Anda di halaman 1dari 35

I.

PENDAHULUAN
Penilaian standar terhadap hasil klinis setelah koreksi malformasi anorektal
sangatlah penting dalam mengontrol kualitas hidup pasien yang dilakukan terapi.
Penilaian klinis bersifat subjektif dan dapat terjadi bias oleh observer yang
biasanya adalah operator itu sendiri. Oleh karena itu ahli bedah pediatrik yang
melakukan penelitian klinis membutuhkan suatu skala atau skor yang dapat
memberikan informasi mengenai kondisi dan status fungsional pasien. Meskipun
demikian metode yang sesuai dan peralatan untuk mengoreksi malformasi
anorektal masih diperdebatkan dalam beberapa dekade terakhir.(Ure BM, dkk,
tahun)
Pada tahun 1960, Scott mmperkenalkan skor sederhana berdasarkan
pengalaman klinisnya yang terutama meliputi data klinis. Sejak itu sekitar 10 skor
telah dikemukakan dan digunakan pada pasien-pasien setelah koreksi
malformasi anorektal. Skor ini dibedakan berdasarkan klinis, fungsi dan
parameter-parameter lainnya. Meskipun demikian, tidak ada peralatan satupun
yang melalui proses validasi yang sesuai. Hal ini dapat menjadi alasan utama
mengapa hingga saat ini tidak ada satupun sistem skor yang diterima secara
umum. Oleh karena itu, hasil laporan-laporan yang berbeda pada pasien yang
dilakukan metode koreksi malformasi anorektal yang berbeda masih sulit untuk
diinterpretasikan dan secara umum belum ada skor yang dapat diterima. (Ure
BM, dkk, tahun)

Hingga saat ini, belum ada satupun parameter atau sistem penilaian
fungsi anorektal yang diterima secara universal guna mengevaluasi tingkat
keberhasilan tindakan bedah definitif. (Heikkinen M, 1997) Padahal keberhasilan
mengembalikan fungsi anorektal tersebut ketingkat normal atau mendekati
normal

merupakan

hakikat

utama

tujuan

penatalaksanaan

penyakit

Hirschsprung. Menurut H.A.Heij, parameter terbaik untuk menilai fungsi anorektal


adalah kemampuan untuk menahan defekasi sehingga diperoleh tempat dan
waktu yang tepat untuk defekasi. (Swenson O, 1990)

II.

ANATOMI ANOREKTAL
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior (Yamada,1999; Shafik,2000).

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai
pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter
ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum
kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan
(Shafik,2000) . (Gambar 2 )

Gambar 2. Spinkter anal eksternal laki-laki


Vaskularisasi rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis
(a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh
a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri
hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari
a.iliaka interna, memperdarahi rektum bagian distal dan daerah anus
(Yamada,2000; Shafik,2000).

Gambar 3. Vaskularisasi anorektal

Innervasi motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
5

(syaraf parasimpatis) (Yamada,2000; Shafik,2000; Wexner dkk,2000; Neto


dkk,2000).

Gambar 4. Innervasi daerah perineum laki-laki


Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3


pleksus tersebut. (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
6

Gambar 5. Sistem saraf otonom intrinsic usus


III.

FUNGSI SALURAN ANAL


Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas
penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan
menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan
peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan kontraksi
spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat
membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta
dapat

mengeluarkan

salah

satu

tanpa

mengeluarkan

yang

lain

(Yamada,1999; Shafik,2000; Wexner,2000).


Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada
7

waktu dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat
kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal
ke rektum, seiring dengan frekuensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3
kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani
interna secara involunter.
Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat
kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud,1997).
IV.

PRINSIP PENENTUAN SKALA DAN SKOR


Skala merupakan sarana yang digunakan untuk mengukur fenomena klinis
seperti derajat inontinensia atau tekanan spinkter anal. Skor adalah nilai dari
skala yag diberikan pada pasien. Skala yang paling sederhana dan yang paling
kompleks memiliki struktur yang sama, yang terdiri dari beberapa elemen
pertanyaan dan jawabannya. Skor pada pasien tertentu dapat berupa jawaban
ya atau tidak atau berdasarkan urutan ranking. Skor kualitatif dapat dibedakan
dari skor numerik. (Ure BM, dkk, tahun)
Pada prinsipnya skor dapat memberikan tiga fungsi, yaitu prediksi,
evaluasi sepanjang waktu atau deskripsi pada saat tertentu. Skor sebaiknya
berada dalam rentang variasi yang beralasan dan dilakukan secara berulang
8

pada pasien yang sama oleh observer yang sama dan oleh observer yang
berbeda (reproducibility). Sebagai tambahan, skor harus bersifat dapat diukur
(validity) dan memperlihatkan perubahan nilai jika pasien berganti dan tidak
memperlihatkan perubahan jika pasien stabil (responsiveness). Idealnya proses
penentuan reproducibility, validity atau responsiveness dari skala atau skor yang
spesifik

tidak

berdasarkan

pada

pengetahuan

klinis

observer,

namun

berdasarkan pada suatu proses yang terstruktur. (Ure BM, dkk, tahun)
Pasien dengan malformasi anorektal umumnya dilakukan skrining secara
deskriptif. Tidak satupun skor yang disarankan untuk digunakan pada pasien ini
yang memiliki standar kriteria reproducibility, validity atau responsiveness,
dengan pengecualian skor kualitas hidup yang spesifik. Skor kualitas hidup tidak
dirancang spesifik untuk pasien dengan malformasi anorektal.

V.

SKOR YANG DIGUNAKAN PADA PASIEN DENGAN MALFORMASI


ANOREKTAL
Terdapat konsesnsus bahwa kontinensia fekal merupakan hasil akhir
terpenting pada kasus malformasi anorektal. Oleh karena itu, skor spesifik untuk
menilai hasil jangka panjang difokuskan pada beberapa derajat inkontinensia
fekal yang berbeda. Tidak ada konsensus yang memasukkan atau melakukan
skor keluhan lainnya seperti konstipasi, inkontinensia uri, elektromanometri dan
hasil temuan endosonografi atau pengukuran kualitas hidup. (Ure BM, dkk,
tahun)
9

V.1. Skor Scott


Pada

tahun

1960,

Scott

memperkenalkan

skor

kualitatif

yang

membedakan derajat kontinensia menjadi good, fair dan poor. Parameter


yang digunakan adalah kebiasaan buang air besar, kontrol tinja, nyeri perianal
dan fungsi otot puborektalis pada pemerikaan digital. Kontinensia dikatakan
good jika terjadi defekasi spontan yang teratur dengan atau tanpa occasional
soiling dalam situasi stress. Pasien masuk dalam kategori fair jika terdapat
defekasi yang regular dan spontan atau konstipasi kronis. Kontinensia baik,
namun tidak untuk tinja dengan konsistensi yang cair. Pasien mengalami sering
BAB dan terkadang terdapat nyeri perianal. Kekuatan spinkter puborektalis
berkurang. Pasien dengan kontinensia poor mengeluhkan frekuensi BAB
meningkat, constant soiling, nyeri perianal dan tidak adanya tonus spinkter
puborektalis. Skor ini tidak valid dan definisi yang jelas mengenai parameter
spesifik seperti konstipasi dan tekanan spinkter puborektalis tidak dijelaskan.
Meskipun demikian, skor ini dulu sering diguakan pada anak dengan malformasi
anorektal. (Hoschneider A, dkk, 2005;Ure BM, dkk, tahun)

Tabel 1. Kriteria penilaian kontinensia menurut Scott dkk (1960)

10

V.2. Skor Kelly


Pada metode menurut Kelly memiliki kriteria yang sama dengan skor
menurut

Scott,

namun

skor

kontinensia

dinyatakan

secara

kuantitatif.

Penentuannya berdasarkan leakage phenomena, berdasarkan kekuatan spinkter


puborektalis dan pada sensitivitasnya. Faktor-faktornya meliputi penampakan
staining atau smearing, accidental defecation atau soiling, sensitivitas, kekuatan
11

otot puborektal saat pemeriksaan digital dan feeling of defecation. Total skor 56 dikategorikan good, 3-4 adalah fair, dan 2 adalah poor. Meskipun tidak
valid, namun skor ini lama kelamaan semakin popular dan kemungkinan
merupakan instrument yang paling banyak digunakan saat ini. Skor ini biasaya
tidak digunakan sendiri, melainkan dibandingkan dengan penilaian objektif
lainnya seperti manometri, elektromiografi dan data quality-of-life. (Ure BM, dkk,
tahun) Sivakumar K melakukan penelitian menggunakan skor Kelly untuk menilai
hasil fungsional antara dua prosedur operasi pada malformasi anorektal letak
tinggi dan sedang.(Sivakumar K, 2006)

Tabel 2. Skor menurut Kelly (1972) (Ure BM, dkk, tahun; Ludman L dkk, 2002)

12

V.3. Skor Holschneider


Holschneider dan Metzer memperkenalkan skor klinis secara kuantitatif
yang meliputi parameter frekuensi defekasi, konsistensi tinja, soiling, sensasi
rektal, kemampuan untuk menahan, dan kebutuhan terapi. Setiap 7 parameter
diberikan skor 0-2 berdasarkan derajat kerusakannya. Berbeda dengan skor
sebelumnya, parameter seperti frequency of stools atau warning period
disebutkan dengan jelas. Skor 10-14 dikategorikan continent, 5-4 adalah fair,
dan 0-4 adalah incontinent. Namun kemudian penulis merasa bahwa parameter
sensibilitas rektoanal overpresented. Mereka lalu melakukan modifikasi skor,
mengurangi parameter yang digunakan dan memasukkan data manometrik
tanpa merubah skor numerik. Baik skor awal maupun skor yang sudah
dimodifikasi telah digunakan oleh beberapa penulis beberapa tahun terakhir.
(Clarke MC, dkk, 2009; Ure BM, dkk, tahun)
13

Prokurat dkk melakukan penelitian dengan menggunakan beberapa skala


klinis penilaian kontinensia post operasi yaitu Kelly, Holschneider dan Rintula,
Kicsewetter dan Chang dan Pena didapatkan perbedaan hasil yang sangat
signifikan

terhadap

penilaian

kontinensia

dengan

menggunakan

skala

Holschneider/Rintula yang merupakan skala yang paling sensitif untuk semua


metode pada penelitian tersebut.(Prokusat dkk, 2006)
Holschneider dkk akhir-akhir ini menyatakan bahwa tidak satupun
referensi mengenai penilaian anus atau fistula rektum atau penilaian good,
satisfactory atau sufficient maupun sistem skor terkini yang layak untuk
dikomparasikan dengan penelitian-penelitian postoperasi. (Ure BM, dkk, tahun)

Tabel 3. Evaluasi klinis kontinensia menurut Holschneider (1983). (Ure BM,


dkk, tahun)

14

V.4. Skor Wingspread


Pada skor menurut Wingspread, skor tingkatan kontinensia dinilai secara
kualitatif yang dibagi menjadi empat kategori, yaitu

clean, staining,

intermittent fecal soiling dan constant fecal soiling. Sub kategori meliputi terapi
occasional

atau

konstan.

