. Selain itu, muatan listrik sel endotel akan berubah.
Dalam keadaan normal, sel darah dan dinding pembuluh darah bermuatan (-),
sehingga sel darah mengalir di tengah. Jika ada radang, sel darah (-) tetapi dinding
pembuluh darah berubah (+) karena itu sel darah putih tertarik ke pinggir. Sel endotel

sendiri juga mengalami perubahan. Normalnya sel endotel gepeng tetapi dengan adanya
radang, sel endotel menjadi lebih besar dan meregang satu dengan yang lainnya.
2. Eksudasi cairan (perubahan permeabilitas)
Pada keadaan normal, permeabilitas dinding kapiler terbatas sehingga dapat
dilalui oleh bermacam-macam zat tertentu seperti air, garam, asam amino, glukosa, dan
molekul lain yang kecil. Sedangkan protein hanya dilepaskan dalam jumlah sedikit
sekali, kecuali dalam usus halus dan hati. Protein kecil seperti albumin dan gammaglobulin lebih mudah melewati porus endotel dibandingkan dengan porus endotel
dibandingkan dengan protein yang lebih besar, misalnya lipoprotein dan fibrinogen.
Adanya tekanan yang seimbang antara tekanan hidrostatik (darah) dan tekanan
osmotik koloid (protein plasma) di dalam pembuluh darah akan mengatur keluarmasuknya bermacam-macam cairan melalui membran endotelnya. Jika endotel rusak,
misal karena proses radang, protein besar akan lepas keluar dari aliran darah yang
mengakibatkan tekanan koloid osmotik di dalam pembuluh darah menurun karena
hilangnya protein tadi sehingga tekanan hidrostatiknya menjadi tambah tinggi.
Menurunnya tekanan koloid plasma menyebabkan permeabilitas kapiler bertambah
besar sehingga cairan eksudat akan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul di
dalam jaringan sekitar pembuluh darah yang menimbulkan edema. Protein yang
terlepas ini sebagian akan hancur dan mengakibatkan tekanan osmotik jaringan
bertambah besar sehinga cairan plasma tidak dapat mengalir masuk ke dalam pembuluh
darah. Akibatnya tekanan osmotik dalam darah makin menurun sedangkan tekanan
hidrostatiknya bertambah tinggi selama berlangsungnya kongesti radang.
Jika cedera cukup berat, bahan molekul protein besar pun akan ikut keluar dan
masuk ke jaringan, misalnya fibrinogen dapat keluar dan masuk ke jaringan dan dapat
membentuk suatu massa karena ada penggumpalan yang dapat menyumbat saluran
limfe dan sela-sela jaringan sehingga dapat mencegah penyebaran infeksi atau radang.
Setelah radang mereda, fibrin akan mencair lagi dan akan diabsorbsi. Jika absorbsi
fibrin terhambat, akan dimasuki sel fibroblas dan kemudian berubah menjadi jaringan
ikat sehingga menyebabkan perlekatan. Beberapa bakteri misalnya streptokokus,
menghasilkan enzim-enzim yang bekerja pada plasminogen, suatu prekursor protein
plasma inaktif dan mengubahnya menjadi plasmin, suatu enzim proteolitik yang

