PENDAHULUAN
Penilaian standar terhadap hasil klinis setelah koreksi malformasi anorektal
sangatlah penting dalam mengontrol kualitas hidup pasien yang dilakukan terapi.
Penilaian klinis bersifat subjektif dan dapat terjadi bias oleh observer yang
biasanya adalah operator itu sendiri. Oleh karena itu ahli bedah pediatrik yang
melakukan penelitian klinis membutuhkan suatu skala atau skor yang dapat
memberikan informasi mengenai kondisi dan status fungsional pasien. Meskipun
demikian metode yang sesuai dan peralatan untuk mengoreksi malformasi
anorektal masih diperdebatkan dalam beberapa dekade terakhir.(Ure BM, dkk,
tahun)
Pada tahun 1960, Scott mmperkenalkan skor sederhana berdasarkan
pengalaman klinisnya yang terutama meliputi data klinis. Sejak itu sekitar 10 skor
telah dikemukakan dan digunakan pada pasien-pasien setelah koreksi
malformasi anorektal. Skor ini dibedakan berdasarkan klinis, fungsi dan
parameter-parameter lainnya. Meskipun demikian, tidak ada peralatan satupun
yang melalui proses validasi yang sesuai. Hal ini dapat menjadi alasan utama
mengapa hingga saat ini tidak ada satupun sistem skor yang diterima secara
umum. Oleh karena itu, hasil laporan-laporan yang berbeda pada pasien yang
dilakukan metode koreksi malformasi anorektal yang berbeda masih sulit untuk
diinterpretasikan dan secara umum belum ada skor yang dapat diterima. (Ure
BM, dkk, tahun)
Hingga saat ini, belum ada satupun parameter atau sistem penilaian
fungsi anorektal yang diterima secara universal guna mengevaluasi tingkat
keberhasilan tindakan bedah definitif. (Heikkinen M, 1997) Padahal keberhasilan
mengembalikan fungsi anorektal tersebut ketingkat normal atau mendekati
normal
merupakan
hakikat
utama
tujuan
penatalaksanaan
penyakit
II.
ANATOMI ANOREKTAL
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior (Yamada,1999; Shafik,2000).
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai
pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter
ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum
kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan
(Shafik,2000) . (Gambar 2 )
Innervasi motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
5
mengeluarkan
salah
satu
tanpa
mengeluarkan
yang
lain
waktu dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat
kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal
ke rektum, seiring dengan frekuensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3
kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani
interna secara involunter.
Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat
kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud,1997).
IV.
pada pasien yang sama oleh observer yang sama dan oleh observer yang
berbeda (reproducibility). Sebagai tambahan, skor harus bersifat dapat diukur
(validity) dan memperlihatkan perubahan nilai jika pasien berganti dan tidak
memperlihatkan perubahan jika pasien stabil (responsiveness). Idealnya proses
penentuan reproducibility, validity atau responsiveness dari skala atau skor yang
spesifik
tidak
berdasarkan
pada
pengetahuan
klinis
observer,
namun
berdasarkan pada suatu proses yang terstruktur. (Ure BM, dkk, tahun)
Pasien dengan malformasi anorektal umumnya dilakukan skrining secara
deskriptif. Tidak satupun skor yang disarankan untuk digunakan pada pasien ini
yang memiliki standar kriteria reproducibility, validity atau responsiveness,
dengan pengecualian skor kualitas hidup yang spesifik. Skor kualitas hidup tidak
dirancang spesifik untuk pasien dengan malformasi anorektal.
V.
tahun
1960,
Scott
memperkenalkan
skor
kualitatif
yang
10
Scott,
namun
skor
kontinensia
dinyatakan
secara
kuantitatif.
otot puborektal saat pemeriksaan digital dan feeling of defecation. Total skor 56 dikategorikan good, 3-4 adalah fair, dan 2 adalah poor. Meskipun tidak
valid, namun skor ini lama kelamaan semakin popular dan kemungkinan
merupakan instrument yang paling banyak digunakan saat ini. Skor ini biasaya
tidak digunakan sendiri, melainkan dibandingkan dengan penilaian objektif
lainnya seperti manometri, elektromiografi dan data quality-of-life. (Ure BM, dkk,
tahun) Sivakumar K melakukan penelitian menggunakan skor Kelly untuk menilai
hasil fungsional antara dua prosedur operasi pada malformasi anorektal letak
tinggi dan sedang.(Sivakumar K, 2006)
Tabel 2. Skor menurut Kelly (1972) (Ure BM, dkk, tahun; Ludman L dkk, 2002)
12
terhadap
penilaian
kontinensia
dengan
menggunakan
skala
14
clean, staining,
intermittent fecal soiling dan constant fecal soiling. Sub kategori meliputi terapi
occasional
atau
konstan.
