Oleh :
MIRZA SATRIA BUANA, S.H, M.H*
A man should take courage when about to die, and be of good hope, after
leaving this life, he will attain to the greatest good yonder (Socrates)
Pendahuluan
Indonesia
sebagai
sebuah
negara
hukum
sebagaimana
yang
di
parlemen;
ini
sungguh
sebagai
sebuah
potret
realitas
UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum
Istilah ini diambil dari mitos Yunani kuno, tentang tugas-tugas Hercules (The Labour of
Hercules), tugas ke-5 Hercules adalah untuk membersihkan Kandang-Kandang Sapi Raja
Auges yang sangat besar, luas, kotor dan bau. Hercules akhirnya dapat membersihkan
kandang-kandang sapi tersebut dengan menggunakan akalnya. Dia membangun bendungan
besar yang akan mengarahkan arus sungai untuk membanjiri kandang-kandang sapi
2
hukum
yang
berorientasi
kepada
nilai
keadilan
sering
suatu
negara;
apakah
nilai
keadilan
dalam
hukum
ataukah
tersebut. Dalam konteks Indonesia, siapakah yang mau dan rela menjadi seorang Hercules?
3
Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Mudzakkir dalam sebuah sesi perkuliahan
4
Moh.Mahfud MD, Bahan kuliah Politik Hukum, Program PascaSarjana UII, hlm. 12
5
Sajipto Rahardjo, Membedah hukum prograsif, Kompas, 2008, hlm.171
keadilan.
Keadilan merupakan tujuan utama dari negara hukum, hal ini
dibuktikan oleh pengalaman empiris seorang tokoh fisfus kenamaan Yunani
kuno yang bernama Socrates. Dikisahkan bahwa pada tahun 399 SM ketika
beliau
menginjak
usia
70
tahun,
Socrates
dihadapkan
pada
sidang
pengadilan Heliasts (Court of Heliasts) yang terdiri dari 501 warga Athena,
yang serentak bertindak sebagai hakim tentang hukum, fakta dan bukti
(judge of law, facts dan evidence). Para penuntut Socrates adalah Anytus,
seorang politisi demokrat, Melitus, seorang penyair tragedi dan Lykon
seorang ahli pidato, mereka bertiga mendakwa Socrates telah melakukan
dua
kejahatan.
Pertama,
Socrates
dengan
terang-terangan
menolak
suara
terbanyak dari sidang majelis, dengan kata lain hakim Athena menggunakan
hukum yang diambil dari keputusan suara terbanyak sebagai tameng
kejahatan mereka. Hukum yang lalim telah dengan terang benderang tidak
6
7
hanya membunuh Socrates namun juga telah membunuh rasa keadilan dan
kebenaran itu sendiri.
Berdasarkan pengalaman
Socrates
inilah,
Plato
(427-347
SM)
yang tidak dapat ditawar harus ada dalam satu negara dan harus
menempati posisi sentral dalam politik negara 8. Plato dalam sebuah karya
besarnya Republic, menyebut negara idealnya dengan nama The City of
Justice. Dalam negara ini setiap kelompok masyarakat harus berkontribusi
bagi tegaknya republik keadilan dengan menjalankan tugas masing-masing
secara konsekuen dan dengan penuh disiplin9.
Membicarakan hukum tidak terlepas dengan kaitannya dengan cita
hukum yang senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula.
Menurut Plato, kekuatan moral adalah unsur hakikat dari hukum, sebab
tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan
independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur
oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia 10.
Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat
universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan
hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama dan
keadilan sosial
11
Hukum negara bagi Plato, menjadi hal yang sangat penting guna
menegakkan keadilan, karena hanya dengan instrument hukum (per-undangundangan) yang didapat dari persetujuan atau hasil kontrak sosial antara
rakyat dengan penguasalah hukum baru dapat ditransformasikan kedalam
jiwa masyarakat sehingga hukum akan dihormati dan dipatuhi oleh
masyarakat dan bukan sekedar dipaksakan dari luar.
Aristoteles, murid Plato memiliki pandangan yang sedikit berbeda
dengan Plato. Hukum menurut Aristoteles, merupakan sebuah kandang
yang dapat menjinakkan (domesticate) manusia. Hukum negara bertujuan
tidak hanya untuk memperolah keadilan namun juga untuk mendapatkan
kebahagiaan (eudaimonia) bagi semua warga negara13. Aristoteles menolak
sebuah anggapan bahwa hukum hanya sekadar alat konvensi praktis
semata, seperti sistem birokrasi prosedural-formil, pengatur lalu lintas,
menghukum
pelaku
kejahatan,
atau
memaksa
warga
negara
untuk
tidak
dapat
membahagiakan
masyarakat,
malah
membuat
13
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT. Cipta Aditya
Bakti, 2004, hlm. 79
14
Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan, hukum hendaknya menjaga
agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin dan terlindungi dari perkosaanperkosaan terhadap dirinya. Dalam hubungan ini ia membedakan antara:
Keadilan distributif (yang mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat
membagi-bagi sumber daya itu kepada orang-orang)
Keadilan kolektif (yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari,
kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang
dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain)
Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu Hukum. CV. Rajawali. Jakarta,hlm 163.
Dalam uraian tentang hakikat hukum kita telah melihat bahwa hukum
berdasarkan kesamaan hakiki semua
manusia
sebagai manusia
dan
dalam
menjaga
pranata
ketertiban
15
dan
kepastian
hukum
di
Huston Smith dalam E. Sumaryono, Etik dan Hukum, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
2002, hlm. 56
16
B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu hukum Indonesia, FH UNPAR, Bandung, 2008, hlm. 4
masyarakat, namun disisi lain hukum juga harus mampu menjelma sebagai
perwujudan dari cita-cita masyarakat disinilah dikedepankan hukum yang
memiliki rasa empati terhadap rakyat (responsive). Ketegangan inilah yang
sering menjadi paradox dari hukum yang cenderung menjadi sesuatu yang
rigid dalam pelaksanaan negara karena lebih mengedepankan nilai kepastian
hukum yang bercorak legalitas an sich semata, hal inilah yang menjadi
trigger dari terpecahnya (dikotomi) konsep negara dengan masyarakat
awam17. Semakin banyak keadilan dikorbankan atas nama logika kepastian
hukum dan alasan prosedural-formal, maka semakin lebar jarak antara
hukum negara dengan sentimen awan tentang kebenaran. Akibatnya hukum
kehidupan kehilangan kejernihannya, juga legitimasinya di mata kalangan
masyarakat awam; masyarakat awam nantinya hanya akan mengenal
hukum sebagai alat-alat ajaib yang digunakan oleh golongan terhormat (elit)
tertentu.
Padahal paradigma dari hukum tersebut seharusnya lebih dapat
bersifat dinamis dan cair guna melayani masyarakat dan mengakomodir
kebutuhan masyarakat. Negara
mewujudkan
kompromi
antara
sifat-sifat
bawaan
hukum
17
18
Dalam sub judul ini penulis akan merangkaikan definisi dan korelasi
antara kekuasan dengan negara, yang mana para sarjana politik sebagian
besar beranggapan bahwa hakikat politik adalah kekuasaan dan disepakati
pula bahwa proses politik tidak lain adalah serangkaian peristiwa yang
hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan. Joseph Roucek
dalam pernyataannya The central problem of politics is that of the
disrelationships are power realtionships, actual or potential.19
Sedangkan, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku20
Pernyataan diatas memiliki makna sosiologis namun
realistis,
merupakan
sebuah
konkritisasi
dari
hubungan-hubungan
Cheppy Hari Cahyono, Ilmu Politik dan perspektifnya, Triawacana, Yogyakarta, 1986, hlm.
186
20
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.10
21
Salman Luthan, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Program PascaSarjana UII, Yogyakarta,
hlm.16
22
Erich Fromm, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar, 2001, hlm.107
yang
membatasi
kebebasan
masyarakat,
sebab
mereka
(masyarakat
kekuasaan
kepada
semua
orangmengenai
kondisi
dari
hukum
dapat
memaksa
(represif)
maupun
melakukan
Jonathan Wolff, Mengapa masih relevan membaca MARX hari ini?, Mata Angin, Yogyakarta,
2002, hlm. 43
24
Salman Luthan, Ibid, hlm. 17
dengan melibatkan para subyek hukum. Hanya dengan cara ini setiap
subyek hukum akan menyadari apa keuntungan yang akan ia miliki dan
konsekwensi apa yang akan ia tanggung bila sebuah norma hukum
diberlakukan25.
Teori komunikasinya Habermas menyatukan dan sekaligus mengatasi
kelemahan teori Positivisme hukum, Marxis dan teori hukum Kodrat. Melalui
teori
komunikasi
kekuasaan.
Habermas
Kepatutan
pada
juga
berhasil
hukum
yang
membedakan
dibentuk
hukum
melalui
dari
praktek
heterogenitas,
mempertahankan
konstitusional.
tetapi
kekuasaan
Menghindari
diperlukan
itu
dalam
adanya
koridor
anggapan-anggapan
konsistensi
yang
bahwa
dalam
benar-benar
bagian-bagian
10
suatu ide yang lebih luas, yaitu kehidupan masyarakat yang teratur. Disinilah
timbulnya ide, bahwa hukum sebagai sistem jaringan nilai-nilai pada
hakikatnya membentuk tatanan masyarakat.
Menurut Zevenbergen bahwa diri hukum itu mengandung dua hal :
I. Patokan penilaian, yaitu hukum menilai kehidupan masyarakat dengan
menyatakan apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak
baik. Dari penilaian ini, kemudian melahirkan petunjuk tentang
tingkah laku mana yang termasuk dalam kategori yang harus
dijalankan dan yang harus ditinggalkan.
II. Patokan tingkah laku, yaitu kaidah hukum merupakan patokan
semestinya
diikuti
dan
ditaati
sebagai
suatu
patokan
dalam
Purnadi Purwacaraka, Ikhtisar Anatomi: Aliran Filsafat sebagai landasan Filsafat hukum,
CV.Rajawali. Jakarta, 1987, hlm.13
29
Satjipto Rahardjo, Op.cit, hlm. 69-70
11
ini akan mendorong hukum untuk bergerak dan bekerja atas kekuatan
sendiri.
Inti penilaian itu sendiri bukan hanya dari berbagai penilaian,
melainkan juga satu kesatuan yang disebut sistem penilaian. Disinilah nanti
hukum sebagai sistem jalinan nilai-nilai akan menunjukkan bahwa betapa
eratnya hubungan antara sub sistem sosial, (tempat hukum berlaku) dengan
sub sistem budaya dan nilai-nilai lainnya.
Hukum dimaknai sebagai salah satu dari sistem kontrol di masyarakat.
Tidak hanya berfungsi sebagai kaidah-kaidah hukum an sich, namun dalam
prakteknya juga harus di mobilisasi ke dalam jiwa masyarakat. Tidak dapat
dinafikan memang bahwa hukum dimulai dari rangkaian kaidah-kaidah yang
bersifat normatif dan memiliki sifat memaksa, tetapi suatu kaidah hukum itu
tidak langsung diterapkan begitu saja. Ia perlu dimusyawarahkan (overleg)
lebih dulu agar mencapai hasil yang baik 30. Hukum yang dijalankan dengan
mekanisme musyawarah (overleg) jelas lebih ber-nurani dan mencitrakan
keadilan bagi manusia.
Relasi Ideal Hukum dengan Kekuasaan
Sejak awal fase kehidupan manusia di bumi ini, mereka selalu
berkelompok dengan sesamanya, dan sejak adanya kehidupan sosial itulah
maka manusia menundukkan diri terhadap yang namanya kekuasaan.
Kekuasaan disini berupa yang dapat mengusahakan dan menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan bersama.
Kekuasaan supaya mantap, memerlukan legitimasi,
antara
lain
legitimasi etis, etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum
yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis),
dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi
moral). Ketiga tuntutan tersebut dapat disebut legitimasi normatif atau etis
karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis
apabila sesuai dengan tuntutan tadi. Dalam kenyataannya, orang yang
memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa daripada
yang berwenang atau yang memiliki kekuatan fisik (senjata). Kekayaan
30
Satjipto Raharjdo, Berhukum dengan Akal sehat, Koran Kompas, 12 Desember 2008
12
demokrasi
disini
adalah
tuntutan
agar
kedamaian,
kesejahteraan
rohaniah
dan
jasmaniah,
yang
13
tercipta tatanan
14
air. Dimana antara keduannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain
dikarenakan adanya hubungan inter-dependensi antara keduanya. Tugas
mulia seorang jurist adalah untuk mengharmonisasikan hubungan antara
keduanya, sehingga akan tercipta jalinan harmonis antara hukum dan
kekuasaan. Dimana hukum yang berperan sebagai Panglima.
Kesimpulan
Hukum dalam kompleksitas negara memiliki banyak tujuan dari
dirinya. Tidak hanya sebagai alat pengatur masyarakat, namun juga sebagai
pemberi rasa kepastian hukum, kemanfaatan bagi masyarakat dan yang
terutama sebagai tonggak pedang keadilan bagi masyarakat. Nilai keadilan
sebagaimana penulis uraikan di atas merupakan tujuan negara yang utama,
hukum tanpa keadilan adalah sebuah kemandulan hukum, hukum tidak
hanya dapat ditegakkan dengan aturan-aturan rigid semata, namun hukum
bersemai dalam jiwa masyarakat yang secara harmoni menyatu dengan
adat, kebiasaan masyarakat tersebut.
Hukum sebagai jalinan nilai keadilan pada hakikatnya membentuk
tatanan masyarakat. Karena hukum melakukan penilaian terhadap tingkah
laku para warga masyarkat dalam hubungan sosialnya, artinya hukum itu
memiliki patokan-patokan yang digunakan untuk melakukan penilaian.
Patokan sebagai hasil penilaian itulah yang memberikan dasar bagi hukum
untuk melahirkan petunjuk-petunjuk tingkah laku.
Hukum pada hakikatnya merupakan sistem kehidupan manusia
bermasyarakat dan bernegara yang bertolak belakang dari masalah-masalah
konflik sosial di lingkup masyarakat (grassroot). Kehadiran hukum dalam
masyarakat
diantaranya
ialah
untuk
mengintegrasikan
dan
Telaah
hukum
Marxis,
Habermasian
dan
Post-
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT.
Cipta Aditya Bakti, 2004.
Sumaryono.E, Etik dan Hukum, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2002.
Sidharta, B. Arief, Struktur Ilmu hukum Indonesia, FH UNPAR, Bandung, 2008.
Unger, Roberto M, Teori hukum kritis, Nusa Media, 2007.
Ujan, Andre Ata, Filsafat hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.
Wolff, Jonathan, Mengapa masih relevan membaca MARX hari ini?, Mata
Angin, Yogyakarta, 2002.
17