Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abad XXI dikenal sebagai abad globalisasi dan abad teknologi informasi.
Perubahan yang sangat cepat dan dramatis pada abad ini menuntut siswa dan generasi
penerus Indonesia untuk dapat dengan cepat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknologi yang diimbangi dengan
pemahaman sains yang baik meningkatkan berbagai penemuan yang akhirnya
memberikan pengaruh pada perkembangan iptek selanjutnya. Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumber daya alam baik tambang, hewani maupun nabati.
Kekayaan itu dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan manusia jika
generasi penerusnya memiliki kemampuan sais dan teknologi pemanfaatan dan
pengelolaan yang baik, salah satunya melalui pendidikan sains.
Pendidikan merupakan investasi suatu bangsa sehingga penyelenggaraannya
harus berkualitas, sebab melalui pendidikan yang berkualitas akan dihasilkan siswa
yang unggul, kompetitif dan profesional. Pendidikan berkualitas hanya akan terwujud
jika didukung oleh pembelajaran yang berkualitas. Ditjen Dikti (2008) menyatakan
bahwa pembelajaran berkualitas diartikan sebagai pembelajaran yang secara sinergis
mampu menghasilkan proses, hasil, dan dampak belajar yang optimal yang
memungkinkan terwujudnya better student learning capacity. Hal ini relevan
dengan pernyataan Uno (2010), yang menyatakan bahwa situasi pembelajaran yang
kondusif sangat mendukung terjadinya interaksi dalam pembelajaran, sehingga
menghasilkan luaran yang baik pula. Sementara menurut Widoyoko (2008) kualitas
pembelajaran dipengaruhi oleh 5 aspek meliputi: performance guru, fasilitas pembelajaran, iklim kelas, sikap dan motivasi belajar siswa. Pendidikan sains yang baik
merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan siswa dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (Rustaman, 2011).
IPA (biologi) menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar siswa menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. Menurut Carin & Evans (dalam Suciati, 2010), pembelajaran sains
sedikitnya meliputi empat hal, yaitu produk (content), proses, sikap, dan teknologi.
IPA sebagai konten berupa produk mengandung arti bahwa di dalam IPA terdapat

fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang sudah diterima


kebenarannya. IPA sebagai proses atau metode berarti bahwa IPA merupakan suatu
proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan. IPA sebagai sikap berarti bahwa
IPA dapat berkembang karena adanya sikap tekun, teliti, terbuka, dan jujur. IPA
sebagai teknologi mengandung pengertian bahwa IPA terkait dengan peningkatan
kualitas kehidupan.
Permasalah terbesar yang dihadapi para peserta didik sekarang (siswa) adalah
mereka belum bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana
pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperolah
informasi dan motivasi diri belum tersentuh oleh metode yang betul-betul bisa
membantu mereka. Para siswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep akademis
(seperti konsep-konsep matematika, fisika, atau biologi), karena metode mengajar
yang selama ini digunakan oleh pendidik (guru) hanya terbatas pada metode ceramah.
Di sini lain tentunya siswa tahu apa yang mereka pelajari saat ini akan sangat berguna
bagi kehidupan mereka di masa datang, yaitu saat mereka bermasyarakat ataupun saat
di tempat kerja kelak. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar-benar bisa
memberi jawaban dari masalah ini. Salah satu metode yang bisa lebih memberdayakan
siswa dalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL).
Komisi tentang Pendidikan Abad 21 (Commission of Education For the "21"
Century), merekomendasikan empat strategi dalam mensukseskan pendidikan:
pertama, learning to learn, yaitu memuat kemampuan menggali informasi yang ada di
sekitarnya dari ledakan informasi itu sendiri; kedua, learning to be, yaitu pelajar
diharapkan mampu untuk mengenali dirinya sendiri, serta mampu beradaptasi dengan
lingkungannya; ketiga, learning to do, yaitu berupa tindakan atau aksi, untuk
memunculkan ide yang berkaitan dengan sains dan keempat, learning to live together,
yaitu memuat kehidupan dalam masyarakat yang saling bergantung antara yang satu
dengan yang lain, sehingga mampu bersaing secara sehat dan bekerja sama serta
mampu untuk menghargai orang lain (Trianto, 2010).
Berdasarkan beberapa permasalahan diatas maka sangat penting bagi guru untuk
memahami karakteristik dan implementasi Contextual Teaching and Learning dalam
mata pelajaran sains, khususnya biologi. Dengan demikian, sangat diharapkan
pembelajaran biologi di kelas dilaksanakan secara kontekstual sehingga memberikan
pengalaman belajar yang mendalam bagi peserta dan menciptakan generasi penerus

yang memiliki mampu mengikuti perkembangan zaman yang akhirnya memberikan


kontribusi bagi perkembangan negara Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.