Pada

kategori

tambahan,

komplikasi

yang

berhubungan pada anorektal, traktus urinarius, genital atau fungsi lainnya juga
disebutkan. Tingkatan ini dinilai secara kualitatif dan skor ini telah digunakan
secara luas dalam beberapa tahun terakhir. (Hoschneider A, dkk, 2005;Ure BM,
dkk, tahun)
15

Tabel 4. Skor Wingspread menurut Stepens dkk (Ure BM, dkk, tahun)

16

V.5. Skor Rintala


17

Rintala dan Lindahl memperkenalkan skor klinik untuk mengevaluasi fecal


continence. Skor diambil dari questionnaires standar dan tidak diperlukan
pemeriksaan fisik. Skor terdiri dari tujuh faktor yang diberikan skor dari 0 sampai
3, kecuali faktor frekuensi defekasi yang diberikan skor 1-2. Skor maksimum
untuk fungsi pencernaan adalah 20. Awalnya penulis menggunakan skor ini pada
46 pasien malformasi anorektal letak tinggi atau sedang yang telah dilakukan
koreksi bedah dan membandingkan hasil yang didapatkan dengan data yang
diambil dari 70 anak sehat dengan distribusi usia dan jenis kelamin yang sama.
Hanya 52% dari anak pada populasi kontrol mendapat skor fungsi pencernaan
normal yaitu 20. Functional aberration pada kelompok kontrol yaitu occasional
staining 42% dan konstipasi 15%. Penulis menganggap skor lebih atau sama
dengan 18 sebagai normal. Skor ini membedakan hasil yang sangat baik dengan
skor normal sebanyak 35% pasien yang telah dilakukan koreksi bedah, 35%
pasien lainnya dimasukkan kategori good memiliki occasional staining dan
infrequent accidents; kelompok pasien ini diberikan skor 9-16. Pasien dengan
hasil fair ditemukan intermittent daily soiling atau staining dan diberi skor 7-11.
Pasien dengan hasil poor diberikan skor 6-9 dan harus menggunakan enema
setiap hari karena konstipasi berat atau memiliki constant soiling. Terdapat
beberapa langkah validasi. Skor yang berasal dari questionnaire dan hasil klinis
yang disebutkan pada rekam medis memiliki hubungan yang positif. Sebagai
tambahan, penemuan patologik pada pemeriksaan radiografi spinal atau MRI
pada

pasien memiliki hubungan negatif dengan skor fungsi pencernaan.

Penemuan manometrik tidak membedakan antara pasien dengan hasil klinis


18

yang sangat baik dan yang baik, namun memperlihatkan penurunan yang
signifikan tekanan anal pada pasien dengan hasil klinis fair atau poor. Penulis
menggunakan skor ini pada pasien dengan malformasi anorektal letak rendah.
Hanya setengah dari anak-anak ini memiliki fungsi pencernaan yang sesuai
dengan usia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Masalah utama adalah
konstipasi. Keuntungan skor ini tiga kali lipat. Pertama, questionnaire diisi okeh
pasien atau orangtua pasien; penilaian bersifat observer-independent. Kedua,
tidak diperlukan pemeriksaan fisik. Dan terakhir, tersedia data dari kelompok
kontrol dengan kebiasaan pencernaan yang normal, dan kemampuan menahan
menjadi tumpang tindih dengan skor pada kelompok kontinensia yang berbeda
(misalnya pasien dengan skor 9-11 dapat masuk ke kategori kontinensia good
atau fair), akibat tidak adanya cut-off point yang jelas. (Hoschneider A, dkk,
2005;Ure BM, dkk, tahun)