melarutkan bekuan fibrin. Tindakan ini akan merusak proses pembatasan, sehingga
organisme streptokokus ini dapat menyebar luas.
3. Eksudasi seluler (perubahan sel leukosit)
Adanya perubahan pada endotel kapiler juga akan menyebabkan keluarnya sel
darah ke daerah cedera. Pavementing dari leukosit terjadi karena aliran darah yang
lambat dimana sebagian besar merupakan sel neutrofil granulosit. Sel ini melekat
karena bertambah kentalnya darah dan juga karena perubahan muatan listrik dari
endotel sesuai dengan penjelasan (1.). Setelah menempel pada dinding kapiler, leukosit
akan mengeluarkan pseudopodia, kemudian akan bergerak secara amuboid menembus
dinding kapiler keluar ke jaringan. Proses ini disebut emigrasi. Sel monosit
pergerakannya lebih lambat karena itu pada radang akut, tidak terlihat banyak sampai
hari kesatu atau kedua setelah radang. Eritrosit juga dapat keluar dari pembuluh darah
tetapi tidak bergerak secara amuboid melainkan secara pasif yang disebut dengan
diapedesis. Keluarnya eritrosit terjadi karena bertambah besarnya tekanan hidrostatik
dari darah dan bertambah besarnya porositas dinding kapiler.
Setelah keluar dari pembuluh darah, leukosit akan bergerak ke arah tertentu.
Pergerakan ini disebabkan karena zat kimia tertentu dan prosesnya dinamakan
kemotaksis. Pengikatan kemotaksin dengan reseptor protein di membran plasma sel
fagositik ini meningkatkan pemasukan Ca2+ ke dalam sel yang kemudian mengaktifkan
perangkat kontraktil sel sehingga sel merayap seperti amuba. Konsentrasi kemotaksin
secara progresif meningkat mendekati tempat cedera sehingga sel-sel fagositik bergerak
secara tepat ke arah tersebut mengikuti gradien konsentrasi kemotaksin. Sel limfosit, sel
plasma, dan monosit tidak dijumpai pada radang akut. Gerakan sel ini lebih lambat,
juga reaksi kemotaksisnya lebih sedikit. Oleh karena itu baru terlihat setelah radang
kronis.
Makrofag pada jaringan residen dan leukosit yang keluar dari darah dan
bermigrasi ke tempat peradangan akan segera disusul oleh sel-sel fagositik yang baru
direkrut dari sumsum tulang. Kemudian, kemungkinan jumlah neutrofil dalam darah
meningkat 4 sampai 5 kali lipat dari jumlah normal karena pemindahan sejumlah besar
neutrofil yang sudah ada dari simpanan sumsum tulang ke darah dan oleh pembentukan
neutrofil baru di sumsum tulang. Selain itu, terjadi peningkatan pembentukan monosit
yang berlangsung lebih lambat tetapi lebih tahan lama di sumsum tulang sehingga lebih

banyak lagi tersedia sel-sel prekursor makrofag. Selain itu, multiplikasi makrofag
residend menambah simpanan sel-sel imun yang penting ini. Proliferasi neutrofil,
monosit, dan makrofag baru serta mobilisasi simpanan neutrofil dirangsang oleh
berbagai mediator kimiawi yang dikeluarkan dari tempat peradangan.
Setelah itu, terjadi destruksi bakteri oleh neutrofil dan makrofag dengan
membersihkan daerah yang meradang serta debris jaringan dengan cara fagositik dan
nofagositik. Dalam hal ini, fagosit harus mampu mengenali sasaran sehingga misi
destruktif fapat dijalankan secara selektif. Prosedurnya adalah sebagai berikut.
Mengidentifikasi karakteristik permukaan yang berbeda dengan sel tubuh normal

dari jaringan mati dan benda asing


Menandai partikel asing secara sengaja untuk difagositosis dengan melapisinya
dengan mediato-mediator kimiawi yang dihasilkan oleh sistem imun. Zat kimiawi
yang dihasilkan oleh sistem imun tersebut menyebabkan bakteri menjadi lebih
rentan. Zat kimia itu disebut opsonin. Opsonin yang paling penting adalah antibodi
dan protein sistem komplemen yang sudah diaktifkan.

Fagosit ini akhirnya mati akibat akumulasi produk-produk sampingan toksik dari
penguraian benda asing atau pengeluaran secara tidak sengaja zat-zat kimia lisosom ke
dalam sitosol. Neutrofil biasanya mati setelah memfagositosis 5-25 bakteri, sedangkan
makrofag dapat memakan sampai lebih dari seratus bakteri.
Pemulihan Jaringan
Reaksi pemulihan radang segera timbul setelah terjadi jejas, tetapi pemulihan tidak
dapat tuntas sampai penyebab jejas dihancurkan atau dinetralkan. Pemulihan ini terdiri dari
penggantian sel yang mati oleh sel hidup. Sel-sel baru ini dapat berasal dari parenkim atau
stroma jaringan ikat yang terjejas.
Pemulihan radang mencakup tiga proses :
1. Resolusi meliputi proses pemindahan sel-sel yang mengalami radang (inflamatory
elements) dari jaringan atau organ, untuk menghasilkan kembali fungsi dan struktur
bagaian tersebut. Proses ini meliputi pembalikan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler, melengkapi pemindahan eksudat dan sel-sel yang mati, dan
regenerasi dari sel-sel penyusun jaringan. Resolusi hanya terjadi jika kerusakan
jaringan belum terlalu parah dan sel parenkim masih sanggup beregenerasi. Selama

resolusi, makrofage menelan dan merusak neutrofil yang telah mati dan sel-sel
nekrotik, serta sel darah merah yang ada di dalam eksudat. Makrofage juga mencerna
fibrin.
2. Regenerasi adalah proses penggantian jaringan yang rusak dengan jaringan baru.
Semakin tinggi spesialisasi jaringan, semakin rendah kapasitas/kemungkinannya untuk
diregenerasi. Agar proses regenerasi dapat terjadi, sel harus memiliki kapasitas untuk
membelah secara mitosis. Sel tubuh dibagi dalam tiga golongan berdasar kemampuan
untuk regenerasi :
a. Sel labil, sel yang terus-menerus membelah sepanjang hidupnya. Sel labil dapat
berproliferasi dan mengganti sel yang lepas atau mati melalui proses faali.
Termasuk golongan ini adalah sel epitel permukaan tubuh, seperti epidermis, epitel
pelapis rongga mulut, saluran pencernaan dan pernapasan, serta saluran genitalia
wanita dan pria.
b. Sel stabil mampu beregenerasi, tetapi dalam keadaan normal tidak bertambah
banyak secara aktif, sebab masa hidupnya dapat bertahun-tahun, mungkin seumur
alat tubuhnya sendiri. Sel parenkim semua kelenjar tubuh, termasuk hati, pankreas,
kelenjar saliva, dan endokrin termasuk kelenjar stabil.
c. Sel permanen telah kehilangan kemampuan membelah untuk memperbanyak diri.
Sel ini tidak mampu beregenerasi. Sel neuron dan otot bercorak serta jantung
digolongkan dalam sel permanen.
Sel individual mampu beregenerasi, tetapi pemulihan organ terjadi hanya jika
kerangka jaringan yang cedera (keutuhan arsitektur stromanya) tetap dipertahankan.
Sebagai contoh, pada hati yang cedera , jika kerangka retikulum masih utuh, akan
terjadi regenerasi sel hati yang teratur dan struktur lobuli yang normal, serta fungsinya
pulih kembali.
3. Fibrous Repair (Pemulihan dengan Pembentukan Jaringan Ikat) merupakan cara
alternatif pada pemulihan jaringan selain resolusi. Prosesnya meliputi proliferasi
fibroblas, tunas-tunas kapiler dan pembentukan kolagen untuk membentuk jaringan
parut. Langkahnya meliputi :

Blood Clotting (Pembekuan/Penggumpalan Darah)

Kerusakan jaringan mengakibatkan perdarahan akibat rusaknya pembuluhpembuluh darah. Darah yang keluar dari pembuluh darah secara cepat
menggumpal akibat kontaknya dengan jaringan prokoagulan, faktor jaringan
primer (tromboplastin). Gumpalan darah tersebut merupakan gel yang terdiri dari
fibrin, fibronektin, dan platelet yang memerangkap plasma dan sel-sel darah.
Gumpalan darah yang mengisi luka berperan sebagai provisional stoma dimana
neutrofil dan makrofage bermigrasi.

Wound Cleansing (Pembersihan Luka)


Makrofage mencerna debris dan mendegradasi gumpalan darah. Neutrofil
menyerang bakteri. Kemudian, kapiler darah dan fibroblas yang baru datang
setelah debris dibuang.

Rebuilding Tissue (Pembentukan kembali Jaringan )


Fibroblas menyintesis dan mendepositkan fibronektin, kolagen interstisial, dan
proteoglikan. Hasilnya adalah jaringan granulasi yang terdiri dari pembuluhpembuluh darah kecil yang baru terbentuk dengan latar belakang jaringan kendor
(edema) dan mengandung fibroblas serta sel-sel radang.

Wound Remodelling (Perbaikan Bentuk Daerah yang Luka)


Jaringan granulasi mengalami perbaikan bentuk (remodelling). Pada tahap ini
jumlah fibroblas dan kapiler darah berkurang. Yang didapatkan sekarang adalah
jaringan avaskular dan relatif tidak banyak mengandung sel dengan fibroblas
berbentuk lonjong dan inaktif diantara serat kolagen.

Sistem Imun Spesifik


Komponen Sistem Imun Spesifik
Sistem imun spesifik berbeda dengan sistem imun non spesifik. Sistem ini
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing. Benda asing yang
pertama kali masuk ke dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik, sehingga
terjadi sensitisasi sel-sel imun tersebut. Bila sel sistem imun terpapar kembali dengan
benda asing yang sama, maka benda asing ini akan dikenal lebih cepat dan dihancurkan.
Secara garis besar tubuh mempunyai dua sistem imun spesifik, sebagai berikut:

1. Sistem imun spesifik humoral


Dalam sistem ini yang berperan adalah limfosit B atau sel B. Sel B berasal dari sel asal
multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan
berproliferasi dan berkembang manjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi.
Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam darah, tempat mereka dikenal sebagai
globulin gamma atau imunoglobulin. Fungsi utama antibodi ialah mempertahankan
tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan menetralisasi toksin. Menurut perbedaan
aktivitas biologis, antibodi dikelompokkan menjadi lima subkelas:
a. IgM berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat antigen melekat.
b. IgGdihasilkan dalam jumlah besar ketika tubuh terpajan ulang ke antigen yang
sama.
c. IgE adalah mediator antibodi untuk respon alergi.
d. IgA ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernapasan dan genitourinaria.
e. IgD ada di permukaan sel B, belum memiliki fungsi yang jelas.
2. Sistem imun spesifik seluler
Komponen yang berperan dalam sistem ini adalah limfosit T atau sel T. Sel tersebut
juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa sel T dibentuk
didalam sumsum tulang, tetapi profilerasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar
timus. Fungsi umum sel T ialah membantu sel B dalam memproduksi antibodi,
mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus, mengaktifkan makrofag dalam
fagositosis dan mengontrol ambang serta kualitas sistem imun. Sel T terdiri atas 4 sel
subset, yaitu:
a. Sel Th (T helper), sel ini menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk
membentuk antibodi, kebanyakan antigen (T dependent antigen) harus dikenal lebih
dahulu baik oleh sel T maupun sel B. Sel Th berpengaruh atas sel Tc dalam
mengenal sel yang terkena infeksi virus dan jaringan cangkok alogenik. Istilah sel T
inducer dipakai untuk menunjukkan aktivitas sel Th yang mengaktifkan makrofag
dan sel-sel lain.

b. Sel Ts (T supresor), sel ini menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut
fungsinya, sel Ts dapat terdiri Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts
nonspesifik.
c. Sel Tdh atau Td (delayed hypersensitivity) adalah sel yang berperan pada
pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi lambat.
Sebenarnya fungsi sel Tdh menyerupai sel Th.
d. Sel Tc (T cytotoxic) mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik
dan sel sasaran yang mengandung virus.
Sel Th dan sel Ts disebut juga sel regulator sedang sel Tdh dan sel Tc disebut sel
efektor.
Peran MHC Protein Sebagai Reseptor
Permulaan dari imun respons diawali dengan pengikatan antigen dengan
glikoprotein di plasma membran yang nantinya akan mengaktivasi sel T, prosess ini disebut
dengan Antigen Presentation. Struktur gikoprotein pada tiap sel berbeda-beda, Major
Histocompatibility Comples (MHC) adalah bagian dari kromosom 6 yang mempunyai gen
yang mengatur sintesis gikoprotein pada tiap sel. Namun membran gikoprotein itu sendiri
disebut dengan MHC protein.
Ada dua tipe MHC protein, yaitu:
1. Class I MHC protein
MHC protein ini di sintesis di golgi apparatus. Pada saat MHC keluar dari golgi
apparatus ia akan membawa peptida yang ada disekitar sitoplasma. Jika peptida
tersebut normal, aktivasi sel T tidak akan terjadi. Namun jika peptida tersebut tidak
normal, Class I MHC protein ini akan membawa peptida ke plasma membran dan
aktivasi sel T akan terstimulasi.

2. Class II MHC protein


Membran glikoprotein ini hanya ada pada membran Antigen-presenting cell dan
limfosit. Antigen-presenting cell (APCs) berfungsi untuk aktivasi sel T.

Antigen Recognition
Sel T bertugas secara spesifik, jika MHC protein mengikat antigen yang cocok dengan sel
T, sel T akan berikatan dengan MHC protein tersebut. Beberapa sel T teraktivasi pada
antigen yang berikatan dengan Class I MHC protein, sel T lainya juga akan terkativasi pada
antigen yang berikatan dengna Class II MHC protein. Respons sel T terhadap Class I MHC
protein atau Class II MHC protein tergantung pada plasma membran sel T itu sendiri.
Membran protein yang mempengaruhi adalah kumpulan protein yang disebut CD (Cluster
of differentiation) markers.

Seluruh T sel mempunyai CD3 reseptor komplex, reseptor lainya adalah:


1. CD8 di sel T sitotoksik (sel Tc). CD8 merespons antigen yang berikatan dengan Class I
MHC protein.
2. CD4 di sel T helper (sel Th). CD4 merespons antigen yang berikatan dengan Class II
MHC protein.
Fungsi sitokin yang disekresikan oleh harper sel Tl:
1. Menstimulasi pembelahan harper T sel menjadi harper T sel aktiv dan harper T sel
memori.
2. Menstimulasi makrofag
3. Menstimulasi NK sel
4. Mengaktivasi kerja B sel
Antibody-mediated immunity (humoral immunity)
Sel B bekerja dalam tipe imun respons ini. Sel B dapat berdiferensiasi menjadi plasma sel
(mensekresi antibodi) dan memori sel B.
Ciri-ciri imun respons:
1. Speseifik
Imun respons bekerja secara spesifik. Contoh: sel T A hanya bisa bekerja pada antigen
A yang berikatan dengan Class II MHC protein.
2. Serba guna
Serba guba di sini dalam arti bahwa sel-sel fagosit dapat mengkloning dirinya sendiri
untuk meningkatkan efektivitas dalam memerangi patogen.
3. Memori
Sel-sel fagosit dapat berdiferensiasi menjadi memori sel (belum aktiv) dan sel aktiv.
Memori sel ini berfungsi untuk menyerang antigen yang sama dengan lebih cepat dan
hebat.
4. Toleransi
Sel-sel fagosit tidak akan menyerang antigen-antigen normal.
PATOLOGI PERIAPIKAL

