Anda di halaman 1dari 17

Judul

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Kesehatan Jiwa merupakan kondisi yang memfasilitasi secara optimal dan selaras dengan

orang lain, sehingga tercapai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,
masyarakat dan lingkungan. Keharmonisan fungsi jiwa yaitu sanggup menghadapi problem yang
biasa terjadi dan merasa bahagia.
Menurut Undang-undang No. 3 tahun 1966, tentang kesehatan jiwa, kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang
optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna
kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segisegi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
Di tinjau dari segi pelayanan keperawatan, keperawatan jiwa merupakan suatu bidang
spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan
penggunaan dirinya secara terapeutik sebagai kiatnya. Keperawatan jiwa juga merupakan salah
satu dari lima inti disiplin kesehatan mental. Perawat menjalankan profesinya menggunakan ilmu
pengetahuannya menerapkan ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori kepribadian dan perilaku
manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja teoritik yang menjadi landasan praktik
keperawatan.
Pelayanan keperawatan, kesehatan jiwa bukan hanya ditujukan pada klien dengan
gangguan jiwa tetapi juga pada klien dengan masalah psikososial, yang ditujukan pada semua
orang dan lapisan masyarakat sehingga tercapai sehat mental dan hidup harmonis secara
produktif.
Manusia sebagaimana dia ada pada suatu waktu merupakan suatu interaksi antara badan,
jiwa dan lingkungan. Ketiga unsur ini saling mempengaruhi segala keutuhan manusia sebagai
mana dia ada. Konsep kesehatan jiwa memang perlu adanya pengalaman dan penanganan
khusus oleh karena permasalahan yang berhubungan dengan kejiwaan sangatlah rumit dan sulit
untuk membeda-bedakan orang yang mengalami gangguan jiwa dan orang normal,
perbandingannya sangat tipis dan hampir tampak seperti orang yang normal.

Oleh karena itu, memang perlu adanya kemampuan khusus baik ilmu maupun
ketrampilan dalam penerapan asuhan keperawatan jiwa. Keperawatan sebagai bagian dari
kesehatan jiwa merupakan bidang spesialis praktik keperawatan yang menerapkan teori prilaku
manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri secara terapeutik kiatnya. Perawat jiwa dalam
bekerja memberikan stimulus konstruktif kepada klien(individu, kelompok, dan masyarakat) dan
berespon secara konstruktif sehingga klien belajar cara penyelesaian masalah.
Keberhasilan perawatan klien dengan penyalagunaan tergantung dari bagaimana perawat
secara terapeutik memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan masalah jiwa. Kita
sebagai mahasiswa calon-calon tenaga perawat harus di persiapkan untuk menghadapi tantangan
dalam perawatan jiwa. Pengetahuan,ketrampilan dan sikap yang baik adalah syarat mutlak yang
harus dimiliki oleh seorang perawat . Praktek lapangan secara langsung untuk penerapan teori,
pemantapan ketrampilan dan penggunaan sikap dalam menghadapi masalah di lapangan itu
perlu.
Sesuai kurikulum Akper Bethesda Tomohon, selain teori mahasiswa semester V akper
bethesda tomohon mengadakan raktek klinik jiwa di RSU Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado
selama 2 minggu. Praktek klinik jiwa ini merupakan persyaratan untuk menyelesaikan
pendidikan DIII keperawatan dengan tujuan mampu menerapkan Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan metode pendekatan Proses Keperawatan, dengan langkah-langkahnya.
Di Badan Pengelola RSU Prof. Dr. V. L Ratumbuysang

Manado terdapat banyak

penderita gangguan jiwa yang membutuhkan perawatan dan pelayanan kesehatan yang optimal
yang diantaranya pasien yang memiliki masalah keperawatan yaitu Gangguan Persepsi Sensori :
Halusinasi Penglihatan. Penulis mengangkat kasus dengan judul Asuhan Keperawatan Jiwa
Pada Tn.F.P dengan Isolasi Sosial: Menarik Diri di ruangan A RSKD Prof Dr. V. L
Ratumbuysang Manado.

B.

Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan jiwa secara

komperhensif yaitu dengan pendekatan proses keperawatan,

Pengkajian keperawata, Diagnosa keperawatan, Perencanaan keperawatan, Implementasi


keperawatan, dan Evaluasi keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Setelah melaksanakan kegiatan praktek klinik keperawatan jiwa diharapkan mampu;
melaksanakan pengkajian keperawatan jiwa dengan Isolasi sosial menarik diri

Merumuskan diagnosa keperawatan jiwa

Merencanakan dan mengimplementasikan tindakan keperawatan secara nyata

Melakukan evaluasi kesehatan, mampu mendokumentasikan dalam asuhan

keperawatan, mampu membahas kesenjangan teori dan mampu mempraktekkannya.

