Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia atau yang dikenal dengan istilah ikterus adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan
sklera akibat peningkatan kadar bilirubin serum. Hiperbilirubinemia merupakan
salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada neonatus terjadi
pada minggu pertama kehidupan. Sebagian besar kejadian ikterus neonatorum
bersifat fisiologis, namun yang non fisiologis harus diwaspadai sebab dapat
menimbulkan komplikasi yang berat baik gejala sisa bagi yang hidup maupun
yang fatal jika pengobatan terlambat (Cloherty,2004).
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding
orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus
lebih banyak dan usianya lebih pendek. Hal ini bisa diakibatkan oleh pemecahan
eritrosit yang berlebihan, gangguan clearance metabolism, gangguan konjugasi
atau gangguan ekskresi bersama air (Sarwono et al,1994). Hiperbilirubinemia
indirek dijumpai pada sekitar 60% bayi aterm dan 80% bayi premature (Nelson,
2007). Angka kejadian menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita
ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya.
Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya,
sekitar 65% mengalami ikterus. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di
rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan
mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama
kehidupannya. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa
rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross sectional yang dilakukan di Rumah
Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar

Universitas Sumatera Utara

bilirubin diatas 5mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin diatas 12mg/dL pada
minggu pertama kehidupan.
Ikterus pada neonatus dapat dibedakan secara dua macam,yaitu fisiologis
dan patologis. Ikterus neonatorum fisiologis timbul akibat peningkatan dan
akumulasi bilirubin indirek <5 mg/dl/24 jam yaitu yang terjadi 24 jam pasca salin.
Hal ini karena metabolisme bilirubin neonatus belum sempurna yaitu masih dalam
masa transisi dari masa janin ke masa dewasa (Glasgow, 2000). Ikterus
neonatorum patologis pula adalah ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama
pasca salin dimana peningkatan dan akumulasi bilirubin indirek > 5 mg/dl/24 jam
dan ikterus akan tetap menetap hingga 8 hari atau lebih pada bayi cukup
bulan(matur) sedangkan pada bayi kurang bulan (prematur) ikterus akan tetap ada
hingga hari ke-14 atau lebih.
Ikterus neonatorum patologis dapat ditimbulkan oleh beberapa penyakit
seperti anemia hemolitik, polisitemia, ekstravasasi darah (hematoma), sirkulasi
enterohepatik yang berlebihan, defek konjugasi, berkurangnya uptake bilirubin
oleh hepar, gangguan transportasi bilirubin direk yang keluar dari hepatosit atau
oleh karena obstruksi aliran empedu. Faktor resiko yang dianggap sebagai pemicu
timbulnya ikterus neonatorum yaitu kehamilan kurang bulan (prematur), bayi
berat badan lahir rendah, persalinan patologis, asfiksia, ketuban pecah dini,
ketuban keruh dan inkompatibilitas golongan darah ibu dan anak (Fx.Wikan I,
Ekawaty LH, 1998).
Ikterus neonatorum dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius
jika tidak ditangani dengan yaitu ensefalopati bilirubin yang dikenal dengan kern
icterus (Rina Triasih, dkk., 2002; Tb.Rudy Firmansjah B. Rifai, 2003). Kern
icterus timbul akibat akumulasi bilirubin indirek di susunan saraf pusat yang
melebihi batas toksisitas bilirubin pada ganglia basalis dan hipocampus. Ikterus
neonatorum perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik sehingga
menurunkan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate = IMR) yang masih
tinggi di Indonesia. Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997
tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai

Universitas Sumatera Utara

kernikterus). Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, kern icterus juga dapat
menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, gangguan pendengaran, paralisis
dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

1.2 Perumusan Masalah


Bagaimanakah gambaran karakteristik neonatus dengan hiperbilirubinemia
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik ,Medan dari periode Januari 2012
sehingga Desember 2012.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1

Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran karakteristik neonatus yang menderita
hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Haji Adam, Medan dari periode
Januari 2012 sehingga Desember 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus


a) Mengetahui jumlah bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia.
b) Mengetahui jenis kelamin bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia.
c) Mengetahui usia gestasi bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia .
d) Mengetahui berat badan lahir pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia.
e) Mengetahui cara partus bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil

penelitian

ini diharapkan dapat

memberikan

manfaat

untuk:

1. Rumah Sakit
Dapat memberikan masukan atau informasi untuk membantu mutu
pelayanan kesehatan khususnya pada neonatus dengan hiperbilirubinemia.
2. Keluarga Pasien
Dapat dipakai sebagai bahan masukan untuk keluarga pasien lebih
mengetahui tentang hiperbilirubinemia dan membantu untuk mencegah
timbulnya komplikasi disebabkan hiperbilirubinemia pada pasien.

Universitas Sumatera Utara

3. Institusi Pendidikan
Dapat dipakai sebagai acuan atau bahan pertimbangan untuk penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai