Anda di halaman 1dari 6

Selamat Tinggal Pluto!

Dahono F.

Mulai Kamis (24/8) jangan pernah terpeleset mengucapkan


Planet Pluto. Karena sejak hari itu, Pluto sudah tidak lagi
berhak menyandang predikat sebagai planet.
Sidang Umum Himpunan Astronomi Internasional (International Astronomical Union/IAU) Ke-26 di
Praha, Republik Ceko, yang berakhir 25 Agustus, menghasilkan keputusan bersejarah dalam
dunia astronomi dengan mengeluarkan Pluto dari daftar planet-planet di Tata Surya kita. Mulai
sekarang, anggota Tata Surya hanya terdiri dari delapan planet, yakni Merkurius, Venus, Bumi,
Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
Keputusan mengeluarkan Pluto yang sudah menjadi anggota Keluarga Planet Tata Surya selama
76 tahun merupakan konsekuensi ditetapkannya definisi baru tentang planet. Resolusi 5A Sidang
Umum IAU Ke-26 berisi definisi baru itu.
Dalam resolusi tersebut dinyatakan, sebuah benda langit bisa disebut planet apabila memenuhi
tiga syarat, yakni mengorbit Matahari, berukuran cukup besar sehingga mampu mempertahankan
bentuk bulat, dan memiliki jalur orbit yang jelas dan "bersih" (tidak ada benda langit lain di orbit
tersebut).
Definisi tersebut adalah definisi universal pertama tentang planet sejak istilah planet dikenal di
kalangan astronom, bahkan sebelum era Nicolaus Copernicus yang tahun 1543 membuktikan
Bumi adalah salah satu planet yang berputar mengelilingi Matahari.
Dengan definisi baru tersebut, Pluto tidak berhak menyandang nama planet karena tidak
memenuhi syarat yang ketiga. Orbit Pluto memotong orbit planet Neptunus sehingga dalam
perjalanannya mengelilingi Matahari, Pluto kadang berada lebih dekat dengan Matahari
dibandingkan Neptunus.
Planet kerdil
Pluto kemudian masuk dalam keluarga baru yang disebut planet kerdil atau planet katai
(dwarf planets). Keluarga ini beranggotakan Pluto dan benda-benda langit lain di Tata
Surya yang mirip dengan Pluto, termasuk di dalamnya asteroid terbesar Ceres, satelit
Pluto, Charon, dan beberapa benda langit lain yang baru saja ditemukan.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, Dr Taufiq Hidayat,
keputusan Sidang Umum IAU tersebut adalah puncak perdebatan ilmiah dalam astronomi
yang sudah berlangsung sejak awal 1990-an lalu. Perdebatan tersebut dipicu berbagai
penemuan baru yang menimbulkan keraguan apakah Pluto masih layak disebut planet
atau tidak.

"Karakteristik Pluto memang berbeda dengan planet-planet lainnya. Bahkan komposisi


kimianya lebih menyerupai komet daripada planet," ungkap astronom yang mendalami
bidang ilmu-ilmu planet ini.
Selain itu, perkembangan teknologi teleskop juga membawa pada penemuan berbagai
benda langit yang masuk dalam kelompok Obyek Sabuk Kuiper (Kuiper Belt Object/KBO).
Sabuk Kuiper sendiri adalah sebutan untuk wilayah di luar orbit planet Neptunus hingga
jarak 50 Satuan Astronomi (SA/1 Satuan Astronomi = jarak rata-rata Matahari-Bumi, yakni
sekitar 149,6 juta kilometer) dari Matahari.
Beberapa KBO sangat menarik perhatian karena berukuran hampir sama atau bahkan
lebih besar daripada Pluto (diameter 2.300 km) dan ada yang memiliki satelit atau "bulan".
Beberapa obyek tersebut, antara lain, Quaoar (diameter 1.000 km-1.300 km), Sedna (1.180
km- 1.800 km), dan yang paling terkenal adalah obyek bernama 2003 UB313 yang
ditemukan Michael Brown dari California Institute of Technology (Caltech) pada 2003 lalu.
Obyek yang dijuluki Xena tersebut memiliki diameter 2.400 km, yang berarti lebih besar
daripada Pluto. Xena sempat dihebohkan sebagai planet ke-10 Tata Surya.
Sejak saat itu, lanjut Taufiq, terjadi perbedaan pendapat di kalangan astronom. "Pilihannya
adalah memasukkan Ceres, Charon, dan 2003 UB313 ke dalam keluarga planet sehingga
jumlah planet menjadi 12, atau mengeluarkan Pluto. Akhirnya pilihan kedua yang
disepakati," tutur mantan Ketua Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung ini.
Kesepakatan itu sendiri bukannya datang dengan mudah. Taufiq mengatakan,
pengambilan keputusan itu bahkan dicapai dengan cara pemungutan suara di antara para
anggota IAU yang hadir setelah didahului perdebatan yang sangat sengit. Empat astronom
senior dari Indonesia turut serta dalam Sidang Umum IAU tersebut, yakni Jorga Ibrahim,
Iratius Radiman, Suryadi Siregar, dan Ny Permana Permadi. Mereka belum bisa
diwawancarai karena belum kembali di Tanah Air sampai tulisan ini dibuat.
Kontroversi
Keputusan melepas status planet dari Pluto tentu saja sangat mengejutkan semua pihak.
"Kata 'planet' dan gagasan tentang planet bisa menjadi sangat emosional karena itu
adalah hal yang kita pelajari sejak kita masih kanak-kanak," ungkap Richard Binzel,
profesor ilmu-ilmu planet dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang
menentang "pemecatan" Pluto, seperti dikutip Associated Press.
Orang paling terpukul dengan keputusan ini adalah Patricia Tombaugh (93), janda Clyde
Tombaugh, ilmuwan yang menemukan Pluto pada 18 Februari 1930. "Ini sangat
mengecewakan dan sangat membingungkan. Saya tidak tahu bagaimana harus
menghadapi ini, rasanya seperti kehilangan pekerjaan," tuturnya kepada AP dari rumahnya
di Las Cruces, New Mexico.

Beberapa pihak memprediksi debat mengenai status Pluto tidak akan berakhir di sini. Alan
Stern, ketua misi pesawat ruang angkasa NASA, New Horizon, yang diluncurkan ke Pluto,
Januari lalu, mengaku merasa "malu" terhadap keputusan itu. Meski demikian, misi senilai
700 juta dollar AS dan baru akan tiba di Pluto pada 2015 itu tetap akan dilanjutkan. "Ini
benar-benar sebuah definisi yang ceroboh. It's bad science. Ini belum selesai," ujar Stern.
Wajar
Wajar saja pencopotan gelar planet dari Pluto memicu reaksi yang emosional. Pluto
selama ini memiliki tempat tersendiri di hati para astronom, baik yang profesional maupun
amatir. Pluto sering dianggap "Si Bungsu dari Tata Surya" karena jaraknya yang terjauh
dari Matahari dan ditemukan paling akhir dibandingkan delapan planet lainnya.
Orbit Pluto yang sangat lonjong dan tidak sejajar dengan bidang lintasan planet lainnya
juga membuat planet ini unik. Pluto juga sempat dianggap sebagai jawaban dari misteri
Planet X, sebuah planet hipotetis yang diduga ada di luar orbit Neptunus dan
menyebabkan gangguan pada orbit planet Uranus dan Neptunus. Meski ukuran Pluto
kemudian terbukti terlalu kecil untuk menjadi Planet X, dugaan tersebut menjadi bagian
dari legenda Pluto.
Selain itu, keputusan pencabutan Pluto dari keluarga planet Tata Surya ini juga membawa
konsekuensi perubahan seluruh buku pelajaran, kamus astronomi, buku pintar, dan
ensiklopedia di dunia yang sudah terlanjur mencantumkan Pluto sebagai planet ke-9.
Bayangkan kerepotan yang akan terjadi.
Namun, Taufiq Hidayat mengatakan, inilah konsekuensi dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Perubahan definisi planet dan keluarnya Pluto dari keluarga planet hanyalah
sebuah pengingat bagi kita semua bahwa ilmu pengetahuan yang kita pahami dan kita
yakini kebenarannya sekarang ini bukanlah sebuah kesimpulan final. Masih banyak
kebenaran yang belum kita temukan.
Seperti yang selalu dikutip dalam serial film televisi X-Files, the truth is out there....
Sumber : Kompas (27 Agutsus 2006)

Astronom Dunia Coret Status Pluto


Sebagai Planet
Praha (ANTARA News) - Ahli astronomi dari seluruh dunia dalam pertemuan di Praha,
Kamis, mencoret status Pluto sebagai sebuah planet, dan memberi definisi baru yakni
"planet kecil" dalam sistem tata surya.

Dengan demikian, dalam sistem tata surya hanya ada delapan planet klasik, yakni
Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus, Reuters
melaporkan.
Pluto yang ditemukan tahun 1930 secara tradisional dianggap sebagai planet ke-sembilan
dan yang terjauh dari Matahari.
Namun definisi sebuah planet yang disetujui setelah perdebatan seru dalam pertemuan
Persatuan Astrotomi Internasiogal (IAU) menegaskan perbedaan antara Pluto dan delapan
planet lainnya, kecuali satelit.
Pendefinisian kembali suatu planet diperlukan, menyusul kemajuan teknologi yang
memungkinkan astronom dapat lebih dekat mengamati luar angkasa dan dapat akurat
mengukur volume benda langit di sistem tata surya. (*)
Para astronom setuju bahwa untuk disebut planet, sebuah benda langit harus punya orbit
mengitari sebuah bintang dan planet itu sendiri bukan sebuah bintang.
Planet juga harus memiliki gaya grafitasi yang cukup beasr berukuran cukup besar.
Pluto tidak memenuhi sarat sebagai planet karena orbitnya tumpang tindih dengan
Neptunus.
Definisi baru --- yang pertama diperkenalkan IAU untuk menggambarkan secara ilmiah
menganai apa itu planet -- memberikan kategori kedua yang disebut "dwarf planet" atau
planet kecil, serta kategori ketiga untuk semua objek benda lainnya lainnnya. (*)
COPYRIGHT 2006 ANTARA
25 Agustus 2006 8:15

Kirim Teman | Print Artikel

Pluto, Ditemukan 75 Tahun Lalu


dan Tetap Misterius
Flagstaff, Senin
Sudah lewat 75 tahun sejak Pluto ditemukan, namun
objek itu masih merupakan sebuah misteri. Dan teka-teki
tersebut mungkin baru akan terungkap sepuluh tahun
mendatang, ketika sebuah wahana ruang angkasa
direncanakan mendekatinya.

Pluto dilihat menggunakan teleskop


ruang angkasa Hubble milik NASA.
Apakah ia sebuah planet?

Perlu diketahui, Pluto segera diangkat sebagai planet ke sembilan di tata surya sejak pertama kali terlihat 18
Februari 1930 oleh Clyde Tombaugh, seorang astronom muda di Observatorium Lowell. Namun apakah
Pluto layak disebut sebagai sebuah planet, hingga kini masih menjadi perdebatan.
"Objek ini adalah planet yang berperilaku aneh bila Anda menganggapnya sebuah planet," ujar Neil
deGrasse Tyson, direktur Planetarium Hayden di American Museum of Natural History, New York. Tyson
sendiri lebih suka menganggap Pluto sebagai salah satu dari ribuan objek yang mengelilingi Matahari di
tepian tata surya.
Pluto ditemukan dalam suatu pencarian planet ke sembilan. Ketika itu Tombaugh yang berusia 26 tahun
ditugaskan untuk ikut mencari. Bila tidak cermat, tentulah ia tidak bakal menemukan Pluto saat berulangulang meneliti foto-foto langit malam di Arizona. Nah, begitu Tombaugh muda melihat objek tak dikenal, ia
langsung yakin itu adalah planet ke sembilan yang kelak disebut Pluto.
Untung baginya, keyakinan itu diterima dunia yang memang sedang berlomba menemukan planet lain di
tata surya. Maka jadilah Pluto sebagai planet yang dinanti itu.
Hingga kini semua anak-anak sekolah terbiasa dengan susunan tata surya yang memasukkan Pluto
sebagai salah satu planet. Namun sebenarnya setelah Tombaugh wafat tahun 1997, beberapa astronom
menyarankan agar International Astronomical Union - badan yang mengurusi penamaan dan penggolongan
benda langit - menurunkan pangkat Pluto bukan lagi sebagai planet.
Planet atau bukan?
Pada saat ditemukan, Pluto adalah satu-satunya objek di luar
Neptunus yang diketahui. Lalu ketika bulan yang mengelilinginya,
Charon, terlihat, maka hal itu justru makin menguatkan status
Pluto sebagai planet.
Akan tetapi, para astronom kemudian menemukan sekitar 1.000
objek kecil lain di luar Neptunus yang juga mengelilingi Matahari.
Di sana mungkin ada sekitar 100.000 objek serupa yang dikenal
sebagai objek Sabuk Kuiper, kata Bob Millis, direktur
Observatorium Lowell.
Pluto sendiri, dengan orbit memanjangnya yang aneh, memiliki
perilaku lebih mirip objek Sabuk Kuiper dibanding sebuah planet,
demikian anggapan beberapa astronom. Mereka juga
menegaskan bahwa Pluto berukuran amat kecil, bahkan lebih
kecil dari Bulan kita, sehingga terlalu kecil untuk disebut planet.
Clyde Tombaugh berpose bersama teleskop
yang dipakai menemukan Pluto

"Bila Anda mempelajari lebih jauh, Anda akan melihat Pluto lebih
cocok dimasukkan dalam golongan objek Sabuk Kuiper," kata Hal
Weaver, ilmuwan proyek pada misi New Horizons, yang akan meluncurkan sebuah wahana menuju Pluto
tahun depan, dan diperkirakan akan mencapainya tahun 2015.
Namun mengubah pengertian bahwa Pluto bukan sebuah planet adalah sesuatu yang tidak mudah. Nama
yang juga digunakan dalam salah satu karakter anjing Disney (kebetulan muncul tahun 1930) ini beserta
posisi dan predikatnya sebagai planet terkecil sudah terlanjur populer di kalangan anak sekolah.
Selain itu beberapa astronom juga sudah menerima Pluto sebagai sebuah planet. Alasannya, Pluto memiliki
bentuk bundar seperti planet, sedangkan komet dan asteroid cenderung berbentuk tak beraturan. Pluto juga
mempunyai atmosfer dan musim layaknya planet.
"Bila kita tidak menyebutnya sebuah planet, maka bagaimana kita akan menyebutnya," kata Kevin
Schindler, supervisor senior di Lowell.

Yang makin meramaikan debat tersebut adalah tidak adanya definisi resmi mengenai apa itu planet.
Pembuatan standar ciri-ciri planet, misalnya mengenai batas ukuran atau pola orbitnya, justru berpotensi
menjadikan objek lain sebagai planet dan malahan mengeluarkan Pluto dari golongan ini.
"Kontroversi mengenai apakah ia planet atau objek Sabuk Kuiper terbesar sepertinya masih akan berlanjut,"
kata Millis. "Tapi bagi saya lebih penting mengetahui seperti apakah Pluto sebenarnya daripada apakah
Pluto itu." (AP/cnn.com/wsn)
Updated: Kompas (Sain dan teknologi) Senin, 14 Februari 2005, 18:19 WIB

Anda mungkin juga menyukai