Anda di halaman 1dari 16

EPILEPSI

I.

Ethiologi
Definisi epilepsi adalah gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh
terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel selotak, bersifat sinkron dan
berirama.
Serangan epilepsi dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja,
serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung danoccasional provokes seizures
misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Prasad et al, 1999).
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di
otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas (Pallgreno, 1996).
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox
Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.

Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon


estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya
serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron
dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap
wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan
progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar
hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko
tinggi. Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi
selama kehamilan ini disebabkan oleh:
A. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara
bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga.
Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan
trimester pertama yang kemudian menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti
diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogenprogesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron
yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang
rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA
(dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa
GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin
rendah dengan akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh glutamat sehingga
menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
B. Perubahan metabolik
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan
garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar
yang dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi),
terjadinya

alkalosis

respiratorik

dan

hipomagnesemia.

Keadaan

ini

dapat

menimbulkan kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan.


C. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan
seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia

akibat tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat
meningkatkan serangan kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu
pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat
yang sering digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan
abdominal distention dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin
menurunkan absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata.
Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga menghambat
pengosongan lambung.
D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara
lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan
protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan
drug clearance pada trimester terakhir.
Penurunan

serum

albumin

sesuai

dengan

bertambahnya

usia

gestasi

mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat yang terikat dengan
protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun
obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug
clearance yang disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan
hormon steroid (estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hariminggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.
E. Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita
yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga
menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak
pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin
menjadi anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi
yang dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan
thrombositopenia.
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi
(phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma.
Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.
Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden
abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang

dilahirkan. Jadi walaupun terdapat sedikit kekhawatiran terhadap pemberian asam


folat namun dosis rendah minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap
aman dan dapat dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi.
Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya melahirkan
anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat obat anti
epilepsi asam valproat dan karbamazepin.
F. Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya
serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi,
gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder.
G. Penggunaan alkohol
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan
menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan
karbamazepin) sehingga timbul kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol mapun
obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan siklus tidur normal sehingga
meningkatkan frekwensi kejang.
Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang
epilepsi selama kehamilan adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat
karena takut efek obat terhadap janin yang dikandungnya. Dari penelitian terhadap
125 wanita hamil dengan epilepsi, 27% tidak meneruskan penggunaan obatnya
dengan alasan ketakutan akan efek samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran
pengaruhnya pada bayi yang diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI
jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi
bukanlah kontraindikasi untuk pemberian ASI.
II.

Patofisiologi
Fenomena pemicu epilepsi adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal.
Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca+2. Ca+2yang masuk mula-mula akan
membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+dan Cl- yang diaktifasi oleh Ca+2.
Serangan epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah
yang cukup. Penyebab ataufaktor yang mempermudah epilepsi adalah kelainan genetik
(kanal K+dan lainnya), malformasi otak, trauma otak, tumor,perdarahan atau abses.

Epilepsi juga dipicu atau dipermudah oleh keracunan, inflamasi, demam,


pembengkakan sel atau pengerutan sel, hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia,
kurang tidur, iskemia atau hipoksia dan peradanganberulang. Hiperventilasi dapat
menyebabkan hipoksia serebri melalui vasokonstriksi serebri dan hipokapnia dan
karenaitu memudahkan terjadinya epilepsi. Serangan epilepsi memiliki insiden yang
lebih tinggi pada wanita hamil. Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke
neuron di sekitarnya ditingkatkan oleh sejumlah metabolisme selular. Dendrit sel
piramial mengandung kanal Ca+2 bergerbang voltase yang akan membuka pada
saatdepolarisasi sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron, akan lebih
banyak kanal Ca+2 yang diekspresikan. Kanal Ca+2 dihambat oleh Mg+2, sedangkan
hipomagnesia akan meningkatkan aktivitas kanal ion ini. Peningkatan konsentrasi K+
ekstrasel akan mengurangi efluks K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+ memiliki efek
depolarisasi dankarena itu pada waktu yang bersamaan mengaktifkan kanal Ca+2.
III.

Diagnosis
Sebelum dilakukan diagnosis, yang perlu diperhatikan adalah gejala yang timbul
dan catatan kesehatan pasien. Beberapa tes diperlukan untuk mendiagnosa epilepsi dan
penyebab terjadinya serangan epilepsi.
Pemeriksaan saraf
Pada pemeriksaan saraf, yang dilihat adalah kelakuan, kemampuan motorik, fungsi
kejiwaan, dan berbagai pemeriksaan lain yang akan digunakan untuk mengetahui

kondisi dan mengenali jenis epilepsi yang diderita pasien.


Tes darah
Dilakukan pengambilan sampel darah untuk memeriksa tanda-tanda infeksi, kondisi
genetik, dan kondisi lain yang kemungkinan berhubungan pada gejala yang
ditimbulkan.
Beberapa tes yang dilakukan untuk mengetahui keabnormalan yang terdapat pada

otak, antara lain :


Electroencephalogram (EEG)
EEG merupakan tes yang biasa dilakukan untuk mendiagnosa epilepsi. Pada tes ini,
akan diletakkan elektroda dan senyawa berbentuk pasta pada kulit kepala. Elektroda
tersebut akan merekam aktifitas elektrik otak. Apabila pasien menderita epilepsi,
maka akan terdapat perbedaan gelombang listrik bahkan pada saat tidak terjadi
serangan kejang. EEG dilakukan pada kondisi sadar dan tertidur. Merekam serangan
yang terjadi dapat membantu untuk mengetahui serangan jenis apa yang diderita
pasien.

Computerized tomography (CT) scan


CT scan menggunakan radiasi sinar X untuk mendapatkan gambaran bagian-bagian
otak. CT scan dapat memperlihatkan ketidaknormalan pada otak yang dapat
menyebabkan terjadinya serangan kejang, seperti tumor, perdarahan, dan kista.

Magnetic resonance imaging (MRI)


MRI menggunakan magnet yang sangat kuat dan gelombang radio untuk melihat
penampakan otak dengan jelas.
Functional MRI (fMRI)
Functional MRI mengukur perubahan pada aliran darah yang terjadi ketika bagian
spesifik otak sedang bekerja. fMRI biasa dilakukan sebelum pembedahan untuk
mengidentifikasi lokasi yang tepat, seperti pada fungsi bicara dan fungsi gerak, jadi

perlukaan pada daerah lain dapat dihindari selama proses pembedahan.


Positron emission tomography (PET)
PET scans menggunakan senyawa radioaktif dosis rendah yanf diinjeksikan ke dalam
vena untuk membantu memvisualisasikan daerah otak yang aktif dan mendeteksi

ketidaknormalan pada otak.


Single-photon emission computerized tomography (SPECT)
Jenis tes ini digunakan apabila hasil tes MRI dan EEG menunjukkan dengan tepat
lokasi otak yang menimbulkan serangan kejang. Tes SPECT menggunakan senyawa
radioaktif dosis rendah yang diinjeksikan ke dalam vena untuk membuat peta 3
dimensi aktivitas aliran darah di otak selama terjadi serangan kejang. Terkadang
dilakukan subtraction ictal SPECT coregistered to magnetic resonance imaging

(SISCOM), yang dapat memberikan hasil lebih mendetail.


Neuropsychological tests
Pada tes ini, dilakukan penaksiran terhadap kemampuan berpikir, mengingat, dan
berbicara. Hasil tes yang didapatkan dapat digunakan untuk mengetahui bagian otak
manakah yang mengalami gangguan (tidak normal).

IV.

Terapi
Sejarah penggunaan obat anti kejang (termasuk obat anti epilepsi) sebetulnya
sudah lama muncul, sejalan dengan riwayat studi tentang kejang itu sendiri. Akan tetapi
pendekatan farmakologik yang efektif baru terjadi pada tahun 1857 ketika Sir Charles
Locock menyajikan gagasannya kepada para dokter.

Locock yang memantau

penggunaan bromide untuk menimbulkan impotensi pada penderita epilepsi justru


mendapatkan fakta bahwa serangan epilepsi hilang (Wibowo dan Gofir, 2006:53). Sejak

itu, bromide menjadi pilihan sebagai obat anti konvulsi sampai tahun 1912 ketika
Hauptmann memperkenalkan fenobarbital. Melmon dan Gilman (1980) mengutarakan
bahwa secara umum mekanisme aksi obat-obat anti epilepsi dapat digolongkan menjadi
dua yaitu: Mengurangi (mencegah) lepasnya muatan listrik yang eksesif (berlebihan).
Mengurangi penyebaran eksitasi dan fokus serangan dan mencegah ledakan serta
putusnya fungsi agregasi normal neuron.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek
inhibisi seperti GABA dan mengin-hibisi transmisi eksitatorik glutamat (Bradford, 1995;
Chapman, 1998). Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik
GABAergik. Beberapa obat antie pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain
karbamazepin (Tegre-tol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate
(Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra),
oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pre-gabalin (Lyrica),
tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie
and Dichter, 1996). Protokol penang-gulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi
benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobar-bital atau fenitoin. Fenitoin bekerja
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik
(Pedley, 2001).
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa ber-interaksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan
kognitif ringan dan sedang. (Aldenkamp, 2003; Halczuk, 2005). Melihat ba-nyaknya
efek samping dari obat an-tiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat
perlu meng-ingat bahwa epilepsi itu sendiri be-refek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadap reseptor NMDA dan resep-toralpha-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazolepropionic acid(AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi
kematian dari sel (Bradford, 1995).
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi
yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut
(Klitgaard, 2001; Margineanu et al., 2002). Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona
sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang
mempunyai me-kanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan

receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA) (Ansa et al., 2008). Pada hewan
percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berko-relasi dengan perpaduan ikatan
obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi (Bajjalieh,
1994).
Obat-obat anti epilepsi mampu untuk merubah eksitabilitas neuron dan mencegah
lepas muatan listrik yang berlebihan yang merupakan karakteristik klinis epilepsi. Obat
anti epilepsi mempunyai berbagai efek yang dapat dibagi secara garis besar menjadi dua:
- Efek langsung pada membran yang eksitabel.
- Efek melalui perubahan neurotransmitter.
A. Efek Langsung pada Membran yang Eksitabel
Perubahan pada permeabilitas membran merubah fase recovery serta mencegah
aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi.
Efek ini kerana adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran ion Na+ dan ion Ca2+
(Wibowo dan Gofir, 2006:57). Channel Na secara dinamis berada dalam tiga keadaan:
a. Keadaan istirahat yaitu keadaan selama Na berjalan menuju ke sel melalui channel Na
ini.
b. Keadaan aktif yaitu keadaan dimana terjadi peningkatan Na yang masuk ke dalam sel.
c. Keadaan inaktif yaitu keadaan dimana channel tidak memberikan jalan untuk Na
masuk ke dalam sel.
Dalam keadaan istirahat, sel-sel neuron mempunyai keseimbangan antara ion
ekstraseluler dan intraseluler, yakni ion Ca, Na dan Cl lebih cenderung berada di luar sel
dan ion K cenderung berada di dalam sel. Adanya rangsang mekanik, kimiawi daan
listrik serta rangsangan lain akibat suatu penyakit membuat permeabilitas membran
terhadap ion-ion tersebut meningkat (Wibowo dan Gofir, 2006:57). Ion Na, Ca dan Cl
masuk ke dalam secara berlebihan. Hal ini mencetuskan pelepasan muatan listrik yang
berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya epilepsi. Obat-obat anti epilepsi dengan
mekanisme ini, bekerja dengan memblokade channel Na sehingga menutup channel ini
dan membuat channel Na dalam keadaan inaktif (Wibowo dan Gofir, 2006:57). Blokade
channel Na ini pada akson pre-post sinaptik menyebabkan stabilisasi membran neuronal,
menghambat dan mencegah potensial aksi post tetanik, membatasi perkembangan
aktifitas serangan dan mengurangi penyebaran serangan. Adapun obat-obat anti epilepsi
dengan mekanisme ini antara lain:
1. Fenitoin
Fenitoin merupakan senyawa hidantoin yang strukturnya mirip dengan
fenobarbital. Fenitoin merupakan asam lemah dan tidak begitu larut dalam air dengan

