Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
2.1.1 Pengertian
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia,
apapun penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia apabila berat badannya lebih
dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu (Sastrawinata, 2005).
2.1.2 Epidemiologi
Di dunia terjadi 20 juta kasus abortus tiap tahun dan 70.000 wanita meninggal
karena abortus setiap tahunnya. Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta
pertahun termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi abortus spontan di Indonesia adalah
10%-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau 600.000 900.000, sedangkan
abortus buatan sekitar 750.000 1,5 juta setiap tahunnya, 2500 orang diantaranya
berakhir dengan kematian (Anshor, 2006).
Di Indonesia, menurut laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010
disebutkan bahwa persentase abortus dalam periode lima tahun terakhir adalah sebesar
4% pada perempuan pernah kawin usia 10 59 tahun. Dilihat per provinsi, angka ini
bervariasi mulai terendah 2,4% yang terdapat di Bengkulu sampai dengan yang tertinggi
sebesar 6,9% di Papua Barat. Provinsi dengan abortus tertinggi selanjutnya adalah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masing-masing 6,3% serta Sulawesi Selatan
sebesar 6,1% (Setia Pranata, 2012).
2.1.3 Etiologi
Patofisiologi pasti terjadinya abortus belum diketahui. Banyak faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya abortus, yaitu faktor janin, faktor ibu, dan faktor ayah.
Lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan, dan kirakira setengah dari kasus abortus ini diakibatkan oleh anomali kromosom. Setelah

melewati trimester pertama, tingkat aborsi dan peluang terjadinya anomali kromosom
berkurang (Cunningham, 2014).
A. Faktor Janin
Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan
zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada
trimester pertama menurut Sastrawinata 2005, yakni:
a. Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan
kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi).
b. Embrio dengan kelainan lokal.
c. Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).
B. Faktor Maternal
a. Infeksi
Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, dan Bacterial vaginosis
ditemukan pada traktus genitalia sebagian wanita yang mengalami abortus. Hal
ini berkaitan dengan infeksi mikoplasma yang menyangkut traktus genitalia dapat
menyebabkan abortus. Beberapa organisme seperti Treponema pallidum,
Toxoplasma gondii, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorhoeae, dan
Streptococcus agalactina diduga memiliki kaitan dengan terjadinya abortus.
Beberapa virus seperti virus herpes simplek, cytomegalovirus, rubella, dan HIV
juga dicurigai sebagai penyebab terjadinya abortus (Cunningham, 2014;
Prawirohardjo, 2014).
b. Penyakit Kronik
Meskipun jarang, penyakit yang menyebabkan wasting dapat menyebabkan
abortus,

seperti tuberkulosis

dan karsinomatosis.

Celiac

sprue

diduga

menyebabkan infertilitas pria dan abortus berulang bagi wanita (Cunningham,


2014).

c. Pengaruh Endokrin
Hipertiroidisme, diabetes mellitus, dan defisiensi progesteron dapat meningkatkan

insiden abortus. Progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi


hormon tersebut akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan
demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya. Diabetes maternal pernah
ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus spontan,
tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti lainnya. Diabetes tidak
menyebabkan abortus apabila gula darah dikendalikan dengan baik (Cunningham,
2014; Campbell, 2006).
d. Nutrisi
Pada saat ini, tampak bahwa hanya malnutrisi umum yang berat merupakan
predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Defisiensi salah satu zat gizi
atau defisiensi nutrisi dalam jumlah sedang tidak terbukti merupakan penyebab
abortus yang penting (Cunningham, 2014).
e. Obat-Obatan dan Lingkungan
Diketahui bahwa arsen, timbal, formaldehida, benzena, dan etilen oksida
memungkinkan untuk menjadi penyebab abortus. Diperkirakan 1 10%
malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan
umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas
anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik,
antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga
menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan
pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Adanya gangguan pada
sistem sirkulasi fetoplasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin
yang berakibat terjadinya abortus. Wanita yang merokok diketahui lebih sering
mengalami abortus spontan daripada wanita yang tidak merokok. Alkohol
dinyatakan meningkatkan resiko abortus spontan, meskipun hanya digunakan
dalam jumlah sedang. (Cunningham, 2014; Prawirohardjo, 2014)

f. Faktor Autoimun

Pada

pasien

dengan

Systematic

Lupus

Syndrome

(SLE),

ditemukan

Antiphospholipid Antibodies (aPA) yang berkaitan dengan kematian janin. aPA


merupakan antibodi yang akan berkaitan dengan sisi negatif dari fosfolipid.
Sekitar 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan,
sering juga ditemukan beberapa keadaan obstetrik seperti preeklampsia, IUGR
dan prematuritas (Prawirohardjo, 2014).
g. Trauma
Trauma abdomen mayor dapat menyebabkan abortus. Abortus spontan biasanya
terjadi setelah kematian embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan oleh
trauma, kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi,
tetapi merupakan kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus
(Campbell, 2006; Cunningham, 2014)
h. Faktor Anatomik Reproduksi
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, dan malpresentasi janin. Penyebab terbanyak
abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40%-80%),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 30 %). Mioma
uteri dapat menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Sindroma
Asherman dapat menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah
pada permukaan endometrium, hal ini membuat resiko abortus menjadi 25 80 %
(Prawirohardjo, 2014).
C. Faktor Paternal
Translokasi kromosom dalam sperma dapat menyebabkan zigot mempunyai terlalu
sedikit atau terlalu banyak bahan kromosom, sehingga mengakibatkan abortus
(Cunningham, 2014).

