Anda di halaman 1dari 8

Curug Malela, Niagara Kecil di Ujung Barat Bandung

Di Propinsi Jawa, tepatnya di Bandung ada sebuah air terjun yang keindahannya
menyerupai air terjun Niagara. Air terjun itu bernama air terjun Curug Malela. Keindahan air
terjun ini sudah cukup terkenal.
Air terjun ini dinamakan Curug Malela karena terletak di daerah Curug Malela di
Kampung Manglid Desa Cicadas Kecamatan Rongga Kabupaten Bandung Barat. Berbatasan
dengan Kabupaten Cianjur di barat laut Bandung. GPS menunjukkan posisi koordinat
S07*0038.1 E107*1222.0 di atas batu tempat memandang keindahan curug itu. Seperti
ditulis di banyak situs blog pribadi, situs pariwisata, atau situs resmi Perhutani, maupun Pemkab
Bandung Barat, air terjun ini memang mengagumkan.
Jalanan menuju Curug Malela dari Balai Desa Cicadas Kecamatan Rongga Kabupaten
Bandung Barat, hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Mobil pribadi akan kepayahan menyusuri
jalur terjal dan berlobang tersebut, kecuali kendaraan spesialis offroad. Motor pun hanya mampu
mengantar sejauh dua kilometer. Selebihnya harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar satu
kilometer menuruni jalan setapak di lereng bukit, menyisir pematang sawah dan rimbunnya
pepohonan.
Air dari Sungai Cidadap yang dipecah dalam beberapa air terjun kecil seolah memberikan
suasana berbeda dibandingkan dengan air terjun yang lain. Kaki pun rasanya tidak sabar
meloncat di antara bebatuan yang menyembul di atas permukaan sungai untuk mendekati dasar
air terjun.
Air sungai yang berwarna sedikit berwarna coklat tidak menyurutkan niat pengunjung
untuk membasuh muka. Kendati demikian, pengunjung harus tetap waspada karena arus Sungai
Cidadap yang berhulu di Kabupaten Bandung ini cukup deras, sebenarnya keindahan air terjun
itu tidak berdiri sendiri. Curug Malela merupakan air terjun paling atas dari rangkaian tujuh air
terjun bertingkat sepanjang 1 kilometer. Urutannya adalah Curug Malela, Curug Katumiri, Curug
Manglid, Curug Ngebul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan ditutup dengan Curug Pamengpeuk.
Semua terletak di Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat.
Curug ini memiliki ketinggian sekitar 50 meter dan lebar 70 meter. Persis seperti
bendungan yang membentang selebar sungai. Air yang jatuh sebagai curug tampak begitu
dahsyat sekaligus indah.
Keunikan setiap air terjun memiliki kekhasan tersendiri. Curug Malela memiliki air
terjun yang terpisah saat jatuh. Curug Katumiri pada pukul 8.00-9.00 bisa memperlihatkan
pelangi di badan air terjun. Curug Ngebul adalah kebalikan dari Curug Malela, yaitu air yang
jatuh justru berkumpul sehingga menimbulkan efek kabut dan suara yang menggelegar.

"Saya sudah mengunjungi sejumlah curug di Jawa Barat. Tetapi baru sekarang melihat
curug seperti ini," ujar Ny. Eva Nur (37) pelancong asal Cipadung Kota Bandung. Bahkan Dede
Yusuf mengibaratkan keindahan Curug Malela seperti Air Terjun Niagara. "Dunia mengenal
Niagara Waterfall di perbatasan AS dan Kanada. Curug Malela ini tak kalah dengan Niagara,"
ucapnya. Ya, Niagara mini.
Dari bukit tempat perhentian terakhir sepeda motor, aliran deras berwarna putih itu
sudah terlihat jelas dan suaranya bergemuruh. Pemandangan itu terlihat kontras, sebab curug
diapit dua bukit yang hijau. Sensasi yang luar biasa semakin terasa saat sudah berhadapan
langsung dengan curug. Mata tidak bosan-bosannya memandangi gerakan air menuruni undakan
bebatuan kokoh. Rasa lelah terobati dengan suguhan panorama alam yang begitu elok.
Pengunjung bisa bebas bermain air di atas batu datar dan tidak licin yang ukurannya
cukup lebar, atau berendam di tempat yang tidak terlalu dalam. Bagi mereka yang gemar
berenang, bisa menikmati air terjun lebih dekat lagi hingga ke dindingnya. Sebenarnya pada
aliran Sungai Cicurug itu, bukan hanya ada Curug Malela tetapi ada sekitar enam curug lainnya.
Antara lain Curug Katumbiri dan Curug Ngebul, tetapi tidak besar dan sebagus Malela.
Menurut penduduk setempat, terkadang puluhan monyet ekor panjang (Macaca
pasciscularis), berlompatan dari pepohonan dan turun untuk minum di sekitar curug. Sebagian di
antara mereka mandi di bawah air terjun. Sayang saat itu hari agak mendung dan udaranya
dingin. Mungkin hewan-hewan itu malas meninggalkan pohonnya.
Kondisi udara kawasan itu sangat bersih dan sejuk sehingga perjalanan tetap
menyenangkan dan menyegarkan. Apalagi, selama perjalanan terdengar suara deburan air terjun
dari kejauhan. Melihat potensi obyek wisata yang begitu menarik, sudah saatnya pemerintah
daerah memberikan perhatian khusus dengan membangun infrastruktur dasar, terutama jalan.
Bahkan, obyek wisata tersebut perlu dikelola secara profesional sehingga mendatangkan devisa
bagi daerah sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi penduduk setempat.

Topografi

Berdasarkan peta topografi, sungai yang jatuh sebagai Curug Malela setinggi lebih
kurang 50 m dan lebar mencapai 70 m, adalah Cicurug. Toponimi sungai yang sesuai dengan
sifat sungai ini yang banyak mempunyai air terjun. Hulu sungai berasal dari lereng utara Gunung
Kendeng dengan bekas kaldera raksasanya yang berdiameter hampir 15 km. Dari gunung api
yang terletak di sebelah barat Ciwidey yang telah mati ini mengalir jaringan Sungai Cidadap.
Cidadap mengalir ke arah barat laut melalui Kecamatan Gununghalu menggerus rangkaian
batuan keras yang umumnya berciri produk letusan gunung api tua.
Aliran Cidadap setelah melewati utara Bunijaya, kemudian mengalir dengan pola
rektangular, yaitu suatu pola aliran sungai yang berbelok-belok secara tajam, bahkan tegak lurus.

Alirannya ke arah barat yang kemudian bernama Cicurug mulai memasuki relief sangat terjal di
suatu dataran tinggi yang dulu dinamakan Plateau Rongga.
Suatu keniscayaan bagi sungai yang mengalir di atas plateau untuk kemudian pola
alirannya terganggu oleh air terjun yang bertingkat-tingkat. Itulah yang terjadi pada aliran
Cicurug. Selain Curug Malela yang terbesar, ke arah hilir terdapat beberapa tingkat air terjun
yang dinamakan Curug Katumiri dan Curug Ngebul, sebelum sungai ini bermuara ke Cisokan.
Ciri biasa bagi sungai-sungai yang mengalir di atas plateau, pola alirannya terganggu oleh air
terjun yang bertingkat-tingkat. Itulah yang terjadi pada aliran Ci Curug.
Relief terjal Plateau Rongga memberikan medan terjal dengan lembah-lembah
membentuk huruf V yang berkemiringan lebih dari 100% atau bersudut lebih dari 45 derajat.
Itulah mengapa pengistilahan dataran tinggi menjadi kurang tepat karena jika kita menuju
wilayah ini, kita akan menghadapi jalan yang turun naik berkelok-kelok. Di atas plateau ini
ketika sungai-sungainya mengerosi daerah secara vertikal, lereng-lereng lembah selain
menciptakan medan yang terbatas untuk dijelajahi, tapi dari sisi yang lain menciptakan lanskap
yang memesona mata.
Beberapa puncak plateau mencapai ketinggian di atas 1.000 m di atas muka laut rata-rata
membuat udara pada Plateau Rongga umumnya sejuk. Tata guna lahan adalah perkebunan dan
hutan. Sejak zaman Belanda, wilayah ini diperuntukkan bagi perkebunan teh yang sekarang
dikelola oleh PTP Nusantara VIII Montaya.
Batuan yang membuat relief menjadi terjal dan kasar itu adalah batu breksi dan
konglomerat berumur Miosen Atas, kira-kira diendapkan pada lingkungan peralihan darat dan
laut pada waktu 10 hingga 5 juta tahun yang lalu. Sumbernya diperkirakan beberapa gunung api
purbakala di selatan Jawa Barat yang aktif pada masa itu. Jenis batuan ini yang di Curug Malela
sendiri tampak berlapis-lapis, bersifat sangat keras. Kesan yang timbul dari kerasnya batuan
dapat dilihat dari morfologi batuannya yang memperlihatkan dinding-dinding tegak yang licin.
Itulah yang nampak pada dinding Curug Malela yang terlihat begitu kokoh dan anggun.
Keanggunan air terjun yang dalam foto kecepatan rendah memberikan kesan seperti
benang-benang sutra halus, tidak dimungkiri telah menawan hati dan pandangan mata siapa yang
datang mengunjunginya. Jika hari tidak keburu gelap, kita akan seharian duduk tanpa bosanbosannya menyaksikan fenomena alam yang luar biasa ini.

Jalan Untuk Mencapai Curug Malela

Pertama-tama dari Bandung kita harus menuju Kota Kecamatan Gununghalu, lebih
kurang 40 km ke arah barat. Jika tidak membawa kendaraan sendiri, bisa naik kendaraan umum
minibus elf yang berangkat dari Stasiun Ciroyom. Boleh dikatakan setiap jam minibus ini siap
berangkat. Sore hari tidak ada yang berangkat dan baru ada lagi menjelang tengah malam:
memanfaatkan para calon penumpang yang biasa akan menjual hasil bumi dan palawija ke
Bandung pada subuh harinya.
Dari Gununghalu kemudian kita mengarah ke Bunijaya. Ke jurusan ini pun masih
tersedia kendaraan yang sama (beberapa minibus jurusan Bandung-Gununghalu-Bunijaya). Nah,
perjalanan berikutnya dimulailah dengan menggunakan peribahasa malu bertanya sesat di
jalan. Ketiadaan penunjuk arah sejak Kota Kecamatan Gununghalu membuat kita terpaksa
selalu bertanya kepada penduduk yang dilalui. Memang betul malu bertanya sesat di jalan, tapi
kalau terlalu banyak bertanya karena ketiadaan penunjuk arah, nampaknya pengelola daerahlah
yang sesat di jalan birokrasinya.
Jadi setelah banyak bertanya, jalan akan mengarahkan kita ke arah Bunijaya dan berbelok
ke arah kanan di daerah yang dikenal sebagai Simpang Rongga. Dari sini tidak ada kendaraan
umum yang melayani rute hingga ke Rongga bahkan ke Cicadas, desa tempat Curug Malela
berada. Satu-satunya alternatif hanya ojek motor. Ongkosnya bisa mencapai Rp. 50.000,- sekali
jalan. Sekalipun ngotot dan pintar menawar, paling jatuhnya Rp. 40.000,Jalan kemudian berkelok-kelok menyempit menanjak. Sekalipun beraspal baik, tapi
lubang-lubang besar membuat kelancaran perjalanan terganggu. Di Kota Kecamatan Rongga kita
kembali dihadapkan pada persimpangan jalan dan terpaksa kembali bertanya. Jalan ke kiri yang
diambil akan membawa kita ke daerah Kubang, Perkebunan Teh Montaya. Jalan perkebunan asri
yang diapit pohon-pohon mahoni dan damar membawa kita memasuki daerah perbukitan yang
turun naik berkelok-kelok pada jalan sempit.
Perjalanan dari Gununghalu ke Kubang Montaya yang hanya berjarak kurang dari 20 km
terpaksa harus ditempuh antara 1,5 - 2 jam perjalanan kendaraan roda empat. Masih dengan
banyak bertanya. Dari Simpang Kubang ke arah Cicadas kita akan didera jalan batu yang
berlubang-lubang. Perlu waktu hampir satu jam menempuh jarak pendek tidak lebih dari 3 km
itu.
Sesampainya di Cicadas bukan berarti Curug Malela telah ada di depan kita. Jalan
berikutnya berupa jalan perkebunan yang tidak dapat dilalui mobil biasa. Jadi harus ditempuh
dengan cara jalan kaki. Perlu waktu kira-kira satu jam untuk akhirnya mencapai Curug Malela
setelah menuruni jalan setapak terjal dengan beberapa lereng hampir 70 derajat.

Peran Serta Masyarakat

Peran serta masayarakat sangat terlihat didalam pemeliharaan dan juga promosi dari pada
air terjun Curug Malela ini. Tidak hanya dalam pemeliharaan dan promosi, tetapi juga dalam hal
melindungi tempat wisata ini agar keadaannya tetap alami dan tidak mengalami banyak
perubahan. Masyarakat sangat menjaga air terjuna Curug Malela dari jamahan tangan tangan
usil yang terkadang merusak. Walau sepertinya belum ada perhatian khusus dari pemerintah,
seperti belum adanya akses jalan yang layak, juga belum ada penerangan yang memadai pada
malan hari.
Terkadang ada juga pengunjung yang sadar atau tanpa sadar merusak lingkungan dari air
terjun Curug Malela ini. Seperti membuang sampah sembarangan. Jangan heran jika di lerenglereng bawah dekat air terjun itu kita akan mendapati tumpukan sampah-sampah plastik, sandal
jepit, atau Styrofoam.
Itulah Curug Malela yang memberi berjuta pesona, tetapi sayang sekali tidak terkelola
dengan baik, selain juga munculnya ancaman pencemaran sampah. Jadi kalau ingin berwisata,
jangan ke Curug Malela, kecuali jiwa kepetualangan Anda yang terus memanggil karena pesona
curug ini dapat mengalahkan hambatan aksesibilitas yang memprihatinkan.

Mencari Ketenangan di Desa Sari Bunihayu


(berdasarkan pengalaman seseorang)

Mungkin berlibur di dalam kota sudah bukan barang baru, dan bahkan Anda sudah
merasa bosan dengan suasana kota. Ada baiknya jika Anda menghabiskan waktu libur dengan
mengunjungi objek wisata alam maupun suasana pedesaan. Salahsatu objek wisata yang
manawarkan suasana pedesaan, yakni Desa Wisata Sari Bunihayu di Kabupaten Subang.
Untuk mencapai ke desa wisata ini cukup mudah. Dari Kota Bandung, Anda bisa
menggunakan kendaraan umum antar kota Banmdung - Subang. Di sepanjang perjalanan Anda
akan menikmati suasana pegunungan mulai dari kawasan Lembang sampai pertigaan Gunung
Tangkubanperahu.
Setelah itu, suasana perkebunan teh akan menjadi pelengkap perjalanan Anda. Setelah
menemukan Jalan. Cagak, tinggal belok ke kiri ke arah Subang yang dipenuhi dengan kebun
nenas. Anda kemudian belok kiri setelah menemukan papan nama Desa Wisata Sari Bunihayu.
Tidak kurang dari satu km, Anda akan menemukan kawasan desa yang bernuansa asri.
Sepintas, kawasan desa tersebut pantas disebut desa wisata. Selain suasana pedesaan yang masih
dipertahankan, juga terlihat dari bentuk fisik bangunan rumah masyarakatnya masih
mempertahankan suasana kampung Sunda. Selain itu, terdapat sejumlah gueshouse yang dibuat
menyerupai bangunan di pedesaan termasuk bale sawala, pendopo, serta pagung hiburan.
Sementara suana alamnya pun masih terlihat asri. Di sebelah timur penuh dengan kebon
awi, sebelah selatan berdiri sebuah bukit yang asri, sebelah timur melintas sungai Cileuleuy, dan
sebelah utara terhampar pesawahan yang siap dijadikan arena wisata desa. Kesemua alam
pedesaan ini membuat pikiran Anda jadi tenang dan tentram.
Walaupun dikelola oleh pihak swasta, namun ternyata objek wisata ini menjanjikan
ketenangan suasana pedesaan. Desa Sari Bunihayu memang menjanjikan suasana tenang dan asri
pedesaan. Sekalipun dilokasi tersebut sudah dibangun beberapa villa dan kolam renang termasuk