Pada
kategori
tambahan,
komplikasi
yang
berhubungan pada anorektal, traktus urinarius, genital atau fungsi lainnya juga
disebutkan. Tingkatan ini dinilai secara kualitatif dan skor ini telah digunakan
secara luas dalam beberapa tahun terakhir. (Hoschneider A, dkk, 2005;Ure BM,
dkk, tahun)
15
Tabel 4. Skor Wingspread menurut Stepens dkk (Ure BM, dkk, tahun)
16
yang sangat baik dan yang baik, namun memperlihatkan penurunan yang
signifikan tekanan anal pada pasien dengan hasil klinis fair atau poor. Penulis
menggunakan skor ini pada pasien dengan malformasi anorektal letak rendah.
Hanya setengah dari anak-anak ini memiliki fungsi pencernaan yang sesuai
dengan usia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Masalah utama adalah
konstipasi. Keuntungan skor ini tiga kali lipat. Pertama, questionnaire diisi okeh
pasien atau orangtua pasien; penilaian bersifat observer-independent. Kedua,
tidak diperlukan pemeriksaan fisik. Dan terakhir, tersedia data dari kelompok
kontrol dengan kebiasaan pencernaan yang normal, dan kemampuan menahan
menjadi tumpang tindih dengan skor pada kelompok kontinensia yang berbeda
(misalnya pasien dengan skor 9-11 dapat masuk ke kategori kontinensia good
atau fair), akibat tidak adanya cut-off point yang jelas. (Hoschneider A, dkk,
2005;Ure BM, dkk, tahun)
19
20
hasil
postoperasi
dihubungkan denngan jenis fistula dan malformasi. Namun skor ini belum
digunakan secara luas. (Hoschneider A, dkk, 2005;Ure BM, dkk, tahun)
22
23
24
continence, 2-3.5 adalah fair continence, dan 0-1.5 adalah poor continence.
(Elhalaby EA dkk, 2003; Ure BM, dkk, tahun)
Tabel 8. Skor Kontinensia Fekal oleh Templeton dan Ditesheim (Elhalaby EA
dkk, 2003).
26
Kiesewetter
dan
Chang
yang
berbeda.
Penulis
menetapkan
bahwa
skor
VII.
30
32
DAFTAR PUSTAKA
Bhat NA Grover NP, Bhatnagar V. Manometric Evaluation of Postoperative Patients with
Anorectal Anomalies. Indian J Gastroentero 2004;23:206-208
Clarke MC, Chase JW, Gibb S, et al. Improvement of Quality of Life in Children with
Slow Transit Constipation After Treatment with Transcutaneus Electrical Stimulation.
JPedSurg 2009;44:1268-1273
Elhalaby EA, Al-Affi M, Ismael K, et al. Anorectal Incontinence Following Repair of
Congenital Anorectal malformations. EJS 2003;22(4):392-393
Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors.
Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;1997.p.2097105.
Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance after surgery
for Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg, 1997; 32: 1443-6.
Holschneider A, Hutson J, Pena A, et al. Preliminary Report on the International
Conference for the Development of Standards for treatment of Anorectal Malformation.
JPedSurg 2005;40:1521-1526
Ludman L, Spitz L, Tsuji H, et al. Hirschprungs Disease : Functional and Psychological
Follow-up Comparing Total Colonic and Rectosigmoid Aganglionosis. Arch Dis Child
2002;86:349
33
Neto JA, Junior JA.Acquired megacolon. In: New trends in coloproctology. Rio de
Jainero;Livraria:2000.p.329-33.
Prokurat AI, Coopek M, Kazmirczuk R, Kluge P. Utilization of Iternal Sphincter in The
Reconstruction of Anorectal Malformations in Girls. Annals of Diagnostic Paediatric
Pathology 2006;10(1-2):23-29
Shafik A. Surgical anatomy of the anal canal.In: Neto JA,editor. New trends in
coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.3-18.
Sivakumar K. Sacroperinal mobilization versus posterior sagital anorectoplasty: a study
on outcome. J Indina Assoc Pediatr Surg 2006;11:140-4
Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger JG,ed.
Swensons pediatric surgery.5 th ed. Connecticut:Appleton & Lange, 1990: 555-77.
Ure BM, Rintala RJ, Holschneider AM. Scoring Postoperative Results. In Anorectsl
Malformations in Children. Springer. Australia. 2008:351-359
Wexner SD, Jorge JM. Evaluation of functional studies on anorectal disease. In: New
trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.23-38.
Yamada T. Atlas of gastroenterology. 2nd ed.Tokyo;1999.
Yagi M, Kubota M, Kanada S, et al. Fecoflowmetric Profiles in Postoperative Patients
with Hirschprungs Disease
34
35