2.1.4. Mekanisme Abortus

Proses abortus berawal dari terjadinya perdarahan di dalam desidua basalis yang
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal ini membuat hasil konsepsi terlepas dari
dinding uterus. Hasil konsepsi selanjutnya akan dianggap sebagai benda asing terhadap
uterus sehingga uterus akan berusaha untuk mengeluarkan hasil konsepsi, baik secara
langsung atau bertahan selama beberapa waktu. Hasil konsepsi biasanya akan
dikeluarkan seluruhnya pada kehamilan dibawah 8 minggu karena villi korealis belum
menembus desidua terlalu mendalam. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses
pengeluaran konsepsi.
Pada kehamilan 8 14 minggu, villi korealis biasanya telah menembus desidua
lebih mendalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna. Biasanya
diawali dengan selaput ketuban yang akan pecah, lalu diikuti dengan keluarnya janin
yang cacat. Plasenta mungkin masih tertinggal dalam cavum uteri atau sudah berada
dalam kanalis servikalis. Hal ini mengakibatkan perdarahan pervaginam yang banyak.
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu, awalnya yang akan dikeluarkan setelah
ketuban pecah adalah janin, kemudian disusul oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Apabila plasenta masih tertinggal di dalam uterus akan mengakibatkan gangguan
kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri yang hebat dan perdarahan pervaginam.
(Mochtar, 2011; Batista 2012)
2.1.5. Klasifikasi Abortus
Secara klinis abortus menurut Prawirohardjo 2014 diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Abortus Iminens adalah tingkat permulaan dan ancaman untuk terjadinya
abortus,ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.
2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan
serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, hasil konsepsi masih
berada di dalam kavum uteri dan sedang dalam proses pengeluaran.
3. Abortus Komplit merupakan kejadian dimana seluruh hasil konsepsi telah
keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau dengan
berat janin kurang dari 500 gram.
4. Abortus Inkomplit adalah abortus dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar
dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.

5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah
meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturutturut.
7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
8. Abortus Septik adalah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran
darah tubuh atau peritoneum (septicemia atau peritonitis).
2.2 Abortus Inkomplit
2.2.1. Pengertian
Abortus inkomplit adalah kejadian dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar
dari kavum uteri tetapi masih ada yang tertinggal di dalam uterus, kanalis servikalis
masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri
eksternum.Batasan ini juga masih terpancang pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram (Prawirohardjo, 2014).
2.2.3. Diagnosis
Diagnosis abortus inkomplit ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut ini menurut
Nugroho 2012 :
A. Manifestasi klinis abortus inkomplit sebagai berikut :
a. Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.
b. PP Test positif
c. Pada pemeriksaan fisik: keadaan umum tampak lemah atau kesadaran
menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal, atau
cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
d. Pendarahan pervaginam, pendarahan yang bisa sedikit atau banyak biasanya
berupa darah beku, sudah ada keluar jaringan.
e. Rasa mulas atau nyeri perut di darerah atas simfisis, sering di sertai nyeri
pinggang akibat kontraksi uterus, kadang nyeri digambarkan menyerupai
nyeri saat persalinan.
10

B. Pada pemeriksaan ginekologi abortus inkomplit akan ditemui antara lain sebagai
berikut :
a. Inpeksi vulva: pendarahan pervaginam, ada atau tidak jaringan hasil
konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.
b. Inspekulo: pendarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah
tertutup, ada atau tidak jaringan yang keluar dari ostium, ada atau tidak
cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
c. Colok vagina: porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak
jaringan dalam kavum uteri, besar uteri lebih kecil dari usia kehamilan, tidak
nyeri saat porsio digoyang.
USG dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi
adanya sisa kehamilan. Pada USG didapatkan endometrium yang tipis (Sujiyatini,
2009).
2.2.3. Tatalaksana
Berikut adalah langkah-langkah penatalaksanaan abortus inkomplit:
1. Penanganan Umum
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok,
tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan
selanjutnya adalah untuk menghentikan sumber perdarahan. Berikut dalah
tahapan-tahapan penanganan umum menurut Prawirohardjo, 2014.
Tahap Pertama :
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke
tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju
keadaan yang lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil),
tindakan tahap ke dua umumnya akan berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :
a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut
nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan).
b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti

11

adanya takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan
diberi oksigen melalui kateter nasal).
c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi
Trendelenburg.
d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan
NaCl 0,9%, Ringer laktat).
e. Pengawasan

jantung

(Fungsi

jantung

dapat

dipantau

dengan

elektrokardiografi dan dengan pengukuran tekanan vena sentral).


f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah,
jenis Rhesus, Tes kesesuaian darah penderita dengan darah donor,
pemeriksaan pH darah, pO2, pCO2 darah arterial. Jika dari pemeriksaan ini
dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai berat, infus cairan diganti
dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan transfusi darah.
Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika sudah timbul gangguan
pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tandatanda asidosis harus segera dikoreksi.
Tahap kedua :
Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua
dilakukan. Penanganan tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan
tindakan menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa ibu. Tindakan
menghentikan perdarahan ini dilakukan berdasarkan etiologinya.
Pada keadaan abortus inkompletus, apabila bagian hasil konsepsi
telah keluar atau perdarahan menjadi berlebih, maka evakuasi hasil
konsepsi segera diindikasikan untuk meminimalkan perdarahan dan risiko
infeksi pelvis. Sebaiknya evakuasi dilakukan dengan aspirasi vakum,
karena tidak memerlukan anestesi.

2. Tindakan Operatif
Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkomplit menurut Setyasworo, 2010
terdiri dari:
12

- PengeIuaran Secara digital


Hal ini sering dilaksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara
digital hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang
dapat dilalui oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas,
karena manipulasi ini akan menimbulkan rasa nyeri.
- Kuretase
Kuretase adalah cara menimbulkan hasil konsepsi memakai alat kuretase
(sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan
pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan
besarnya uterus.
- Vakum kuretase
Vakum kuretase adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum.
2.2.4. Komplikasi
Berikut adalah komplikasi yang disebabkan oleh abortus inkomplit menurut
Mochtar 2011 :
1.
2.
3.
4.
5.

Perdarahan (hemorrhage)
Perforasi akibat dilatasi dan kuretase yang dilakukan bukan oleh ahli
Infeksi dan tetanus
Payah ginjal akut
Syok
i.
Syok hemoragik akibat perdarahan yang banyak
ii.
Syok septik atau endoseptik akibat infeksi berat atau sepsis

2.2.5. Prognosis
Dengan evakuasi yang cepat dan adekuat oleh dokter ahli dan tanpa
disertai dengan infeksi, abortus inkomplit memberikan prognosis yang baik pada
ibu. Resiko terjadinya abortus spontan kembali akan meningkat pada ibu yang
telah mengalami abortus spontan sebelumnya. Dianjurkan untuk merencanakan
dan mempersiapkan kehamilan berikutnya sebaik-baiknya agar tidak terjadi
kembali abortus. (Batista, 2012; Utama 2015)
2.3. Faktor yang Mempengaruhi Abortus Inkomplit

13

2.3.1. Usia Ibu


Perempuan yang hamil pada usia <20 tahun akan meningkatkan resiko
terjadinya abortus akibat belum optimalnya perkembagan sistem reproduksi.
Perempuan yang hamil pada usia >35 tahun dapat terjadi penurunan pada sistem
reproduksi. Hal ini diakibatkan oleh kemunduran pada jaringan sistem
reproduksi dan jalan lahir, seperti penurunan elastisitas ligamentum pada uterus
(Chairiyah, 2010).
Pada kehamilan usia muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental
untuk menerima kehamilanya, akibatnya selain tidak ada persiapan, kehamilanya
tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini menyebabkan ibu menjadi stres dan
akan meningkatkan resiko terjadinya abortus (Prawirohardjo, 2002).
Kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35
tahun, resiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80 pada kehamilan usia diatas 35
tahun (Prawirohardjo, 2014).
2.3.2. Paritas
Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu sering
melahirkan, rahim akan semakin melemah. Bila ibu melahirkan 4 anak atau
lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan,
persalinan, dan nifas. Resiko abortus meningkat seiring dengan paritas ibu
(Cunningham, 2009)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Halim, Muda, dan Hiswani
(2012) di RSUD Pirngadi Medan, kejadian abortus
inkomplit terjadi paling banyak pada kelompok multipara,
yaitu mencapai 54%.

2.4.KerangkaTeori
Faktor Janin:
1. Kelainan telur /
kelainan kromosom
2. Embrio dengan
kelainan local
3. Abnormalitas plasenta

Faktor Ibu:
1. Usia
2. Paritas
3. Riwayat abortus
4. Riwayat penyakit
5. Infeksi
6. Penyakit kronik
7. Pengaruh
endokrin
8. Nutrisi
9. Obat-obatan dan
lingkungan
10. Faktor autoimun
11. Trauma14
12.
Faktor
anatomik

ABORTUS INKOMPLIT

Faktor Paternal:
Translokasi kromosom
pada sperma

15

Anda mungkin juga menyukai