Anda di halaman 1dari 23

PENUGASAN KELOMPOK

BLOK SISTEM KEGAWATDARURATAN


CASE REVIEW

Disusun Oleh :
Nama

: Jodra Widodo (10711142)


Liccha Lestati (10711063)
Sari Sania (09111115)

Kelompok

: 10

Tutor

: dr. Dwi Nur Ahsani

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2013/2014

BAGIAN I
HASIL OBSERVASI RUANG UGD RSUD WONOSARI
A. SETTING RUANG UGD
Seperti yang terlihat pada denah, ruang UGD RSUD Wonosari terletak terpisah
dengan rumah sakit induknya. Ruangannya cukup luas dengan 3 kamar pemeriksaan
dimana tiap kamar pemeriksaan terdapat 2 ranjang. Di mulai dari pintu masuk, terdapat
ruang pendaftaran yang letaknya diluar sehingga antrian pendaftar tidak menganggu
proses penanganan pasien. Setelah masuk maka terdapat tempat triase dimana pada
lantai sudah terdapat 4 macam garis dengan warna berbeda.
Warna kuning dan hijau akan mengarahkan kita untuk menuju ruang
pemeriksaan, sedangkan warna merah akan mengarahkan pada bilik tindakan
kegawatan dan resusitasi. Warna hitam akan mengantarkan kita pada ruang transit
kecil dimana pasien yang meninggal di simpan untuk sementara waktu.
Pada ruang pemeriksaan terdapat ranjang tidur, alat pemeriksaan fisik serta kanul
oksigen. Disertai juga dengan EKG dan beberapa obat-obatan untuk penatalaksanaan
awal. Pada ruang tindakan kegawatdaruratan terdapat alat untuk defibrilasi, tabung
oksigen, serta pada dinding terdapat algoritma RJP namun, belum di-update.
Pada UGD juga terdapat ruang bedah minor, ruang residen, ruang berkas
pasien, dan ruang khusus untuk kegawatan obstetri - ginekologi. Pada bangunan yang
terletak terpisah namun tidak jauh terdapat apotek untuk tempat pasien mengambil
obat. Ada juga ruang radiologi dan laboraturium. UGD juga dilengkapi fasilitas
pendukung semisal toilet, dapur, dan ruang tunggu. Pada bagian dinding ruang UGD
terdapat tulisan mengenai alur penanganan pasien di UGD, daftar dokter yang tersedia
serta algortima penanganan kasus kegawatan. Di dekat pintu masuk selalu tersedia
kursi roda serta ranjang geser yang kosong, ini digunakan untuk dapat mentransfer
segera pasien yang datang dari kendaraan.

B. ALUR PELAYANAN PASIEN UGD

Sesuai dengan alur gambar diatas, pasien yang datang akan menuju ruang IRD yang
sesuai hasil triase, sementara pengantar mengurus berkas pendaftaran. Di ruang IRD
maka dokter jaga akan menentukan apakah pasien membutuhkan pemeriksaan
penunjang atau tidak, lalu pasien kemungkinan akan :
1.

Mendapat resep obat lalu pulang kerumah ( rawat jalan )


2.

Membutuhkan tindak lanjut lebih komplit di bangsal atau ICU (rawat inap)

Pasien dengan atau tanpa asuransi kesehatan memang berbeda dalam proses
administrasi namun, mendapat alur penanganan yang sama.

C.

SEDIAAN PERALATAN DAN OBAT EMERGENCY


PERALATAN DI RUANG UGD RSUD WONOSARI
-

Tabung Oksigen beserta sungkup dan kanul (portable dan statis)

Alat kejut jantung ( defibrilator )

Alat rekam jantung (EKG)

Tensimeter

Alat-alat untuk pemasangan jalur Intravena

Spuit injeksi

Lampu periksa

Alat bedah minor

Alat Sterilitator instrumen

Suction pump

Laringoskopi dan ET

Lampu baca hasil X-ray

Nebulizer

Sterilisator kering

Pulse Oxymeter Dengan Sensor Neonatal

Tracheostomy set

Tht set

Vena suction set

Syringe pump

OBAT-OBATAN DI RUANG UGD RSUD WONOSARI


-

Kasa, perban, kapas, larutan garam fisiologis, revanol dan povidon iodine.

Ephinefrine

ISDN

Sulfas atropin

Salbutamol

Lidokain

Berbagai macam cairan infus (RL, dextrose, dll)

Captopril

Dexamethasone

ATS (Anti-Tetanus Serum)

NSAID

BAGIAN II
LAPORAN KASUS KEGAWATDARURATAN
i.

ii.

Identitas
Nama

: Bu.Semi

Alamat

: Kendal, gunung palian, Wonosari

Umur

: 80 Tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

Masuk RS

: 16 November 2013

Nomer RM

: 308174

Keluhan Utama
Nyeri dada

iii.

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak jam 8 pagi keluhan nyeri dada mulai dirasakan oleh OS,
keluhan muncul tiba-tiba dan dirasakan semakin memberat. Nyeri dada
berlangsung terus menerus dan juga disertai mual dan muntah sebanyak
3 kali yang diikuti keluarnya keringat dingin. Nyeri dada yang dirasakan
OS terasa memberat disebelah kiri dan menjalar kepunggung, leher, dan
tanggan kiri dan juga disertai dengan sesak nafas. OS juga mengeluhkan
sakit dan rasa terbakar pada perutnya karena sejak pagi OS berpuasa.
OS sudah mengkonsumsi obat nyeri yang di beli diwarung dan beristirahat
tapi gejala tidak kunjung reda dan nyeri dada tetap terasa. Sehingga
keluarga OS memutuskan untuk membawanya ke IRD RS wonosari tepat
pukul 11.00.

iv.

Riwayat penyakit Dahulu

OS belum pernah mengeluhkan gejala yang serupa sebelumnya.


OS memiliki riwayat tekanan darah tinggi, riwayat penyakit jantung sejak
2006 dan bronchitis kronis sejak 2010. OS pernah mondok di RS pada bulan
juli karena tekanan darah tinggi. Untuk penyakit DM OS tadak ada. Keluarga
OS juga mengatakan bahwa OS memiliki kadar kolesterol yang tinggi.

v.

Riwayat penyakit Keluarga


Dikeluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan gejala yang
serupa, dan tidak ada yang memiliki penyakit hipertensi, penyakit gula, dan
penyakit jantung.

vi.

Kebiasaan dan Aspek Lingkungan


Pola makan

OS 3x sehari dan mengkonsumsi makanan yang tidak

menentu (apa saja). OS

menghabiskan waktu dirumah dan disawah

sekali-kali, OS jarang berolahraga.OS tinggal bersama dengan anaknya,


lingkungan rumahnya bersih dan jauh dari pabrik. Dirumah OS sering
terpapar asap rokok karena menantu dan cucunya merokok.
vii.

Pemriksaan fisik
Status Pasien
Keadaan umum
Kesadaran

: Tampak Kesakitan
: Compos Mentis

Tanda Vital :
Suhu

: 36,8 C

Respirasi

: 30x/menit

Tekanan Darah

: 140/90 mmHg

Nadi

: 110x`/menit

Kepala

: tidak dilakukan pemeriksaan

Leher

: tidak dilakukan pemeriksaan

Cardio

: tidak dilakukan pemeriksaan

Pulmo

: tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen

: tidak dilakukan pemeriksaan

viii. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan EKG : pada pemerikaan EKG yang dilakukan di ruangan
IRD ditemukan adanya gelombong ST elevasi pada sadapan pericardial
VI, V2,V3,V4,V5,V6 dan ekstremitas II dan aVF.
ix.

Diagnosis kerja/akhir
IMA dengan ST Elevasi

x.

Penetalaksanaan
Tatalaksana dan tindakan yang dilakukan di IRD:
Terapi Oksigen
Inj Ketorolac 2xA
Inj Ranitidine 3xA
Terapi cairan melalui Infus Nacl (sodium clorida 0.9%)
Acetosal 300mg 1x1tab
Copidogrel 1x4tab
Isosorbid dinitrat 1x1tab
Pasien menolak untuk dipasang kateter
Tatalaksana dan tindakan ICU :
Terapi oksigen
Terapi cairan melalui infus Nacl (sodium clorida 0.9%)
Inj ranitidine 2x1a
Inj ketorolac 3x1a
Aspilet 2x1
Clopidogrel 1x1

Isosorbid dinitrat 3x1


Pasang DC (.)
xi.

Prognosis
Buruk

BAGIAN III
PEMBAHASAN
A. Analisis Penyebab & Faktor Risiko Terjadinya IMA dengan Elevasi ST
pada pasien
Menurut teori, faktor risiko dan penyebab yang meningktkan
insidensi IMA dengan elevasi ST adalah :
-

Hipertensi

Diabetes melitus

Dyslipidemia

Merokok

Riwayat penyakit jantung sebelumnya

Riwayat penyakit jantung dikeluarga

Sters dan aktifitas fisik yang berat

Usia lanjut

Laki-laki
Dalam kasus ini pasien memiliki beberapa faktor risiko dan

penyebab yang disebutkan di atas. Saat ini pasien telah berusia 80 tahun.
Secara fisiologis organ-organ tubuh manusia berusia lanjut akan
mengalami penurunan fungsi, termasuk jantung dan pembuluh darah.
Semakin bertambah usia, jantung mengalami penurunan kekuatan
kontraksi, kecepatan kontraksi da isi sekuncup. Hal ini menyebabkan
cadangan jantung dan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah
jantung juga meningkat. Jika gejala angina berupa nyeri dada muncul
pada usia lanjut, hal tersebut dapat menandakan bahwa penyakit jantung
coroner yang terjadi sudah cukup berat, karena golongan lanjut usia
seringkali kurang merasakan nyeri jika dibanding kelompok usia yang
lebih muda. Sehingga pasien yang berusia lanjut baru diketahui
mengalami IMA setelah terjadi komplikasi, misalnya gagal jantung. Pada
usia pre-menopause sebenarnya angka kejadian IMA lebih banyak terjadi

pada laki-laki. Akan tetapi, karena pengaruh hormone estrogen yang


menurun, perempuan yang sudah menopause akan lebih beresiko untuk
mengalami penyakit jantung coroner.
Selain faktor usia, beberapa faktor predisposisi IMA terdapat pada
pasien ini, seperti riwayat hipertensi menahun, hyperlipidemia dan
bronchitis kronis. Hipertensi pada usia lanjut dapat terjadi akibat
pengerasan

pembuluh

darah

aterosklerotik.Dengan

riwayat

kemungkinan

plak

besar

maupun

penumpukan

hyperlipidemia
aterosklerotik

pada

terus

pasien

plak
maka

bertambah

dan

menyebabkan oklusi terutama pada pembuluh darah coroner. Keadaan


inilah yang kemudian menyebabkan sel-sel jantung menjadi iskemik dan
akhirnya mengalami infark dan menimbulkan gejala. Bronkitis kronis juga
dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan PO 2 menurun sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen
termasuk kadar O2 yang juga dibutuhkan oleh pembuluh coroner. Faktor
inilah yang juga dapat mendorong infark miokardium pada pasien meluas.
B. Penegakan diagnosis IMA dengan elevasi ST pada pasien di UGD
Di bawah ini adalah algoritma tatalaksana awal untuk STEMI
menurut AHA (American Heart Association), termasuk kriteria diagnosis
yang membutuhkan intervensi segera :

Gejala-gejala yang konsisten

menggambarkan STEMI

EKG
Masukkan
kanula
Pereda nyeri
Tes darah
Aspirin 150-300
mg

Segera pasang EKG 12 sadapan


Pemeriksaan fisik 10 menit
Nilai indikasi terapi reperfusi:

TIDAK

a. () ST persisten 1 mm pada
2 sadapan ekstremitas
-

b. () ST 2 mm pada 2 sadapan dada


c. Pola BBB (bundle branch block) kiri

Monitor
EKG
Nyeri dada
Biomarker
Pereda nyeri

YA
Onset gejala
<1 jam yang lalu
PCI tersedia dalam 1 jam?

1-3 jam yang lalu


PCI tersedia dalam 90 menit?

>3 jam yang lalu


PCI tersedia dlm 90-120 menit?

YA

TIDAK

YA

TIDAK

YA

PCI

Fibrinolisis

PCI

Fibrinolisis

PCI

TIDAK
Fibrinolisis

Diagnosis IMA dengan elevasi ST dapat ditegakkan berdasarkan


gejala nyeri dada yang khas dan gambaran EKG dengan adanya elevasi
ST 2mm, minimal pada 2 sadapan pericardial atau 1mm pada 2
sadapan ekstremitas. Selain itu pemeriksaan enzim jantung dengan
peningkatan troponin T dapat memperkuat diagnosis kerja. Nyeri dada
yang muncul pada pasien ini bersifat difus dan menjalar ke ekstremitas
atas serta mandibular kiri dan epigastrium. Pasien juga mengalami

