Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


2.1.1 Fisiografi Cekungan Barito
Secara fisiografi, Cekungan Barito terletak bagian tenggara Kalimantan.
Cekungan Barito disebelah barat dibatasi oleh dataran sunda, sebelah timur
Pegunungan Meratus, sebelah utara dibatasi oleh Cekungan Kutai. Dari sebelah barat
dekat paparan sunda terdapat Cekungan Barito dengan kemiringan relatif datar, ke
arah timur menjadi cekungan yang dalam yang dibatasi oleh sesar-sesar naik ke arah
barat dari punggungan Meratus yang merupakan bongkah naik.

Gambar 2.1 Peta fisiografi pulau Kalimantan


(Kusnama, 2008)

2.1.2 Kerangka Tektonik Regional


Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar yang menjadi bagian dari
Lempeng mikro Sunda. Menurut Tapponnier (1982), lempeng Asia Tenggara
ditafsirkan sebagai fragmen dari lempeng Eurasia yang menunjam ke Tenggara
sebagai akibat dari tumbukan kerak Benua India dengan kerak Benua Asia, yang
terjadi kira-kira 40 50 juta tahun yang lalu. Fragmen dari lempeng Eurasia ini
kemudian dikenal sebagai lempeng mikro Sunda yang meliputi semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Adapun batas-batas
yang paling penting disebalah Timur adalah :
1. Komplek subduksi Kapur Tersier Awal yang berarah Timurlaut, dimulai dari
Pulau Jawa dan membentuk pegunungan Meratus sekarang.
2. Sesar mendatar utama di Kalimantan Timur dan Utara
3. Jalur subduksi di Kalimantan Utara, Serawak, dan Laut Natuna, Jalur ini
dikenal dengan jalur Lupar.

Menurut Bemmelen (1949) pulau Kalimantan dibagi menjadi beberapa Zona


fisiografi, yaitu :
1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda.
2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak
dilepas Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan yang
dikenal sebagai sub cekungan Pasir.

3. Meratus Graben, terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah ini
sebagi bagian dari cekungan Kutai.
4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat laut
dan Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen. Cekungan-cekungan
tersebut antara lain:
a. Cekungan Tarakan, yang terletak paling Utara dari Kalimantan Timur.
Disebelah Utara cekungan ini dibatasi oleh Semporna High.
b. Cekungan Kutai, yang terletak sebelah Selatan dari Tinggian Kuching
yang merupakan tempat penampungan pengendapan dari Tinggian
Kuching selama Tersier.
Secara regional wilayah kerja PT. Pertamina Hulu Energi termasuk ke dalam
Cekungan Barito. Cekungan Barito meliputi daerah seluas 70.000 kilometer persegi
di Kalimantan Tenggara. Cekungan ini terletak diantara dua elemen yang berumur
Mesozoikum (Paparan Sunda di sebelah barat dan Pegunungan Meratus yang
merupakan jalur melange tektonik di sebelah timur).
Orogenesa yang terjadi pada Pliosen-Plistosen mengakibatkan bongkah
Meratus bergerak ke arah barat. Akibat dari pergerakan ini sedimen-sedimen dalam
Cekungan Barito tertekan sehingga terbentuk struktur perlipatan. Cekungan Barito
memperlihatkan bentuk cekungan asimetrik yang disebabkan oleh adanya gerak naik
dan gerak arah barat dari Pegunungan Meratus. Sedimen-sedimen Neogen
diketemukan paling tebal sepanjang bagian timur Cekungan Barito, yang kemudian
menipis ke barat.

Formasi Tanjung yang berumur Eosen menutupi batuan dasar yang relatif
landai, sedimen-sedimennya memperlihatkan ciri endapan genang laut. Formasi ini
terdiri dari batuan-batuan sedimen klastik berbutir kasar yang berselang-seling
dengan serpih dan kadangkala batubara. Pengaruh genang laut marine bertambah
selama Oligosen sampai Miosen Awal yang mengakibatkan terbentuknya endapanendapan batugamping dan napal (Formasi Berai).
Pada Miosen Tengah-Miosen Akhir terjadi susut laut yang mengendapkan
Formasi Warukin. Pada Miosen Akhir ini terjadi pengangkatan yang membentuk
Tinggian Meratus, sehingga terpisahnya cekungan Barito, Sub Cekungan Pasir dan
Sub Cekungan Asam-Asam.

Gambar 2.1.1 Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989)

10

2.2 Stratigrafi Regional Cekungan Barito

Secara umum stratigrafi Cekungan Barito dari muda ke tua secara berurut adalah
sebagai berikut :

Gambar 2.2 Formasi-formasi, paleofacies, dan periode tektonik pada


Cekungan Barito (Indonesian Basin Sumarries, 2006)

11

Wilayah Kerja

PT Pertamina Hulu Energi Gas Metan Batubara secara

regional termasuk dalam cekungan Barito yang terdapat di sebelah barat pegunungan
Meratus. Cekungan Barito sendiri memiliki formasi pembawa batubara. Adapun uruturutan stratigrafi Formasi Cekungan Barito (Gambar 2.2) berdasarkan waktu
terbentuknya adalah :

1.

Formasi Tanjung
Formasi paling tua yang ada di daerah penambangan, berumur Eosen, yang

diendapkan pada lingkungan paralis hingga neritik dengan ketebalan 900-1100 meter,
terdiri dari (atas ke bawah ) batulumpur, batulanau, batupasir, sisipan batubara yang
kurang berarti dan konglomerat sebagai komponen utama. Hubungannya tidak selaras
dengan batu pra-tersier.
2.

Formasi Berai
Formasi ini diendapkan pada lingkungan lagoon hingga neritik tengah dengan

ketebalan 107-1300 meter. Berumur Oligosen bawah sampai Miosen awal,


hubungannya selaras dengan Formasi Tanjung yang terletak dibawahnya. Formasi ini
terdiri dari pengendapan laut dangkal di bagian bawah, batu gamping dan napal di
bagian atas.
3.

Formasi Warukin
Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik dalam hingga deltaic dengan

ketebalan 1000-2400 meter, dan merupakan formasi paling produktif, berumur

12

Miosen Tengah sampai Plestosen Bawah. Pada formasi ini ada tiga lapisan paling
dominan, yaitu :
a.. Batulempung dengan ketebalan 100 meter
b. Batulumpur dan batu pasir dengan ketebalan 600-900 meter, dengan bagian atas
terdapat deposit batubara sepanjang 10 meter.
c. Lapisan batubara dengan tebal cadangan 20-50 meter, yang pada bagian bawah
lapisannya terdiri dari pelapisan pasir dan batupasir yang tidak kompak dan
lapisan bagian atasnya yang berupa lempung dan batu lempung dengan ketebalan
150-850 meter. Formasi warukin ini hubungannya selaras dengan formasi Berai
yang ada dibawahnya.

4.

Formasi Dohor
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral hingga supralitoral, yang
berumur miosen sampai plio-plistosen dengan ketebalan 450-840 meter. Formasi
ini hubungannya tidak selaras dengan ketiga formasi di bawahnya dan tidak
selaras dengan endapan alluvial yang ada di atasnya. Formasi ini terdiri dari
perselingan batuan konglomerat dan batupasir yang tidak kompak, pada formasi
ini juga ditemukan batulempung lunak, lignit dan limonit.

5.

Endapan Alluvium
Merupakan kelompok batuan yang paling muda yang tersusun oleh kerikil,

pasir, lanau, lempung, dan lumpur yang tersebar di morfologi dataran dan sepanjang
aliran sungai.

13

2.3 Struktur Geologi Regional


Pada cekungan barito, jika diurutkan sejarah struktur ditandai oleh
perbedaan yang jelas pada zaman Paleogen dan Neogen. Pemekaran basement adalah
awal mula pembentukan structure cekungan pada kala Paleosen Eosen. Kondisi ini
terus terjadi hingga kala Oligosen Miosen dengan terjadi subsidence secara lokal
dan regional serta proses peregangan lithosfer yang mempengaruhi cekungan pada
pertengahan

Miosen,

struktur

yang terjadi

berubah

menjadi

pengkerutan.

Pengangkatan secara regional dan patahan yang bersifat kompresional muncul pada
kala Miosen Tengah hingga Pliosen-Plistosen. Proses inversi dan pengaktifan
kembali sesar tua secara extensional menghasilkan kenampakan yang sekarang
terbentuk pada cekungan barito.
Pola struktur yang berkembang di pulau Kalimantan berarah Meratus (Timur
laut-Barat daya). Pola ini tidak hanya terjadi pada struktur-struktur sesar tetapi juga
pada arah sumbu lipatan. Perbukitan Tutupan yang berarah timur laut-barat daya
dengan panjang sekitar 20 km terbentuk akibat pergerakan dua patahan anjakan yang
searah. Salah satunya dikenal dengan nama Dahai Thrust Fault yang memanjang
pada kaki bagian barat perbukitan Tutupan.
Patahan lain bernama Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault yang memanjang
pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan. Keberadaan patahan ini diketahui
berdasarkan data seismik dan pemboran sumur minyak (Asminco,1996). Patahan lain
yang tidak berhubungan dengan perbukitan Tutupan dan berarah timurlaut-baratdaya

14

terdapat di daerah Wara dengan nama Maridu Thrust Fault. Patahan-patahan yang
terjadi pada umumnya searah dengan bidang perlapisan sehingga tidak mengganggu
penyebaran batubara.

Gambar 2.3 Struktur Geologi Regional Cekungan Barito (Bow Valley, 1992)

15

Gambar 2.3.1 Model Struktur Regional (PT Pertamina)

2.4 Pengenalan Batubara


2.4.1 Pengertian Batubara

Secara umum

batubara adalah

batuan

sedimen

yang

dapat

terbakar,

terbentuk dari endapan organik, pembentuk utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan
terbentuk melalui proses pembatubaraan (Coalification). Unsur-unsur utamanya
terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara juga merupakan batuan organik
yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam
berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti :
C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.

16

Batubara (coal)

merupakan suatu endapan yang terdiri dari bahan-bahan

organik maupun non organik yang pembentukannya merupakan hasil akumulasi sisasisa tanaman yang telah mengalami pemadatan melalui proses ubahan secara kimia
serta metamorfosa oleh panas dan tekanan selama waktu geologi (Wood, 1983 dalam
Irma Hernawaty, 1999). Batubara juga merupakan batuan yang dapat dibakar dan
mengandung material karbon lebih dari 70% volume.
Pembentukan

batubara

dimulai

sejak

periode

pembentukan

Karbon

(Carboniferous Period), dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung


antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang

lalu. Kualitas dari setiap endapan

batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang
disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah
menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite)
atau disebut pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara
dengan jenis maturitas organik rendah.
Secara alamiah, batubara (coal) mempunyai sifat dan batasan-batasan sebagai
berikut:
1. Mempunyai warna coklat sampai hitam
2. Zat padat non-kristalin
3. Berkilap kusam sampai terang
4. Mempunyai berat jenis antara 1.0 - 1.7 kg/m3
5. Kekerasan bervariasi dari 0.5 2.5 skala mohs
6. Bersifat lunak dan getas

17

7. Pecahan kasar sampai konkoidal

Setelah

mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama

jutaan tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara
sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk
bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit.

Gambar 2.4.1 Proses Pembatubaraan (Lamberson, MN., 1993)

18

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan,


panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus,
sub-bituminus, lignit dan gambut.

Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan


(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%.

Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10%
dari beratnya. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air,
dan oleh

karenanya

menjadi

sumber panas yang

kurang efisien

dibandingkan dengan bituminus.

Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya.

Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah.

2.4.2 Bentuk Lapisan Batubara


Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah
proses pembatubaraan / coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara.
Mengetahui bentuk

lapisan batubara sangat

menentukan dalam

cadangan dan merencanakan cara penambangannya.


Dikenal beberapa bentuk lapisan batubara yaitu:

menghitung

19

a. Bentuk Horse Back


Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang
menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi. Tingkat
perlengkungan sangat ditentukan oleh besaran gaya kompresi. Makin kuat gaya
kompresi yang berpengaruh, makin besar tingkat perlengkungannya. Ke arah lateral
lapisan batubara mungkin akan sama tebalnya atau menjadi tipis. Akibat dari
perlengkungan ini lapisan batubara terlihat terpecah-pecah akibatnya batubara
menjadi kurang kompak.

b. Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada
umumnya bagian bawah (dasar) dari

lapisan

batubara merupakan batuan yang

plastis misalnya batulempung sedang di atas lapisan

batubara secara setempat

ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Sangat
dimungkinkan, bentuk

pinch

ini

bukan merupakan

penampakan

tunggal,

melainkan merupakan penampakan yang berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch


bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter.

c. Bentuk Clay Vein

20

Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat urat
lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara
mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan

yang merupakan rekahan

terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.

d. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk suatu
kulminasi sehingga lapisan batubara seperti terintrusi. Sangat dimungkinkan
lapisan batubara pada bagian yang terintrusi menjadi menipis atau hampir hilang
sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai
puluhan meter

e. Bentuk Fault

Bentuk ini terjadi di daerah di mana deposit batubara mengalami beberapa


seri patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan perhitungan
cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran perlapisan batubara ke
arah vertikal.

f. Bentuk Fold

Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara, mengalami proses


tektonik hingga terbentuk

perlipatan. Perlipatan

tersebut dimungkinkan

masih

21

dalam bentuk sederhana, misalnya bentuk antiklin atau bentuk sinklin, atau sudah
merupakan kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Lapisan batubara bentuk fold,
memberi petunjuk awal pada kita bahwa batubara yang terdapat di daerah
tersebut telah mengalami proses pembatubaraan relatif lebih sempurna, akibatnya
batubara yang diperoleh kualitasnya relatif lebih baik.

22

Gambar 2.4.2 Bentuk perlapisan batubara (Modifikasi Sukandarrumidi, 2004)

2.5 Model Geologi Untuk Pengendapan Batubara

Model geologi untuk pengendapan batubara menerangkan hubungan antara


genesa batubara dan batuan sekitarnya baik secara vertikal maupun lateral pada suatu
cekungan pengendapan dalam kurun waktu tertentu.

2.5.1 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batubara

Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan ditunjukkan oleh semua


komponen sistem pengendapan dan letak lapisan batubara pada lingkungan modern
berdasarkan studi lingkungan pengendapan dengan didukung data dari tambang
batubara, pemboran, dan profil singkapan.

2.5.1.1 Lingkungan Pengendapan Barrier

Ke arah laut batupasir butirannya semakin halus dan berselang seling


dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan
fauna laut ke arah darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai
hijau tua yang mengandung fauna air payau. Batupasir pada lingkungan ini lebih
bersih dan sortasi lebih baik karena pengaruh gelombang dan pasang surut.

23

2.5.1.2 Lingkungan Pengendapan Back-Barrier

Lingkungan ini terutama disusun oleh urutan perlapisan serpih abuabu gelap kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang
secara lateral tidak menerus dan zona siderit yang berlubang. Lingkungan Back
Barrier : memiliki ketebalan batubara yang

tipis, pola sebarannya cenderung

memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan
berlembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan
dengan proses pengendapan dan kandungan sulfurnya tinggi.

Gambar 2.5.1 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back-Barrier


(Horne,1978)

24

2.5.1.3 Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain\


Endapan yang mendominasi adalah serpih dan batulanau yang
mengkasar ke atas. Pada bagian bawah dari teluk terisi oleh urutan lempung-serpih abuabu gelap sampai hitam, kadang-kadang terdapat mudstone siderit yang penyebarannya
tidak teratur. Pada bagian atas dari sekuen ini terdapat batupasir dengan struktur ripples
dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus. Hal ini menunjukkan bertambahnya
energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi endapan yang mengakibatkan terbentuk
permukaan dimana tanaman menancapkan akarnya, sehingga batubara dapat terbentuk.
Lingkungan lower delta plain: batubaranya tipis, pola sebarannya umumnya sepanjang
channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh
endapan crevase splay dan kandungan sulfurnya agak tinggi.

2.5.2 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Lower Delta Plain


(Horne,1978)

25

2.5.1.4 Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain


Endapan didominasi oleh bentuk linier tubuh batupasir lentikuler dan pada
bagian atasnya melidah dengan serpih abu-abu, batulanau, dan lapisan batubara.
Mineral batupasirnya bervariasi mulai dari lithic greywackearkose, ukuran butir
menengah sampai kasar. Di atas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran
batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada
batupasir.
Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan point bar menunjukkan bahwa hal
ini dikontrol oleh meandering. Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk,
perlapisan batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar.
Ketebalannya bertambah apabila mendekati channel dan sebaliknya. Lapisan
pembentuk endapan alluvial plain cenderung lebih tipis dibandingkan endapan upper
delta plain.
Lingkungan upper delta plain fluvial: batubaranya tebal dapat mencapai
lebih dari 10 meter, sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar jurus
pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel, bentuk
batubara ditandai hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh
channel subsekuen dan kandungan sulfurnya rendah.

26

Gambar 2.5.3 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Upper Delta Plain
(Horne, 1978)

2.5.1.5 Lingkungan Pengendapan Transitional Lower Delta Plain


Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi yang
mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Disini sekuen bay fill
tidak sama dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari kandungan fauna air payau
sampai marin serta struktur burrowed yang meluas. Endapan channel menunjukkan
kenampakan migrasi lateral lapisan piont bar accretion menjadi channel pada upper
delta plain. Channel pada transitional delta plain ini berbutir halus daripada di upper
delta plain, dan migrasi lateralnya hanya satu arah.

27

Levee berasosiasi dengan channel yang menebal dan menembus akar secara
meluas daripada lower delta plain. Batupasir tipis crevasse splay umum terdapat pada
endapan ini, tetapi lebih sedikit banyak daripada di lower delta plain namun tidak
sebanyak di upper delta plain. Lingkungan transitional lower delta plain : ketebalan
batubaranya tebal dapat lebih mencapai 10 meter, tersebar meluas cenderung
memanjang jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong
channel, bentuk lapisan batubara ditandai splitting akibat channel kontemporer dan
washout oleh channel subsekuen dan kandungan sulfurnya agak rendah.

Gambar 2.5.4 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower


Delta Plain (Horne, 1978)

28

Gambar 2.5.5 Model lingkungan pengendapan batubara pada lingkungan delta (J.C
Horne, et. Al., 1978, Modifikasi dari Ferm, 1976)

2.6 Gas Metan Batubara


Coal Bed Methane atau gas metan batubara merupakan gas (CH4) yang tersimpan
didalam lapisan batubara, Lapisan batubara yang berada

lebih dari 500 meter

dibawah permukaan dan diproduksikan fluida reservoirnya dengan membuat suatu


sumur.

29

Gambar 2.6.1 Proses pembentukan CBM (Coal Bed Metane)

Gambar 2.6.2 Perbedaan CBM dan Non-CBM

30

Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada


kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari
permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin
tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM .
Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana sebesar 6 - 7 kali lebih
banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas. Adapun karakteristik batubara
yang baik untuk menghasilkan CBM memiliki ciri :
a. Batubara memiliki kandungan gas yang tinggi, yaitu berkisar antara 15 m3 30 m3 per ton.
b. Batubara memiliki permeabilitas yang baik, yaitu antara 30mD - 50mD
c.

Lapisan batubara berada pada kedalaman yang cukup dangkal yaitu


kurangdari 1000 m di bawah permukaan. Adanya batasan kedalaman ini
karena semakin dalam suatu lapisan batubara, tekanannya juga akan semakin
besar dan akan menyebabkan gas terakumulasi saat lapisan batubara
mengalami dewatered. Hal ini disebabkan oleh semakin besar tekanan
akibat pembebanan, maka semakin besar kemungkinan cleat pada batubara
akan tertutup dan menyebabkan berkurangnya permeabilitas.
Terdapat empat mekanisme penyimpanan CBM pada lapisan batubara,yaitu:
-

Sebagai gas bebas di dalam micropore (pori-pori dengan diameter


kurangdari 0,0025 inchi) dan cleats (rekahan alami pada batubara);

31

Sebagai gas yang terlarut dalam air yang ada di batubara;

Sebagai gas yang teradsorpsi oleh daya tarik molekuler pada permukaan
maseral (material organik yang menyusun batubara), micropori, dan cleats
di dalam batubara;

Sebagai gas yang teradsorpsi dalam sturuktur molekuler dari


molekul batubara.

Gas yang terperangkap di dalam lapisan batubara akan sangat bergantung dari
posisi ketinggian air bawah tanah. Sebenarnya, air bawah tanah ini akan berada pada
bagian atas lapisan batubara dan berfungsi menahan gas yang ada pada lapisan
batubara tersebut. Dengan menurunkan tinggi air, maka tekanan dalam reservoar akan
berkurang dan dapat melepaskan CBM.

Gas dalam batubara dapat tebentuk secara biogenik maupun thermogenik.


1. Biogenik Gas
Biogenik gas terutama dalam bentuk gas metana CH4 dan CO2. Gas gas
ini merupakan hasil dari penguraian bahan organik yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Biogenik gas dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap awal dan
tahap akhir dari proses pembatubaraan.
Tahap awal pembentukan gas biogenik pada tahap ini gas terbentuk akibat
adanya aktivitas organisme pada awal proses pembatubaraan, dari
terbentuknya lignit sampai dengan subbituminous (Ro < 0.5 %).

32

Pembentukan gas ini diikuti dengan proses pengendapan yang sangat cepat,
karena jika tidak ada pengendapan yang cepat maka gas yang terbentuk
tidak akan tersimpan dalam batubara dan gas tersebut akan menguap ke
atmosfer.
Tahap akhir pembentukan gas biogenik pada tahap ini gas terbentuk
karena adanya aktivitas mikroorganisme pada saat setelah lapisan
batubaranya sendiri terbentuk. Lapisan batubara yang

terbentuk

itu

umumnya merupakan aquifer, aktivitas mikroorganisme dalam aquifer


tersebut dapat menghasilkan gas metana. Proses ini dapat terjadi pada
batubara dari semua rank batubara.

2. Thermogenik Gas
Thermogenik gas merupakan gas yang terbentuk pada tahap yang lebih tinggi
dari proses pembatubaraan. Gas ini terbentuk biasanya pada batubara yang telah
mencapai kualitas high volatille sampai dengan antasit. Proses bitumunisasi akan
menghasilkan batubara yang kaya dengan kandungan karbon dengan melepaskan
kandungan utama volatile matter seperti metana, CO 2 dan air.

33

Gambar 2.6.3 Proses Pembatubaraan (Modifikasi dari Press dan Seiver 2004)
Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus akan dapat berpotensi menjadi
CBM. Gas biogenik tersebut terjadi oleh adanya reduksi bakteri dari CO2, dimana
hasilnya berupa methanogens, bakteri anaerobik yang keras, menggunakan H2 yang
tersedia untuk mengkonversi asetat dan CO2 menjadi metane sebagai produk dari
metabolismenya. Sedangkan beberapa methanogens membuat amina, sulfida, dan
methanol untuk memproduksi metana.
Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum

pada lapisan

batubara mencapai 40-90C, dimana kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan
bakteri metane. Metane tersebut terbentuk setelah aliran air bawah tanah pada saat ini
telah ada. Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan dan
pembatubaraan, atau dari masukan (recharge) air dalam outcrops dan akuifer. Air
dalam lapisan tersebut dapat mencapai 90% dari jumlah air keseluruhan.

34

Lapisan batubara dapat menjadi batuan sumber dan reservoir, karena itu
CBM diproduksi secara insitu, tersimpan melalui permukaan rekahan, mesopore,
dan mikropore yang berukuran satu mickrometer sampai satu milimeter.

Metana

yang terbentuk saat peatification dan coalification sebagian besar akan teradsorpsi
pada permukaan dari micropori ini . Gas tersebut tersimpan pada rekahan dan
sistem pori pada batubara sampai pada saat air merubah tekanan pada reservoir.
Gas kemudian keluar melalui matriks batubara dan mengalir melalui rekahan
sampai pada sumur.

Gambar 2.6.4 Porositas Gas Metan Terperangkap (Press dan Savier, 2004)

35

Walaupun metana bukan satu-satunya gas yang terdapat di dalam batubara,


namun keterdapatannya mencapai 80 95% dari total gas yang ada. Gas lain yang
umum terdapat di dalam batubara adalah Ethane, Propane, Carbon Dioxide (CO2),
Alkanes, Nitrogen (N2), Argon (Ar), Hydrogen (H2), Helium (He) dan Hydrogen
Sulphide (H2S).

2.7 Karakteristik Batuan Reservoir Gas Metana

Karakteristik batuan dari reservoir CBM sangat berpengaruh terhadap


kemampuan berproduksinya gas metana. Karakeristik batuan tersebut adalah :

Cleats/Macropore/Fracture Porosity

Batubara merupakan media berpori yang anisotrofi terdiri atas dua jenis
porositas, yakni pori-pori makro and pori-pori mikro. Pori-pori makro merupakan
rekah alami yang terjadi pada batubara. Pori-pori makro juga dikenal dengan istilah
rekahan (cleats), merupakan rekahan alami yang tersebar diseluruh batubara. Cleats
bertindak sebagai system perpindahan utama untuk aliran gas dan air dalam suatu
coal seam. Cleat tersebut tempat mengalirnya fluida dari matriks ke lubang sumur.

Berdasarkan penelitian, terdapat dua set rekahan dalam batubara yaitu


rekahan muka (face cleats) dan rekahan ujung (butt cleats) . Face cleats diartikan
sebagai

rekahan

yang

panjang

dan berkesinambungan sepanjang batu bara.

36

Sedangkan Butt cleats adalah rekahan yang tidak berkelanjutan karena diputus oleh
oleh Face cleats.

Gambar 2.7 Cleat Batubara , Face cleat dan Butt cleat Pada Lapisan Batubara
(Cervik, 1967)

Meskipun cleats tidak memegang peranan yang penting dalam perhitungan


cadangan namun arah penyebaran cleats sangat mempengaruhi permeabilitas
batuan, dengan demikian cleats sangat mempengaruhi produktifitas dari CBM.
Permeabilitas Batubara
Permeabilitas adalah ukuran kemampuan batuan untuk mengalirkan fluida.
Umumnya dinyatakan dalam satuan Darcy atau miliDarcy. Pada reservoir batubara,
permeabilitas sangat dipengaruhi oleh cleats. Cleats terjadi akibat dari pengecilan
patahan

yang disebabkan

karena tekanan tektonik pada formasi. Keberadaan

37

patahan akibat tekanan tektonik sangat mempengaruhi permeabilitas. Permeabilitas


absolute berkisar antara 0.1mD s/d 250 mD. Permeabilitas dapat diukur dengan well
testing dan dari sample batuan.
Densitas Batubara
Densitas batubara adalah perbandingan berat batubara terhadap volume
batubara dan dinyatakan dalam satuan gr/cc atau ton/acre-ft). Densitas merupakan
parameter yang sangat penting dalam perhitungan cadangan. Besar nilai densitas
sangat dipengaruhi oleh material-material inorganik yang terkandung dalam batubara,
yaitu air dan mineral-mineral batubara. Komponen inorganik ini mempunyai densitas
yang lebih besar dari komponen organik. Banyaknya mineral pengikut pada batubara
berakibat sulitnya pengukuran densitas murni batubara.

2.8 Parameter Gas Metan Batubara


Terdapat beberapa parameter penting yang perlu dipertimbangkan dalam
melakukan penilaian potensi CBM, diantaranya:
a. Rank atau tingkat kematangan batubara, yang ditunjukkan dengan nilai
vitrinit reflectance batubara. Batubara dengan rank menengah memiliki Rv
berkisar antara 0,55% - 2 % memiliki kapasitas serapan gas metan yang baik.

38

Tabel 2.8 Klasifikasi Rank Batubara berdasarkan % Rv.


Modifikasi Ward, 1984 dalam Larry Thomas, 2002

b. Kedalaman lapisan batubara, yang ideal untuk tersimpannya gas metan adalah
antara 300 m sampai 1000 meter. Pada kedalaman kurang dari 300 meter, gas
metana sangat mudah terlepas ke udara sehingga tidak dapat diharapkan
tersimpan pada batubara dengan baik, sedangkan pada kedalaman lebih dari
1000 meter kapasitas serapan batubara akan terganggu oleh temperatur yang
tinggi.
c. Temperatur. Makin tinggi temperatur makin kecil kapasitas serapannya atau
mempertinggi desorpsi gasnya.

39

d. Tekanan. Makin besar tekanan makin besar kapasitas serapan gas tetapi
dengan kecepatan yang makin berkurang sewaktu mendekati batas jenuhnya.
e. Mineral matter. Makin tinggi kandungan mineral matternya, makin kecil
kapasitas serapan gasnya. Kandungan abu dan sulfur termasuk dalam mineral
matter. Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat
pengotoran, dan korosi peralatan yang dilalui.
f. Moisture. Makin tinggi kandungan air dalam batubara maka makin kecil
kapasitas serapannya.

Tabel 2.8.1 Tabel Klasifikasi Batubara Berdasarkan ASTM Coal Rank.

Anda mungkin juga menyukai