Anda di halaman 1dari 8

Tugas Individu

Pengelolaan DAS Terpadu


Komponen DAS, Siklus Hidrologi DAS, dan Masalah-Masalah DAS

OLEH :
NAMA

: HENERASIA ANNISAPRAKASA

NIM

: G111 13 058

KELAS

:A

JURUSAN ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

KOMPONEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan
dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dimana
presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet)
yang akhirnya bermuara ke danau atau laut. Batasbatas alami DAS dapat
dijadikan sebagai batas ekosistem alam, yang dimungkinkan bertumpangtindih
dengan ekosistem buatan, seperti wilayah administratif dan wilayah ekonomi.
Namun seringkali batas DAS melintasi batas kabupaten, provinsi, bahkan lintas
negara. Suatu DAS dapat terdiri dari beberapa sub DAS, daerah Sub DAS
kemudian dibagibagi lagi menjadi subsub DAS.
Komponenkomponen utama ekosistem DAS, terdiri dari : manusia,
hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air (Gambar 1). Masingmasing komponen
tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdirisendiri, namun
berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis
(ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam
mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen
ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang
berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal
balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar
komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam
DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran
permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan.
Prinsip keberlanjutan (sutainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS,
dimana fungsi ekologis, ekonomi, dan sosialbudaya dari sumberdaya
sumberdaya (resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance).
Di dalam mempelajari DAS, biasanya DAS dibagi menjadi hulu, tengah,
dan hilir. DAS bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan drainase
tinggi, memiliki kemiringan topografi besar, dan bukan daerah banjir. Adapun
DAS bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase
rendah, kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah
banjir. Daerah aliran sungai tengah merupakan transisi diantara DAS hulu dan
DAS hilir. Masingmasing bagian tersebut saling berkaitan. Bagian hulu DAS

merupakan kawasan perlindungan, khususnya perlindungan tata air, yang


keberadaannya penting bagi bagian DAS lainnya. Contoh keterkaitan antara
bagian hulu dengan hilir diantaranya adalah : (a). bagian hulu mengatur aliran air
yang dimanfaatkan oleh penduduk di bagian hilir, (b). erosi yang terjadi di bagian
hulu menyebabkan sedimentasi dan banjir di hilir, dan (c). bagian hilir umumnya
menyediakan pasar bagi hasil pertanian dari bagian hulu.

Gambar 1. Interaksi Antar Komponen dalam DAS

SIKLUS HIDROLOGI DALAM DAS


Siklus hidrologi merupakan suksesi tahapantahapan yang dilalui air dari
atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer (Seyhan, 1993). Perjalanan air di
bumi

membentuk

siklus

melalui

beberapa

proses,

misalnya

evaporasi

menguapkan air dari laut, permukaan bumi, dan badan air ke atmosfer, uap air
mengalami kondesasi dan kemudian jatuh menjadi presipitasi, air kemudian
terakumulasi di dalam tanah dan badan air, selanjutnya dengan proses evaporasi
air diuapkan kembali ke atmosfer. Secara global siklus air yang terjadi
membentuk sistem tertutup, dimana selama masa sekarang hampir tidak ada
penambahan jumlah volume air yang berarti di luar sistem biosfer yang ada.
Volume air di bumi diperkirakan mencapai 1,4 milyar km3, dan terdistribusi
sebagai air laut (97,5 %), air daratan berbentuk es (1,75 %), 0,73 % air di darat
(sungai, danau, air tanah, dan sebagainya), dan 0,001 % berada sebagai uap air di
udara.

Gambar 2. Siklus Hidrologi


Di dalam siklus hidrologi, air mengalami perubahan bentuk mulai dari
cair, uap, kemudian menjadi cair (hujan) dan padat (salju). Berjalannya siklus
hidrologi

memerlukan

energi

panas

matahari

yang

cukup

untuk

mengevaporasikan uap air dari lautan atau badan-badan air (seperti : sungai,
danau, vegetasi, dan tanah lembab) ke atmosfer. Di atmosfer uap air mengalami
kondensasi berupa butiran hujan atau kristal es berbentuk awan. Sampai ukuran
tertentu butiran air tersebut turun ke bumi menjadi presipitasi baik dalam bentuk
cair (hujan) atau padat (salju). Namun di daerah tropika basah bentuk presipitasi
pada umumnya berupa hujan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya istilah
hujan menggantikan istilah presipitasi.
Sebagian hujan yang jatuh sebelum mengenai tanah terlebih dulu
mengenai vegetasi, bangunan, atau penutup permukaan tanah lainnya. Hujan yang
diintersepsi oleh vegetasi kemudian dievaporasikan kembali ke atmosfer. Setiap
vegetasi memiliki kemampuan menyimpan air (intersepsi) yang berbeda.
Misalnya vegetasi hutan memiliki kapasitas intersepsi yang lebih besar
dibandingkan dengan rumput. Bagian hujan lainnya yang jatuh ke bumi ada juga
yang langsung masuk ke lautan atau badanbadan air dan kembali diuapkan ke
atmosfer.
Air hujan yang lolos dari intersepsi selanjutnya mencapai permukaan
tanah melalui batang tumbuhan (stemflow) atau jatuh langsung (throughfall) dari
bagian atas (daun). Di permukaan tanah air mengisi simpanan depresi (depression
storage) dan setelah pori tanah terisi, aliran air kemudian mengikuti gaya gravitasi
air terus masuk ke dalam tanah (infilitrasi). Dalam tahap ini kemampuan tanah
menyerap air tergantung dari permeabilitas tanah dan vegetasi yang ada di
atasnya. Di bawah permukaan tanah air terakumulasi dan membentuk aliran
bawah permukaan, selanjutnya pada titik tertentu akan keluar sebagai aliran
bawah permukaan (subsurface runoff) dan masuk ke dalam sungai. Apabila air
terus menembus semakin dalam lapisan tanah, aliran air dapat mencapai air tanah
(groundwater recharge) yang merupakan lapisan bawah tanah yang kurang
permeabel. Setelah mencapai simpanan air tanah, air bergerak mengikuti
permukaan air tanah yang merupakan wilayah tekanan, dan selanjutnya aliran air

tanah keluar dan masuk ke dalam sungai. Laju aliran air tanah yang keluar
tergantung kepada struktur geologi wilayah, permeabilitas tanah, dan lapisan
bawah permukaan.
Apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka air hujan yang
jatuh akan menjadi aliran permukaan (surface runoff) dan kemudian menuju
sungai atau badan air terdekat. Aliran permukaan ini juga merupakan salah satu
energi yang dapat menggerus partikel tanah di permukaan dan menyebabkan
erosi. Aliran permukaan semakin besar dengan semakin tingginya intensitas
hujan, lereng yang semakin curam, semakin berkurangnya kekasaran permukaan
tanah, dan semakin kecilnya kapasitas infiltrasi.
Komposisi aliran air di dalam sungai terdiri dari aliran permukaan (surface
runoff), aliran bawah permukaan (sub surface runoff), dan aliran air tanah
(groundwater). Di dalam aliran air yang mengalir senantiasa membawa bahan
dan mineral yang dapat larut dan tidak larut. Bahan yang dibawa aliran air
kemudian diendapkan secara selektif.
MASALAH-MASALAH DALAM DAS
Dalam mengelola sumberdaya lahan suatu DAS perlu diketahui apa yang
menjadi masalah utama DAS. Masalah DAS pada dasarnya dapat dibagi menjadi:
a. Kuantitas (jumlah) air
1)

Banjir dan kekeringan

2)

Menurunnya tinggi muka air tanah

3)

Tingginya fluktuasi debit puncak dengan debit dasar.

b. Kualitas air
1)

Tingginya erosi dan sedimentasi di sungai

2)

Tercemarnya air sungai dan air tanah oleh bahan beracun dan
berbahaya

3)

Tercemarnya air sungai dan air danau oleh hara seperti N dan P
(eutrofikasi)
Masalah ini perlu dipahami sebelum dilakukan tindakan pengelolaan DAS.

Sebagai contoh, apabila masalah utama DAS adalah kurangnya debit air sungai

untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA), maka


penanaman pohon secara intensif tidak akan mampu meningkatkan hasil air.
Seperti telah diterangkan terdahulu, pohon-pohonan mengkonsumsi air lebih
tinggi dibandingkan dengan tanaman pertanian semusim dan tajuk pohon-pohonan
mengintersepsi sebagian air hujan dan menguapkannya kembali ke udara sebelum
mencapai permukaan tanah.
Apabila masalah utama suatu DAS adalah kerawanan terhadap banjir
maka teknik yang dapat ditempuh adalah dengan mengusahakan agar air lebih
banyak meresap ke dalam tanah di hulu dan di bagian tengah DAS. Usaha ini
dapat ditempuh dengan menanam pohon dan/atau dengan tindakan konservasi
sipil teknis seperti pembuatan sumur resapan, rorak dan sebagainya.
Apabila yang menjadi masalah DAS adalah tingginya sedimentasi di
sungai maka pilihan teknik konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan
memperbaiki fungsi filter dari DAS.
Peningkatan fungsi filter dapat ditempuh dengan penanaman rumput,
belukar, dan pohon pohonan atau dengan membuat bangunan jebakan sedimen
(sediment trap). Apabila menggunakan metode vegetatif, maka penempatan
tanaman di dalam suatu DAS menjadi penting. Penanaman tanaman permanen
pada luasan sekitar 10% saja dari luas DAS, mungkin sudah sangat efektif dalam
mengurangi sedimentasi ke sungai asalkan tanaman tersebut ditanam pada tempat
yang benar-benar menjadi masalah, misalnya pada zone riparian (zone penyangga
di kiri kanan sungai).
Apabila suatu DAS dihutankan kembali maka pengaruhnya terhadap tata
air DAS akan memakan waktu puluhan tahun. Pencegahan penebangan hutan jauh
lebih penting dari pada membiarkan penebangan hutan dan menanami kembali
lahan gundul dengan pohon-pohonan.
Lagipula apabila penanaman pohon dipilih sebagai metode pengatur tata
air DAS, penanamannya harus mencakup sebagian besar wilayah DAS tersebut.
Jika hanya 20- 30% dari wilayah DAS ditanami, pengaruhnya terhadap tata air
mungkin tidak nyata.
Penyebaran tanaman kayu-kayuan secara merata dalam suatu DAS tidak
terlalu memberikan arti dalam menurunkan sedimentasi. Tabel 4.1 memberikan

ringkasan masalah DAS dan alternatif teknologi yang dapat dipilih untuk
mengatasinya.

Sumber : Fahmudin Agus dan Widianto (2004). Petunjuk Praktik Konservasi


Tanah Pertanian Lahan Kering . Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF
Southeast Asia. Hal 26-28

Anda mungkin juga menyukai