19

Tabel 5. Evaluasi kontinensia fekal menurut Rintala dan Lindahl

20

V.6 Pena 1995


21

Pena memberikan metodologi spesifik untuk mengevaluasi hasil jangka


panjang berdasarkan pengalaman pribadi. Penulis mengevaluasi 387 dari 792
pasien yang telah dilakukan anorektoplasti sagital posterior. Terdapat empat
parameter yang dievaluasi :
1. Voluntary bowel movement, yaitu perasaan segera ingin ke kamar kecil,
kemampuan untuk merasakan pergerakan pada saluran pencernaan,
kemampuan untuk mengatakannya dan kemampuan untuk menahan
pergerakan tersebut.
2. Soiling yaitu kebocoran involunter dari sejumlah kecil tinja, yang bisa
ditemukan dengan atau tanpa voluntary bowel movement. Soiling derajat 1
terjadi kadang-kadang (satu sampai dua kali seminggu). Derajat 2 jika soiling
terjadi setiap hari namun tidak menyebabkan masalah social. Derajat 3 yaitu
jika terdapat constant soiling yang disertai dengan masalah sosial.
3. Konstipasi yaitu ketidakmampuan mengosongkan rektum secara spontan
tanpa pertolongan setiap hari. (derajat 1: jika pasien dapat ditangani dengan
diet; derajat 2: jika pasien memerlukan laksatif; derajat 3: jika pasien
memerlukan enema).
4. Inkontinensia urin dimasukkan kategori derajat 1 jika pasien mempunyai mild
dribbling dan pakaian dalam yang lembab baik siang maupun malam, derajat
2 jika terjadi inkontinensia komplit. Pasien dengan voluntary bowel movement
dan tidak terdapat soiling disebut kontinensia total.
Pena memberikan analisis secara rinci terhadap

hasil

postoperasi

dihubungkan denngan jenis fistula dan malformasi. Namun skor ini belum
digunakan secara luas. (Hoschneider A, dkk, 2005;Ure BM, dkk, tahun)

22

Tabel 6. Evaluasi fungsi pencernaan menurut Pe a (1995) (Ure BM, dkk,


tahun)

V.7. Skor Heikkinen


Sistem skoring yang dibuat oleh Heikkinen,dkk (1997) yang memuat 7
kriteria dengan masing-masing kriteria memiliki skor antara 0 dan 2, merupakan
sisitem skoring yang paling banyak diterima saat ini namun belum universal
dipakai(Heikkinen dkk,1997)
Tabel 7. Sistem skoring fungsi anorektal menurut Heikkinen (Heikkinen
dkk,1997)

23

V.8. Skor Templeton dan Ditesheim.


Ditesheim dan Templeton memperkenalkan qualitative fecocontinence
score. Parameter terdiri dari derajat kesadaran adanya impending stool,
kejadian defekasi yang tiba-tiba, kebutuhan mengganti pakaian dalam, masalah
sosial terkait dengan penciuman; terbatasnya aktifitas fisik dan adanya ruam.
Parameter diberikan skor dari 0 sampai 1; skor total 4-5 dikatakan good

24

continence, 2-3.5 adalah fair continence, dan 0-1.5 adalah poor continence.
(Elhalaby EA dkk, 2003; Ure BM, dkk, tahun)
Tabel 8. Skor Kontinensia Fekal oleh Templeton dan Ditesheim (Elhalaby EA
dkk, 2003).

V.9. Skor Krickenbeck


25

Konferensi Krickenbeck menyimpulkan bahwa diperlukan suatu klasifikasi yang


paling sederhana untuk penelitian yang memerlukan follow up. Berdasarkan publikasi
oleh Pena pada tahun 1995, voluntary bowel movement, soiling dan konstipasi
merupakan parameter postoperasi utama dalam mengevaluasi keberhasilan operasi.
voluntary bowel movement adalah perasaan ingin segera defekasi, kemampuan untuk
mengatakannya dan kemampuan untuk menahannya. Mengenai soiling, selain yang
dikemukakan oleh Pena, terdapat 3 derajat yang diusulkan, yaitu derajat 1 jika hanya
teerkadang terjadi soiling (sampai 1 atau 2 kali seminggu), derajat 2 jika soiling terjadi
setiap hari namun tidak menyebabkan masalah sosial, dan derajat 3 jika soiling
menetap dengan menimbulkan masalah sosial. Mengenai konstipasi, disamping 2
derajat yang dikemukakan oleh Pena, diajukan juga derajat 3. Derajat 1 adalah
kontipasi yang dapat diatasi dengan mengubah pola diet, derajat 2 membutuhkan
laksatif dan derajat 3 resisten terhadap laksatif maupun diet. Skor ini berdasarkan
definisi parameter kontinensia yang jelas, namun belum tervalidasi.

Tabel Klasifikasi Internasional (Krickenbeck) untuk hasil postoperasi

26

V.10. Skor lainnya


Penulis lainnya mengemukakan metode masing-masing dalam menilai
kontinensia dan mengamati sejumlah kecil pasien.

Kiesewetter

dan

Chang

mengkategorikan kontinensia sebagai kontinensia yang terjadi lebih banyak


sepanjang hari, hanya kadang-kadang saja mengeluhkan soiling yang terjadi jika
terdapat diare atau jika anak dalam situasi stres fisik, fair sebagai soiling atau
staining yang kadang ditemukan dengan konsistensi tinja yang normal, namun
dengan derajat kontinensia yang masih dapat ditoleransi dari segi sosial, dan
poor sebagai frank incontinence, dengan frekuensi kontrol yang sering, atau
terdapat kolostomi permanen setelah periode terapi definitif. (Ure BM, dkk,
tahun)
VI.

METODE SKOR OBJEKTIF LAINNYA


27

Elektromanometri telah digunakan untuk menentukan derajat inkontinensia


sejak awal tahun 1960-an. Elektromanometri Holschneider memberikan 4 derajat
kontinensia. Derajat ini diambil dari beberapa parameter, seperti profil tekanan
anorektal, fluktuasi, relaksasi spinkter anal, kontraksi spinkter eksterna, kontraksi
spinkter puborektalis, toleransi tekanan, refleks defekasi, adaptasi, kepatuhan
dan volume kritis. Kriteria derajat kontinensia telah ditemukan, namun masih
terdapat beberapa ketidakkonsistenan akibat parameter yang tumpang tindih dari
kelompok-kelompok

yang

berbeda.

Penulis

menetapkan

bahwa

skor

elektromanometrik menunjukkan hasil yang lebih tidak memuaskan jika


dibandingkan dengan skor klinis, namun tidak ada data yang diambil dari
kelompok besar pasien yang menjalani baik skor klinis maupun skor dengan
elektromanometri. Meskipun demikian, penulis menyarankan untuk memasukkan
data manometri pada data klinis untuk memberikan hasil yang lebih objektif. (Ure
BM, dkk, tahun; Yagi M 2005)
Diseth dan Emblem mengkonfirmasi bahwa tekanan anal canal resting dan
squeeze pressure berkorelasi negatif dengan inkontinensia fekal. Pada penelitian
oleh Hedlund dkk, tonus abnormal anal resting ditemukan pada 14 dari 17 pasien
dengan soiling 5-10 tahun setelah operasi. Meskipun demikian korelasi hasil
klinik belum sempurna dan beberapa pasien tanpa soiling memperlihatkan tinus
resting yang abnormal. Penulis lainnya mengkonfirmasikan korelasi beberapa
parameter manometri dengan kontinensia klinis. Pada penelitian jangka panjang
pada 22 pasien dengan malformasi anorektal letak tinggi, Rintala dkk
menemukan bahwa hanya parameter manometrik yang berkorelasi dengan hasil
kontinensia. (Ure BM, dkk, tahun)
28

Schuster dkk beberapa waktu terakhir menggunakan computerized vector


manometry pada 17 pasien dengan berbagai jenis malformasi anorektal. Selain
computerized software yang mendukung ata parameter standar manometri, skor
yang menilai tiga zona tekanan kanalis anal (0-16) ditentukan. Meskipun
demikian, penulis menemukan korelasi yang jelek antara parameter manometri
kuantitatif dan hasil klinis, yang dibuat dengan skor modifikasi Kelly. (Ure BM,
dkk, tahun)
Fukuta dkk membandingkan endosonografi dan elektromiografi spinkter anal
eksternal dengan elektromanometri dan data klinis dari skor Kelly. Penemuan
endosonografi dari spnkter anal eksterna berhubungan baik dengan hasil
elektromiografi, tapi tidak dengan manometri. Hanya 15 pasien yang diamati.
Jones dkk membandingkan endosonografi dengan MRI setelah koreksi
malformasi anorektal. Hasilnya dapat dibadingkan dengan hanya 9 dari 14
pasien. Fukuya dkk membandingkan MRI dengan penilaian kliis berdasarkan
skor Kellt. Proporsi perkembangan otot fair atau poor tidak memperlihatan
perbedaan yang signifikan antara kelompok kontinensia berdasarkan Kelly. Oleh
karena itu, belum ada kesimpulan perihal korelasi hasil endosonografi dan MRI
dengan skor klinis yang dapat dikemukakan saat ini. (Ure BM, dkk, tahun)
Bhat dkk melakukan penelitian untuk melihat korelasi antara manometri dan
evaluasi klinis sehingga evaluasi klinis dapat objektif. Bhat dkk menemukan
korelasi yang baik antara system skor menurut Kelly dan manometri anorektal.
Korelasi yang buruk antara skor Kelly dan elektromiografi disebabkan oleh
ketidakkooperatifan pasien saat instruksi untuk melakukan kontraksi otot. (Bhat
dkk, 2004).
29

VII.

PENILAIAN KUALITAS HIDUP


Kualitas hidup merupakan konsep multidimensi, yang memasukkan, namun
tidak membatasi fungsi sosial, fisik dan psikologi individu. Instrumen yang valid
dimaksukan untuk mengukur kualitas hidup secara objektif, dan menyingkirkan
bias observer. Hubungan penilaian kualitas hidup dengan anak dengan
malformasi anorektal telah dikonfirmasi oleh penelitian dari Ditesheim dan
Templeton, yang menggunakan questionnaire scoring sistem yang memasukkan
parameter seperti kehadiran anak di sekolah, hubungan sosial dan kemampuan
fisik. Saat ini telah diketahui bahwa anak-anak dan dewasa dengan inkontinensia
fekal dapat menderita masalah emosional, masalah kebiasaan internal, dan
gejala depresi. Beberapa alat ukur kualitas hidup digunakan untuk mengukur
secara kuantitatif dan kualitatif skor anak dan dewasa dengan inkontinensia fekal
dan konstipasi. Meskipun demikian, hasil yang dijelaskan dibawah belum
mendapatkan kesimpulan dan tidak satupun instrument yang dapat diterima
secara umum. (Ure BM, dkk, tahun, Mills JL, 2008)
Disethdan Emblem menggunakan wawancara dan questionnaire seperti
Child Assessment Schedule, Child Behavior Check list dan laporan individu pada
33 dewasa dengan malformasi anorektal. Fungsi psikososial terganggu pada
73% dewasa dan 58% menemui kriteria diagnosis psikiatri. Penulis menemukan
korelasi yang signifikan antara derajat inkontinensia flatus dengan derajat
gangguan psikososial dan antara kontinensia flatus dengan skor gejala mental
yang sehat. (Ure BM, dkk, tahun)