derajat keasaman tinggi tetapi larut dalam larutan alkali (Harsono, 2007:22). Fenitoin
berupa bubuk kristal dan larut dalam lemak. Fenitoin dapat dipakai untuk semua tipe
epilepsi, kecuali petit mal (absence). Fenotoin disintesis pertama kali tahun 1908 oleh
Blitz, tapi aktifitas anti konvulsinya baru ditemukan pada tahun 1938. obat ini tidak
sedatif pada dosis biasa.
Tabel. Fenitoin (Wibowo dan Gofir, 2006:92):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian
Sediaan
Dosis harian
Frek. Pemberian
Interaksi obat

Epilepsi, grandmal primer dan sekunder, parsial.


Neuralgia dan migren.
Insufisiensi miokardial berat, gangguan fungsi hepar.
Tab/kap. 100 mg, amp.inj. 100 mg/2 ml.
Dewasa 300-400 mg. Anak 4-8 mg/kg BB.
1-2 kali/hari.
Interaksi dengan obat-obat lain sering terjadi pada level
farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik kadang terjadi pada
kombinasi dengan sejumlah obat.
Kadar terapetik
10-20 g/ml
Efek samping dan Gangguan fungsi serebeler, perubahan perilaku, gangguan
toksisitas
gastrointestinal, hiperplasi gingival, osteomalasia, anemis
megaloblastik, hirsutisme (pada wanita muda). Gangguan
pada sistem saraf pusat: nistagmus, ataksia, diplopia, vertigo,
penglihatan kabur, midriasis, kenaikan refleks tendo. Efek lain
dapat: hiperaktivitas, bebal, bingung, dungu, mengantuk,
halusinasi, neuropati perifer.
Keunggulan
Sangat efektif, murah
Kerugian
Cukup banyak efek samping sistematis dan pada System Saraf
Pusat (SSP)
Mekanisme aksi
Stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf
perifer, menurunkan aliran ion Na, pemasukan ion Ca
berkurang selama depolarisasi, menunda aktivasi aliran keluar
ion K.
2. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan senyawa trisiklik dan sebetulnya sejak awal pada tahun
1960, karbamazepin ditujukan untuk mengobati neuralgia trigeminal, neuralgia
glosofaringeal, dan digunakan sebagai anti depresan (Harsono, 2007:138). Dalam
perkembangannya atau sejak tahun 1959, karbamazepin digunakan sebagai OAE dan
kemudian karbamazepin menjadi obat pilihan yang utama untuk jenis serangan parsial
dan sebagian jenis serangan umum. Karbamazepin tidak efektif untuk jenis serangan
petit mal, tonik, atonik dan mioklonik.
Tabel. Karbamazepin (Wibowo dan Gofir, 2006:101):
Indikasi utama
Indikasi lain

Epilepsi, grandmal primer dan sekunder, parsial.


Mania, manik-depresif, nyeri neuropatik,
trigeminus, nyeri diabetic.

neuralgia

Kontra indikasi
Perhatian khusus
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat

Kadar terapetik
Efek samping dan
toksisitas

Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi

A-V blok, riwayat depresi sumsum tulang, porfiria intermiten


akut, penggunaan bersama penyekat MAO.
Hamil, menyusui, riwayat gangguan hepar, ginjal, reaksi
hematologist berat, kenaikan tekanan intrakuler, psikosis
laten, agitasi, bingung, lansia.
Tablet 200 mg, tablet isap, controlled release, sirup.
200 mg, sampai 600-1200 mg. Anak 20-30 mg/kg BB.
2-4 kali/hari.
Karbamazepin adalah enzyme inducer yang kuat. Kegagalan
kontraseptif oral, induksi metabolisme anti depresan trisiklik,
mempercepat metabolisme warfarin. efek variatif dengan
fenitoin: waktu paro doksisiklin memendek, induksi
metabolisme anti jamur itrakonazol, kadar haloperidol
menurun, mamacu metabolisme fentanil. Sebaliknya berbagai
obat
mempengaruhi
kadar
karbamazepin.
Kadar
karbamazepin missal akan meningkat pada pemberian
bersama obat diltiazem dan Ca channel blocker verapamil.
6-12 g/L
Mengantuk, dizziness, bingung, diplopia, gangguan
keseimbangan, nausea, vomitus, ataksia, syndrome
appropriate anti diuretic hormone secretion, A-V blok garde i
yang reversible, dose-related, anemia aplastik, ikterus, skin
reash, Steven-Johnson syndrome, exfoliative dermatitis,
fotosensitivitas, penambahan pigmentasi kulit, SLE.
Sangat efektif, murah
Sangat efektif dan biasanya toleransi tubuh baik.
Pada hantaran saluran natrium neuronal, beraksi pada reseptor
monoamine, asetilkolin dan NMDA.

3. Okskarbazepin
Okskarbazepin

adalah

merupakan

10-keto

analogue

dari

karbamazepin,

dikembangkan dalam upaya untuk menghindari oto-induksi dan potensi interaksi


sebagaimana terdapat pada karbamazepin. Obat anti epilepsi ini telah memperoleh lisensi
hampir di seluruh dunia.

Tabel. Okskarbazepin (Wibowo dan Gofir, 2006:94):


Indikasi utama
Indikasi lain
Sediaan
Dosis harian

Terapi tambahan atau monoterapi untuk bangkitan parsial


(simple dan kompleks) dan grandmal sekunder.
Nyeri neurpatik (neuralgia trigeminal) mania akut.
Tablet 150, 300, dan 600 mg.
Mulai 150-200 mg/hari dapat naik 150 mg/2 hari. Bila telah
1200 mg, tunggu stedy state (2 hari). Dosis pemeliharaan 900-

2400 mg/hari.
Frek. pemberian
2 kali/hari.
Interaksi obat
Induksi enzim hepar lebih rendah dibanding dengan
karbamazepin. Terapi okskrab menyebabkan kenaikan kadar
fenitoin dan valproat.
Efek samping dan Hiponatremia, intoksikasi air, lelah, nyeri kepala, gliyer,
toksisitas
ataksia, reaksi alergi kulit lebih ringan dibanding dengan
karbamazepin.
Keunggulan
Lebih aman dibanding dengan karbamazepin.
Kerugian
Kros-sensitivitas dengan karbamazepin.
Mekanisme aksi
Blokade saluran natrium, pengaruh pada konduksi kalium,
modulasi aktivitas saluran kalsium.
4. Valproat
Valproat disintesis untuk pertama kali pada tahun 1882 dan digunakan sebagai
pelarut organik. Manfaat valproat sebagai OAE diketahui secara tidak sengaja, yaitu pada
saat valproat digunakan sebagai pelarut dalam penapisan eksperimental senyawa OAE
baru. Valproat digunakan untuk serangan umum (absence dan mioklonik) dan juga untuk
serangan parsial (parsial continue fokal motor), serta sindrom Lennox-Gastaut (Harsono,
2007:143). Tabel. Valproat (Wibowo dan Gofir, 2006:100):
Indikasi utama
Indikasi lain
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi

Serangan umum (absence dan mioklonik) dan serangan


parsial (parsial continue fokal motor).
Sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi grandmal primer.
Tablet bersalut 200, 500 mg dan tablet slow release 200, 300,
500 mg. Capsul 150, 300, 500 mg. Sirup 200/5 ml.
Dosis awal 400-500 mg/hari (dewasa), maintenance: 0,5-4 mg
(dewasa), 1 mg (<1 th), 1-2 mg (1-5 th), 1-3 mg (5-12 th).
Dosis yang lebih tinggi bias dipakai.
2-3 kali/hari.
Interaksi obat Interaksinya kompleks dengan obat anti
epilepsi yang lainnya.
Mual, muntah, efek metabolik, efek endoktrin, hepatotoksik,
pankreatitis, drowsiness, gangguan kognitif, agresif, tremor,
netropenia, kelemahan, anemia aplastik, trombositopenia.
Obat pilihan pada epilepsi grandmal primer dan berspektrum
luas.
Potensial hepatotoksik dan pankreatitis pada anak-anak.
Tidak jelas, tetapi kemungkinan pada aktivitas GABA
glutaminergic, calcium (T) dan potassium conductance.

5. Lamotrigin
Lamotrigin telah diakui dan disetujui sebagai OAE. Lamotrigin bermanfaat untuk
serangan parsial maupun umum. Manfaat lamotrigin sama dengan karbamazepin dan
fenitoin. Lamotrigin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif untuk penderita yang

mengalami kenaikan berat badan atau efek samping valproat yang berkaitan dengan
hormon, disamping itu lamotrigin dapat memperbaiki kadar kolesterol.
Tabel. Lamotrigin (Wibowo dan Gofir, 2006:103):
Indikasi utama

Serangan parsial, grandmal sekunder dan primer, petit mal,


tonik dan atonik.
Indikasi lain
Sindrom Lennox-Gastaut.
Sediaan
Tablet 25, 50, 100, 200 mg.
Dosis harian
Dosis awal 12,5-25 mg/hari, pemeliharaan 200-600 mg
(monoterapi), 100-200 mg (kombinasi dengan valproat), 200700 mg (kombinasi dengan obat-obatan enzyme inducing).
Frek. pemberian
2 kali/hari.
Interaksi obat
Level lamotrigin diturunkan oleh fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital dan obat-obatan enzymeinducing. Level
lamotrigin dinaikkan oleh sodium valproat.
Efek samping dan Rash, nyeri kepala, diskrasia darah, ataksia, asthenia, diplopai,
toksisitas
mual, muntah, dizziness, somnolen, insomnia, depresi,
psikosis, tremor dan reaksi hipersensitif.
Keunggulan
Efektif dan dapat ditoleransi.
Kerugian
Sering timbul rash.
Mekanisme aksi
Memblokade voltage-dependent sodium conductance.
B. Efek Malalui Perubahan Neuro-Trasmitter
Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: mekanisme
dengan memblokade aksi glutamat (glutamate blockers) dan mekanisme dengan
mendorong aksi inhibisi GABA (Gamma Amino Butyric Acid) pada membran poscasinaptik dan neuron.
a. Blokade aksi glutamat (Glutamate blockers):
Reseptor glutamat mengikat glutamat, suatu neurotransmitter eksitatorik asam
amino yang penting dalam otak (Wibowo dan Gofir, 2006:61). Reseptor glutamate
mempunyai 5 tempat ikatan yang potensial sehingga menyebabkan respon yang berbedabeda tergantung tempat yang distimulasi atau dihambat. Tempat pengikatan tersebut
diantaranya: kainite site, Alpha-amino-3-hidroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid
(AMPA) site, N-methyl-D-aspartate (NMDA) site, glisine site dan metabotropic site
yang mempunyai 7 subunit (Glu R 1-7). Adapun obat-obat anti epilepsi yang termasuk
dalam mekanisme ini diantaranya ialah:
1. Felbamat
Di Amerika Serikat felbamat pada tahun 1993 memperoleh lisensi sebagai OAE
ajuvan dan monoterapi untuk penderita dengan serangan parsial, dengan atau tanpa
serangan grandmal sekunder (Harsono, 2007:145). Di samping itu felbamat juga

digunakan sebagai OAE ajuvan untuk penderita dengan sindrom Lennox-Gastaut.


Setelah itu felbamat diizinkan untuk dipakai di Eropa.
Tabel. Felbamat (Wibowo dan Gofir, 2006:97):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Kadar terapetik
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi

Monoterapi maupun terapi add-on pada serangan parsial baik


dengan atau tanpa grandmal sekunder.
Sindrom Lennox-Gastaut.
Disfungsi hepar dan anemia aplastik.
Tab/kap. 100 mg, amp.inj. 100 mg/2 ml.
Tablet 400, 600 mg. sirup 600 mg/ml.
2-4 kali/hari.
30-100 mg/L
Efektif untuk pasien refrakter.
Hepatitis berat dan anemia aplastic. Efek samping lain pada
terapi awal dan pasien politerapi.
Kemungkinan mempunyai efek pada reseptor NMDA dan
konduksi Na-channel.

2. Topiramat
Topiramat merupakan devirat D-fructose, berasal dari monosakarida alami, dan
pada awalnya dikembangkan sebagai obat anti diabetika (Harsono, 2007:152). Struktur
kimianya sangat berbeda dengan obat anti epilepsi lainnya. Topiramat memiliki reputasi
yang kuat sebagai obat anti epilepsi, dan efektif untuk para penderita yang mengalami
kegagalan terapi dengan OAE lainnya. Di inggris topiramat mulai digunakan pada tahun
1995 dan di Amerika Serikat topiramat memperoleh pengakuan Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 1996 sebagai ajuvan untuk serangan parsial dan
grandmal umum.
Tabel. Topiramat (Wibowo dan Gofir, 2006:104):
Indikasi utama
Indikasi lain
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Kadar terapetik
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi

Epilepsi parsial, grandmal sekunder, grandmal primer dan


sindrom Lennox-Gastaut. Terapi tambahan atau monoterapi.
Prevensi migren.
Tablet 25, 50, 100, 200 mg.
Dosis awal 25-50 mg/hari (dewasa); 0,5-1 mg/kgbb/hari
(anak). Maintenance 200-600 mg/hari (dewasa); 9-11 mg/kgbb/hari (anak).
2 kali/hari.
Kadar topiramat diturunkan oleh karbamazepin, fenobarbital
dan fenitoin.
9-12 mg/L
Tremor, nausea, asthenia, gliyer, somnolen, ataksia, nyeri
kepala, parestesia, nistagmus, disatria, disfungsi kognitif,
gangguan penglihatan, dan nervous (tergantung dosis).
Sangat efektif.
Efek samping sistem saraf pusat cukup banyak.
Blockade saluran natrium, meningkatkan infuks klorida

dengan mediasi GABA, efek modulatori reseptor GABA-A


dan aksi pada reseptor AMPA.
b. Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran posca-sinaptik dan neuron
Reflek kejang merupakan hasil ketidakseimbangan antara aktivitas eksitasi dan
inhibisi pada otak, dimana aktivitas eksitasinya lebih tinggi daripada inhibisi (Wibowo
dan Gofir, 2006:63). Akson melepaskan neurotransmitter, melalui ruang sinaps yang
berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan sel neuron lain. Neurotransmitter terbagi
menjadi dua bagian yaitu eksitator dan inhibitor. Hasil pengaruh kedua neurotransmitter
tersebut dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Jika yang terjadi lebih kuat eksitasi, maka
neuron akan lebih mudah melepaskan muatan listrik dan meneruskan impuls ke neuronneuron lain. Sebaliknya jika inhibisi yang lebih kuat, maka neuron-neuron akan dihambat
untuk tidak meneruskan impuls ke neuron lain. Proses inhibisi ini akan menghentikan
serangan epilepsi.
Adapun OAE yang termasuk dalam mekanisme ini diantaranya:
1. Klonazepam
Klonazepam merupakan salah satu obat dari jenis benzodiazepin yang paling awal
digunakan untuk epilepsi. Pada tahun1975, klonazepam sudah terkenal dan digunakan
sebagai obat anti epilepsi di seluruh dunia. Klonazepam merupakan bubuk kristal dan
cepat larut di dalam lemak.
Tabel. Klonazepam (Wibowo dan Gofir, 2006:95):
Indikasi utama
Sediaan
Dosis harian

Epileptikus dan sindrom Lennox-Gastaut.


Tablet 0,5-2 mg, cairan: 1 mg dalam 1 ml diluent.
Dosis awal 0,25 mg, maintenance: 0,5-4 mg (dewasa), 1 mg
(<1 th), 1-2 mg (1-5 th), 1-3 mg (5-12 th). Dosis yang lebih
tinggi bisa dipakai.
Frek. pemberian
1-2 kali/hari.
Interaksi obat
Umumnya minimal, tetapi beberapa bisa tidak signifikan.
Efek samping dan Sedatif, rasa mengantuk, drowsiness, efek kognitif, ataksia,
toksisitas
gangguan perilaku dan kepribadian, hiperaktivitas, reaksi
psikotik, eksaserbasi kejang, hipersalivasi, leucopenia dan
symptom withdrawal.
Keunggulan
Bermanfaat untuk semuanya, terutama anak-anak.
Kerugian
Efek samping kadang-kadang menonjol, terutama sedasi,
toleransi dan withdrawal syndrome.
Mekanisme aksi
Agonis reseptor GABA dan bekerja pada Na channel
conductance.
2. Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat anti epilepsi dengan broad spektrum, digunakan pada
serangan parsial dan serangan umum. Fenobarbital telah dikenal sejak tahun 1912, dan

sampai saat ini masih digunakan sebagai OAE yang sangat efektif. Meskipun obat ini
keefektifannya tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi banyak memberikan efek buruk
seperti sedasi dan penurunan daya kognitif. Fenobarbital merupakan OAE yang paling
murah. Fenobarbital berupa kristal bebas asam, larut dalam non polar solvent tetapi
secara relatif tidak larut dalam air. Bentuk garam natrium larut dalam air tetapi tidak
stabil dalam larutan.
Tabel 2.9. Fenobarbital (Wibowo dan Gofir, 2006:91):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian
Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Interaksi obat
Kadar terapetik
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi

Epilepsi umum (termasuk absence dan mioklonus).


Epileptikus dan sindrom Lennox-Gastaut.
Interaksi dengan obat anti psikotik lainnya.
Tablet 15, 30, 50, 60, 100 mg, cairan: 15mg/ 5ml, injeksi.
Dosis awal 30 mg, maintenance: 30-180 mg (dewasa), 3-8
mg/hari (anak-anak), 3-4 mg/hari (neunatus).
1-2 kali/hari.
Interaksi dengan obat-obat anti epilepsi.
15-40 mg/L.
Sedative,
ataksia,
dizziness,
insomnia,
impotensi,
menurunkan libido, frozen shoulder.
Efektif dan murah.
Cukup banyak efek samping sistematis dan pada System
Saraf Pusat (SSP)
Meningkatkan aktivitas GABA dalam menurunkan
eksitabilitas glutamate, berefek pada Na, Kalium dan Cachannel conductance.

3. Gabapentin
Gabapentin mempunyai hubungan struktural yang sangat dekat dengan GABA.
Walaupun dirancang sebagai agonis GABA, gabapentin tidak beraksi atau sedikit beraksi
terhadap reseptor GABA-A maupun GABA-B. Gabapentin juga tidak berpengaruh
terhadap sintesis atau ambilan GABA (Harsono, 2007:147). Pada awalnya gabapentin
diteliti manfaatnya sebagai anti spasmodik dan kemudian sebagia analgetik, dan terakhir
gabapentin diteliti manfaatnya sebagai OAE. Saat ini gabapentin sudah memperoleh
lisensi di Inggris, Amreika Serikat dan Eropa daratan dan berbagai Negara lainnya.
Gabapentin dipakai sebagai ajuvan untuk serangan parsial atau serangan grandmal
sekunder, tetapi tidak efektif untuk serangan mioklonik dan untuk kebanyakan serangan
grandmal. Tabel. Gabapentin (Wibowo dan Gofir, 2006:107):
Indikasi utama
Indikasi lain
Perhatian

Terapi tambahan atau monoterapi pada penderita dewasa


dengan parsial atau grandmal primer.
Nyeri neuropatik.
Lansia, gangguan ginjal, hemodialisis, bangkitan absence,
hami, laktasi.

Sediaan
Dosis harian
Frek. pemberian
Efek samping dan
toksisitas
Keunggulan
Kerugian
Mekanisme aksi

Kapsul 300 mg.


Dosis awal 300 mg/hari, pemeliharaan 900-3600 mg (dewasa)
2-3 kali/hari.
Somnolen, gliyer, ataksia, lesu, nistagmus, nyeri kepala,
tremor, diplopia, nausea, adan/muntah, rhinitis, ambliopi.
Efek samping ringan.
Pada kasus berat tidak efektif.
Belum jelas, mungkin melalui saluran kalsium, pelepasan
GABA dari sel glia.

Anda mungkin juga menyukai