3. Metode dan Teknik Penulisan


Metode yang digunakan pada penulisan ini adalah metode komunikasi langsung, metode
observasi dan deskriptif. Kemudian data yang digunakan diperoleh dari hasil analisa dan dicapai
dengan pencarian pemecahan masalahnya.
Teknik pengumpulan data yang penulis gunkanan yaitu :
a.

Wawancara : tanya jawab secara langsung kepada pasien

b. Observasi : mengamati secara langsung prilaku pasien


c.

Studi dokumentasi : mempelajari RM (status klien) sebagai bahan untuk menghimpun

data
d. Studi kepustakaan : menggunakan referensi/buku sumber dari perpustakaan

4. Manfaat Penulisan.
a.

Penulis ; dapat menerapkan teori-teori yang sudah didapat, memperoleh pengalaman

nyata dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa pada klien, menambah wawasan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada klien.

b. Institusi Pelayanan Kesehatan (RS); menjadi titik tolak / pedoman dalam rangkaian
pengembangan pelayanan asuhan keperawatan jiwa, sebagai referensi bagi para pembaca
maupun petugas (perawat) pada institusi.

c.

Institusi Pendidikan.

1) Secara kuantitatif menambah koleksi Asuhan keperawatan di perpustakaan; sebagai


bahan pertimbangan adik-adik dalam rangka mengarahkan mereka dalam pembuatan Asuhan
Keperawatan khususnya isolasi sosial.
2)

Dapat memberikan masukan untuk perkembangan Asuhan Keperawatan pada adik-

adik mahasiswa.

5. Sistematika Penulisan.
Sistem penulisannya terdiri dari; Judul, Lembar pengesahan, Daftar Isi, BAB I
Pendahuluan berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode dan tehnik penulisan,
manfaat penulisan sistematika penulisan. Pada BAB II Konsep teoritis; terdiri atas konsep dasar
penyakit, konsep dasar asuhan keperawatan, konsep analisa proses interaksi. BAB III
Pelaksanaan asuhan keperawatan terdiri atas pengkajian keperawatan, perumusan diagnosa
keperawatan, Rencana tindakan keperawatan, Implementasi / evaluasi keperawatan, BAB IV
Penutup berisi kesimpulan dan saran, Daftar Pustaka, Lampiran.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A.

Pengertian
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu

terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain
dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna Kelliat, 2006 ).
Kesimpulannya, isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
gangguan dalam berhubungan dengan orang lain atau lingkungan sehingga tidak dapat
berinteraksi dengan orang disekitarnya. Pasien mungkin merasa kesepian, ditolak, dan tidak
dapat membina hubungan yang berarti.
B.

Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan berhasil,

karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa
perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,
perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang
dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan. Komunikasi yang
hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri
dari:

a)

Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis
maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan
mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari.
b)

Masa Kanak-kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai


mengenal lingkungannya, anak mulai membina hubungan dengan teman-temannya.
Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat
membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu
yang interdependen. Orang tua harus dapat memberikan pengarahan, karena pada saat
anak mulai masuk sekolah ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan
berkompromi dengan orang lain.
c)

Masa Praremaja dan Remaja

Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman


sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan
mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim
dengan teman sejenis akan berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis.
Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti
daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak
dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan
perasaan tertekan maupun tergantung.
d)

Masa Dewasa Muda

Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan


interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan
kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang
lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu
kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan
interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).

e)

Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap


dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk mengembangkan
aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat
diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua
dengan anak.
f)

Masa Dewasa Akhir

Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik,


kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan
adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan
gangguan tingkah laku.

Sikap bermusuhan/hostilitas
Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan

mengungkapkan pendapatnya.
Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak,

untuk

hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi
kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara

terbuka dengan musyawarah.


Ekspresi emosi yang tinggi
Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang
membuat bingung dan kecemasannya meningkat)

Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena

norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial.

g) Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia.
C.

Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun

eksternal, meliputi:
1

Stressor Sosial Budaya


Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai,
kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit
atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

3. Stressor Biokimia
a

Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus
saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
h)

Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan

meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai
enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
i)

Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien

skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh


dopamin.