kolam pemancingan. Namun lokasi ini masih mempertahankan tradisi masyarakat Desa
Bunihayu dalam mengolah hasil bumi.
Begitu Anda memasuki kawasan desa wisata ini, Anda akan dibageakeun musik
tradisional toleat yang menjadi musik khas Kabupaten Subang. Selain itu, akan ditemani pula
dengan satu gelas bandrek minuman penghangat serta beberapa gorengan dan penganan khas
Subang. Selain itu, Anda pun akan diajak untuk menyaksikan anak-anak Desa Sari Bunihayu
belajar menari dan berbagai kesenian tradisional lainnya. Oleh pengelolanya, anak-anak desa
yang berlatih kesenianm tradisional ini dijadikan atraksi wisata untuk menghibur wisatawan.
Menurut pengakuan pemilik desa wisata Sari Bunihayu, H. Herman Mulyana,
didirikannya desa wisata tersebut estuning nyaah kasarakan Sunda (karena rasa cinta pada tanah
air Sunda) yang saat ini banyak yang menjadi kompleks perumahan dan mal. Tidak hanya
lingkungan pedesaan yang berubah, tetapi juga masalah budayanya yangtergerus budaya modern.
Banyak masyarakat desa di Jabar yang meninggalkan budayanya dan memilih budaya modern
sebagai bagian dari gaya hidup.
Di lokasi ini, pengunjung bukan hanya disuguhi atraksi kesenian tradisional dan hanya
bisa melihat warga desa tengah menggarap sawahnya maupun kebun serta memperbaiki selokan
yang rusak. Para pengunjung ditawari untuk bergabung dengan warga desa atau petani untuk
menggarap sawah, mulai dari nandur, ngawuluku, ngabuat (membajak sawah, menanam padi,
menuai padi, sampai panen).
Rupanya proses kerja para petani dalam menggarap sawah dijadikan andalan dedsa
wisata ini bagi para wisatawan. Selain menggarap sawah, tata cara berkebun dan memanen
tanaman umbi-umbian (ketela pohon dan ubi jalar). "Maklum biasanya para wisatawan banyak
yang tidak mengetahui tatacara menanam padi, berkebun sampai memanennya," ungkap H.
Herman saat berbincang dengn "GM", beberapa waktu lalu.
Selain tanaman padi, di objek wisata ini pun pengunjung bisa memetik buah-buahan
segar langsung dari pohonnya. Pasalnya, di lokasi ini ditanaman berbagai tanaman buah-buahan
asli daerah Jawa Barat maupun buah-buahan asli dari daerah lainnya. Menurut Herman, hampir
semua tanaman buah dari berbagai daerah Indonesia bisa tumbuh subur, termasuk salah satunya
adalah tanaman buah Matoa dari Irian (Papua). Tak hanya itu, salah satu tanaman langka, yakni
buah Samolo tumbuh subur di sana. Sayang, kedua buah langka itu sedang tidak berbuah, hanya
yang terlihat bunga-bunganya tengah mekar.
"Kedua tanaman ini, memang tumbuh buahnya tidak mengenal musim. Sayang kedua
pohon ini sudah dipanen oleh para wisatawan yang datang lebih awal," H. Herman.

Kita lewatkan saja kedua buah langka tersebut, Anda masih bisa memetik buah-buahan
lainnya, seperti durian, lengkeng, rambutan rapiah, gandaria, pisang, nenas, dan jambu yang
tengah berbuah. Buah-buahan tersebut sesudah dipetik bisa langsung dimakan ditempat atau
dibawa pulang sekedar untuk oleh-oleh. Tentunya mesti ditimbang dulu warga desa yang
bertindak sebagai penjaga kebun. Selain buah-buahan, Anda juga bisa menikmati makanan khas
ala pedesaan, seperti ubi rebus, singkong, jagung bakar maupun ikan bakar yang memang banyak
tersedia disana. Jika belum puas, Anda bisa merebus ubi, singkong, atau membakar ikan dan
jagung sendiri (self service) tergantung selera. Hal itu memang sengaja diberikan pengelola
untuk kepuasan para pengunjung. Bahkan pengelola pun menyuguhkan berbagai atraksi kesenian
tradisi Kabupaten Subang maupun kabupaten lainnya di Jabar.
Unik memang. Pasalnya, seluruh masyarakat Desa Sari Bunihayu dilibatkan sebagai
menjaga kebun sekaligus sebagai guide. Tak heran jika berlibur disana, Anda sudah termasuk
masyarakat desa dengan segudang aktivitasnya. Mengenai penginapan, Anda tidak perlu bingung
karena pengelola telah menyiapkan sejumlah villa maupun bungalaw dengan tarif berpariatif.
Tetapi alangkah disayangkan, pengunjung tidak bisa menginap di rumah-rumah milik warga
setempat. Padahal, kalau pengunjung diberi kesempatan tidur di rumah warga, dipastikan ada
seperti ikatan bathin antara pengunjung dengan warga. Jika Anda tertarik bisa mengunjung Desa
Wisata Sari Bunihayu setiap akhir pekan.
Ririmbunan pepohonan dan hijaunya duan teh serta kuningnya buah nenas sudah menanti
Anda. Tak hanya itu, deretan tukang ojek pun siap meramaikan kedatangan Anda sekeluarga.
Tetapi yang pasti, Anda jangan senang dulu. Pasalnya, dibutuhkan stamina dan dana yang cukup
untuk bisa berlibur di Desa Wisata Bunihayu. Karena keterlibatan Anda dan keluarga bersama
warga sekitar dibutuhkan stamina yang cukup. Sedangkan untuk masalah dana, harus
dipersiapkan jika Anda ingin membawa oleh-oleh khas dari Desa Bunihayu.

Anda mungkin juga menyukai