dyspnea dan fatigue. Nyeri menetap sampai 2 jam lebih, sedangkan


menurut kriteria AHA nyeri dada yang khas da >20 menit dapat mengarah
ke infark miokard akut. Dapat juga disertai dengan diafresis, nausea atau
sinkop. Akan tetapi, gejala-gejala di atas tidak spesifik dan bisa mengarah
ke diagnosis lain seperti kelainan gastrointestinal, neurologis, paru
maupun musculoskeletal. Untuk itu catatan gejala ini perlu disertai dengan
hasil anamnesis yang sudah dibahas sebelumnya dan pemeriksaan
penunjang lainnya seperti EKG dan penanda biologis jantung..
Sesuai dengan algoritma di atas, pada pasien ini telah dilakukan
pemeriksaan EKG di UGD yang hasilnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

pada sadapan pericardial VI, V2,V3,V4,V5,V6 dan ekstremitas II dan aVF


ditemukan adanya ST elevasi.
Seharusnya, selain pemeriksaan EKG, darah pasien bisa diambil
untuk dikirim ke laboratorium agar bisa diperiksa penanda biologis jantung
nya. Akan tetapi pada kasus ini pengambilan sampel darah tidak
dilakukan di UGD melainkan di ICU. Berikut adalah diagram stratifikasi
risiko IMA dengan elevasi ST dengan tes troponin :
Anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, dan rontgen toraks mengarah ke sindrom koroner
akut

Tes troponin

(-)

3 jam setelah

Ulangi tes

hasil pertama/

troponin

(+)

6 jam setelah
Onset

(-)

Bukan IMA

(+)

IMA

Ulangi tes troponin u/


evaluasi penyebab (6 jam
setelah hasil I)

Perubahan

Tidak

signifikan

berubah

Rujuk spesialis
IMA lambat

Pasien juga belum menjalani pemeriksaan rontgen toraks. Jika


memungkinkan sebaiknya perlu dilakukan mengingat pasien juga
mengalami bronchitis kronis. Pemeriksaan ini dapat memberi petunjuk
apakah telah terjadi gagal jantung (kardiomegali, penumpulan sudut .,
dll) atau eksaserbasi PPOK yang dapat memicu terjadinya serangan
jantung.
C. Penatalaksanaan IMA dengan elevasi ST di UGD
Tujuan tatalaksana IMA di ruangan IGD adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri dada, memperbaiki perfusi jaringan segera dan
merawat pasien secara intensif di ruang ICU. Sebelumnya telah dijelaskan
tentang algoritma tatalaksana IMA dengan elevasi ST. Di bawah ini akan
dibahas satu per satu dari masing-masing terapi yang diberikan pada
pasien di UGD:
a. Oksigenasi
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan
saturasi oksigen arteri <90%. Karena fasilitas UGD terbatas, tidak
ada monitor untuk memantau saturasi O2 pasien sehingga tanpa
mengetahuinya oksigenasi tetap dilakukan. Menurut teori, semua
pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6

jam pertama (pasien mengalami gejala sejak 2 jam sebelum tiba di


rumah sakit).
b. Resusitasi cairan berupa NaCl 0,9% sejak awal masuk ruang
tindakan di UGD. Adanya gangguan sirkulasi akibat penurunan
kemampuan otot jantung untuk memompa dikhawatirkan akan
menyebabkan hipoksia pada jaringan lain di dalam tubuh.
c. Pereda nyeri (pain relief)
Pada penderita IMA yang mengalami nyeri dada hebat
biasanya langsung diberikan pereda nyeri saat tiba di UGD, sambil
dilakukan pemeriksaan lainnya. Begitu juga dengan pasien pada
kasus ini, dokter UGD langsung memberikan injeksi ketorolac dan
ranitidine masing-masing 1x1 ampul secara intramuscular setelah
oksigenasi dan pemasangan jalur intravena.
Indikasi pemberian ketorolac adalah nyeri dada hebat atau
angina. Efek analgesic obat ini sebanding dengan morfin pada
dosis umum dengan masa kerja yang lebih panjang dan efek
samping yang lebih ringan. Oleh karena itu pemberian ketorolac
dapat menggantikan morfin dalam pendekatan terapi MONA
(morphine, oxygen, nitrate, aspirin) pada sindrom coroner akut.
Dosis yang diberikan adalah 30 60 mg/kali.
Sedangkan ranitidine diberikan untuk menghambat sekresi
asam lambung melalui penghambatan reseptor H2. Indikasi
pemberian obat ini adalah ulkus peptic yang dicurigai pada pasien
karena sedang berpuasa dan mengalami nyeri epigastrium.
Ranitidin relative aman dan jarang berinteraksi dengan obat lain
atau menimbulkan efek samping.
Setelah diketahui terdapat elevasi ST pada hasil EKG,
dokter segera memberikan isosorbid dinitrat (ISDN) sebanyak 1x1
tablet secara sublingual. ISDN bekerja sebagai vasodilator
sehingga kebutuhan oksigen sel otot jantung berkurang dan

menurunkan rangsang nyeri akibat iskemik. Dosis yang diberikan


adalah 2,5-5 mg yang dapat diulangi tiap 3-5 menit.
d. Antitrombitik
Terapi antitrombotik yang diberikan pada pasien ini adalah
asetosal 300 mg sebanyak 1x1 tablet dan kopidogrel sebanyak 1x4
tablet. Asetosal adalah asam asetil salisilat yang lebih dikenal
dengan nama dagangnya yaitu aspirin. Efek kerjanya yang
menghambat agregasi thrombosis berguna untuk mempertahankan
perfusi jaringan. Klopidogrel juga merupakan antitrombotik yang
sering diberikan bersama dengan aspirin untuk mengoptimalkan
efeknya

dan

mencegah terulangnya

oklusi thrombus pada

pembuluh darah yang dapat menyebabkan serangan jantung atau


stroke. Pemberian 4 tablet sekaligus dengan dosis masing-masing
75 mg bertujuan untuk mencapai dosis muatan (loading dose)
sebesar 300 mg.
Setelah mendapat tindakan di atas pasien kemudian dibawa ke
ICU untuk mendapat perawatan yang lebih intensif. Dokter menuliskan
catatan agar pasien mendapatkan terapi-terapi di bawah ini saat dirawat
di ICU :
a. Terapi oksigen
b. Terapi cairan melalui infus (NaCl 0.9%)
c. Inj ranitidine 2x1a
d. Inj ketorolac 3x1a
e. Aspilet 2x1
f. Clopidogrel 1x1
g. Isosorbid dinitrat 3x1
h. Pasang DC (.)
Sesuai dengan tujuan tatalaksana pasien STEMI, sebelum dikirim
ke ICU sebaiknya dilakukan tindakan reperfusi dini. Tindakan ini jika

dilakukan

secepatnya

akan

memperpendek

lama

oklusi

coroner,

meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi


kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi gagal jantung atau
takikardia ventrikel yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien
STEMI adalah door-to-needle time untuk memulai terapi fiibrinolitik dapat
dicapai dalm 30 menit atau door-to-ballon time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit. Berikut adalah faktor-faktor yang dapat dipertimbngkan
untuk memilih strategi reperfusi yang terbaik:
Fibrinolisis
Strategi Invasif (PCI)
-Presentasi awal <3 jam atau kurang dari - Laboratorium PCI yang mampu tersedia
onset gejala & keterlambatan ke PCI

dengan backup surgical

-PCI bukan merupakan pilihan

- Door-to-ballon time <90 menit

-Laboratorium kateterisasi belum tersedia

- (Door-to-ballon)-(door-to-needle) time <1

-Kesulitan akses vaskuler

jam

-Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang - Risiko tinggi STEMI


mampu

a. Syok kardiogenik

-Terlambat untuk PCI :

b.

a. Transport jauh

- Kontraindikasi fibrinolysis, termasuk ()

b. (Door-to-ballon)-(door-to-needle)
time >1 jam

risiko

perdarahan

dan

perdarahan

intracranial

c. Medical contact-to-ballon atau door- - Presentasi terlambat onset gejala >3


to-ballon >90 menit

jam yang lalu


- Diagnosis STEMI tidak meyakinkan

BAGIAN IV

REFLEKSI DAN SIKAP PROFESIONALLISME DOKTER DIRUANG IRD


RUMAH SAKIT
Manajemen Rumah sakit dalam

mengelola sistem pelayanan

pasien di IGD yang berkaitan dengan ketersediaan tenaga kesehatan


terutama dokternya terlihat sudah cukup baik, karena selama kami disana
kebetulan terjadi pergantian shift malam pada pagi hari, pada saat itu dokter
yang jaga malam baru pulang ketika dokter pengganti sudah datang jadi
dokter selalu standby di IGD.
Ketika kami disana Dokter tidak ada yang menolak pasien atau
menghambat proses, semua pasien yang datang langsung ditangani,
masalah adminitrasi dan lain lain dibahas setelah pasien tertangani.

BAGIAN V

DOKUMENTASI BERKAS

Anda mungkin juga menyukai