Anda di halaman 1dari 22

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi

berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik


dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi
dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam
cervik, pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim. Kehamilan ektopik
merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat implantasinya tidak
memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai aterm.2
Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang
menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.3
2.2

Epidemiologi
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya

penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas, kehamilan ektopik baru


memberikan gejala bila kehamilan tersebut terganggu.2 Sehingga insidens
kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara
kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan
prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan
berkembangnya alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang
terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya.4

Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik,


karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan
uterin, bukan kehamilan ektopik, terutama IUD dan mungkin juga progestagen
dosis rendah. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan
keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang
reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan
frekuensi kehamilan ektopik.5
Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari
pada wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan pelvis
lebih banyak ditemukan pada golongan wanita kulit hitam.11 Kehamilan ektopik
banyak terdapat bersama dengan keadaan gizi buruk dan keadaan kesehatan yang
rendah, maka insidennya lebih tinggi di Negara sedang berkembang dan pada
masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi rendah daripada di Negara maju dan
pada masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi tinggi. 6 Di Amerika Serikat,
kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, kejadian ini
dipengaruhi oleh faktor sosial, mungkin karena pada golongan pendapatan rendah
lebih sering terdapat gonorrhoe karena kemungkinan berobat kurang.7
2.3 Anatomi dan Imunologi
2.3.1 Anatomi Alat Reproduksi
a.
Tuba Fallopi
Tuba fallopi terdiri atas pars interstitialis, yaitu bagian yang terdapat di
dinding uterus. Pars ismika, merupakan bagian medial yang sempit seluruhnya.
Pars ampularis yaitu bagian yang berbentuk sebagai saluran agak lebar, tempat
konsepsi terjadi. Infundibulum, yaitu bagian ujung tuba yang terbuka kea rah

abdomen dan mempunyai fimbriae. Fimbriae penting untuk tuba menangkap telur
dan selanjutnya menyalurkan telur ke dalam tuba. Bentuk infundibulum sebagai
anemone (sejenis bintang laut).1

Gambar 2.3.1 Ovarium, tuba dan uterus.

b. Ovarium
Terdapat dua ovarium kanan dan kiri. Mesovarium menggantung ovarium
dibagian belakang ligamentum latum kiri dan kanan. Ovarium berukuran kurang
lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan
tebal kira-kira 1,5 cm. Pinggir atasnya atau hilusnya berhubungan dengan
mesovarium tempat ditemukannya pembuluh darah dan serabut saraf untuk
ovarium. Pinggir bawahnya bebas. 1
Ujung yang dekat dengan tuba terletak lebih tinggi daripada ujung yang
dekat dengan uterus dan tidak jarang diselubungi oleh beberapa fimbriae dari
infundibulum. Ujung ovarium yang lebih rendah berhubungan dengan uterus

melalui ligamentum ovarii proprium tempat ditemukannya jaringan yang menjadi


satu dengan jaringan otot di ligamentum rotundum. 1
c. Serviks uterus
Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, dab serviks uteri. Serviks uteri
terdiri atas pars vagina servisis uteri yang dinamakan porsio dan pars
supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks yang berada diatas vagina.
Saluran yang berasal dari serviks disebut kanalis servikalis, berbentuk seperti
saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar
serviks.

Gambar 2.3.2. Uterus.

Uterus difiksasi oleh ligamentum cardinale (Ligamentum transversum cervicalis)


yang mengelilingi uterus setinggi perbatasan corpus & cerviex, ligamentum teres
uteri dari sudut antara uterus dan tuba via canalis inguinalis ke labium mayus ,
plica rectouterina dan vesicouterina, dan ligamentum latum. 1
2.3.2 Imunologi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang


disebabkan

oleh

infeksi

retrovirus

yang

disebut

sebagai

Humman

Immunodeficiency Virus (HIV). Partikel virus HIV berdiameter 0,1 mikro meter
diselubungi oleh dwilapis fosfolipid seperti halnya membran sel pada umumnya.
Struktur ini memberikan kemudahan terjadinya fusi antara kedua membran.
Selubung virus tersebut juga dilengkapi dengan tonjolan-tonjolan protein pada
seluruh permukaannya seperti jeruji. Terdapat struktur berbentuk bulat telur
seperti tombol pintu dengan sebuah cekungan disetiap ujung luar dari struktur
virus tersebut. Terdapat protein berbentuk batang menembus sampai ke bagian
dalam. Seluruh bangunan protein tersebut disebut gp160 karena berat molekulnya
sebesar 160, dan bagian berbentuk bulat telur disebut gp120 yang melanjutkan
struktur seperti batang dalam selubung menjadi gp41. Disebelah dalam selubung
luar virus dilengkapi dengan selubung protein (kapsid). Dibagian tengah virus
terdapat inti yang terdiri atas substansi genetik berbentuk 2 untaian RNA dengan
enzim reverse transcriptase.8

10

Gambar 2.3.3 Struktur HIV.

2.4
a.

Faktor Risiko
Usia
Umur merupakan faktor resiko yang penting terhadap terjadinya kehamilan

ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik berumur 20-40


tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.13 Menurut Linardakis (1998) 40% dari
kehamilan ektopik terjadi antara umur 20-29 tahun.9
b.
Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan paritas.
Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara. Ada laporan yang menyebutkan
kejadiannya satu dalam 2600 kehamilan. Penelitian di RSUD Arifin Achmad di
Pekan Baru selama periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005 melaporkan bahwa
kehamilan ektopik terganggu terbanyak terjadi pada penderita paritas 1 (35,34
%).10
c.
Ras/suku
Menurut Philip Kotler, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang, salah satunya adalah faktor sosial dan kebudayaan. Suku termasuk
bagian dari budaya yang tentunya akan mempengaruhi perilaku dalam
menggunakan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan.11 Kehamilan
ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari pada wanita kulit
putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan pelvis lebih banyak
ditemukan pada golongan wanita kulit hitam.6
d.
Agama
Agama merupakan salah satu faktor sosio demografi yang mempengaruhi
penggunaann

pelayanan

kesehatan

termasuk pelayanan

kebidanan

yang

merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk

11

menjamin agar setiap wanita hamil dan menyusui dapat memelihara kesehatannya
sesempurna mungkin, dapat melahirkan bayi yang sehat tanpa gangguan apapun
dan dapat merawatnya dengan baik.11
e.
Tingkat pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting
dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga. Semakin tinggi
pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat pengetahuan dan
kesadarannya

dalam

mengantisipasi

kesulitan

dalam

kehamilan

dan

persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan pengawasan


kehamilan secara berkala dan teratur.12
f.
Pekerjaan
Derajat sosio ekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat kesejahteraan
dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan kesehatan.
Jenis pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan sosio
ekonomi keluarga.11 Kehamilan ektopik lebih sering terjadi pada keadaan sosio
ekonomi yang rendah.
g.
Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik
adalah infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan keadaan
infertil.
h.
Riwayat kehamilan jelek
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik
adalah kehamilan ektopik, induksi abortus berulang dan mola. Sekali pasien
pernah mengalami kehamilan ektopik ia mempunyai kemungkinan 10 sampai
25% untuk terjadi lagi. Hanya 60% dari wanita yang pernah mengalami

12

kehamilan ektopik menjadi hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi
lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara
0-14.6%.26 Sebagai konsekuensinya, beberapa pasien melaporkan kehamilan
ektopik sebelumnya dan mengenal gejala-gejala sekarang yang serupa.13
i.

Riwayat infeksi pelvis


Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik

mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. 13 Calon ibu menderita infeksi


akibat penyakit GO (gonorrhea) ataupun radang panggul. Hal inilah yang
menyebabkan ibu yang menderita keputihan harus melakukan pemeriksaan untuk
memastikan gejala yang di deritanya adalah tanda infeksi atau hanya keputihan
yang bersifat fisiologis.4
j.
Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan kehamilan
ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) , rasio
kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan intrauterin adalah lebih besar
daripada wanita-wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi.13 Kejadian
kehamilan ektopik pada akseptor AKDR dilaporkan 12 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan pemakai kondom. Diperkirakan terjadi 2 kehamilan ektopik
per 1000 akseptor AKDR setiap tahun. Akseptor pil yang berisi hanya progestagen
dilaporkan mempunyai insiden yang tinggi terhadap kehamilan ektopik apabila
terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan insidennya yang biasa. Pada pemakaipil mini 4-6% dari kehamilannya
dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkan tidak terjadi perubahan insiden
pada akseptor pil kombinasi.

13

k.

Riwayat operasi tuba


Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi yang

gagal maupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum sebagai
faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik.14
l.
Merokok
Merokok pada waktu terjadi konsepsi meningkatkan meningkatkan insiden
kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan
afinitas reseptor andrenergik dalam tuba.
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi KET
Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering adalah karena sel telur
yang sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga
embrio sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya akan
tumbuh diluar rongga rahim. Adanya infeksi menyebabkan penyempitan lumen
yang menyebabkan perjalanan menuju endometrium terhalangi. Apabila kemudian
tempat nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan dengan besarnya buah kehamilan
akan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik terganggu. Karena tuba juga
bukan tempat yang baik untuk pertumbuhan embrio, maka pertumbuhan dapat
mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut :14

a.

Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.


Pada implantasi yang kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena

vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadinya resorbsi total. Dalam keadaan
ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat beberapa hari. 14

14

b.

Abortus ke dalam lumen tuba


Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh

vili korealis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah
dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan
ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan
yang timbul. Apabila pelepasan menyeluruh , mudigah dengan selapunta
dikeluarkan ke dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kea rah
ostium tuba pars abdominis. 14
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
peradarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah sehingga
berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menerus
menyebabkan tuba membesar dan kebiruan (hematosalping) dan selanjutnya darah
mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di
akvum douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina. 14
c.
Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi apabila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, rupture pada pars interstitialis terjadi
pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan rupture ialah
penembusan vili korialis kedalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi spontan atau karena trauma ringan seperti koitus atau
pemeriksaan vagina. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan ke rongga perut,
kadang-kadang sedikit, kadang-kadang juga banyak, sampai menimbulkan syok
dan kematian. Jika pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan
dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba
abdominal. 14
Beberapa jenis kehamilan ektopik lain :

15

a.

Kehamilan abdominal
Kehamilan abdominal dapat terjadi akibat implantasi langsung hasil

konsepsi di dalam kavum abdomen yang disebut sebagai kehamilan abdominal


primer, atau awalnya dari kehamilan tuba yang ruptur dan hasil konsepsi yang
terlepas selanjutnya melakukan implantasi di kavum

abdomen yang disebut

sebagai kehamilan abdominal sekunder. 14


Keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri abdomen, nausea, muntah,
malaise, dan nyeri saat janin bergerak. Gambarn klinik yang paling sering
ditemukan adalah nyeri tekan abdomen, presentasi janin abnormal, dan lokasi
serviks uteri yang berubah. 14
b.
Kehamilan ovarial
Gejala klinik hamper sama dengan kehamilan tuba. Kenyataannya,
kehamilan ovarial seringkali dikacaukan dengan perdarahan korpus luteum saat
pembedahan, diagnosis seringkali dibuat setelah pemeriksaaan histopatologi. 14
c.

Kehamilan servikal
Riwayat dilatasi dan kuret merupakan faktor predisposisi kehamilan serviks.

Gejala yang umum ditemukan adalah perdarahan pervaginam tanpa disertai nyeri.
Pada umumnya serviks membesar, hiperemis atau sianosis. 14
2.5.2 Patofisiologi HIV
a.
Daur hidup HIV
Virus HIV, seperti halnya virus lain hanya dapat bertahan hidup dan
memperbanyak diri dalam sebuah sel. Dengan demikian daur hidup virus
berlangsung dalam sel. Daur hidup virus HIV dapat dibedakan dalam 4 tahap,
yaitu tahap masuknya virus dalam sel, tahap transkripsi mundur dan interaksi
genom, tahap reprikasi, dan tahap perakitan dan pendewasaan virus.8
1.

Tahap masuknya virus dalam sel

16

Proses masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur


permukaan virus dan inang. Sebelum terjadi ikatan spesifik antara partikel virus
dan permukaan sel inang, berlangsung penempelan karena adanya muatan listrik
yang berlawanan. Permukaan gp120 bermuatan positif menempel dengan
proteoglikan dari lektin permukaan yang bermuatan negatif. Setelah terjadi
penempelan dengan mekanisme tersebut, kemudian terjadi ikatan spesifik pertama
anatar gp120 dengan molekul CD4 yang dimiliki sel inang. Dengan demikian
molekul CD4 bertindak sebagai reseptor bagi virus HIV, maka sel-sel yang
memiliki molekul CD4 pada permukaannya (sel CD4+, makrofag, dan sel
dendritik) dapat merupakan sel inang bagi HIV. Molekul CD4 akan terikat dengan
permukaan molekul gp120 dengan afinitas yang sangat tinggi. Ikatan ini akan
memicu berbagai perubahan struktur molekul gp120, diantaranya membentuk
tempat ikatan untuk molekul ko-reseptor khemokin. Koreseptor tersebut dalam
kondisi normal berfungsi mengikat khemokin yang merupakan faktor atraksi
berkumpulnya sel-sel radang.8
Dalam kasus infeksi HIV ini, koreseptor dibutuhkan untuk menginduksi
perubahan pada gp41 yang berada dalam membran dwilapis virus. Perubahan
truktur tersebut akan memaparkan bagian peptida fusi dari molekul gp41 yang
sebelumnya terkubur dalam struktur gp120. Dengan terpaparnya bagian peptida
fusi tersebut, akan disusul penyisipan peptida tersebut dalam membran sel
inang.Fusi tersebut meenyebabkan partikel virus tidak berselubung lagi sehingga
inti virus bersama kompleks reverse transcriptas (RT) kini berada dalam
sitoplasma sel inang.8
2.
Tahap transkripsi mundur dan integrasi genom

17

Retrovirus, sebagaimana virus DNA tidak memiliki kelengkapan untuk


replikasi dan biosintesis, maka virus harus hidup dalam sel sebagai parasit karena
memerlukan

kelengkapan

(organel

ribosom)

yang

dibutuhkan

untuk

kehidupannya. Untuk memanfaatkan kelengkapan tersebut, genom virus haru


dibagungkan dengan genom sel inang dengan cara diintergrasikan dengan cara
penyisipan dalam molekul DNA yang dimiliki inti sel inang. Tetapi karena genom
retrovirus dalam bentuk RNA, makan sebelum diintegrasikan dalam genom sel
inang, molekul RNA harus ditranskripsikn mundur menjadi molekul DNA. Itulah
sebabnya retrovirus dilengkapi dengan enzim yang dinamakan reverse
transcriptase yang diperlukan untuk transkripsi mundur.8
Dua untai RNA virus ditranskripsi mundur menjadi 2 untai cDNA kemudian
pasangan DNA virus pindah dari sitoplasma sel ke dalam intinya dan disisipkan
ke dalam DNA inang dengan bantuan enzim integrase. Genom virus yang telah
menyatu dengan genom inang dapat berada pada fase laten atau aktif. cDNA yang
aktif disebut sebagai provirus. Provirus yang aktif tersebut dapat digunakan
sebagai pola cetak transkripsi menjadi untaian RNA kembali dalam proses
replikasi untuk biosintesis pembentukan partikel virus yang baru. Pada periode
laten, replikasi virus tetap berlangsung walaupun dengan kecepatan lambat hingga
adanya beberapa peristiwa yang dapat memicu untuk replikasi kecepatan penuh
sehingga menimbulkan kematian sel dan infeksi sel inang berikutnya. Sampai saat
ini belum diketahui secara pasti bentuk picuan apa yang dapat merangsang
replikasi virus dengan kecepatan penuh.8
3.
Tahap replikasi
Proses sintesis protein dengan kode gena virus sama dengan proses sintesis
protein yang berlangsung dalam sel. Sintesis dimulai dengan transkripsi, splicing

18

mRNA dalam inti, yang dilanjutkan translasi pada ribosom dari rER (rough
endoplasmic reticulum) menjadi peptida, diselesaikan dalam kompleks Golgi
menuju membran sel inang.8
4.
Tahap perakitan dan pendewasaan virus
Perakitan dapat diawali ketika masih berada dalam vesikel sekresi yang
dilepaskan oleh kompleks Golgi. Perakitan komponen virus bergantung pada
protein sel inang yang disebut HBG8 yang akan mengikat protein P55 dan
mendorong pembentukan inti virus yang belum dewasa. Protein struktural lain
dari virus berkumpul di membran sel bersama 2 untaian genom RNA, reverse
transcriptase, protease, dan integrase yang segera diintegrasikan menjadi virus
yang belum dewasa. Bersamaan dengan pertunasan partikel virus baru dari
membran sel, terjadi proses proteolisis kapsid untuk pengembangan menjadi virus
dewasa.8

Gambar 2.6.1 Proses replikasi virus HIV

b.

Imunopatogenesis Penyakit AIDS

19

Berdasarkan mekanisme perkembangannya, infeksi virus HIV secara klinis


dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase dini atau fase akut, fase kronik, dan fase
krisis.8
1.
Fase dini atau fase akut
Awal infeksi terjadi karena adanya paparan cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi HIV. Virus HIV ditemukan sebagai partikel virus bebas yang terdapat
dalam sel yang terinfeksi, dalam semen, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI).
Jalan penularan yang paling diketahui di dunia adalah melalui persetubuhan.
Penggunaan jarum suntik bekas yang tercemar oleh HIV pada orang-orang yang
,enggunakan obat-obatan melalui intravena, dan penggunaan darah untuk tujuan
pengobatan, juga merupakan cara infeksi yang biasa terjadi. Tetapi dengan adanya
penapisan ketat bagi darah yang akan digunakan untuk transfusi maka penularan
melalui produk darah dapat dicegah. Rute lain yang penting dalam penularan HIV
adalah penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya ketika melahirkan
atau menyusui anaknya.8
Dua sampai delapan minggu setelah mendapatkan infeksi HIV terjadi
viremia akut. Gejala yang timbul seperti penderita influenza, mencakup demam
tinggi, sakit tenggorokan, sakit kepala dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Sindom ini akan mereda dengan sendirinya dalam kurun waktu 1-4 minggu.
Selama fase akut ini, terjadi letupan replikasi virus , khususnya berlangsung
dalam sel0sel TCD4+ dalam usus, yang dibarengi dengan penurunan jumlah
TCD4+ dalam peredaran darah. Pada keadaan ini akan terbangkit respons spesifik
oleh sel-sel TCD8+ terhadap HIV. Respons tersebut dimanifestasikan dalam
pembunuhan sel-sel yang terinfeksi virus, kemudian diikuti oleh produksi antibodi

20

spesifik anti-HIV. Akibatnya kadar virus dalam darah segera menurun dan terjadi
peningkatan jumlah sel TCD4+ tetapi tidak pernah mencapai jumlah normal.8
2.
Fase kronik dan fase krisis
Setelah terjadinya infeksi primer, kemudian masuk dalam fase latensi klinik
(tanpa gejala atau gejala ringan) yang tetap disertai berlanjutnya replikasi virus
HIV sementara secara gradual jumlah sel TCD4 +menurun dalam fungsi dan
jumlahnya.8
Seseorang yang terinfeksi virus HIV, dalam waktu bertahun-tahun akan
berkembang menjadi penyakit AIDS. Periode tanpa gejala secara khas
berlangsung dalam kurun waktu antara 2 hingga 15 tahun. Jumlah sel TCD4 + yang
berfungsi, akhirya menurun sampai dibawah garis ambang (sekitar 400sel/mikro
liter sehingga infeksi oportunistik akan mulai muncul. Jika jumlah sel
TCD4+merosot tajam sampai dibawah 200 sel/mikro liter, individu tersebut
dimasukan dalam penyandang AIDS.8
Mikroba oportunistik yang khas pada penderita AIDS yaitu, candida sp.,
dan Mycobacterium tuberculosis. Di kemudian hari sering menderita penyakit
akibat aktivasi virus varicella zoster yang laten berasal dari kasus cacar air
sebelumnya. Penyakit lain yang umum ditemukan pada penderita AIDS yaitu,
limfoma sel B, sarcoma Kaposi, kanker sel endotel, hepatitis C, dan pneumonia
akibat infeksi Pneumositis carinii.8
Jenis patogen yang mencolok pada tahap akhir dari penyakit AIDS adalah
infeksi Mycobacterium ovium dan cytomegalovirus. Infeksi sistem pernapasan
merupakan penyebab kematian utama pada penderita AIDS. Walaupun infeksi dan
kanker yang disebutkan diatas merupakan hal yang khas, namun tidak semua
pasien AIDS akan mengalami perkembangan penyakit tersebut.8
2.6 Diagnosa

21

2.6.1 Diagnosa KET


Kehamilan ektopik yang belum teganggu memiliki gejala gejala
kehamilan muda atau abortus imminens seperti terlambat haid, mual dan muntah,
pembesaran payudara, hiperpigmentasi areola dan linea nigra, peningkatan rasa
ingin berkemih, porsio livide, pelunakan serviks, dan perdarahan bercak berulang.
Pada tahap ini juga terdapat tanda tanda tidak umum dari hasil pemeriksaan
bimanual yaitu, adanya massa lunak di adneksa ( hati hati saat melakukan
pemeriksaan karena dapat terjadi ruptur atau salah duga dengan ovarium atau kista
kecil ) dan didapatkan nyeri goyang porsio.1
Kehamilan ektopik terganggu memiliki gejala kehamilan muda dan abortus
imminens dan juga terdapat kondisi gawat darurat dan abdominal akut seperti,
pucat atau anemis, kesadaran menurun dan lemah, syok ( hipovolemik ) sehingga
isi dan tekanan denyut nadi berkurang serta meningkatnya frekuensi nadi, perut
kembung ( adanya cairan bebas intraabdomen) dan nyeri tekan, nyeri perut bawah
yang makin hebat apabila tubuh digerakkan, nyeri goyang porsio.1
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
jumlah sel darah merah berguna dalam penegakan KET terutama bila ada tanda
tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit
dilakukan serial dalam jarak satu jam selama 3 kali berturut turut, pada KET
didapatkan penurunan. Pemeriksaan leukosit yang meningkat juga menunjukkan
ada perdarahan.1
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah ultrasonografi. Keunggulan
cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif, artinya tidak perlu

22

memasukkan rongga dalam rongga perut. Dapat dinilai kavum uteri, kosong atau
berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan kiri uterus dan apakah
kavum Douglas berisi cairan.1

Gambar 2.6. Ultrasonografi pada KET

Pemeriksaan kuldosentesis sangat membantu dalam menegakkan diagnosis


kehamilan ektopik yang terganggu ( KET ). Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui adanya darah dalam kavum Douglasi. Teknik kuldosentesis dapat
dilakukan dengan urutan berikut :1
1.
2.
3.

Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.


Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.
Spekulum dipasang dan bibir belakang posio dijepit dengan cunam serviks

4.

dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.


Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum Douglasi dan dengan

5.

semprit 10 ml dilakukan pengisapan.


Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain
kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan :

23

Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku;
darah berasal dari arteri atau vena yang tertusuk;
Darah tua berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang
berupa bekuan kecil kecil; darah ini menunjukan adanya hematokel
retrouterina.1
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
KET apabila hasil penilaian prosedur diagnostik lain meragukan. Secara
sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglasi, dan
ligamentum latum.1

2.6.2

Diagnosa HIV

24

Gambar 2.6 Alur diagnosa HIV.

2.7

Terapi

2.7.1 Terapi KET


Penanganan KET pada umumnya laparotomi. Tindakan ini perlu
dipertimbangkan kondisi penderita, keinginan penderita akan fungsi reproduksi,
lokasi KET, kondisi anatomi organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter
operator, dan

kemampuan

teknologi

fertilisasi

invitro

setempat.

Hasil

pertimbangan ini menentukan terapi dilakukan salpingektomi pada kehamilan


tuba atau dapat dilakukan pembedahan konservatif yaitu salpingostomi atau

25

reanastomosis tuba. Apabila keadaan buruk lebih baik salpingektomi untuk terapi
yang akan dilakukan saat pembedahan.1
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
dicoba penanganan dengan kemoterapi untuk menghindari pembedahan. Kriteria
kasus yang diobati dengan cara ini yaitu, kehamilan di pars ampularis tiba belum
pecah, diameter kantong gestasi 4 cm, perdarahan dalam rongga abdomen 100
ml, dan tanda vital dan stabil. Obat yang digunakan ialah metotreksat 1 mg/kg I.V
dan faktor sitrovorum 0,1 mg/kg I.M berseling seling setiap hari selama 8 hari.1
2.7.2 Terapi HIV
Begitu banyak celah kekosongana dalam pengertian kita mengenai infeksi
HIV dan AIDS diverminkan oleh belum tersediannya kemoterapi dan imunoterapi
yang efektif untuk mengobati AIDS dan belum adanya vaksin yang efektif untuk
mencegah AIDS. Namun demikian usaha pengobatan dan pencegahannya telah
dimulai walaupun belum begitu menonjol hasilnya.8
Obat pertama yang diberikan terhadap AIDS adalah azidothymidine (AZT)
yang mula mula dikembangkan untuk obat anti kanker. AZT yang bekerja
menghambat reverse transcriptase sangat toksik khususnya untuk sumsum tulang.
Untuk mengurangi toksisitasnya, telah dicoba diberikan bersama sama dengan
obat lain. Obat lain yang kurang toksik, dideoxyinosine (DDI). Kini terdapat
empat kelas obat obatan yang memiliki sasaran pada 3 tahap dalam daur hidup
retrovirus yaitu, kelas inhibitor transkripsi mundur, kelas inhibitor protease virus,
dan kelas inhibitor fusi pertama.8

26

Beberapa vaksin anti-HIV sedang dikembangkan. Usaha-usaha tersebut


mulai dari pembuatan peptida selubung virus, penyediaan subunit virus
rekombinan sampai pembuatan vaksin anti-idiotipe. Pada saat ini belum dapat
diperoleh vaksin yang cukup efektif untuk terapi AIDS dan belum ada yang
dicoba kepada manusia dengan hasil efektif terhadap infeksi HIV.8
2.8

Komplikasi
Keadaan keadaan yang mungkin terjadi pada KET yang sering disebabkan

yaitu anemia. Keadaan ini terjadi karena perdarahan berada di dalam abdomen
sehingga tidak diketahui jumlah darah yang sudah keluar. Perdarahan yang terjadi
tidak sebanding dengan keadaan umum penderita yang bisa menyebabkan syok
hipovolemik.1
Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada pengobatan konservatif, yaitu
bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi
perdarahan ulang, ini merupakan indikasi operasi, infeksi, sterilitas, pecahnya tuba
falopi, komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio.1
2.9

Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu tergantung dari diagnosis

dini, semakin cepat didiagnosis semakin turun angka kematian. Pada umumnya
kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Angka
kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0 14,6 %. Perempuan yang sudah cukup
anak sebaiknya dilakukan salpingektomi bilateralis.1

Anda mungkin juga menyukai