Hypertiroidisme,

adanya

peningkatan

maupun

penurunan

hormon

adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.


j)

Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala

psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.
4. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi
antara individu, lingkungan maupun biologis.
5. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah
gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan
tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik
mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya
masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan
psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang
sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
o
o
o
o
o

Tingkah laku curiga: proyeksi


Dependency: reaksi formasi
Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan regrasi.


D.

Sumber Koping

E.

Mekanisme Koping
Mekanisme gangguan kognitif, individu akan menggunakan berbagai macam kopin untuk

engatasinya. Individu yang telah mempunyai pengalaman menggunakan koping yang konstruktif
pada masa lalu akan lebih mampu mengatasi masalah dari pada individu yang sebelumnya telah
memiliki kesulitan dalam menyelesaikan masalah.
Perawat memiliki peranan untuk melindungi klien dari kemungkinan terjadinya
kecelakaan dengan menggantikan mekanisme koping yang dimiliki individu dengan cara
mengorientasikan realita secara terus menerus.

F.

Tanda dan Gejala

G.

Asuhan Keperawatan
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Tahap-Tahap Proses Keperawatan Jiwa.
a.

Pengkajian Keperawatan Jiwa.


Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses

keperawatan jiwa. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan
atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan
spiritual. Data pada pengkajian keperawatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan
koping yang dimiliki klien (Stuart dan Larai, 2001). Cara pengkajian lain berfokus pada 5
dimensi yaitu fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual kemampuan perawat yang
diharapkan dalam melakukan pengkajian adalah mempunyai kesadaran / tilik diri (selfawareness), kemampuan mengobservasi dengan akurat, kemampuan komunikasi terapeutik dan
senantiasa mampu berespon secara efektif (Stuart dan Larai, 2001).

b.Diagnosa Keperawatan Jiwa.


Pengertian diagnosa keperawatan jiwa adalah identifikasi / penilaian terhadap pola respon
klien baik aktual maupun potensial (Stuart dan Larai, 2001)
Tipe-tipe diagnosa keperawatan jiwa dalam rencana asuhan keperawatan jiwa dan
dokumentasi oleh Carpenito adalah:
1) Diagnosa Aktual; fokus intervensi yaitu mengurangi atau menghilangkan masalah
2)

Diagnosa Resiko Tinggi; fokus intervensi untuk mengurangi faktor resiko untuk

mencegah terjadinya masalah aktual

3) Diagnosa kemungkinan; fokus intervensi mengumpulkan data tambahan untuk / atau


menetapkan tanda gejala / faktor resiko
4)

Masalah Kolaboratif; fokus intervensi menentukan awitan atau status masalah

penatalaksanaan status

c. Perencanaan Keperawatan Jiwa.


Perencanaan keperawatan terdiri dari 3 aspek yaitu, tujuan umum, tujuan khusus dan
rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus kepada penyelesaian permasalahan
sedangkan tujuan umum dapat dicapai apabila serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan
khusus berfokus pada penyelesaian etiologi sehingga tujuan ini perlu dicapai atau dimiliki klien.
Umumnya kemampuan klien pada tujuan khusus dapat menjadi 3 aspek yaitu kemampuan
kognitif, psikomotor, dan afektif. Rencana tindakan ini disesuaikan dengan standar Asuhan
Keperawatan Jiwa di Indonesia atau standar Keperawatan Amerika. Tindakan keperawatan yang
telah direncanakan dicatat dalam formulir dokumen keperawatan.

d. Implementasi Keperawatan Jiwa.


Perilaku yang perlu dilakukan perawat-perawat adalah membina hubungan saling percaya
dengan melakukan kontrak, mengkaji data dari klien dan keluarga, memvalidasi data dengan
klien, mengorganisir atau mengelompokkan data, serta menetapkan kebutuhan atau masalah
klien. Implementasi tindakan keperawatan jiwa disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata implementasi sering kali jauh berbeda dengan rencana. Sebelum
melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat,
apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini. Pada saat akan
melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak dengan klien yang isinya
menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta yang diharapkan dari klien.

e. Evaluasi Keperawatan Jiwa.

Evaluasi keperawatan jiwa merupakan proses berkelanjutan menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi hasil atau sumatif yang
dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus serta umum yang telah
ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan SOAP yaitu:
S:

Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

O:

Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

A:

Analisa ulang atas data subjektif dan data objektif untuk menyimpulkan apakah

masalah masih tetap / muncul masalah baru


P:

Perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon klien.

1.

Pengkajian

2.

Diagnose Keperawatan

3.

Rencana Tindakan

4.

Implementasi

5.

Evaluasi

BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
A.

Tinjauan Kasus

B.

Pembahasan

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1.

Kesimpulan

2.

Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai