Anda di halaman 1dari 45

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
Nama Mahasiswa
NIM

: Steaffie Eunike Cassandra Siagian


: 11.2014.169

Tanda Tangan
.......................

Dr. Pembimbing

: dr. Benyamin Tambunan Sp. PD


.......................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Tempat /tanggal lahir: Kendal, 09/10/1952
Status Perkawinan: Sudah menikah
Pekerjaan: Wiraswasta
Alamat: Jl. Baru Timur

Jenis Kelamin: Laki-laki


Suku Bangsa: Jawa
Agama: Islam
Pendidikan: SMA
Umur: 62 tahun

A. ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesis

Tanggal: 02 Oktober 2015

Jam: 06.50

Keluhan Utama: Os mengeluh demam 1 minggu SMRS


Riwayat Penyakit Sekarang
Satu minggu SMRS, pasien mengeluh demam yang dirasa timbul terutama pada malam
hari. Pasien menyangkal demam yang disertai meriang. Sakit kepala dikeluhkan oleh pasien,
serta pasien juga mengeluh adanya mual; muntah disangkal oleh pasien. Pasien juga
mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut. Keluhan demam dirasa
semakin memberat 1 hari SMRS yang membawa pasien ke RS.

Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja pasien mengeluh adanya batuk yang disertai
dahak berwarna putih kental. Pasien mengaku adanya sesak yang hilang timbul, terutama saat
batuk timbul, pasien mengakui adanya nyeri dada saat batuk.
Pasien mengaku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien juga
menyatakan sudah mengkonsumsi obat penurun panas, tetapi belum ada perubahan. Pasien juga
mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes,
maupun penyakit jantung. tidak ada riwayat alergi tertentu. Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri, pasien juga memiliki kebiasaan merokok.
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Cacar

(-) Malaria

(-) Batu ginjal/Sal.kemih

(+) Cacar Air

(-) Disentri

(-) Burut (Hemia)

(-) Difteri

(-) Hepatitis

(-) Rematik

(-) Batuk Rejan

(-) Tifus Abdominalis

(-) Wasir

(+) Campak

(-) Skrofula

(-) Diabetes

(+) Influenza

(-) Sifilis

(-) Alergi

(-) Tonsilitis

(-) Gonore

(-) Tumor

(-) Khorea

(-) Hipertensi

(-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut

(-) Ulkus Ventrikuli

(-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia

(-) Ulkus Duodeni

(-) Psikosis

(-) Pleuritis

(-) Gastritis

(-) Neurosis

(-) Tuberkulosis

(-) Batu Empedu

lain-lain: (-) Operasi


(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga
Hubungan

Umur

Jenis Kelamin

(Tahun)

Keadaan

Penyebab

Kesehatan

Meninggal

Kakek (ayah)

70 tahun

Meninggal

Tidak diketahui

Nenek (ayah)

82 tahun

Meninggal

Tidak diketahui

Kakek (ibu)

77 tahun

Meninggal

Tidak diketahui
2

Nenek (ibu)

85 tahun

Meninggal

Tidak diketahui

Ayah

82 tahun

Meninggal

Tidak diketahui

Ibu

28 tahun

Meninggal

Tidak diketahui

Saudara

67 tahun

Sehat/Hidup

Anak

35 tahun

Sehat/Hidup

Anak

32 tahun

Sehat/Hidup

Anak

29 tahun

Sehat/Hidup

Anak

25 tahun

Sehat/Hidup

Adakah Kerabat yang Menderita?


Penyakit

Ya

Tidak

Hubungan

Alergi

Asma

Tuberkulosis

Artritis

Rematisme

Kakek (ayah)

Jantung

Ginjal

Lambung

Hipertensi

ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul

(-) Rambut

(-) Keringat Malam

(-) Kuku

(-) Kuning/Ikterus

(-) Sianosis

(-) Petechie

Kepala
(-) Trauma

(+) Sakit Kepala

(-) Sinkop

(-) Nyeri pada Sinus

(-) Nyeri

(-) Radang

Mata
(-) Conjungtiva Anemis
3

(-) Sekret

(-) Gangguan Penglihatan

(-) Kuning/Ikterus

(-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga
(-) Nyeri

(-) Tinitus

(-) Sekret

(-) Gangguan Pendengaran


(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung
(-) Trauma

(-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri

(-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret

(-) Pilek

(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering

(-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan

(-) Gusi berdarah

(-) Selaput

(-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan

(-) Perubahan Suara

Leher
(-) Benjolan

(-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung / Paru paru )


(+) Nyeri dada

(+) Sesak Napas

(-) Berdebar

(-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe

(+) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )


(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(+) Mual

(-) Wasir

(-) Muntah

(-) Mencret

(-) Muntah Darah

(-) Tinja Darah Merah Hitam

(-) Sukar Menelan

(-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Nyeri Perut

(-) Tinja Berwarna Ter

(-) Benjolan

(+) Konstipasi
4

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria

(-) Kencing Nanah

(-) Stranguri

(-) Kolik

(-) Poliuria

(-) Oliguria

(-) Polakisuria

(-) Anuria

(-) Hematuria

(-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu

(-) Kencing Menetes

(-) Ngompol
Saraf dan Otot
(-) Anestesi

(-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi

(-) Ataksia

(-) Otot Lemah

(-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang

(-) Pingsan

(-) Afasia

(-) Kedutan

(-) Amnesia

(-) Pusing

(-) lain lain

(-) Gangguan bicara

Ekstremitas
(-) Bengkak

(-) Deformitas

(-) Nyeri

(-) Sianosis

Berat Badan :
Berat badan rata rata (kg)

: tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg)

: tidak diketahui

Berat badan sekarang

: 62

Tinggi badan

: 160 cm

IMT

:(62/1,602)=24,21

RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir : (-) di rumah (+) Rumah Bersalin

(-) RS Bersalin
5

Ditolong oleh : (-) Dokter

(+) Bidan

(-) Dukun

(-) lain - lain

Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya.
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari

: 3x/ hari

Jumlah / hari

: Cukup

Variasi / hari

: Nasi, sayur (bayam, kacang panjang, kangkung, dll), tempe

Nafsu makan

: Baik

Pendidikan
( ) SD

( ) SLTP

(+) SLTA

( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi

( ) Universitas

( ) Kursus

( ) Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan

: Ada

Pekerjaan

: Tidak ada

Keluarga

: Tidak ada

Lain lain

:-

B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan

: 160

Berat Badan

: 62

Kesadaran

: Compos Mentis (GCS: 15)

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 x/ menit

Suhu

: 38,00C

Pernafasaan

: 24x/menit
6

Keadaan gizi

: Baik

Sianosis

: Tidak ada

Udema umum

: Tidak ada

Habitus

: Atletikus

Cara berjalan

: Normal

Mobilitas ( aktif / pasif )

: Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa

: Sesuai umur

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku

: Wajar

Alam Perasaan

: Biasa

Proses Pikir

: Wajar

Kulit
Warna

: Sawo matang

Effloresensi

: Tidak dilakukan

Jaringan Parut

: Tidak ada

Pigmentasi

: Normal

Pertumbuhan rambut

: Distribusi merata

Lembab/Kering

: Normal

Suhu Raba

: Afebris

Pembuluh darah

: Tidak tampak pelebaran

Keringat

: Umum (+)

Turgor

: Baik

Ikterus

: Tidak ada

Lapisan Lemak

: Normal

Oedem

: Tidak ada

Kelenjar Getah Bening


Submandibula

: Tidak teraba membesar

Leher : Tidak teraba membesar

Supraklavikula

: Tidak teraba membesar

Ketiak : Tidak teraba membesar

Lipat paha

: Tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah

: Tenang
7

Simetri muka

: Simetris

Rambut

: Beruban, distribusi merata

Pembuluh darah temporal

: Teraba pulsasi

Mata
Exophthalamus

: Tidak ada

Enopthalamus

: Tidak ada

Kelopak

: Oedem (-)

Lensa

: Jernih

Konjungtiva

: Anemis (-)

Visus

: Normal

Sklera

: Ikterik (-)

Gerakan Mata

: Aktif

Lapangan penglihatan

: Normal

Tekanan bola mata

: Normal

Nistagmus

: Tidak ada

Telinga
Tuli

: Tidak tuli

Selaput pendengaran

: Utuh, intak (+)

Lubang

: Lapang

Penyumbatan

: Tidak ada

Serumen

: Tidak ada

Pendarahan

: Tidak ada

Cairan

: Tidak ada

Mulut
Bibir

: Lembab, tidak tampak pucat

Tonsil

: T1 T1 tenang

Langit-langit

: Tidak ada kelainan

Bau pernapasan

: Tidak ada

Gigi geligi

: Tidak utuh, caries dentis (-)

Trismus

: Tidak ada

Faring

: Tidak hiperemis
8

Selaput lendir

: Kemerahan

Lidah

: Tidak Kotor

Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP)

: Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid

: Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe

: Tidak teraba membesar

Deviasi trachea

: Tidak ada

Dada
Bentuk

: Simetris, selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah : Spider nevi (-)


Buah dada

: Simetris, tidak ada ginekomastia

Paru Paru
Depan
Inspeksi
Kiri

: bentuk dada normal, simetris sewaktu statis dan dinamis, sela iga tidak

membesar
Kanan : bentuk dada normal, simetris sewaktu statis dan dinamis, sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan : tidak ada benjolan, sela iga tidak melebar, gerakan dinding dada simetris,
fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)
Kiri

: tidak ada benjolan, sela iga tidak melebar, gerakan dinding dada simetris,
fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)

Perkusi
Kanan : sonor di ICS I-V, redup di ICS VI-VII
Kiri

: sonor di ICS I-V, redup di ICS VI-VII

Auskultasi
Kanan : vesikuler, wheezing (-), ronki (-)
Kiri

: vesikuler, wheezing (-), ronki (-)

Belakang
Inspeksi
Kiri

: bentuk dada normal, simetris sewaktu statis dan dinamis, sela iga tidak
membesar

Kanan : bentuk dada normal, simetris sewaktu statis dan dinamis, sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan: tidak ada benjolan, sela iga tidak melebar, gerakan dinding dada simetris,
fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)
Kiri : tidak ada benjolan, sela iga tidak melebar, gerakan dinding dada simetris,
fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan : redup di ICS VI-VII
Kiri

: redup di ICS VI-VII

Auskultasi :
Kanan : vesikuler, wheezing (-), rhonki basah halus (+)
Kiri

: vesikuler, wheezing (-), rhonki basah halus (+)

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis terlihat pada ICS VI, di garis midklavikula kiri

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS VI, di garis midkalvikula kiri

Perkusi

:
Batas atas

: ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri

: ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan

: ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi : BJ I-II murni reguler, Murmur (-), Gallop (-)


Pembuluh Darah
Arteri Temporalis

: pulsasi teraba

Arteri Karotis

: pulsasi teraba

Arteri Brakhialis

: pulsasi teraba

Arteri Radialis

: pulsasi teraba
10

Arteri Femoralis

: pulsasi teraba

Arteri Poplitea

: pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior

: pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis

: pulsasi teraba

Perut
Inspeksi

: tidak membuncit, bekas operasi (-), penonjolan massa (-), dilatasi vena (-)

Palpasi
Dinding perut

: Supel, tidak ada distensi, nyeri tekan epigastrium (+)

Hati

: Tidak teraba, nyeri tekan (-)

Limpa

: Tidak teraba, nyeri tekan(-)

Ginjal

: Tidak teraba, ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)

Perkusi

: Timpani pada abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)

Auskultasi

: Bising usus normal

Hepatojugular reflux

: Tidak

Colok dubur

: Tidak teraba adanya massa, darah (-)

Anggota Gerak
Lengan

Kanan

Kiri

Otot

Tidak atrofi

Tidak atrofi

Tonus

Normotonus

Normotonus

Massa

Eutrofi

Eutrofi

Sendi

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Gerakan

Aktif

Aktif

Kekuatan

Oedem

Tidak ada

Tidak ada

Lain-lain

Tidak ada

Tidak ada

Kanan

Kiri

Tungkai dan Kaki


Luka

Tidak ada

Tidak ada

Varises

Tidak ada

Tidak ada

Otot

Tidak atrofi

Tidak atrofi

Tonus

Normotonus

Normotonus

Massa

Tidak ada

Tidak ada
11

Sendi

Pergerakan kurang

Pergerakan kurang

Gerakan

Aktif

Pasif

Kekuatan

Oedem

Tidak ada

Tidak ada

Lain-lain

Tidak ada

Tidak ada

Petechie

Tidak ada

Tidak ada

Refleks

Kanan

Kiri

Refleks Tendon

Positif

Positif

Bisep

Positif

Positif

Trisep

Positif

Positif

Patela

Positif

Positif

Achiles

Positif

Positif

Refleks Patologis

Negatif

Negatif

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb

: 14,1 g/dL

Leukosit

: 11,29 103/L

Ht

: 40,8 %

Trombosit

: 247 103 /L

KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium

: 137 mEq/L

Kalium

: 4,02 mEq/L

Klorida

: 92 mEq/L
12

Glukosa Sewaktu

: 106 mg/dL

IMUNOSEROLOGI
Widal
S. typhi-O

: (+) 1/320

S. paratyphi AO

: (-)

S. paratyphi BO

: (-)

S. paratyphi CO

: (-)

X-foto Thorax

D. RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari. Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual. Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut. Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental. Pasien mengaku
13

adanya sesak yang hilang timbul, terutama saat batuk timbul, nyeri dada diakui pasien saat batuk.
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS. Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri, pasien juga memiliki kebiasaan merokok. Dari hasil
pemeriksaan fisik: suhu 38,0OC, perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri, perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri, auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri, nyeri tekan epigastrium.
Dari hasil pemeriksaan penunjang: hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11.290, S. typhi-O
(+) 1/160, hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah.
E. MASALAH
1. Pneumonia
2. Demam Tifoid
F. PENGKAJIAN MASALAH
1. Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental, sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk, nyeri dada diakui pasien saat batuk, disertai adanya demam. Pasien
berumur lebih dari 60 tahun, dan memiliki riwayat merokok. Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 38,0oC, adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri, perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri, auskultasi bagian belakang paru-paru
terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri. Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11.290, terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah.
Rencana diagnostik:

Pemeriksaan Analisa Sputum


Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan:

Terapi suportif
Terapi definitif:
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia: amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia: Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)
Rencana Edukasi:
14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi


Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat, termasuk tidak merokok.

2. Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari, pusing, mual, konstipasi. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S.
typhi-O (+) 1/160.
Rencana Diagnostik:

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan:

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg, bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi:

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


1. Pneumonia:
a. Bronkitis Akut
15

Dasar diagnosis banding: batuk berdahak 2-3 minggu. Pada awalnya batuk tidak berdahak, 12 hari menjadi putih-kekuningan, selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan.
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada. Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat, sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
ngik terutama setelah batuk. Bila iritasi dapat terjadi batuk darah. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest, perkusi dada hipersonor, suara
nafas terdapat ronki basah kasar, wheezing.
b. TB Paru
Dasar diagnosis banding: batuk berdahak

2 minggu. Batuk disertai dahak, dapat

bercampur darah atau batuk darah. Keluhan disertai nyeri dada, sesak napas, nyeri dada,
badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam
tanpa kegiatan fisik, meriang lebih dari 1 bulan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris, respiraasi

meningkat, berat badan menurun (umumnya BMI <18,5). Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkial/amforik/ronki basah/suara napas melemah di apex


paru. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA), radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain, yaitu kavitas,
pleuritis, efusi pleura.
2. Demam Tifoid:
a. Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding: demam bifasik akut 2-7 hari, nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia, ruam, gusi berdarah, mimisan, nyeri perut, mual/muntah, hematemesis, melena,
tinggal di daerah endemis. Pada pemeriksaan fisik didapati suhu > 37,5 0C, terdapat
perdarahan mukosa. Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung), bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20% dari standar usia), trombositopenia.
b. Malaria
Dasar diagnosis banding:

Trias Malaria demam periodik (periode demam, dingin,

berkeringat), sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut,
mual, muntah, diare, riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu, riwayat
transfuse darah.

16

H. KESIMPULAN DAN PROGNOSIS


KESIMPULAN
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid.
PROGNOSIS
1. Ad vitam

: Dubia ad bonam

2. Ad fungsionam

: Dubia ad bonam

3. Ad sanationam

: Dubia ad bonam

17

Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 06.45
1. Masalah Pneumonia
S

: Pasien mengeluhkan demam, batuk berdahak kental berwarna putih, sesak dirasa
berkurang, nyeri dada tidak ada.

: RR: 20x per menit, S: 38.3, auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru.

: Pneumonia, keluhan berkurang.

: Terapi dilanjutkan.

2. Masalah Demam Tifoid


S

: Pasien mengeluhkan demam, nyeri perut, sakit kepala berkurang, mual tidak
ada, muntah tidak ada, pasien sudah dapat BAB.

: TD: 110/80 mmhg, S: 38.3, N: 72x per menit, NT Epigastrium (+)

: Demam Tifoid, keluhan berkurang.

: Terapi dilanjutkan.

Tanggal 5 Oktober 2015


1. Masalah Pneumonia
S

: Tidak ada keluhan.

: RR: 20x per menit, S: 36.8, auskultasi ronki basah halus

: Pneumonia, tidak ada gejala klinis.

: Acc pulang.

2. Masalah Demam Tifoid


S

: Pasien merasakan keluhan berkurang, nyeri perut semakin membaik, mual tidak
ada, demam tidak ada, BAB normal.

: TD: 120/80 mmhg, S: 36.8, N: 80x per menit, NT Epigastrium

: Demam Tifoid, keluhan berkurang.

: Acc pulang.

18

TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi.1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas)
pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%.2
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus,
jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi.3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV),
parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus
aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.3
Pada neonatus Streptococcus group

B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia

prasekolah

dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain

itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial.

Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun. Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus, sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia. Staphylokokkus aureus dan
19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia.3
Tabel 1. Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi.3
Umur

Lahir-20 hari

Penyebab yang sering

Penyebab yang jarang

Bakteria
Escherichia colli

Group B streptococci

Listeria monocytogenes

3 minggu
3 bulan

4 bulan
5 tahun

Bakteria
Clamydia trachomatis
Streptococcus

pneumoniae

Virus

Respiratory
syncytial

virus
Influenza virus
Para
influenza
virus

1,2 and 3
Adenovirus
Bakteria
Streptococcus

pneumoniae
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae

Virus
Respiratory
syncytial

virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles

Bakteria
Group D streptococci
Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus

Bakteria
Bordetella pertusis
Haemophillusinfluenza type B
& non typeable
Moxarella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus

Bakteria
Haemophillus
influenza type
B
Moxarella catarrhalis
Neisseria meningitis
Staphylococcus aureus
Virus
Varicella zoster virus

20

5 tahun dewasa

Bakteria
Clamydia pneumonia

Mycoplasma pneumonia
Streptococcus

pneumoniae

Bakteria
Haemophillus
influenza type
B
Legionella species
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi.3

Communityy-acquired acute pneumonia


Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.

Community-acquired atypical pneumonia


Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B (adults);
adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens, Escherichia coli)
and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis

Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma
capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

21

Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya, yaitu:
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi pernapasan
(Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas
(atypical) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 2
Berdasarkan Kuman penyebab:
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised).4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi:
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam.4
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman
penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau
bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk
bakteri penyebab HAP.5
c. Pneumonia aspirasi
22

Berdasarkan lokasi infeksi:


a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn.
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae. Jarang pada
bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau
adanya proses keganasan.4
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.4
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata.4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia
lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit
pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah yang paling
berisiko.1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat.
Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi,
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-

23

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi.4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia.
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium Kongesti (4 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari selsel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
24

kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.2
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.2
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.2
4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.2
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejalanya meliputi:
Gejala Mayor: 1.Batuk
2.Sputum produktif
3.Demam (suhu>38 0c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi

25

40 C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau
purulen, kadang-kadang berdarah.4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas , pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus,
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
>10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:

Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment

paru secara anantomis.


Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak tampak

deviasi trachea/septum/fissure/seperti pada atelektasis.


Silhouette sign (+): bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru; batas lesi dengan

jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan.
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir

terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.5
26

Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, torakosintesis,
bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi.4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya. Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk.4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7:
a. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
c. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut : 7,5,1
1. Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
Aminoglikosid
27

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim


Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon
2. Terapi Suportif Umum
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.
28

3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.6
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral.
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan.8
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakaan
masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.8
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau didapat
asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan.8
3. Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama),
switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih
rendah). Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

29

perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat menelan obat-obatan, dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal.9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9:
1. Temp 37,8 C, Kesadaran baik
2. Denyut jantung 100 denyut / menit,
3. Respirasi rate 24 napas / menit
4. Tekanan darah sistolik 90 mmHg
5. Saturasi O2 arteri 90% atau pO2 60 mmHg pada ruang udara,
6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral.
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus. Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain. Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok, infeksi dari polusi. Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: infeksi virus, yang paling umum influenza A dan B,
parainfluenza, RSV, adenovirus, rhinoviris, choronavirus; infeksi bakteri, seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies, Chlamydia pneumoniae, Streprococcus pneumoniae,
Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus influenza; rokok dan asap rokok; paparan terhadap
iritasi; penyakit gastrofaringeal refluk; pekerja yang terekspos dengan debu atau asap.10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu),
nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam,
lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.10

30

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.3

Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Etiologi

31

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan

envelope

antigen

(K)

yang

terdiri

polisakarida.

Mempunyai

makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial, 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

32

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.2
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
dan gangguan organ lainnya.2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler,
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis.2
Manifestasi Klinis
33

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang
lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan:

Demam satu minggu atau lebih.


Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/
tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat,
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang
di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
34

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7
10 dan bertahan selama 2 -3 hari.3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut: panas (100%),
anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta
lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). 10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),
sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan
kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk,
penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu:
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi
lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
35

aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal,
jumlah megakariosit dalam batas normal.3
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan
ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).3

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu:
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman)
36

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H
timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit.3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%
dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan

37

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.3
Ada 4 interpretasi hasil:
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG,
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses
dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. 18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
38

cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.3
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.3
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan

sudah

mendapatkan

terapi

antibiotika

sebelumnya.

Media

pembiakan

yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

39

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.3
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.3
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S. typhi.

40

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 4080% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu,
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
41

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis.3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh
meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.3

42

Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3:

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever


terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan


dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-

43

200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan


ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi

harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol.3

Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari, nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, ruam, gusi
berdarah, mimisan, nyeri perut, mual/muntah, hematemesis, melena, tinggal di daerah endemis.
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu > 37,5 0C, terdapat perdarahan mukosa. Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung), bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20% dari standar usia), trombositopenia.
Malaria
Trias Malaria demam periodik (periode demam, dingin, berkeringat), sakit kepala,
nyeri otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, mual, muntah, diare, riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu, riwayat transfuse darah.

Daftar Pustaka

44

1. Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi
6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.
3. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti.2003.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial.2003.
6. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults. Clin infect Dis 2000; 31:
347-82.
7. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of communityacquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S27.
8. Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia, 007;132:1348.
9. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient, Chest 2007;131;1205.
10. Soedarsono. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK
UNAIR. Surabaya.

45

Anda mungkin juga menyukai