Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu
mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya,
serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Halfian,
2008). Stuart & Laraia (2001) mendefinisikan kesehatan jiwa adalah keadaan
sejahtera di tandai perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas dan
pencapaian diri yang optimis. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa
kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang membuat seseorang merasa
hidup bahagia, harmonis, dan mampu mengatasi tantangan hidup serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Jika seseorang
tidak berhasil beradaptasi dan koping tidak efektif serta bersikap negatif
terhadap diri sendiri dan orang lain hal ini dapat mengakibatkan ganguan
jiwa.
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir, kemauaan,
tindakan (Yosep, 2008). Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2013) adalah
suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada
fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan
dalam melaksanakan peran sosial. Sedangkan menurut Townsend (2009)
gangguan jiwa adalah respons maladaptif terhadap stressor dari lingkungan
internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang

tidak sesuai dengan norma-norma lokal atau budaya setempat dan


mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik.
Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan
kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat
serius. WHO (2001) menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang
didunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450
juta orang di dunia yang menalami gangguan jiwa. Menurut data Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005, di Indonesia diperkirakan 264
dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa. Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan angka tersebut
menunjukkan jumlah penderita gangguan jiwa dimasyarakat sangat tinggi,
yaitu satu dari 4 penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas,
depresi, stress, penyalah gunaan obat, kenakalan remaja, sampai skizofrenia
(Yosep, 2008).
Menurut (Varcarolis, 2006) dalam (Sulistyowati, 2009) gejala mayor
skizofrenia digolongkan dua yaitu gejala positif dan negatif. Gejala positif
yang muncul antara lain : halusinasi, delusi, perilaku agitasi dan agresif serta
gangguan berpikir dan pola bicara, sedangkan gejala negatif antara lain : apek
datar, sedikit bicara apatis serta penurunan perhatian dan aktifitas sosial.
Varcarolis Juga menjelaskan bahwa perilaku agitasi dan agresif
merupakan salah satu gejala positif skizofrenia. Klien Skizofrenia sering
disertai dengan gangguan perilaku yaitu perilaku agitasi, agresif dan perilaku

kekerasan. Perilaku agitasi adalah bentuk perilaku dimana individu merasa


tidak tenang atau gelisa. Sedangkan perilaku agresif adalah perilaku yang
disertai marah, terdapat dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih
terkontrol.
Berdasarkan data dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Dr. Ernaldi
Bahar Palembang tahun 2014, pada tiga bulan terakhir yaitu bulan Oktober,
November, dan Desember terdapat 1053 pasien dengan gannguan jiwa
diantaranya terdapat 700 pasien yang mengalami perilaku kekerasan.
Perilaku

kekerasan

adalah

suatu

keadaan

dimana

seseorang

melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri
sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
dimana seseorang marah berespon terhadap stressor dengan gerakan motorik
yang tidak terkontrol (Yosep, 2008). Perilaku kekerasan atau agresif
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain
secara fisik maupun psikologis (Berkowitz dalam Fitria 2009). Jadi perilaku
kekerasan merupakan salah satu respon dari stressor ditunjukan dengan
perilaku permusuhan, bertujuan menyakiti dan dapat berbahaya bagi diri,
orang lain, maupun lingkungan.
Perilaku kekerasan ditinjau dari rentang respon marah merupakan
perilaku maladaptif diantaranya adalah perilaku agresif dan amuk atau
perilaku kekerasan. Perilaku agresif adalah perilaku yang menyertai marah,
terdapat dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol.

Sedangkan perilaku amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah


dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Penanganan perilaku kekerasan terdiri dari tiga strategi yaitu:,
preventif, antisipasi dan pengekangan atau managemen krisis (Stuart &
Laraia 2005). Berbagai upaya pelayanan kesehatan mental telah dilakukan
oleh pemerintah daerah/dinas kesehatan melalui peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Untuk mengatasi masalah kesehatan
mental ini, salah satu kendala klasik yang sering muncul adalah terbatasnya
sumber tenaga medis spesialis jiwa.
Di sisi lain prinsip dasar komunikasi kesehatan yang sering kali
terabaikan oleh tenaga medis spesialis jiwa adalah pentingnya komunikasi
terapeutik mereka dengan pasien. Sementara itu, ada juga anggapan pada
sebagian tenaga medis bahwa mereka tidak membutuhkan keahlian lain
kecuali mendiagnosis penyakit dan melakukan tindakan medis untuk
menyembuhkan penyakit. Berdasarkan pengamatan, komunikasi tenaga
medis spesialis jiwa dengan pasien umumnya bersifat formal dan terbatas,
sedangkan pasien yang akan berkonsultasi umumnya cukup banyak. Padahal,
komunikasi terapeutik tenaga medis spesialis jiwa yang lebih baik
berkontribusi signifikan terhadap kesehatan pasien (konas PPNI, 2014)
Pada

dasarnya

komunikasi

terapeutik

merupakan

komunikasi

interpersonal (antarpribadi) yang profesional mengarah pada tujuan

kesembuhan pasien dengan titik kualitas hubungan interpersonal. spesialis


jiwa seyogianya menempatkan pasien bukan sekedar obyek, melainkan juga
subyek yang punya latar belakang sosial budaya nilai harapan, perasaan,
keinginan, dan kekhawatiran serta mendambakan kebahagia-an. Sikap ini
melihat orang lain sebagai manusia individu yang patut dihargai. Menerima
tidak berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung
akibat perilakunya. Tenaga medis spesialis jiwa menyampaikan semua
informasi yang diperlukan mengenai manfaat dan risiko pengobatan.
Sementara itu, pasien sendiri yang mempertimbangkan dan memutuskan apa
yang terbaik bagi dirinya (Erlinafsiah, 2010).
Dalam sikap kesetaraan, tenaga medis tidak mempertegas perbedaan.
Status boleh jadi berbedat, tetapi komunikasi tenaga medis dengan pasien
tidak vertikal. Tenaga medis tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat
yang

sama.

Dengan

kesetaraan,

tenaga

medis

mengomunikasikan

penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan dan keyakinan


(Kelliat, 2004). Hubungan tenaga medis spesialis jiwa dengan pasien harus
dianggap sebagai hubungan antara mitra medis yang saling membutuhkan
untuk memerangi keadaan sakit pasien.
Komunikasi terapeutik ini akan efektif hanya melalui penggunaan dan
latihan yang sering. Melatih diri menggunakan komunikasi interpersonal yang
terapeutik akan, meningkatkan kepekaan tenaga medis terhadap perasaan
pasien. Saat pasien mengungkapkan keluhanya pada saat itulah pengobatan

dalam proses terapeutik sudah dimulai. Keterampilan komunikasi terapeutik


bukan bawaan, melainkan dipelajari. Sayang banyak tenaga medis spesialis
jiwa yang tidak menyadari hal ini. Mengingat banyaknya penduduk yang
mengalami gangguan jiwa dan kemungkinan rendahnya kesadaran akan arti
penting komunikasi terapeutik bidang kajian komunikasi terapeutik ini perlu
dipertimbangkan di perguruan tinggi. Bidang kajian ini justru lebih penting
bagi para calon ahli spesialis jiwa dokter, bidan dan perawat sarjana
kesehatan, apoteker. dan manajer rumah sakit (Konas PPNI, 2014).
Menurut Stuart (2005), tujuan Komunikasi terapeutik diarahkan pada
pertumbuhan klien : Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat pada diri
sendiri, Identitas diri yang jelas dan integritas diri yang tinggi, Kemampuan
membina hubungan interpersonal yang intim, saling tergantung dan
mencintai, Peningkatan fungsi dan kemampuan yang memuaskan kebutuhan
serta mencapai tujuan personal yang realistis.
Komunikasi teraupetik juga termasuk komunikasi interpersonal
dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dan klien.
Dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan lebih
mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga akan lebih
efektif dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah diterapkan
yang memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan dan
akan meningkatkan profesi (Putri, 2013). Komunikasi terapeutik ini dapat
membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan

pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu
mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri dalam hal ini
mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan (Erlinafsiah, 2010).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti jumlah
tenaga keperawatan di Rs. Dr. Ernaldi bahar palembang ada 132 Perawat.
Jumlah perawat yang dinas di ruang dengan diagnosa perilaku kekerasan saat
ini ada 20 Perawat dengan sistem Rolling. Jadi setiap perawat di Rs.Dr.
Ernaldi Bahar pernah merawat pasien dengan Perilaku kekerasan. Jadi
peneliti tertarik untuk mengetahui Hubungan antara sikap perawat dalam
komunikasi terapeutik dengan kemapuan mengendalikan marah Pasien
dengan Perilaku Kekerasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah tersebut
sebgai berikut, yaitu bagaimana Hubungan sikap perawat dalam komunikasi
terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah pasien Perilaku
kekerasan di Rumah sakit Dr.Ernaldi bahar Palembang tahun 2015.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahui Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan
kemapuan mengendalikan marah Pasien dengan Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui distribusi frekuensi sikap perawat saat komunikasi
terapeutik.

b. Diketahui distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah


pasien periaku kekerasan.
c. Diketahui Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik
dengan kemapuan mengendalikan marah Pasien dengan Perilaku
Kekerasan di Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar Palembang.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dalam proses
evaluasi

untuk

meninangkatkan

mutu

pelayanan

keperawatan,

khususnya pelaksanaan komunikasi terapeutik.


b. Bagi institusi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi positif sebagai
dasar penelitian lanjutan dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa
khususnya mahasiswa STIKes Muhammadiyah Palembang
c. Bagi perawat
Merupakan evaluasi dan masukan dalam rangka peningkatan mutu
pelayanan keperawatan khususnya bagi profesi perawat terhadap
penerapan komunikasi terapeutik

2. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk
menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan di STIkes
Muhammadiyah Palembang dan menambah wawasan,pemahaman,
dan pengalaman dalam penelitian.
b. Bagi ilmu pengetahuan dapat memberikan
perkembangan

ilmu

komunikasi terapeutik.

pengetahuan

tentang

sumbangan

materi

bagi

pelaksanaan

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam Ruang lingkup keperawatan jiwa yang
difokuskan untuk mengetahui hubungan sikap perawat dalam komunikasi
terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah pasien dengan perilaku
kekerasan dirumah sakit Dr.Ernaldi Bahar Palembang tahun 2015.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar palembang,
responden dalam penelitian ini adalah perawat yang memberikan Asuhan
Keperawatan pada pasien Perilaku Kekerasan. Variabel dalam Penelitian ini
meliputi variabel Independen : sikap perawat dalam komunikasi terapeutik
dan variabel dependen: kemampuan mengendalikan marah Pasien Perilaku
kekerasan. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
1

Komunikasi Terapeutik
Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting, karena dengan
adanya komunikasi kita dapat memperoleh atau bertukar informasi. Dalam
dunia keperawatan komunikasi merupakan inti, yang merupakan landasan
dalam membina hubungan perbantuan agar proses keperawatan dapat
tercapai. Ada dua bentuk komunikasi yang kita kenal yaitu komunikasi
verbal dan komunikasi nonverbal.

10

Dalam melakukan interaksi kita juga mengenal komunikasi


terapeutik, komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi
interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar
perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi ini adalah
adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat
dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien,
perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Achmad Fanani, 2013).
Teknik komunikasi terapeutik merupakan cara untuk membina
hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan
pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi
orang lain (Putri & Fanani 2013).
Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses
10

tukar menukar perasaan, keinginan, kebutuhan dan pendapat. Komunikasi


juga merupakan bagian integral dari kehidupan manusia tidak terkecuali
seorang perawat, yang dalam kegiatan sehari-harinya selalu berhubungan
dengan orang lain (Damaiyanti, 2008). Komunikasi yang dilaksanakan
secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
pasien disebut dengan komunikasi terapeutik (Suryani, 2004).
Komunikasi teraupetik juga termasuk komunikasi interpersonal
dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dan klien.
Dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan

11

lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga


akan lebih efektif dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah
diterapkan yang memberikan kepuasan professional dalam pelayanan
keperawatan dan akan meningkatkan profesi (putri, 2013). Komunikasi
terapeutik ini dapat membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi
beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif
untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan
diri sendiri.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan untuk
membantu penyembuhan dan pemulihan pasien, komunikasi ini sangat
penting untuk menjalin hubungan saling percaya antara pasien
2

dengan perawat
Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik dilaksanakan dengan tujuan:
a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan
dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada bila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam
hal peningkatan derajat kesehatan
d. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis
(tenaga kesehatan) secara professional dan proposional dalam rangka
membantu penyelesaian masalah klien. (Mundakir, 2006).

12

Menurut Stuart, 2005, tujuan terapeutik diarahkan pada


pertumbuhan klien : 1) Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat
pada diri sendiri. 2) Identitas diri yang jelas dan integritas diri yang
tinggi. 3) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang intim,
saling tergantung dan mencintai. 4) Peningkatan fungsi dan
kemampuan yang memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realistis.

Manfaat Komunikasi Terapeutik


Manfaat Komunikasi terapeutik. (Christina dalam Damaiyanti, 2008)
adalah :
a. Mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan
pasien melalui hubungan perawat-klien.
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, dan mengkaji masalah dan
mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat.

Teknik Komunikasi terapeutik


Berikut adalah teknik komunikasi berdasarkan referensi dari (Nasir; 2011).
a. Mendengarkan dengan Penuh Perhatian
Menurut Varcarolis dalam Nurjannah I (2001), dengan mendengarkan
akan menciptakan situasi interpersonal dalam keterlibatan maksimal
yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas.

13

b. Menanyakan Pertanyaan yang Berkaitan dengan Pertanyaan Terbuka.


Tujuan perawat bertanya dengan pertanyaan terbuka (broad opening)
adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai kondisi
riil dari klien dengan menggali penyebab klien mencari pertolongan
atau penyebab klien datang ke tempat pelayanan kesehatan.
c. Mengulang Ucapan Klien dengan Menggunakan Kata-kata Sendiri.
Dengan mengulang kembali ucapan klien, harapan perawat adalah
memberikan perhatian terhadap apa yang telah di ucapkan. Stuart and
Sundeen (2005) mendefenisikan pengulangan adalah pengulangan
pikiran utama yang diekspresikan klien, pengulangan ekspresi pertama
yang dimaksud bias dimaknai sebagai pengulangan apa yang diucapkan
dan pengulangan apa yang dimaksudkan.
d. Memfokuskan
Memfokuskan (focussing) dalam rangka mempersempit pembicaraan
yang tertuju pada topik pembicaraan saja tidak melebar dengan prinsip
bekerja sampai tuntas atau membicarakan sesuatu sampai tuntas
mengingat yang dikerjakan perawat di pelayanan cukup menyita waktu
dan perhatian yang serius.
e. Menyampaikan Hasil Observasi
Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien dengan
menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah
pesan diterima dengan benar. Menurut Stuart & Sundeen (1998)

14

menganjurkan penyampaian hasil observasi kepada klien apabila


terdapat konflik antara verbal dan non verbal klien, serta saat tingkah
laku verbal dan nonverbal nyata dan tidak biasa ada pada klien.
f. Menawarkan Informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan lebih baik bagi
klien

terhadap

keadaannya.

Memberikan

tambahan

informasi

merupakan pendidikan kesehatan bagi klien.

g. Diam
Diam yang dilakukan perawat terhadap klien adalah bertujuan untuk
menunggu respons klien untuk mengungkapkan perasaannya. Menurut
Boyd & Nihart dalam Nurjannah, I (2001:58), diam digunakan pada
saatklien perlu mengekspresikan ide tatapi tidak tahu bagaimana melak
ukannya/menyampaikan hal tersebut. Diam memungkinkan klien untuk
berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan
memproses informasi.
h. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan
secara singkat dalam rangka meningkatkan pemahaman.
i. Memberikan penguat

15

Penguatan (reinforcement) positif atas hal-hal yang mampu dilakukan


klien dengan baik dan benar merupakan bentuk pemberian penghargaan.
j. Menawarkan Diri
Menawarkan diri merupakn kegiatan untuk memberikan respons agar
seseorang menyadari perilakunya yang merugikan baik dirinya sendiri
maupun orang lain tanpa ada rasa bermusuhan.
k. Memberikan Kesempatan kepada Klien untuk Memulai Pembicaraan
Berikan kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam memilih topic
pembicaraan. Biarkan klien yang merasa ragu-ragu dan tidak pasti
tentang perannya dalam interaksi ini.
Menganjurkan untuk Meneruskan Pembicaraan
Teknik ini mengajurkan klien untuk mengarah hamper seluruh
pembicaraan yang mengindikasikan bahwa klien sedang mengikuti
apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan
dibicarakan selanjutnya.
l. Menempatkan Kejadian secara Teratur akan Menolong Perawat dan Klien
untuk Melihatnya dalam Suatu Perspektif Kelanjutan dari suatu
kejadian secara teratur akan menolong perawat dank lien untuk
melihatnya dalam suatu persfektif.
m. Menganjurkan Klien untuk Mengurai Persepsinya

16

Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala


sesuatunya dari perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk
menguraikan persepsinya kepada perawat.
n. Refleksi
Menurut Stuart & Sundeen (2005) teknik refleksi digunakan untuk
mengembalikan ide, perasaan, pertanyaan kepada klien. Sedangkan,
menurut Schultz & Videbeck (2001), refleksi merupakan tindakan
mengembalikan pikiran dan perasaan klien.
5

Tahap-tahap hubungan Terapeutik


Dalam membina hubungan terapeutik (berinteraksi) perawat mempunyai 4
tahap yang pada setiap tahapnya mempunyai tugas yang harus diselesaikan
oleh perawat (Stuart dan Sundeen dalam Damaiyanti, 2008):
a. Fase preinteraksi
Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan
klien. Tugas perawat pada fase ini yaitu :
1) Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya.
2) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia
akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai tera[eutik
bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali,
diskusi teman kelompok.

17

3) Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat


rencana interaksi.
4) Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di
implementasikan saat bertemu dengan klien.
b.

Fase orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat
pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk
berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam membina
hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah
memberikan

situasi

lingkungan

yang

peka

dan

menunjukkan

penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan


pikirannya. Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan
dan komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya
perawat harus bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima klien apa
danya, menepati janji, dan menghargai klien.
2) Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga
kelangsungan sebuah interaksi.Kontrak yang harus disetujui bersama
dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik pertemuan.

18

3) Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien.


Untuk mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka
tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka.
4) Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah
klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan
kegagalan

pada

keseluruhan

interaksi

(Stuart,G.W

dalam

Suryani,2005). Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :
1) Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan
tangan.
2) Memperkenalkan diri perawat.
3) Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien
untuk berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya pertemuan.
4) Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu
melengkapi penjelasan tentang identitas serta tujuan interaksi agar
klien percaya kepada perawat.
5) Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan
atau kejadian yang membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini
juga digunakan untuk mendapatkan fokus pengkajian lebih lanjut,
kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan

19

utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk


mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya.
6) Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat
bersama klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan
orientasi. Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data,
rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini dan
mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.
c.

Fase kerja.
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik.Tahap ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang
dihadapi klien.Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong
perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan
dan perilaku klien.Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana
asuhan yang telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik yang sering
digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan
aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan
(Geldard,D dalam Suryani, 2005).
Dalam keperawatan jiwa fase kominikasi terapeutik pada pasien perilaku
kekerasan dapat dilihat pada tabel berikut:

20

d. Fase terminasi
Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling
percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan
klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat
perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang.
Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan
yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan
sukses

dan

bernilai

terapeutik,

perawat

menggunakan

konsep

kehilangan.
Tugas perawat pada fase ini yaitu :
1) Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan,
evaluasi ini disebut evaluasi objektif (Suryani,2004).
2) Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan
perasaan klien setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan
tertentu.
3) Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan.
Hal ini sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut
yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan
atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya.
6

Dimensi Respon

21

Dimensi respon yang harus dimiliki oleh perawat ada 4 (empat):

a. Kesejatian
Kesejatian adalah pengiriman pesan pada orang lain tentang gambaran
diri kita yang sebenarnya. Kesejatian dipengaruhi oleh:
b. Kepercayaan diri
orang yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi akan mampu
menunjukan kesejatiannya pada saat keadaan yang tidak nyaman
dimana kesejatian yang ditampilkan akan mengakibatkan risiko
tertentu.
c. Persepsi terhadap orang lain
Apabila seseorang melihat orang lain mempunyai kekuatan yang lebih
besar dan menguasai kita akan mempengaruhi bagaiman kita akan
menampilkan seperti apa diri kita yang sebenarnya.
d. Lingkungan
Lingkungan terdiri dari waktu dan tempat. Tempat dimana seseorang
berada dimuka publik.
e. Empati
Empati adalah kemampuan menempatkan diri kita pada diri orang lain,
bahwa kita telah memahami bagaimana perasaan orang lain tersebut
dan apa yang menyebabkan reaksi mereka tanpa emosi kita terlarut
dalam emosi orang lain. Beberapa aspek dari empati antara lain:
1) Aspek Mental
Kemampuan melihat dunia orang lain dengan menggunakan
paradigma orang lain tersebut.
2) Verbal

22

Kemampuan mengungkapkan secara verbal pemahaman terhadap


perasaan dan alas an reaksi emosi klien.
3) Aspek Nonverbal
Aspek nonverbal yang diperlukan adalah kemampuan menunjukan
empati dengan kehangatan dan kesejatian. (Damaiyanti, 2008).
f. Respek/hormat
Respek mempunyai pengertian perilaku yang menunjukan
kepedulian/perhatian, rasa suka, dan menghargai klien. Perawat
menghargai klien seorang yang bernilai dan menerima klien tanpa
syarat (Stuart dan Sundeen, 1998). Prilaku respek dapat ditujukan
dengan (Smith dalam Damaiyanti, 2008).
1)
Melihat kearah klien
2)
Memberikan perhatian yang tidak terbagi
3)
Memelihara kontak mata
4)
Senyum pada saat yang tidak tepat
5)
Bergrak kearah klien
6)
Menentukan sapaan yang disukai
7)
Jabat tangan atau sentuhan yang lembut
g. Konkret
Perawat menggunakan terminologi yang spesifik dan bukan abstrak pada
saat mendiskusikan dengan klien mengenai perasaan, pengalaman, dan
7

tingkah lakunya.
Teknik Komunikasi yang kurang tepat
a. Memberi jaminan
b. Memberikan penilaian
c. Memberikan komentar klise
d. Memberi saran
e. Mengubah pokok pembicaraan
8 Hambatan Komunikasi (Nasir, 2011)
Tabel 2.1
Jenis Hambatan
Fisik

Deskripsi
Hal yang menyangkut ruang fisik, lingkungan

Biologis

Hambatan karena ketidaksempurnaan anggota


tubuh.

23

Intelektual

Hambatan yang berhubungan dengan


kemampuan pengetahuan

Psikis

Hambatan yang menyangkut factor kejiwaan,


emosional, tidak saling percaya dan penilaian
menghakimi.

Kultural

Hambatan yang berkaitan dengan nilai budaya


dan bahasa.

Sikap komunikasi terapeutik


(Mundakir, 2006) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan
diri secara fisik, yaitu:
a.

Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah saya siap membantu

b.

mengatasi masalah anda.


Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama
berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap
berkomunikasi. Sikap ini juga dapat menciptakan perasaan nyaman

c.

bagi klien.
Membungkuk kearah klien. Posisi ini menunjukan kepedulian dan
keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang

d.

dialami.
Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan
menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat
ini meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas

kesehatan lainnya.
e.
Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara
ketegangan dan relaksasi dalam pemberian respon terhadap klien.

24

Sikap ini terutama sangat bermanfaat bila klien dalam kondisi stress
atau emosi yang labil dal merespon kondisi sakitnya.
10 Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, (Yuningsih, 2006):
a. Tahap Perkembangan
setiap individu bertumbuh kembang, keterampilan bahasa dan
komunikasi berkembang melalui berbagai tahap. Penting bagi
perawat untuk memahami proses perkembangan yang berhubungan
dengan

keterampilan

berbicara

bahasa,

dan

komunikasi.

