I.
Ethiologi
Definisi epilepsi adalah gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh
terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan
berirama.
Serangan epilepsi dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja,
serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung danoccasional provokes seizures
misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Prasad et al, 1999).
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di
otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas (Pallgreno, 1996).
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox
Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
alkalosis
respiratorik
dan
hipomagnesemia.
Keadaan
ini
dapat
akibat tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat
meningkatkan serangan kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu
pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat
yang sering digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan
abdominal distention dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin
menurunkan absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata.
Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga menghambat
pengosongan lambung.
D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara
lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan
protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan
drug clearance pada trimester terakhir.
Penurunan
serum
albumin
sesuai
dengan
bertambahnya
usia
gestasi
mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat yang terikat dengan
protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun
obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug
clearance yang disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan
hormon steroid (estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hariminggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.
E. Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita
yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga
menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak
pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin
menjadi anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi
yang dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan
thrombositopenia.
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi
(phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma.
Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.
Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden
abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang
Patofisiologi
Fenomena pemicu epilepsi adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal.
Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca+2. Ca+2yang masuk mula-mula akan
membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+dan Cl- yang diaktifasi oleh Ca+2.
Serangan epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah
yang cukup. Penyebab ataufaktor yang mempermudah epilepsi adalah kelainan genetik
(kanal K+dan lainnya), malformasi otak, trauma otak, tumor,perdarahan atau abses.
Diagnosis
Sebelum dilakukan diagnosis, yang perlu diperhatikan adalah gejala yang timbul
dan catatan kesehatan pasien. Beberapa tes diperlukan untuk mendiagnosa epilepsi dan
penyebab terjadinya serangan epilepsi.
Pemeriksaan saraf
Pada pemeriksaan saraf, yang dilihat adalah kelakuan, kemampuan motorik, fungsi
kejiwaan, dan berbagai pemeriksaan lain yang akan digunakan untuk mengetahui
IV.
Terapi
Sejarah penggunaan obat anti kejang (termasuk obat anti epilepsi) sebetulnya
sudah lama muncul, sejalan dengan riwayat studi tentang kejang itu sendiri. Akan tetapi
pendekatan farmakologik yang efektif baru terjadi pada tahun 1857 ketika Sir Charles
Locock menyajikan gagasannya kepada para dokter.
itu, bromide menjadi pilihan sebagai obat anti konvulsi sampai tahun 1912 ketika
Hauptmann memperkenalkan fenobarbital. Melmon dan Gilman (1980) mengutarakan
bahwa secara umum mekanisme aksi obat-obat anti epilepsi dapat digolongkan menjadi
dua yaitu: Mengurangi (mencegah) lepasnya muatan listrik yang eksesif (berlebihan).
Mengurangi penyebaran eksitasi dan fokus serangan dan mencegah ledakan serta
putusnya fungsi agregasi normal neuron.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek
inhibisi seperti GABA dan mengin-hibisi transmisi eksitatorik glutamat (Bradford, 1995;
Chapman, 1998). Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antie pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain
karbamazepin (Tegre-tol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate
(Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra),
oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pre-gabalin (Lyrica),
tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie
and Dichter, 1996). Protokol penang-gulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi
benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobar-bital atau fenitoin. Fenitoin bekerja
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik
(Pedley, 2001).
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa ber-interaksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan
kognitif ringan dan sedang. (Aldenkamp, 2003; Halczuk, 2005). Melihat ba-nyaknya
efek samping dari obat an-tiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat
perlu meng-ingat bahwa epilepsi itu sendiri be-refek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadap reseptor NMDA dan resep-toralpha-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazolepropionic acid(AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi
kematian dari sel (Bradford, 1995).
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi
yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut
(Klitgaard, 2001; Margineanu et al., 2002). Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona
sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang
mempunyai me-kanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan
receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA) (Ansa et al., 2008). Pada hewan
percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berko-relasi dengan perpaduan ikatan
obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi (Bajjalieh,
1994).
Obat-obat anti epilepsi mampu untuk merubah eksitabilitas neuron dan mencegah
lepas muatan listrik yang berlebihan yang merupakan karakteristik klinis epilepsi. Obat
anti epilepsi mempunyai berbagai efek yang dapat dibagi secara garis besar menjadi dua:
- Efek langsung pada membran yang eksitabel.
- Efek melalui perubahan neurotransmitter.
A. Efek Langsung pada Membran yang Eksitabel
Perubahan pada permeabilitas membran merubah fase recovery serta mencegah
aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi.
Efek ini kerana adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran ion Na+ dan ion Ca2+
(Wibowo dan Gofir, 2006:57). Channel Na secara dinamis berada dalam tiga keadaan:
a. Keadaan istirahat yaitu keadaan selama Na berjalan menuju ke sel melalui channel Na
ini.
b. Keadaan aktif yaitu keadaan dimana terjadi peningkatan Na yang masuk ke dalam sel.
c. Keadaan inaktif yaitu keadaan dimana channel tidak memberikan jalan untuk Na
masuk ke dalam sel.
Dalam keadaan istirahat, sel-sel neuron mempunyai keseimbangan antara ion
ekstraseluler dan intraseluler, yakni ion Ca, Na dan Cl lebih cenderung berada di luar sel
dan ion K cenderung berada di dalam sel. Adanya rangsang mekanik, kimiawi daan
listrik serta rangsangan lain akibat suatu penyakit membuat permeabilitas membran
terhadap ion-ion tersebut meningkat (Wibowo dan Gofir, 2006:57). Ion Na, Ca dan Cl
masuk ke dalam secara berlebihan. Hal ini mencetuskan pelepasan muatan listrik yang
berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya epilepsi. Obat-obat anti epilepsi dengan
mekanisme ini, bekerja dengan memblokade channel Na sehingga menutup channel ini
dan membuat channel Na dalam keadaan inaktif (Wibowo dan Gofir, 2006:57). Blokade
channel Na ini pada akson pre-post sinaptik menyebabkan stabilisasi membran neuronal,
menghambat dan mencegah potensial aksi post tetanik, membatasi perkembangan
aktifitas serangan dan mengurangi penyebaran serangan. Adapun obat-obat anti epilepsi
dengan mekanisme ini antara lain:
1. Fenitoin
Fenitoin merupakan senyawa hidantoin yang strukturnya mirip dengan
fenobarbital. Fenitoin merupakan asam lemah dan tidak begitu larut dalam air dengan
derajat keasaman tinggi tetapi larut dalam larutan alkali (Harsono, 2007:22). Fenitoin
berupa bubuk kristal dan larut dalam lemak. Fenitoin dapat dipakai untuk semua tipe
epilepsi, kecuali petit mal (absence). Fenotoin disintesis pertama kali tahun 1908 oleh
Blitz, tapi aktifitas anti konvulsinya baru ditemukan pada tahun 1938. obat ini tidak
sedatif pada dosis biasa.
Tabel. Fenitoin (Wibowo dan Gofir, 2006:92):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian
Sediaan
Dosis harian
Frek. Pemberian
Interaksi obat
neuralgia
Kontra indikasi
Perhatian khusus
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Kadar terapetik
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi
3. Okskarbazepin
Okskarbazepin
adalah
merupakan
10-keto
analogue
dari
karbamazepin,
2400 mg/hari.
Frek. pemberian
2 kali/hari.
Interaksi obat
Induksi enzim hepar lebih rendah dibanding dengan
karbamazepin. Terapi okskrab menyebabkan kenaikan kadar
fenitoin dan valproat.
Efek samping dan Hiponatremia, intoksikasi air, lelah, nyeri kepala, gliyer,
toksisitas
ataksia, reaksi alergi kulit lebih ringan dibanding dengan
karbamazepin.
Keunggulan
Lebih aman dibanding dengan karbamazepin.
Kerugian
Kros-sensitivitas dengan karbamazepin.
Mekanisme aksi
Blokade saluran natrium, pengaruh pada konduksi kalium,
modulasi aktivitas saluran kalsium.
4. Valproat
Valproat disintesis untuk pertama kali pada tahun 1882 dan digunakan sebagai
pelarut organik. Manfaat valproat sebagai OAE diketahui secara tidak sengaja, yaitu pada
saat valproat digunakan sebagai pelarut dalam penapisan eksperimental senyawa OAE
baru. Valproat digunakan untuk serangan umum (absence dan mioklonik) dan juga untuk
serangan parsial (parsial continue fokal motor), serta sindrom Lennox-Gastaut (Harsono,
2007:143). Tabel. Valproat (Wibowo dan Gofir, 2006:100):
Indikasi utama
Indikasi lain
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi
5. Lamotrigin
Lamotrigin telah diakui dan disetujui sebagai OAE. Lamotrigin bermanfaat untuk
serangan parsial maupun umum. Manfaat lamotrigin sama dengan karbamazepin dan
fenitoin. Lamotrigin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk penderita yang
mengalami kenaikan berat badan atau efek samping valproat yang berkaitan dengan
hormon, disamping itu lamotrigin dapat memperbaiki kadar kolesterol.
Tabel. Lamotrigin (Wibowo dan Gofir, 2006:103):
Indikasi utama
2. Topiramat
Topiramat merupakan devirat D-fructose, berasal dari monosakarida alami, dan
pada awalnya dikembangkan sebagai obat anti diabetika (Harsono, 2007:152). Struktur
kimianya sangat berbeda dengan obat anti epilepsi lainnya. Topiramat memiliki reputasi
yang kuat sebagai obat anti epilepsi, dan efektif untuk para penderita yang mengalami
kegagalan terapi dengan OAE lainnya. Di inggris topiramat mulai digunakan pada tahun
1995 dan di Amerika Serikat topiramat memperoleh pengakuan Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 1996 sebagai ajuvan untuk serangan parsial dan
grandmal umum.
Tabel. Topiramat (Wibowo dan Gofir, 2006:104):
Indikasi utama
Indikasi lain
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Kadar terapetik
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi
sampai saat ini masih digunakan sebagai OAE yang sangat efektif. Meskipun obat ini
keefektifannya tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi banyak memberikan efek buruk
seperti sedasi dan penurunan daya kognitif. Fenobarbital merupakan OAE yang paling
murah. Fenobarbital berupa kristal bebas asam, larut dalam non polar solvent tetapi
secara relatif tidak larut dalam air. Bentuk garam natrium larut dalam air tetapi tidak
stabil dalam larutan.
Tabel 2.9. Fenobarbital (Wibowo dan Gofir, 2006:91):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Kadar terapetik
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi
3. Gabapentin
Gabapentin mempunyai hubungan struktural yang sangat dekat dengan GABA.
Walaupun dirancang sebagai agonis GABA, gabapentin tidak beraksi atau sedikit beraksi
terhadap reseptor GABA-A maupun GABA-B. Gabapentin juga tidak berpengaruh
terhadap sintesis atau ambilan GABA (Harsono, 2007:147). Pada awalnya gabapentin
diteliti manfaatnya sebagai anti spasmodik dan kemudian sebagia analgetik, dan terakhir
gabapentin diteliti manfaatnya sebagai OAE. Saat ini gabapentin sudah memperoleh
lisensi di Inggris, Amreika Serikat dan Eropa daratan dan berbagai Negara lainnya.
Gabapentin dipakai sebagai ajuvan untuk serangan parsial atau serangan grandmal
sekunder, tetapi tidak efektif untuk serangan mioklonik dan untuk kebanyakan serangan
grandmal. Tabel. Gabapentin (Wibowo dan Gofir, 2006:107):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi