Anda di halaman 1dari 10

ETIOPATOGENESIS POLIP NASI

Abstrak
Polip nasi adalah massa lunak, berwarna merah muda atau putih mutiara yang biasanya
tersambung dengan mukosa nasal oleh tangkai yang lembek. Gambaran histologi dari polip
nasi menunjukkan perbedaan signifikan pada kasus tertentu. Dikarenakan banyaknya jenis
polip nasi, pemilihan dari terapi laringologikal yang tepat merupakan hal yang sulit.
Kesulitan dalam terapi dikarenakan oleh kurangnya konsensus diantara dokter sehubungan
dengan etiopatogenesis polip nasi. Etiopatogenesis polip nasi kemungkinan tidak homogen
dan pembentukan polip dipengaruhi oleh banyak mekanisme yang berdampingan.
Kata Kunci: Polip Nasi, Histologi, Terapi
Pendahuluan
Polyposis nasal merupakan kondisi yang mana membawa dokter ke lebih banyak
pertanyaan daripada jawabannya. Tampaknya, sekarang ini hal tersebut sudah seharusnya
tidak menjadi kendala dikarenakan oleh adanya fakta bahwa polyposis nasal mempengaruhi
masyarakat selama berabad-abad. Polyposis nasal disebutkan di catatan Hippocrates dari
abad ke 4 sebelum masehi. Kejadian polyposis nasal dikonfirmasi oleh prasasti di makam
Raja Sabur yang mana lubang hidungnya sudah dibebaskan oleh penyembuh Mesir
bernama Ni-Ankh Sekhmed.
Laringolog memperkirakan polyposis pada saat pemeriksaan rhinoskopi dengan skala
4 derajat, yang diajukan pada tahun 1993 oleh Johansen:

Polip tidak teridentifikasi

Polyposis Ringan (polip kecil yang


tidak mencapai tepi atas dari konka
nasi bawah)

Polyposis Sedang (polip sedang yang


terlokalisasi diantara tepi atas dan tepi
bawah konka nasi bawah yang
mengarah ke gangguan signifikan
permiabilitas cavitas nasal)
Polyposis Berat (mengarah ke
sumbatan total dari jalan nafas, pada
bagian cavitas nasal tsb)

Laringolog membagi polip nasi


ke dalam beberapa tipe:

Unilateral

Bilateral
Polip tanpa tambahan gangguan kronik sistem respirasi
Polip tanpa tambahan asma dan intoleransi obat anti inflamasi non steroid
Polip dengan insufisiensi imun lokal atau general
Perlu disebutkan bahwa gambaran makroskopik semua tipe polip nasi hampir mirip.

Polip adalah massa lunak, berwarna merah muda atau putih mutiara, biasanya tersambung
dengan mukosa nasal oleh tangkai yang lembek (Gambar 1 dan 2). Bagaimanapun juga,
gambaran histologi menunjukkan perbedaan signifikan, pada kasus tertentu (Gambar 3). Hal
ini menunjukan bahwa polip nasi tertutup epitel respirasi yang ditempatkan pada membran
basal yang tebal. Mukosa polip nasi tipis. Pada koloid di dalam polip, kita akan mengamati
sangat sedikit pembuluh darah, kelenjar seromukosa dan infiltrasi seluler. Pada kebanyakan
polip nasi, tampak granulosit eosinofilik (eosinofil). Polip eusinofilik merupakan 70-90% dari
semua polip. Polip neutrofilik lebih jarang terjadi, dengan infiltrasi granulosit neutrofil.

Gambar 1
Pandangan endoskopik dari polip di kaitas nasal
(NP).

Gambar 2
Polip yang sudah diambil dari kavitas

nasal.

Gambar 3
Gambaran histologi polip nasi.
Pemeriksaan histopatologi polip nasi menunjukkan banyak
perbedaan. Gambaran polip nasi terdiri dari oedem, glandular, dan
fibrosa (disebut juga bentuk campuran). Bentuk oedem merupakan
mayoritas dari polip nasi (50-60% dari semua kasus). Pada tipe
jaringan ikat polip nasi, edema tampak bersamaan dengan
campuran kelenjar yang tertutup dengan mukosa yang tidak terpengaruh. Bentuk glandular
dari polip nasi menempati urutan selanjutnya, berdasarkan frekuensi kejadian (27-30%).
Polip nasi glandular terdiri dari jaringan ikat dengan oedem terletak pada bagian tengah,
tampak kista besar dan kelenjar. Polip nasi bentuk campuran memiliki inti yang terbuat dari
jaringan ikat fibrosa. Pada inti polip nasi campuran, sejumlah besar infiltrasi teramati
(monosit dan makrofag). Tipe tersebut hanya dikenali sebanyak 10-13% dari keseluruhan lesi
polip.
Dikarenakan keberagaman polip nasi, pilihan terapi yang tepat sangat sulit. Hanya
polip eusinofilik yang memberikan reaksi terhadap terapi topikal dengan gluokortikoid. Polip
neutrofilik biasanya membutuhkan inhalasi dengan antibiotik. Sayangnya, sehubungan
dengan perubahan tipe, terapi farmakologi hanya menunda pertumbuhan dari polip nasi.

Pembebasan jangka panjang dan lambatnya pertumbuhan kembali hanya dapat dicapai
dengan polipektomi ekstensif. Kesulitan dalam terapi polip nasi dikarenakan kurangnya
konsensus diantara dokter sehubungan dengan etiopatogenesis dari polip nasi.
Etiopatogenesis Polip Nasi
Para dokter menyetujui bahwa polip nasi merupakan konsekuensi dari rusaknya epitel
mukosa nasal. Cedera epitel dapat dikarenakan infeksi bakteri atau virus begitu juga dengan
inhalasi yang diperlama dari substansi yang mengiritasi. Mukosa yang rusak selalu cenderung
untuk menyembuhkan cedera melalui migrasi epitel dari tepi kerusakan menuju bagian
dalamnya. Pada beberapa kasus, regenerasi epitel nasal tidak mencukupi. Egenerasi epitel
nasal melepaskan sitokin, yang mana mengaktivasi sel inflamasi, yang mengarah ke
pembentukan polip nasi (Gambar 4).
Gambar 4
Patogenesis Polip Nasi

Poliposis

sebagai

penyakit

alergi
Teori alergi mengenai
polip nasi sudah disampaikan
pada tahun 1970an. Hal ini juga muncul di laporan tahun 2011. Pendukung dari teori alergi
menyatakan bahwa mukosa yang berasal dari polip pasien mereka menunjukkan ciri dari
inflamasi alergi. Oedem dan granulosit eosinofilik mendominasi pada mukosa polpoid.
Pendukung teori alergi telah menemukan bahwa di polip nasi terdapat jumlah yang signifikan
dari IgE produk lokal. Pada olesan dari mukosa nasal, penurunan konsentrasi sel inflamasi
(imunosit) telah diamatoo setelah pemberian antigen spesifik intranasal. Teori dari asal alergi
polip nasi tidak sepenuhnya terkonfirmasi. Alasan dari keraguan-keraguan tersebut
berhubungan dengan fakta bahwa presentasi pasien dengan alergi dan didiagnosis dengan
polip nasi hanya 5% saja. Pasien dengan rhinosinusitis lergi fungal (AFRS) merupakan
pengecualian. Pada AFRS, frekuensi kejadian polip nasi melebihi 85%. Fimbriae fungal telah
diamati di sinus paranasal pasien sehat dan pasien dengan sinusitis. Fungaltersebut mungkin

masuk bersamaan dengan udara yang terhirup. Banyak pengarang menyatakan bahwa reaksi
alergi pada fimbriae fungal terjadi hanya pada beberapa pasien. Antigen fungal bertindak
mirip dengan super antigen dan menstimulasi limfosit T untuk memprodksi sejumlah besar
sitokin, terutama interleukin 2 (IL-2). Sitokin diproduksi oleh lmfosit T yang menimbulkan
inflamasi eusinofilik. Bagaimanapun juga, tidak terdapat penjelasan untuk produksi
berlebihan dari sitokijn oleh limfosit T setelah reaksi dengan antigen fungal. Harus di
sampaikan bahwa pada pasien dengan sinusitis kronik, reaksi untuk antigen fungal adalah IgE
bebas. Fakta tersebut tadi menyangkal teori alergi dari pembentukan polip nasi.
Polip nasi sebagai tahap dari perkembangan jangka panjang dari rhinitis non alergik
dengan sindrom eusinofilik
Pada tahun 1980, muncul laporan yang menjelaskan mengenai rhinitis non alergi
dengan sindrom eusinofilik (NARES). 3 tahap dibedakan pada rhinitis non alergi. Pada tahap
pertama, eosinofil migrasi dari pembuluh darah ke muosa nasal. Pada tahap kedua, mereka
berakumulasi di mukosa yang mengarah ke pembentukan polip nasi pada tahap ketiga. Titik
lemah dari teori NARES adalah fakta bahwa polip nasi hanya terdapat pada 30-40% pasien
dengan NARES.
Polip nasi sebagai tahap perkembangan sinusitis kronis hiperplastik
Beberapa pengarang menyatakan bahwa pembentukan dari polip nasi terjadi selama
sinusitis kronik hiperplasti. Sinusitis kronik hiperplasti disertai dengan eosinofilosis banyak
lokal dan perifer. Teori sinusitis hiperplasti sudah dikonfirmasi oleh fakta bahwa di jaringan
polip, interleukin 5 (Il-5) teramati dapat melakukan migrasi eosinofil ke mukosa nasal dan
sinus. Sebagai tambahan, IL-5 bertanggung jawab untuk asma bronkial pada pasien dengan
snusitis kronik hiperplastik sebagaimana IL-5 mengarah ke akumulai eosinofil di jaringan
pumoner.
Contoh penjelasan diatas, sehubungan dengan polip nasi dengan infiltrasi eosinofilik,
mengarah ke kesimpulan bahwa polip dengan neutrofil bukan merupakan dasar alergi dan
tidak berkembang dari inflamasi eosinofilik.
Kim et al mengusulkan bahwa etiopatogenesis dafi polip nasi eosinofilik mungkin
berbeda dari etiopatogenesis polip nasi non eosinofilik. Mereka melaporkan bahwa polip nasi
non eosinofilik memiliki membran basal yang lebih tipis daripada yang eosinofilik. Polip nasi
non eosinofilik mengandung lebih banyak limfosit dengan ekspresi reseptor kemokin CCR5

dan CCR3 yang bertanggung jawab untu menurunkan jumlah eosinofil do darah tepi pasien
dengan polip nasi non eosinofilik yang dibandingkan dengan polip nasi eusinofilik.
Polip nasi sebagai tahap perkembangan perubahan inflamasi bioelektrik
Tahun 1994, Bernstein mengajukan teori inflamasi bioelektrik dari pembentukan polip
nasi. Dia menyatakan bahwa perubahan inflamasi terjadi sebagai hasil dari turbulensi aliran
udara di daerah sekitar dinding lateral dari kavitas nasi. Inflamasi mukosa yang berlebihan
oleh infeksi virus dan bakteri, yang mana sering mengganggu pasien alergi dan mereka yang
mengalami insufisiensi kronik sistem respirasi lain. Inflamasi berulang mengarah ke ulserasi
mukosa dan sebagai konsekuensinya, perubahan elektrik pada saluran membran klorida dan
sodium, berdasarkan teori. Perubahan elektrik pada saluran membran klorida dan sodium
mengganggu sekresi ion klorida ke dalam lumen kavitas nasi dengan aktivasi simutan dari
sodium (dan sebagai dampaknya, air) peresapan kembali ke dalam mukosa sel. Perubahan
keutuhan saluran sodium dan klorida mengarah ke perubahan komposisi mukus (menebal)
dan sebagai konsekuensinya, terdapat kesulitan dalam transportasi mukosilier. Sebagai
dampak dari gangguan saluran ion, bagian lain dari air masuk ke jaringan intersisial; - oedem
lalu terjadi, dan polip nasi akhirnya terbentuk. Pengarang lain kemudian menyatakan teori
bioelektrik, menerangkan bahwa epitel polip naso memeiliki kapasitas untuk melebarkan
penyerapan ion Na+ dan kehilangan ion Cl- dibandingkan dengan perubahan epitel konka
nasi.
Teori Bernstein dan Yankaskas dikembangkan di artikel mereka lebih lanjut. Mereka
mengusulkan bahwa gangguan transport elektrolit pada epitel traktus respirasi bertanggung
jawab terhadap terjadinya polip nasi. Bernstein dan Yankaskas menerangkan bahwa kelebihan
cairan dalam polip dikarenakan oleh gangguan fungsi protein CFTR (Cystic Fibrosis
Transmembrane Regulator) yang mengatur aktivitas saluran sodium. Protein CFTR yang
terganggu diamati pada pasien dengan fibrosis kistik (CF) dimana polip nasi sering terjadi
(lebih dari 50% kasus). Fibrosis kistik merupakan penyakit keturunan, gangguan autosomal
resesif yanng dibawa oleh kedua orang tua yang memiliki mutasi gen pengkode protein
CFTR. Pembawa gen CFTR tidak menunjukkan gejala fibrosis kistik; bagaimanapun juga,
terdapat sedikit laporan sehubungan dengan kejadian polip nasi pada pembawa gen CFTR.
Pengaturan abnormal hidrasi jaringan oleh protein CFTR yang terganggu
berhubungan dengan peningkatan jumlah saluran sodium yang terbuka pada permukaan sel
epitel. Peningkatan pada permukaan sel epitel mengarah ke air yang melimpah, yang

menyebabkan oedem stroma polip nasi. Leih jauh lagi, major basic protein (MBP) yang
dilepaskan eosinofil bertanggung jawab terhadap penyerapan kation sodium oleh stroma.
MBP menurunkan sekresi mukus dengan peningkatan simultan dari penyerapan sodium.
Retensi air di matriks ekstraseluler disebabkan oleh pompa Na+ K+ yang mana secara aktif
memompa Na+ keluar dari sel dan K+ ke dalam sel melawan gradien elektrokimiawi. Ion
sodium merupakan kation ekstraseluler, yang mana mengikat air. Aksi pompa Na+ K+ yang
cacat menahan Na+ di dalam sel alih-alih di ruang interseluler. Akhirnya, akumulasi NA+ dan
air di matriks ekstraseluler mukosa polip nasi tidak dapat dijelaskan oleh insufisiensi aktivitas
pompa Na+ K+.
Gangguan keseimbangan air dan mineral dapat dijelaskan oleh fakta bahwa
predisposisi untuk menyerap ion sodium dan klorida lebih berkembang pada epitel polip
daripada di epitel konka nasi yang tidak berubah. Substansi utama dalam ruang interseluler
yang bertanggung jawab untuk pengikatan air ialah proteoglikan (protein dengan rantai
panjang kondroitin sulfat dan heparan sulfat yang erhubungan dengan rantai polipeptida) dan
asam hialorunat. Proteoglikan dan asam hialorunat memiliki ruang anion pekat dari kelompok
sulfat dan sejumlah besar kelompok hidrofilik OH. Pada matriks ekstraseluler polip nasim
kebanyakan molekul air berada di heliks hyaluronian heteropolysaccharide.
Jaringan polip nasi memproduksi sitokin, yang mana meningktkan pembentukan dan
pertumbuhan dari respon sel imun. Kemokin mengarahkan sel dari respon imun untuk
memusatkan inflamasi. Prostaglandin, dan juga mediator lain, bertanggung jawab pada
perubahan setempat. Proses inflamasi mengaktivasi leukosit (seringnya neutrofil) untuk
berkumpul di pusat inflamasi. Akumulasi leukosit menegaskan dasar inflamasi polip nasi.
Bagaimanapun juga, pada polip, gejala seperti nyeri (dolor), kemerahan (rubor), dan
peningkatan suhu tubuh (kalor) tidak teramati. Hanya oedem (tumor) dan, biasanya gangguan
fungsi (fungsiolesa) tercatat. Kejadian eosinofil dan neutrofil pada polip nasi berhubungan
dengan mekanisme yang buruk yang mengarah ke inflamasi.
Pada hampir keseluruhan semua kasus inflamasi intens, dapat diamati peningkatan
katabolisme glikokonjugate di lisosom, Chojnowska et al melaporkan penurunan
metabolisme glikokonjugate di jaringan polip nasi. Chojnowska et al menemukan konsentrasi
rendag dan aktivitas spesifik yang rendah dari exoglycosidases lisosom pada polip nasi
dibandingkan dengan konka hipertrofi bagian bawah. Penurunan katabolisme dari rantai
oligosakarida glikokonjugate pada polip memberi kesan bahwa poliposis bukan keseluruhan

merupakan lesi inflamasi. Hasil dari Chojnowska et al mendukung teori inflamasi bakteri
sebagai pembentukan polip nasi.
Steinke et al percaya bahwa eosinofil teramati di kebanyakan kasus polip nasi
yangberhubungan dengan aktivitas sitokin: IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan CSF yang
dilepaskan oleh limfosit T2 yang teraktivasi. Rostkowska-Nadolska menerangkan bahwa hal
terpenting dalam aktivasi eosinofil adalah IL-4 yang mmperkuat migrasi neutrofil ke daerah
inflamasi kronik, mencegah apoptosis dan meningkatkan proliferasi fibroblas dan
mediatornya. Bachert dan Fan membuktikan bahwa interleukin 5 sangat penting dalam
migrasi, aktivasi dan inhibisi eosinofil di jaringan. Pendapat mereka berhubungan dengan
fakta bahwa granulosit eosinofilik memiliki reseptor spesifik untuk interleukin 5.
Inflamasi kronik mukosa nasal dengan polip mengarah ke gangguan respon imun.
Dapat diasumsikan bahwa polip nasi terbentuk dikarenakan gangguan mekanisme imunologi.
Hipotesis dari gangguan mekanisme imunologi diajukan oleh Lee et al yang menerangkan
bahwa ekspresi dari 114 gen pada polip nasi berbeda signifikan dengan jaringan sehat.
Beberapa gen tersebut memiliki ekspresi yang lebih tinggi. Mereka berhubungan dengan:

Apoptosis
Diferensiasi sel
Adhesi seluler
Respon Protein imunologi
Modifikasi matriks ekstraseluler
Siklus sel pengatur faktor pertumbuhan
Berdasarkan Lee et al beberapa gen menunjukkan penurunan ekspresi pada polip nasi

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada polip nasi, gen dengan penurunan ekspresi
yang mengkode protein yang bertanggung jawab pada:

Transportasi
Komunikasi sel
Pengikatan kalsium
Sintesis protein
Sintesis sitoskeleton
Metzler et al menerangkan bahwa inflamasi merupakan dasar pembentukan polip.

Akumulasi albumin di lapisan subepital (dalam bentuk kista). Dapat diasumsikan bahwa efek
tersebut diikuti oleh perubahan bioelektrik yang mengarah ke akumulasi lebih lanjut dari
cairan di matriks ekstraseluler.

Setelah analisis ekspresi dari sitokin 4, 13 dan 19 pada epitel polip nasi, RostkowskaNadolska menyimpulkanm bahwa perubahan patologi pada polip berhubungan dengan
stroma daripada epitel. Pada mukosa nasl dengan polip, oedem sel tidak teramati yang
mengarah ke kesimpulan bahwa implikasi patogenesis yang berhubungan dengan oedem
dapat diabaikan.
Polip nasi sebagai proliferasi neoplasma
Pada 2003, Fritz mengajukan teori noplasma pada pembentukan polip nasi. Dasar dari
teori neoplasma merupakan temuan dari mammoglobin (glikoprotein dengan berat molekul
10 kD) pada sel nepitel polip. Mammoglobin merupakan reseptor pengikat steorid yang
mengatur proses inflamasi. Keberadaan mammoglobin di epitel polip dapat dijelaskan senagi
pengaruh positif dari pemberian glukokortikoid lokal pada penundaan pertumbuhan
postoperatif dari polip nasi. Keberadaan mammoglobin di bebera aneoplasma (kanker
payudara) menjelaskan teori neoplasma dari pembentukan polip nasi. Mammoglobin diamati
di jaringan linfatik dari nodus limfe yang mana neoplasma bermetastasis.
Pada polip nasi, gen menentukan ekspresi dari glutation transferase yang juga
terdeteksi. Gen glutation transferase diasumsikan sebagai faktor risiko kanker buli-buli. Yang
juga didapatkan di neoplasma lain, seperti paru-paru, ovarium, dan prostat. Teori neoplasma
polip nasi didukung oleh Castro yang melaporkan bahwa agen kemoterapi, Mitomisin C,
diberikan setempat, memberikan hasil yang baik di terapi polip nasi.
Satu dari banyak faktor mempercepat perkembangan neoplasma sebagai radikal
bebas. Antioksidan barier terdiri dari enzim dan substrat, yang mana menghapus radikal
bebas. Olszewski et al menilai antioksidan barier pada serum dan biopsi jaringan pasien
dengan polip nasi. Mereka melaporkan penurunan signifikan pada besi, tembaga, seng di
serum pasien dengan polip nasi, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Berdasarkan
laporan lain dari pengarang yang sama, penurunan kadar magnesium dan seng teramati di
biopsi jaringan dari pasien dengan kondisi prekanker pada laring, dibandingkan dengan
jaringan sehat. Berdasarkan fakta bahwa gangguan antioksidan barier yang didapat, diantara
yang lain, gangguan hormon, harus dipertimbangkan apakah polip nasi, teramati paling
banyak diantara pria, memiliki daar hormonal.
Beberapa laporan di aktivitas lisosom eksoglikosida mendukung teori etiopatogenesis
neoplasma.

Bosmann

dan

Kim

melaporkan

aktivitas

rendah

dari

N-acetylbeta-

hexosaminidase (HEX) di kanker kolon, dibandingkan dengan jaringan sehat. Kim

menjelaskan tendensi aktivitas -galactosidase, -N-acetylgalactosaminidase, -mannosidase


and -N- acetylgalactosaminidase di kanker kolon menurun dibandingkan dengan jaringan
sehat. Chojnowska et al melaporkan penurunan signifikan dalam aktivitas beberapa lisosomal
eksoglikosidase pada konka hipertrofi. Borzym-Kluczyk et al melaporkan bahwa aktivitas
lisosoma eksoglikosidase pada jaringan kanker renal lebih rendah daripada di jaringan renal
yang sehat. Bagaimanapun juga, jaringan neoplasma dari:

Otak
Pankreas
Laring
Usus besar

Terjadi peningkatan signifikan dalam aktivitas lisoso,am eksoglikosidase.

KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, harus dijelaskan bahwa ulasan dari literatur yang tersedia tidak
semua mengkonfirmasi teori inflamasi dari pembentukan polip nasi. Teori neoplasma tampak
sebagai yang paling memungkinkan. Bagaimanapun juga, dukungan paling kuat adalah teori
bioelektrik yang membantu membuat strategi untuk penelitian lebih lanjut dalam
etiopatogenesis polip nasi yang lebih berfokus pada glikokonjugate, khususnya proteoglikan
dari jaringan ikat sebagai elemen struktur yang bertanggung jawab terhadap pengikatan air.
Yang paling mungkin adalah etiopatogenesis polip nasi tidak sama dan pembentukan polip
nasi dipengaruhi oleh beberapa mekanisme.

Anda mungkin juga menyukai