Pengetahuan tentang tahap perkembangan klien memungkinkan


perawat untuk memilih strategi komunikasi yang tepat.
b. Jenis Kelamin
Perbedaan selama

perkembangan

psikososial

menggunakan

komunikasi untuk membangun kemandirian dan menegosiasikan


status dalam kelompok. Perawat saat bekerja dengan klien atau
kolega dengan jenis kelamin yang berbeda perlu menyadari bahwa
komunikasi yang sama dapat diinterpetasikan secara berbeda oleh
pria dan wanita.
c. Peran dan Hubungan
Peran dan hubungan antara pengirim dan penerima dapat
mempengaruhi komunikasi.
d. Karakteristik Sosiokultural
Karakteristik Sosiokultural seperti budaya, pendidikan, atau tingkat
ekonomi dapat mempengaruhi komunikasi.
e. Nilai dan Persepsi
Komunikasi dipengaruhi oleh nilai yang dipegang seseorang
mengenai dirinya sendiri, orang lain, dan dunia tempat mereka
tinggal.
f. Lingkungan

25

Sifat ligkungan dapat juga mempengaruhi komunikasi. Komunikasi


terjadi paling baik dilingkungan yang mendukung pertukaran
informasi, ide, atau perasaan.
11 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan komunikasi
terapeutik antara lain:
a. Pendidikan
Merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya
yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat
digunakan untuk mendapatkan informasi untuk meningkatkan kualitas
hidup (Notoadmojo, 2010). Makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah menerima informasi dan makin baik pengetahuan yang dimiliki
sehingga menggunakan komunikasi terapeutik secara efektif akan dapat
dilakukannya.
b. Lama bekerja
Merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja ditempat kerja.
Makin lama seseorang bekera makin banyak pengalaman yang
dimilikinya sehingga akan makin baik cara berkomunikasinya (Alimul,
2007)
c. Pengetahuan
Merupakan proses belajar dengan meggunakan panca indra yang
dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan (Notoadmojo, 2003). Menurut Bloom
dan Kartwalk (1998) membagi pengetahuan dalam enam tingkatan
diantaranya tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
d. Sikap

26

Sikap dalam komunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi


berjalan efektif atau tidak. Sikap kurang baik akan menyebabkan
pendengar kurang percaya terhadap komunikator. Sikap yang
diharapkan dalam komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati,
menghargai,

rendah

diri

dan

menjadi

pendengar

yang

baik.

Kesemuanya dapat mendukung komunikasi yang terapeutik.


e. Kondisi psikologi
Pada komunikator akan mudah mempengaruhi dari isi pembicaraan
melalui komunikasi terapeutik. Namun perlu memperhatikan kondisi
psikologis yang baik untuk menjadikan komunikasi sebagai terapeutik.
Kondisi psikologis seorang pendengar dapat dipengaruhi oleh
rangsangan emosi yang disebabkan oleh pembicaraan itu sendiri.
Indikator dalam melaksanakan komunikasi terapeutik (Nursalam, 2008)
mendorong pasien untuk mengungkapkan pandangan dan perasaannya,
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dalam setiap komunikasi
serta memanggil pasien sesuai dengan identitasnya.
12 Syarat-syarat Komunikasi Terapeutik
Stuart dan Sundeen dalam Damayanti (2008), mengatakan ada dua
persyaratan untuk komunikasi terapeutik efektif :
a. Semua komunikasi terapeutik tidak harus ditunjukkan untuk menjaga
harga diri pemberi maupun penerima pesan.
b.

Komunikasi yang menciptakan saling pengertian yang harus


dilakukan terlebih dahulu sebelum memberikan sarana, informasi atau
masukan. Persyaratan-persyaratan untuk komunikasi terapeutik ini
dibutuhkan untuk membentuk hubungan antara perawat dengan pasien

27

sehingga pasien memungkinkan untuk mengimplementasikan proses


keperawatan. Komunikasi terapeutik ini akan efektif bila melalui
penggunaan latihan yang sering.
13 Unsur-unsur Komunikasi
Unsur-unsur komunikasi adalah ; komunikator, pesan, komunikan, media,
dan respon atau umpan balik (Dr. Kencana wulan).
a. Komunikator
Komunikator atau orang yang menyampaikan pesan harus berusaha
merumuskan isi pesan yang akan disampaikan. Sikap dari komunikator
harus empati dan jelas. Kejelasan kalimat dan kemudahan bahasa akan
sangat mempengaruhi penerimaan pesan oleh komunikan.
b. Pesan
Pesan adalah pernyataan yang didukung oleh lambang. Lambang
bahasa dinyatakan baik lisan maupun tulisan. Lambang suara berkaitan
dengan intonasi suara. Lambang gerak adalah ekspresi wajah dan
gerakan tubuh, sedangkan lambang warna berkaitan dengan pesan
yang disampaikan melalui warna tertentu yang mempunyai makna,
yang sudah diketahui secara umum, misalnya merah, kuning, dan hijau
pada lampu lalu lintas.
c.

Komunikan

28

Komunikan adalah penerima pesan. Seorang penerima pesan harus


tanggap atau peka dengan pesan yang diterimanya dan harus dapat
menafsirkan pesan yang diterimanya. Satu hal penting yang harus
diperhatikan adalah persepsi komunikan terhadap pesan harus sama
dengan persepsi komunikator yang menyampaikan pesan.
d. Media
Media adalah sarana atau saluran dari komunikasi. Bisa berupa media
cetak, audio, visual dan audio-visual. Gangguan atau kerusakan pada
media akan mempengaruhi penerimaan pesan dari komunikan.
e. Respon/umpan balik
Respon atau umpan balik adalah reaksi komunikan sebagai dampak
atau pengaruh dari pesan yang disampaikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Umpan balik langsung disampaikan
komunikan secara verbal, yaitu dengan kalimat yang diucapkan
langsung dan nonverbal melalui ekspresi wajah atau gerakan tubuh.
Umpan balik secara tidak langsung dapat berupa perubahan perilaku
setelah proses komunikasi berlangsung, bisa dalam waktu yang
relative singkat atau bahkan memerlukan waktu cukup lama.

29

B.

Perilaku Kekerasan
1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat
membahayakan orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau
sexualitas ( Nanda, 2005 ).Perilaku kekerasan atau agresif merupakan
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis (Berkowitz,1993 dalam Depkes, 2013). Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman ( Stuart dan Sunden, 2005 ).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan
merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang
dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi
kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan
yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan
dan menantang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif
kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai
tujuan.

30

Dalam

keadaan

ini

tidak

ditemukan

alternatif

lain.

Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk


mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu
tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan
merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan (Stuart and Sundeen, 2005 dalam
Depkes, 2002). Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku
kekerasan (Keliat, 2004) adalah :
a.

Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan
faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mu ngkin tidak terjadi
perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan
frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa
kanak kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan
ditolak, d ihina, dianiaya atau sanksi.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah,
semua aspek ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku
kerasan.

31

3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam


(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap
perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan diterima ( permisive)
4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim
limbik, lobus frontal,lobus temporal dan ketidakseimbangan
neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya perilaku
kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan,kehilangan orang yang dicintai atau
pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
2. Tanda dan Gejala Keliat (2004) dalam Suryani (2004) mengemukakan
bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit
fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.

32

e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan


humor.
3. Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1998) adalah:
a. Ancaman verbal atau fisik.
b. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
c.
d.
e.
f.

(misalnya : garpu, asbak).


Agitasi psikomator progresif.
Intoksikasi alkohol atau zat lain.
Ciri paranoid pada pasien psikotik.
Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien

berada pada resiko tinggi.


g. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang
h.
i.
j.
k.

pada temuan lobus temporalis (kontroversial).


Kegembiraan katatonik.
Episode manik tertentu.
Episode depresif teragitasi tertentu.
Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol
implus).

4. Patofisiologi Terjadinya Marah


Depkes (2002) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan
perasaan

tidak

menyenangkan

dan

terancam.

Kecemasan

dapat

menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon


terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal.

33

Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal


dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku

konstruktif

dengan

menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti


orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan,
sehingga

perasaan

marah

dapat

diatasi

(Depkes,2002).

Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya


dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak
akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri
dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan
demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu
saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri
sendiri (Depkes, 2002)
5. Strategi pelaksanaan perilaku kekerasan
a.

Tabel 2.2 Strategi Pelaksanaan perilaku kekerasan


SP1

1. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan


2.

Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku


kekerasan

3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang


dilakukan pasien

34

4. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

SP2

5. Menyebutkan cara mengontrol perilaku


kekerasan
6. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara
mengontrol fisik I
7. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam
jadwal kegiatan harian
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

SP3

2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan


dengan cara fisik II
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara verbal
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian

SP.4

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

SP.5

2. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan


dengan cara spiritual
3.
Menganjurkan
pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian

b.

Kegiatan
Damaiyanti, 2008)

interaksi

perawat

klien

(Intan

dalam

Tabel 2.3
1.

Tahap prainteraksi
1)

Mengumpulkan data
tentang klien

2)

Mengeksplorasikan

35

perasaan, fantasi, dan ketakutan diri.


3)

2.

Membuat rencana
pertemuan dengan klien (kegiatan, waktu, tempat)
Tahap Orientasi
1) Memberikan salam dan tersenyum pada klien
2) Melakukan validasi (kognitif, psikomotori, afektif)
(biasanyan pada pertemuan lanjutan).
3) Memperkenalkan nama perawat
4) Menanyakan nama panggilan kesukaan klien
5) Menjelaskan tanggung jawab perawat dan klien
6) Menjelaskan peran perawat dan klien
7) Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan
8) Menjelaskan tujuan
9) Menjelaskan waktu yang telah dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan
10) Menjelaskan kerahasiaan

3. Tahap Kerja
1) Memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya
2) Menanyakan keluhan utama/keluhan yang mungkin berkaitan
dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan
3) Memulai kegiatan dengan cara yang baik
4) Melakukan kegiatan sesuai dengan rencana
4. Dimensi Respon
1)
2)
3)
4)
5)

Berhadapan
Mempertahankan kontak mata
Tersenyum pada saat yang tepat
Membungkukkan kearah klien pada saat yang diperlukan
Mempertahankan sikap terbuka (bersedekap, memasukan
tangan kekantung atau melipat kaki).

5. Tahap Terminasi
1)
2)
3)
4)

Menyimpulkan hasil kegiatan: evaluasi proses dan hasil


Memberikan reinforcement positif
Merencanakan tindak lanjut dengan klien
Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu,
tempat, topik)
5) Mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik

36

c.

Tugas utama perawat dalam tiap tahap dari proses


hubungan terapeutik (Stuart dan Sundeen dalam Damaiyanti
2008).
Tabel 2.4

Fase

Tugas

Prainteraksi

a.

Mengeksplorasikan perasaan,
fantasi, dan ketakutan diri
b.
Menganalisa kekuatan
professional diri dan keterbatasan
c.
Mengumpulkan data tentang klien
jika mungkin
d.
Merencanakan untuk pertemuan
pertama dengan klien
Pendahuluan a. Menentukan mengapa klien mencari pertolongan
atau orientasi b. Menyediakan kepercayaan, penerimaan dan
komunikasi terbuka
c. Membuat kontrak timbal balik
d. Mengeksplorasi perasaan klien, pikiran dan tindakan
e. Mengidentifikasi masalah klien
f. Mendefinisikan tujuan dengan klien
Kerja
a.
Mengeksplorasi stressor yang sesuai/relevan.
b.
Mendorong perkembangan insight klien dan
penggunaan mekanisme koping konstruktif.
c.
Menangani tingkah laku yang dipertahankan oleh
klien/resistence
Terminasi a. Menyediakan realitas perpisahan
b. Melihat kembali kemajuan dari terapi dan pencapaian
tujuan
c. Saling mengeksplorasikan perasaan adanya penolakan,
kehilangan, sedih dan marah juga tingkah laku yang
berkaitan.

C.

Kerangka Teori
Gambar 2.1

Sikap dalam Komunikasi

Kemampuan Mengendalikan

Terapeutik.

Marah Pasien Perilaku

37

kekerasan.
1.

Berhadapan.

2. Mempertahan kan kontak


mata.
3. Membungkuk ke arah
klien.
4. Memperlihatkan sikap
terbuka.

a. Terbina nya hubungan


saling percaya
b. Mengontrol marah
denngan cara fisik 1
c. Mengontrol marah
denngan cara fisik 2
d. Mengontrol marah
dengan cara verbal
e. Pasien mengontol marah
dengan cara spiritual
f. Pasien patuh obat

5. Tetap rileks.
(Sumber: Kelliat, 2004.:
Suryani,2004)

(Sumber: Kelliat, 2004)

38

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan Tinjauan Pustaka dan tujuan penelitian dari penelitian ini
maka yang diteliti dari penelitian ini adalah hubngan antara sikap perawat
dalam komunikasi terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah
pasien dengan perilaku kekerasan.
Demngan demikian kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitia ini
adalah sebagai berikut
Gambar 3.1
Kerangka konsep Penelitian
Varibel Independen

Variabel Dependent

Sikap dalam Komunikasi


Terapeutik

a.

Berhadapan

b.

Mempertahan kan
kontak mata

c.

Membungkuk ke
arah klien

d.

Memperlihatkan
sikap terbuka

e.

Tetap rileks

Sumber: Keliat, 2004 Kaplan and Sadock, 1998

Kemampuan
Mengendalikan marah
Pasien dengan perilaku
kekerasan

39

B. Definisi Operasional
Untuk menjelaskan Kerangka konsep diatas, Berikut diuraikan definisi
Operasional yang digunakan dalam 39
penelitian ini.
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel
Sikap dalam
Komunikasi
Terapeutik

Definisi
Sikap perawat
selama
komunikasi
terapeutik dengan
pasien perilaku
kekerasan.
1.
Berhadapan
2.
Mempertahankan
kontak mata
3.
Membungkuk ke
arah klien
4.
Meperlihatkan
sikap terbuka
5.
Tetap rileks

Sumber:keliat,
2004
Kemampuan
Penerapan
mengendalikan tahapan
marah pasien
komunikasi
dengan
terapeutik pada
perilaku
pasien perilaku
kekerasan
kekerasan yang
bertujuan untuk
mengendalikan
marah pasien

Cara Ukur
Angket

Alat Ukur

Hasil Ukur

Kuesioner

1. Baik, bila

Skala
Ukur
Ordinal

skor 10
(median)
2. Tidak baik,
bila skor
10
(median)

Ahmad Husein,
2012
Angket

Kuisioner

1. Baik, bila
skor 74
(median)
2. Tidak baik,
bila skor
74

Ordinal

40

dengan strategi
pelaksanaan
perilaku
kekerasan.
Sumber:Erlinafsi
ah ,2010

(median)

Elyani
Sembiring, 2011

C. Hipotesis Penelitian
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel
yang meliputi : Sikap perawat dalam Komunikasi terapeutik dengan
Kemampuan mengendalikan Marah Pasien Perilaku kekerasan. Bila nilai
Pvalue (0,05), maka Ho ditolak artinya ada pengaruh variabel independen
(Sikap perawat dalam Komunikasi terapeutik) dengan variabel dependen
(Kemampuan mengendalikan Marah Pasien Perilaku kekerasan).
a. Bila nilai Pvalue < (0,05), maka Ho diterima artinya ada Hubungan
variabel independen (Sikap perawat dalam Komunikasi terapeutik)
dengan variabel dependen (Kemampuan mengendalikan Marah Pasien
Perilaku kekerasan). (Notoatmodjo, 2010).
b. Bila nilai Pvalue > (0,05), maka Ho ditolak artinya tidak ada
hubungan variabel independen (Sikap perawat dalam Komunikasi
terapeutik) dengan variabel dependen (Kemampuan mengendalikan
Marah Pasien Perilaku kekerasan). (Notoatmodjo, 2010).

41

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain Analitik Kuantitatif dengan
metode Survey Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo,
2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara sikap
perawat dalam komunikasi terapeutik dengan kemampuan mengendalikan
marah pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap Rs. Ernaldi Bahar
Palembang Tahun 2015
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan juni Tahun 2015 di ruang
merak,bangau,merpati ,nusa indah Rumah Sakit Jiwa dr. Ernaldi Bahar
Palembang mulai dari tanggal 9 15 Juni 2015 .
C. Populasi dan Sampel
1 Populasi

42

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang


diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perawat di Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang tahun 2015

42

Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).


Yang menjadi sampel penelitian ini adalah perawat yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan. Karena keterbatasan waktu dalam penelitian
maka peneliti menggunakan teknik Accidental Sampling yaitu dengan
mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia disuatu
tempat sesuai dengan konteks penelitian, dengan jumlah sampel 40
responden ruang bangau , nusa indah , merak , merpati di Rumah Sakit Dr.
Ernaldi Bahar Palembang.
3

Kriteria Inklusi
a. Perawat yang bertugas di ruang Merpati , Merak , Bangau , Nusa
indah Rumah Sakit DR.Ernaldi bahar tahun 2015.
b. Perarawat lulusan D3 dan S1 keperawatan bersedia menjadi responden
D. Metode Pengumpulan Data
1

Jenis Data

43

Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder, dimana :
a. Data primer
Data primer diambil dengan cara observasi langsung terhadap
responden.

b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari Medical Record di Rumah Sakit
dr.Ernaldi Bahar Palembang Tahun 2014 dan Tahun 2015.
E. Etika Penelitian
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
untuk penelitian yang akan dilakukan, mempunyai hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent
juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan
dipergunakan pengembangan ilmu (Hamid, 2008).
2. Privancy
Peneliti perlu memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak
menginvasi melebihi batas yang diperlukan dan kerahasian responden
tetap dijaga selama penelitian. Responden mempunyai hak untuk
mengharapkan bahwa setiap data yang dikumpulkan selama masa
penelitian akan disimpan dan dijaga kerahasiaannya (Hamid, 2008).

44

3. Protection form discomfort


Responden harus diyakinkan bahwa partisipasinya dalam
penelitian dan informasi yang telah diberikan tidak akan dipergunakan
dalam hal-hal yang dapat merugikan responden dalam bentuk apapun
(Nursalam, 2008)

F. Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar kuesioner
berupa angket. angket merupakan suatu daftar yang berisi nama subjek
dan beberapa gejala serta identitas lainnya dari sasaran pengamatan.
(Notoatmodjo, 2010) Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat
ukur yang telah dilakukan penelitian sebelumnya oleh Ahmad husein
(2012) dengan variabel sikap perawat dalam menangani perilaku
kekerasan. Variabel dependen menggunakan standar asukan keperawatan
jiwa dengan validitas yang dilakukan oleh Elyani Sembiring (2011).
1. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik
Sikap dalam komunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi berjalan
efektif atau tidak. Sikap kurang baik akan menyebabkan pendengar
kurang percaya terhadap komunikator. Sikap yang diharapkan dalam
komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai, rendah
diri dan menjadi pendengar yang baik. Kesemuanya dapat mendukung
komunikasi yang terapeutik. Berikut indikator sikap dalam komunikasi
menurut Kelliat, 2004.
Tabel 4.1
kisi kusioner sikap perawat dalam komunikasi terapeutik

45

No Dimensi variabel
Berhadapan
Mempertahankan kontak
mata

Membungkuk kearah
klien
Memperlihatkan sikap
terbuka

Tetap rileks

Indikator
Arti dari posisi ini adalah saya siap
membantu mengatasi masalah anda.
Kontak mata pada level yang sama
berarti menghargai klien dan
menyatakan keinginan untuk tetap
berkomunikasi. Sikap ini juga dapat
menciptakan perasaan nyaman bagi
klien.
Posisi ini menunjukan kepedulian dan
keinginan perawat untuk mengatakan
atau mendengar sesuatu yang dialami.
Tidak melipat kaki atau tangan
menunjukan keterbukaan untuk
berkomunikasi. Sikap terbuka perawat
ini meningkatkan kepercayaan klien
kepada perawat atau petugas kesehatan
lainnya.
Tetap dapat mengontrol keseimbangan
antara ketegangan dan relaksasi dalam
pemberian respon terhadap klien. Sikap
ini terutama sangat bermanfaat bila
klien dalam kondisi stress atau emosi
yang labil dal merespon kondisi
sakitnya.

Kuesioner sikap perawat dalam komunikasi terapeutik terdiri dari 5;


pertanyaan dengan 4 opsi jawaban, 3 Pertanyaan Favorable dengan 4
poin untuk jawaban selalu, 3 poin untuk jawaban sering, 2 poin untuk
jawaban kadang- kadang, dan 1 poin untuk jawaban tidak pernah. 2
pertanyaan Unfavorable dengan poin 1 untuk jawaban selalu, 2 poin
untuk jawaban sering, 3 poin untuk jawaban kadang- kadang, dan 4 poin
untuk jawaban tidak pernah, Hasil uji validitas dan realibilitas instrumen
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2

46

Pertanyaan
Pertanyaan 1
Pertanyaan 2
Pertanyaan 3
Pertanyaan 4
Pertanyaan 5

r- Hitung

Keterangan

,681
,721
,619
,646
,614

Valid
Valid
Valid
Valid
Valid

2. Kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan


Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk atau
kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan (Stuart and Sundeen, 2005)
Tabel 4.3
kisi kusioner mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan
No Dimensi variabel
1.
Terbinanya hubungan
saling percaya
Mengontrol marah
denngan cara fisik 1
Mengontrol marah
denngan cara fisik 2
Mengontrol marah
dengan cara verbal

Pasien mengontol
marah dengan cara
spiritual

Indikator
Pasien percaya pada perawat

Pasien melakukan latihan dan


mengontrol marah dengan nafas
dalam
Pasien melakukan latihan dan
mengontrol marah dengan
memukul bantal atau kasur
Pasien melakukan latihan dan
mengontrol marah dengan cara
verbal, seperti menolak dengan
baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan
baik.
Pasien mampu melakukan cara
spiritual seperti : sholat dan
berdoa

47

Pasien mau meminum obat.


Patuh Obat
Kuesioner kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan
terdiri dari 22; pertanyaan. 7 item pertanyaan untuk indikator BHSP, 3
pertanyaan untuk indikator cara fisik 1, 2 pertanyaan untuk indikator cara
fisik 2, 5 pertanyaan untuk indikator cara verbal, 3 pertanyaan untuk
indikator cara spiritual dan 2 pertanyaan untuk indikator patuh obat
dengan 4 opsi jawaban, 4 poin untuk jawaban selalu, 3 poin untuk
jawaban sering, 2 poin untuk jawaban kadang- kadang dan 1 poin untuk
jawaban tidak pernah. Hasil uji validitas dan realibilitas instrumen adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.4 Validitas Instrumen Kemampuan mengendalikan Marah Pasien
Perilaku Kekerasan
Pertanyaan
Pertanyaan 1
Pertanyaan 2
Pertanyaan 3
Pertanyaan 4
Pertanyaan 5
Pertanyaan 6
Pertanyaan 7
Pertanyaan 8
Pertanyaan 9
Pertanyaan 10
Pertanyaan 11
Pertanyaan 12
Pertanyaan 13
Pertanyaan14
Pertanyaan15
Pertanyaan16
Pertanyaan17
Pertanyaan18
Pertanyaan19
Pertanyaan20
Pertanyaan21
Pertanyaan22

r- Hitung
.753
.667
.763
.587
.795
.493
.209
.587
.629
.126
.420
.252
.398
.535
.587
.614
.493
.209
.587
.629
.753
.667

Keterangan
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid

48

G. Tekhnik Pengumpulan Data


Menurut Notoatmodjo, 2002 tekhnik pengumpulan data yang digunakan
adalah:
1

Pengolahan Data (editing)


Meneliti kembali jawaban pada lembar kuesioner sudah baik sehingga
dapat segera diproses lebih lanjut, editing dapat dilakukan ditempat
pengumpulan data sehingga terjadi kesalahan, maka upaya perbaikan dapat
segera dilakukan.

Pengkodean (coding)
Upaya mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya
kebentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.
3

Pemasukan Data (entry)


Memasukkan data yang telah diolah dan diberi kode secara nominal
kedalam tabel.

Pembersihan Data (cleaning)


Untuk melihat apakah data sudah bebas dari kekeliruan.
Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan langkah-langkah pelaksanaan
sebagai berikut :

49

1. Peneliti datang ke ruang perawatan pasien jiwa Rumah Sakit dr.


Ernaldi Bahar palembang.
2. Mengidentifikasi responden sesuai ktiteria yang dibutuhkan.
3. Peneliti meminta izin kepada Kepala ruangan untuk mewawancarai
perawat yang bertugas.
4. Wawancara dengan memberikan kuesioner dengan pertanyaan
berupa angket
H. Tekhnik Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisa metode statistk yang digunakan oleh peneliti untuk
memperoleh gambaran distribusi dan frekuensi dari tiap variabel yang
diteliti. Analisis

ini

dimulai

dengan

perhitungan

frekuensi

dan

mempersentasikan nilai masing-masing variabel. Analisis univariat


bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel penelitian. Bentuk analisis univariat akan menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).
2. Analisa Bivariat
Adalah metode statistik yang digunakan oleh peneliti untuk
mengetahui pengaruh dari intervensi terhadap variabel penelitian yaitu
untuk mengetahui adakah Hubungan sikap perawat dalam komunikasi
terapeutik dengan kemampuan mengendalikan marah pasien Perilaku

50

kekerasan dengan menggunakan program komputer, analisa data dihitung


dengan memakai uji analisis kataegori-kategori, Chi Square.

BAB V
HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang


1. Sejarah Singkat Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang
Pada
perawatan)

tahun
pertama

1923

dibangun

diindonesia

Verpleechtehuiz

yaitu

diujung

(ruamah

pandang

dan

Palembang ; untuk di Palembang terletak di Jln Wirangga Wiro


Sentiko yang sekarang ditempati oleh Polisi Meliter Kodam II
Sriwijaya. Pada tahun 1942 dipindahkan ke Baturaja kemuduan
dipindahkan lagi ke Kurungan Nyawa Ogan Komring Ulu (OKU)
yang dipimpin oleh R.R. Stiardjo.
Rumah Sakit Jiwa Palembang muali dibangun tahun 1954-1955
dengan nama Rumah Sakit Suka Bangun. Karna situasi keamanan saat
itu maka sebagian bangunan ditempati oleh Batalion Basis TNI AD.
Setelah keadaan aman pada tahun 1957 mulai dirintis berdirinya Unit
pelayanan Kesehatan jiwa berupa : Poliklinik Penyakit Jiwa dan

51

Syaraf yang dipimpin oleh Dr. Chasanah Goepito, dan secara resmi
dibuka pada tanggal 13 Juli 1958.
Berdasarkan surat Pimpinan Rumah Perawatan sakit jiwa
Kurungan Nyawa Tanggal 4 Januari 1957 No. 10/20/A/ Rtsd dan
Tanggal 3 Juli 1958 No 365/20/B/Rpsd/V/58 dan tanggal 24 Juli 1958
No 258/Peg/V/58 pegawai Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun dan
Kurungan Nyawa dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun
berdasarkan SK Menkes No.4287/PAL/ 1958 disertai mutasi 21 orang
51

pegawai rumah sakit kurungan nyawa. Pada tanggal 18 Agustus 1958


dilakukan peresmian Oleh Kepala Bagian Penyakit Jiwa KEMENKES
RI menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun yang dipimpin oleh Dr.
Chasanah Goepito.
Selanjutnya sesuai perkembangannya Rumah Sakit Jiwa /
Ernaldi Bahar yang merupakan Unit pelaksana Tehknis Daerah
(UPTD) Provinsi Sumatera Selatan dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah No. 9 Tahun 2001 sebagai mana telah diubah dengan
Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2006 mempunyai wewenang
menyelenggarakan Tugas Umum Pemerintahan dibidang kesehatan,
Khususnya pelayanan kesehatan jiwa sebagai unggulan dan kesehatan
dasar lainnya. Pada bulan juli 2012, Rumah Sakit Ernaldi Bahar telah
menempati gedung baru di Jalan Tembus Terminal Km 12 No. 02
Kel/Kec. Alang Alang Lebar Palembang.
2.

Luas Wilayah

52

Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan


berada dalam wilayah kota Palembang, yang mempunyai luas wilayah
14.4 Ha. Sedangkan relokasi tanah Rumah Sakit Ernaldi Bahar yang
baru mempunyai lahan 10 Ha untuk kegiatan pelayan kesehatan jiwa.
Luas Tanah 100.300 m2 Tahun mulai dibangun 2010. Tahun Oprasianal
2012.
3.

Batas-batas Lokasi
Berdasarkan Kriteria di atas, maka pilihan lokasi adalah Jalan
Tembusan Sukarno Hatta dan Terminal Alang alang Lebar,
sedangkan secara Administrasi batas-batas Lokasi Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan yang berbatasan sebagai
berikut :

a. Bagian Belakang Rumah Penduduk ( Perkampungan )


b. Samping Kanan, Jalan Desa ( Lokal Sekunder 10 m )
c. Samping Kiri, Perusahaan jasa dan kebun
d. Depan, Jalan raya
4.
a.
b.

Kapasitas Tempat Tidur

Kapasitas tempat tidur


Kapasitas tempat tidur tersedia
5.

: 250 unit
: 250 unit

Visi dan Misi Rumah Sakit


Sesuai dengan Rencana Strategis Rumah Sakit Ernaldi Bnahar
tahun 2014 2018, RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan
mempunyai Visi dan MIsi sebagai berikut :

a. Visi

53

Rumah Sakit Ernaldi Bahar sebagai pusat rujukan pelayanan


dan pendidikan kesehatan jiwa yang prima dan berdaya saing
nasional
b. Misi
1) Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Jiwa
2) Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM, sarana &
prasarana
3) Mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa dengan unggulan
rehabilitas napza
4) Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor
5) Mengembangkan fasilitas pendidikan dan pelatihan
kesehatan jiwa

54

B. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada 09 15 juni 2015,
data yang dikumpulkan dari 40 responden. Hasil penelitian ini disajikan dalam
bentuk teks dan tabel, yaitu sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel.
a. Distribusi frekuensi sikap dalam komunikasi terapeutik
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi sikap dalam komunikasi terapeutik
Sikap perawat
Baik
Tidak baik
Jumlah

Frekuensi
29
11
40

Persentase
72,5
27,5
100

Berdasarkan tabel 5.1 hasil analisis distribusi frekuensi sikap baik


yaitu sebanyak 29 responden (72,5%), dan sikap tidak baik sebanyak 11
responden (27,5%).
b. Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah
Tabel 5.2
Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah
Kemampuan
Baik
Tidak baik
Jumlah

Berdasarkan

Frekuensi
20
20
40

tabel

5.2

hasil

analisis

Persentase
50
50
100

distribusi

frekuensi

kemampuan mengendalikan marah baik yaitu sebanyak 20 responden


(50%), dan sikap tidak baik sebanyak 20 responden (50%).

55

2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan
antara variabel sikap dengan kemampuan mengendalikan marah. Uji
statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan batas nilai
kemaknaan = 0,05.
c. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan kemapuan
mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.
Tabel 5.3
Hubungan Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan
kemapuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.

Sikap Perawat

Baik
Tidak baik

Jumlah

Kemampuan
Baik
Tidak baik
20
9
0
11
20
20

P value
Jumlah
29
11
40

0,000

Berdasarkan tabel 5.3 sikap perawat dalam komunikasi terapeutik


dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekrasan
didapatkan dari hasil uji chi square (continuity correction) nilai p value
= 0,000, nilai ini < yaitu 0,05. nilai Maka dapat disimpulkan ada
hubungan

siqnifikan

antara

sikap dalam komunikasi terapeutik

dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.

BAB VI

56

PEMBAHASAN
A. Pembahasan Hasil
Penelitian ini menggunakan desain penelitian descriftive Analitc dengan
pendekatan cross sectional. Ciri tipe penelitian ini adalah mengungkapkan
hubungan sebab-akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.
Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian
diobservasi lagi setelah intervensi (Notoatmodjo, 2010).
1. Analisis univariat
a. Distribusi frekuensi sikap dalam komunikasi terapeutik
Berdasarkan tabel 5.1 hasil analisis distribusi frekuensi sikap baik
yaitu sebanyak 29 responden (72,5%), dan sikap tidak baik sebanyak 11
responden (27,5%). Komunikasi merupakan hal yang sangat penting,
karena dengan adanya komunikasi kita dapat memperoleh atau bertukar
informasi. Dalam dunia keperawatan komunikasi merupakan inti, yang
merupakan landasan dalam membina hubungan perbantuan agar proses
keperawatan dapat tercapai. Ada dua bentuk komunikasi yang kita kenal
yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting, karena dengan
adanya komunikasi kita dapat memperoleh atau bertukar informasi.
Dalam dunia keperawatan komunikasi merupakan inti, yang merupakan
landasan dalam membina hubungan perbantuan agar proses keperawatan
dapat tercapai. Ada dua bentuk komunikasi yang kita kenal yaitu
komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
57

57

Dalam melakukan interaksi kita juga mengenal komunikasi


terapeutik, komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi
interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar
perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi ini adalah
adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat
dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien,
perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Achmad Fanani,
2013).
Menurut Yuningsih (2006), faktor-faktor yang mempengarihi
komunikasi seseorang adalah: tahap perkembangan, jenis kelamin, peran
dan hubungan, karakteristik sosio-kultural, Nilai dan persepsi dan
lingkungan, sedangkan menurut Notoadmodjo (2010), pendidikan dan
pengetahuan mempengaruhi penerapan komunikasi terapeutik, lain
halnya dengan Alimul (2007) masa kerja mempengaruhi pengalaman
seseorang dalam berkomunikasi. Dari beberapa pendapat para ahli
tersebut

peneliti

menyimpulkan

kemampuan

dalam

komunikasi

terapeutik tidak terlepas dari faktor individu masing-masing, yang


meliputi: pengetahuan, pendidikan, dan pengalaman akan mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam berkomunikasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gita Arestya Ningrum
(2012) dengan judul Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi

58

Pasien Terhadap Perilaku Caring Perawat Dalam Praktik Keperawatan Di


Ruang Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Dengan hasil
distribusi persepsi pasien dengan perilaku caring perawat pada pasien di
Ruang Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang dari 40
responden mayoritas penilaian terhadap perilaku caring perawat dengan
kategori baik sebanyak 33 orang responden (82,5%).
Berdasarkan hasil penelitian, teori terkait dan hasil penelitian
sebelumnya peneliti berasumsi perbedaan sikap perawat dalam
komunikasi tidak terlepas dari faktor individu perawat sendiri, yaitu
kemampuan perawat dalam memenuhi sikap yang diharapkan dalam
komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai, rendah
diri dan menjadi pendengar yang baik.
b. Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah
Berdasarkan tabel 5.2 hasil analisis distribusi frekuensi kemampuan
mengendalikan marah baik yaitu sebanyak 20 responden ( 50,0%), dan
sikap tidak baik sebanyak 20 responden (50,0%).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan
merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang
dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi
kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan
yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan

59

dan menantang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif


kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai
tujuan.
Mengadopsi teori Keliat, 2004 Faktor presipitasi dapat bersumber
dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien
seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan,
percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan
demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Joko Witoyo (2008)
dengan judul pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan
perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di RSJ surakarta. bahwa pada
saat pretest sebagian besar responden mengalami perilaku kekerasan
tingkat sedang 50% pada kelompok perlakuan, dan 50% pada kelompok
kontrol. Dan pada tingkat perilaku kekerasan tingkat berat sebesar 10%,
untuk masing-masing kelompok. Di rumah sakit jiwa pasien dengan
perilaku kekerasan ditempatkan pada ruangan khusus Bangsal Amarta
untuk akut pria dan Bangsal Sembadra untuk akut wanita. Dan pada
postest didapat responden dengan perilaku kekerasan tingkat berat
mengalami penurunan menjadi tingkat sedang sebesar 10%. Jadi tidak
ada lagi responden dengan perilaku kekerasan tingkat berat pada saat
postest hasil uji independent T-test didapatkan nilai p = 0,032. Sampel

60

pada responden dengan perilaku kekerasan tingkat berat biasanya


dilakukan fiksasi (restrains) karena tidak bisa mengontrol perilakunya
dan cenderung merusak diri sendiri dan orang lain. (Stuart and Sundeen,
1985). Ini sesuai dengan yang dipaparkan Warno (2005) dalam
penelitiannya tentang persepsi kekerasan yang dialami perawat dengan
kecenderungan perilaku agresif yang dialami perawat.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan
antara variabel sikap dengan kemampuan mengendalikan marah. Uji
statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan batas nilai
kemaknaan = 0,05. Uji Chi-Square dilakukan dengan bantuan
program komputerisasi aplikasi SPSS for windows.
a Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan
kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan
Berdasarkan tabel 5.3 sikap perawat dalam komunikasi terapeutik
dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekrasan
didapatkan dari hasil uji chi square dengan batas kemaknaan 0,05, didapatkan
p value = 0,000. Maka dapat disimpulkan ada hubungan siqnifikan antara
sikap perawat dengan kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku
kekerasan.
Mengadopsi teori Keliat, 2004 faktor presipitasi dari perilaku kekerasan
dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain.
Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku

61

kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat,


kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau
pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
Komunikasi terapeutik juga termasuk komunikasi interpersonal dengan
titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dan klien. Dengan
memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan lebih mudah
menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga akan lebih efektif
dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah diterapkan yang
memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan dan akan
meningkatkan profesi (putri, 2013).
Komunikasi terapeutik ini dapat membantu pasien untuk memperjelas
dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan
yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan
fisik dan diri sendiri dalam hal ini keadaan agresif pasien perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan
orang,diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexualitas ( Nanda,
2005 ).Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis
(Berkowitz,1993 dalam Depkes, 2002). Marah merupakan perasaan jengkel
yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sunden, 2005).

62

Menurut Damaiyanti (2008) komunikasi terapeutik merupakan suatu


bentuk komunikasi yang direncanakan secara sadar, dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Tujuan penerapan komunikasi
terapeutik pada pasien pre operasi faktur adalah untuk membantu mengurangi
rasa cemas yang dialami oleh pasien dan bila tidak dilakukan komunikasi
terapeutik maka kecemasan pasien pre operasi fraktur akan semakin
meningkat.
Hasil penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa adanya penurunan
tingkat kecemasan ibu bersalin setelah pelaksanaan komunikasi terapeutik.
Hal senada juga diungkapkan oleh Agustus (2010) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa komunikasi terapeutik perawat dapat mempengaruhi
tingkat kecemasan pada pasien pre operasi seksio caesar.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan
sikap

perawat

dalam

komunikasi

terapeutik

dengan

kemampuan

mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan didapatkan dari hasil uji chi
square dengan batas kemaknaan 0,05, didapatkan p value = 0,000. Maka
dapat disimpulkan ada hubungan siqnifikan antara sikap perawat dengan
kemampuan mengendalikan marah pasien perilaku kekerasan.
Berdasarkan teori, penelitian terkait dan hasil penelitian, peneliti
berasumsi sikap komunikasi nonverbal perawat pada saat

komunikasi

interpersonal seperti saling berhadapan, Mempertahankan kontak mata


dengan klien, Membungkuk kearah klien, Mempertahankan sikap terbuka

63

seperti Tidak melipat kaki atau tangan dan Tetap relaks dalam artian Tetap
dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam
pemberian respon terhadap klien, mempunyai hubungan dengan respon marah
pasien perilaku kekerasan saat dilakukan komunikasi interpersonal dengan
perawat.
B. Keterbatasan penelitian
Karena keterbatasan waktu metode pengumpulan data dalam penelitian
ini hanya menggunakan angket dan belum dapat mengobservasi pelaksanaan
komunikasi terapeutik secara langsung saat perawat melakukan Strategi
pelaksanaan perilaku kekerasan.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan pada tanggal 9-15 juni 2015 di
Ruang Rawat inap Rumah Sakit Dr.Ernaldi Bahar Palembang maka dapat
disimpulkan sebagai ber
1 Distribusi frekuensi sikap baik yaitu sebanyak 29 responden ( 72,5%),
dan sikap tidak baik sebanyak 11 responden (27,5%).

64

Distribusi frekuensi kemampuan mengendalikan marah baik yaitu


sebanyak 20 responden (50%), dan sikap tidak baik sebanyak 20

responden (20%).
Ada Hubungan sikap perawat dalam komunikasi terapeutik dengan
kemampuan

mengendalikan

marah

pasien

perilaku

kekrasan

didapatkan dari hasil uji chi square dengan batas kemaknaan 0,05,
didapatkan p value = 0,000.

B.

Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti mengajukan saran-saran antara lain:
65
1. Bagi Rumah Sakit
Hendaknya hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada
rumah sakit terkait sikap perawat saat melakukan interaksi dengan pasien
perilaku kekerasan dan evaluasi dalam meningkatkan mutu pelayanan
antara lain:
a

Mengevaluasi komunikasi terapeutik perawat saat intervensi

65

Melakukan pelatihan kepada perawat untuk meningkatkan kompetensi

dalam komunikasi terapeutik.


2. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian termasuk dalam ruang lingkup keperawatan jiwa, hendaknya
dapat memasilitasi mahasiswa untuk:
a. mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi
dengan memberikan mata kuliah komunikasi terapeutik
b. Mengadakan seminar keperawatan yang bertema

komunikasi

terapeutik dan pelatihan tentang komunikasi terapeutik pada


mahasiswanya sebagai calon perawat.
c. Bagi Perawat hendaklah selalu meningkatkan kemampuan komunikasi
terapeutik untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien secara
komperehensif dan paripurna.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya


Mahasiswa yang nantinya akan melakukan penelitian terkai komunikasi
hendaknya

difokuskan

untuk

mengetahui,

mempengaruhi penerapan komunikasi terapeutik.

faktor-faktor

yang

Anda mungkin juga menyukai