Sama seperti inflamasi pada tubuh. Saat bakteri dan produknya mencapai daerah apical,
mereka akan berhadapan dengan PMN dan makrofag. Jika proses ini berlanjut, sel
inflamasi kronis, i\limfosit, sel plasma dan fibroblast akan mematikan bakteri tersebut.
A. Host Response
1. Inflammation
Merupakan reaksi vaskularisasi, lmfatik dan jaringan local yang kompleks terhadap
organism iritan.
2. Vascular Change
Awal perubahan vaskularisasi pada inflamasi merupakan kontraksi sementara dari
mikrosirkulasi diikuti dilatasi. Saat pembuluh dilatasi, darah akan mengalir. Sel darah
merah berpindah ke tengah pemduluh darah (rouleaux formation) dan sel darah putih
pindah ke tepid an menempel ke dinding endothel (margination). Vaskulatur di venula
postkapiler menjadi bocor karena kontraksi sel endothel di bawah pengaruh
histamine, sehingga mengizinkan plasma keluar. Akhirnya terjadilah edema,
menyebabkan tekanan dijaringan bertambah. Respon vascular sementara dimediasi
oleh histamine, dan respon lebih lambat dimediatori oleh vasoactive amine yang lain,
seperti bradykinin. Sebagai tambahan, protein plasma lainnya e.g fibrinogen menuju
jaringan dan berkontribusi dalam respon inflamasi. Fibrinogen berubah menjadi fibrin
saat berkontak dengan kolagen dan membentuk jalinan untuk mngisolasi reaksi. Sel
darah putih di garis dinding endothel pada pambuluh darah menembus melalu gap
endothel dan menuju jaringan menggunakan pergerakan ameboid yang disebut
diapedesis.
3. Acute inflammation
PMN adalah sel pertama yang bermigrasi ke daerah infeksi oleh agen kemotaksis dan
ditandai dengan bakteri tersebut atau mediator inflamasi yang lain. Yang kedua adalah
monosit. Saat sudah masuk jaringan, mereka disebut makrofag atau histiosit.
Neutrofil hidup untuk beberapa jam, sedangkan makrofag untuk beberapa hari bahkan
bulan.
a. Fagositosis
PMN dan makrofag berperan sebagai fagosit. Difasilitasi oleh IgG, IgM, atau
C3b.
Ada 3 proses:
Perlekatan sel fagosit ke sel target/antigen

Pencernaan sel atau antigen. Membrane seluler membesar, membungkus


bahan antigenic untuk membentuk phagosome. Phagosome fusi dengan
sitoplasmik lisosom yang melepaskan enzim pencernaan mereka dengan

proses yang dinamakan degranulasi.


Penghancuran/degradasi bakteri/antigen oleh:
- Lysosomal hydrolytic enzymes
- An acid pH in the vacuole
- Cationic proteins
- Lactoferin
- Superoxide anion
- Hydrogen peroxidase
- Peroxide-halide-myeloperoxidase

b. Mediators
Merupakan substansi kimia yang mengontrol respon inflamasi. Mediator bisa
exogenous (dari produk bakteri) atau endogenous. Mediator endogenous
diklasifikasikan sebagai mediator plasma atau jaringan.
Mediator dari plasma:
1. Bradykinin dari system kinin
2. Komplemen dari system komplemen
3. Faktor dari system pembekuan
Mediator dari jaringan:
1. Vasoactive amines (dari sel mast dan basofil) dilepas sebagai respon
terhadap luka fisik missal trauma, pengaruh kimia, sel IgE-sensitized,
dan pembukaan komplemen C30 and C5a
2. Acidic lipids
3. Komponen lisosomal : cationic proteins, acid protease, neutral
protease.
4. Produk limfosit, missal limfokin dari sel T
B. Macam Inflamasi Akut
1. Acute Apical Periodontitis
Merupakan respon sangat sakit yang terjadi sebelum resorbsi tulang alveolar. Secara
apical, response vascular terhadap antigen di dalam pulpa akan menghasilkan edema.
Edema dan PMN dengan cepat mengisi ligament periodontal antara gigi dan tulang.
Gigi menghasilkan sakit sampai tulang memulai teresorbsi dan terbentuk jarak untuk
akomodasi cairan edema. Tapi tidak ada lesi terlihat di radiograf.
2. Acute Apical Abcess

Dihasilkan saat bakteri dalam jumlah besar melewati apex dan mendatangkan respon
inflamasi yang berat. Dengan dilepasnya PMN ke jaringan, abses terbentuk. Abses
didefinisikan sebagai kumpulan local dari pus yang berisi sel mati, debris, PMN dan
makrofag. Pasien mengeluh karena giginya terasa naik dari socket. Suhu naik dan
timbul ketidaknyamanan. Respon tubuh adalah mencoba untuk mengisolasi abses atau
membentuk drainase baik secara intraoral atau ekstraoral. Jika drainase tidak efektis,
absis bisa menyebar ke fasial atau ruang pada kepala dan leher.
3. Phoenix Abscess
Jika radiolusensi periapikal terlihat dan respon inflamasi akut terjadi pada lesi kronis
tersebut.
Healing:
Bisa regenerasi atau repair. Regenerasi: jaringan kembali ke bentuk semula. Repair:
jaringan awal diganti dengan jaringan konektif fibrosa padat. Makrofag membersihkan
debris, fibroblast memperbaiki kerusakan, sel diferensiasi atau tak terdiferensiasi
meregenerasi jaringan yang rusak.
4. Acute Osteomyelitis
Dapat timbul secara langsung dari infeksi endodontic. Ostepmyelitis adalah
perkembangan serius dari infeksi periapikal yang menghasilakn penyebaran melalui
ruang medulla, yang nantinya akan menghasilkan nekrosis tulang. Osteomyelitis akut
bisa local atau menyebar. Pasien biasanya merasakan nyeri yg berat, suhu naik, dan
nodus limfa dapat diraba walaupun tak terlihat dari luar. Secara mikroskopis,
medullary spaces diisi paling dominan oleh neutrofil. Tidak ada pembentukan pus.
Terapi endodonsi atau ekstraksi mungkin bukan pilihan yg tepat, lebih baik dibedah
dan terapi antibiotic.
5. Chronic Inflammation
Jika proses akut disembuhkan, respon bisa jadi kronis. Proses inflamasi akut
merupakan respon eksudatif, sedangakan inflamasi kronis adalah proses ploriferatis.
Secara mikroskopik, dicirikan adanya ploriferasi fibroblast, elemen vascular, dan
infiltrasi makrofag dan limfosit. Orang bisa immunocometent atau immunodeficient.
Immunocompetent adalah kemampuan mengatasi respon imun yg bisa mendatangkan
penyakitdan infeksi, sebaliknya untuk immunodeficient.

6. Periapical extension of Pulpal Inflammation


Dimulai sebelum pulpa nekrosis total. Produk bakteri, mediator inflamasi, dan jaringan
pulpa yang memburuk melewati apex dan menimbulkan respon inflamasi kronik dari
pembuluh di ligament periodontal. Respon inflamasi periapikal adalah pembesaran
dari respon inflamasi pulpa.
7. Chronic Apical Periodontitis (Granuloma)
Secara klinis lesi ini biasanya asimtomatik dan ditunjukkan oleh radiolusensi apical.
Secara mikroskopis, lesi ditandai dengan dominan limfosit, sel plasma, dan makrofag
dikelilingi kapsul fibrosa tak terinflamasi dibuat oleh kolagen, fibroblast dan kuncup
kapiler. Di daerah inflamasi, bulatan amorf dengan warna pucat akan terlihat. Itu
adalah Russell bodies dan berhubungan dengan sel plasma yang tidak lama punya
kemampuan menghasilkan antobodi.
8. Suppurative Apical Periodontitis (Granuloma with Fistulation)
Lesi apical yang membentuk drainase melalui jalur sinus yang disebut suppurative
inflammation. Pus terlihat dengan pembukaan secara perlahan. Secara mikroskopis,
jalur terisi oleh PMN atau pus.
Maap ya bahasanya acak-acakan ga ilmiahh

Anda mungkin juga menyukai