30

Ludman dan Spitz membuat quality of life by self-report questionnaire deperti


Depression Self-Rating Scale dan Self-Perception Profile pada 157 anak dan
dewasa. Sebagai tambahan, penulis menilai orangtua dan guru menggunakan
Child Behaviior Checklist dan instrument lainnya. Level konstinensia yang
dikemukakan oleh skor Kelly tidak mempengaruhi penilaian psiologi, dengan
pengecualian pada anak perempuan dengan inkontinensia. Tidak ada perbedaan
signnifikan antara anak yang menderita inkontinensia dengan yang tidak perihal
pengukuran global self-worth. Meskipun demikian, 29% mempunyai penyakit
psikiatri dan hal ini lebih sering ditemukan pada anak dengan inkontinensia.
Pekerjaan lainnya mengkonfirmasikan bahwa kesehatan mental atau masalah
psikologis lebih sering ditemukan pada 160 anak dan dewasa dengan
malformasi anorektal dibandingkan dengan populasi normal, namun insiden
masalah ini sama dengan pasien kontinensia maupun inkontinensia. (Ure BM,
dkk, tahun)
Bai dkk menggunakan Achenbachs Child behavior Checklist pada 71 anak
dengan malformasi anorektal dan menemukan penurunan yang signifikan
kualitas hidup dibandingkan dengan kelompok kontrol. (Ure BM, dkk, tahun)
Penilaian kualitas hidup pada pasien dengan malformasi anorektal
sangatlah penting. Penggunaan instrumen yang ada saat ini dan kalkulasi skor
masih sulit dilakukan dan memerlukan waktu yang panjang. Oleh sebab itu maka
instrumen untuk menilai kualitas hidup setelah koreksi malformasi anorektal
belum dapat direkomendasikan untuk digunakan secara rutin. (Ure BM, dkk,
tahun; Mills JL, 2008)
31

Tabel 7. Kriteria skor quality-of-life untuk anak dengan inkontinensia


fekal menurut Bai dkk. (Ure BM, dkk, tahun)

32

DAFTAR PUSTAKA
Bhat NA Grover NP, Bhatnagar V. Manometric Evaluation of Postoperative Patients with
Anorectal Anomalies. Indian J Gastroentero 2004;23:206-208
Clarke MC, Chase JW, Gibb S, et al. Improvement of Quality of Life in Children with
Slow Transit Constipation After Treatment with Transcutaneus Electrical Stimulation.
JPedSurg 2009;44:1268-1273
Elhalaby EA, Al-Affi M, Ismael K, et al. Anorectal Incontinence Following Repair of
Congenital Anorectal malformations. EJS 2003;22(4):392-393
Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors.
Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;1997.p.2097105.
Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance after surgery
for Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg, 1997; 32: 1443-6.
Holschneider A, Hutson J, Pena A, et al. Preliminary Report on the International
Conference for the Development of Standards for treatment of Anorectal Malformation.
JPedSurg 2005;40:1521-1526
Ludman L, Spitz L, Tsuji H, et al. Hirschprungs Disease : Functional and Psychological
Follow-up Comparing Total Colonic and Rectosigmoid Aganglionosis. Arch Dis Child
2002;86:349
33

Neto JA, Junior JA.Acquired megacolon. In: New trends in coloproctology. Rio de
Jainero;Livraria:2000.p.329-33.
Prokurat AI, Coopek M, Kazmirczuk R, Kluge P. Utilization of Iternal Sphincter in The
Reconstruction of Anorectal Malformations in Girls. Annals of Diagnostic Paediatric
Pathology 2006;10(1-2):23-29
Shafik A. Surgical anatomy of the anal canal.In: Neto JA,editor. New trends in
coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.3-18.
Sivakumar K. Sacroperinal mobilization versus posterior sagital anorectoplasty: a study
on outcome. J Indina Assoc Pediatr Surg 2006;11:140-4
Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger JG,ed.
Swensons pediatric surgery.5 th ed. Connecticut:Appleton & Lange, 1990: 555-77.
Ure BM, Rintala RJ, Holschneider AM. Scoring Postoperative Results. In Anorectsl
Malformations in Children. Springer. Australia. 2008:351-359
Wexner SD, Jorge JM. Evaluation of functional studies on anorectal disease. In: New
trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.23-38.
Yamada T. Atlas of gastroenterology. 2nd ed.Tokyo;1999.
Yagi M, Kubota M, Kanada S, et al. Fecoflowmetric Profiles in Postoperative Patients
with Hirschprungs Disease

34

35

Anda mungkin juga menyukai