Apa pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

2.

Apa latar belakang Filosofis Contextual Teaching and Learning (CTL)

3.

Apa latar belakang Psikologis Contextual Teaching and Learning(CTL)

4.

Apa saja komponen Contextual Teaching and Learning(CTL)

5.

Apa tujuan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

6.

Apa saja teori-Teori belajar Contextual Teaching and Learning (CTL)

7.

Kelebihan dan kekurangan pembelajaran Contextual Teaching and


Learning (CTL)

8.

Bagaimana penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning


(CTL)

9. Apa saja faktor-faktor yang mempengarui keberhasilan Contextual Teaching


and Learning (CTL)
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
2. Memahami latar belakang Filosofis Contextual Teaching and Learning (CTL)
3. Memahami latar belakang Psikologis Contextual Teaching and Learning(CTL)
4. Memahami saja komponen Contextual Teaching and Learning(CTL)
5. Memahami tujuan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
6. Memahami saja teori-Teori belajar Contextual Teaching and Learning
(CTL)
7. Memahami kelebihan dan kekurangan pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL)
8. Memahami penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL)
9. Memahami

faktor-faktor

yang

Teaching and Learning (CTL)

mempengarui

keberhasilan

Contextual

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari
kata contex yang berarti hubungan, konteks, suasana, atau
keadaan.

Dengan

berhubungan

demikian

dengan suasana

contextual
(konteks).

diartikan

Sehingga

yang

Contextual

Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran


yang berhubungan dengan suasana tertentu. Elaine B. Jhonson
(Rusman,2011)

mengatakan pembelajaran CTL adalah sebuah

sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang


mewujudkan makna. Secara umum Kontekstual adalah adanya
keterkaitan terhadap setiap materi atau topik pembelajaran dengan
kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai
cara, selain memang karena materi yang dipelajari secara langsung
terkait dengan kondisi factual, juga bisa disiasati dengan pemberian
ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya.
Nurhadi (Rusman,2011) mengatakan CTL konsep belajar yang dapat
membantu guru mengaitkan antar materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Howey

R,

memungkinkan

Keneth

(Rusman,2011)

terjadinya

proses

pembelajaran
belajar

di

CTL

mana

yang
siswa

menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam


berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan
masalah yang bersifat simulative atau pun nyata. Pembelajaran CTL

didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (Rusman,2011) yang


menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang
dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan
kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Pengajaran CTL
sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali
dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual
oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997
sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang
bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas
penyelenggaraan

pengajaran

matematika

secara

kontekstual.

Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah


dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75
orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.
Penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk
level perguruan tinggi sehingga hasilnya direkomendasikan untuk
segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah,
pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil yang
signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan
meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Pembelajaran CTL berbeda dengan pembelajaran konvensional,
Departemen

Pendidikan

Nasional

(2002:5)

mengemukakan

perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)


dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:
CTL

Konvensional

Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa.

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru.

Cenderung mengintegrasikan beberapa

Cenderung terfokus pada satu bidang

bidang (disiplin).

(disiplin) tertentu.

Selalu mengkaitkan informasi dengan

Memberikan tumpukan informasi kepada

pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa

siswa sampai pada saatnya diperlukan.

Menerapkan penilaian autentik melalui melalui

Penilaian hasil belajar hanya melalui

penerapan praktis dalam pemecahan masalah.

kegiatan akademik berupa ujian/ulang

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi


pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata. Pembelajaran
contextual

teaching

and

learning(CTL)

adalah

pembelajaran

yang

menggunakan bermacam-macam masalah kontekstual sebagai titik


awal, sedemikian hingga peserta didik belajar dengan menggunakan
pengetahuan dan kemampuannya untuk memecahkan masalah,
baik masalah nyata maupun masalah simulasi, baik masalah yang
berkaitan dengan pelajaran lain di sekolah, situasi sekolah, maupun
masalah di luar sekolah, termasuk masalah-masalah di tempat kerja
yang relevan (Suryanto, 2002). Senada dengan pendapat ini,
Depdiknas (2002) menyatakan bahwa pembelajaran kontektual
adalah konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan
mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) bertujuan untuk
membekali peserta didik dengan pengetahuan yang secara fleksibel
dapat ditransfer dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan
dari satu konteks ke konteks yang lain. Lee (1999) dalam
(Depdiknas, 2002) mendefinisikan transfer sebagai kemampuan
untuk berpikir dan berargumentasi tentang situasi baru melalui
penggunaan pengetahuan awal. Transfer dapat berkonotasi positif
jika belajar dapat ditingkatkan melalui penggunaan pengetahuan
awal, dan berkonotasi negatif jika pengetahuan awal secara nyata
mengganggu proses belajar.
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean
Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran
epistomologi

Giambatista

mengungkapkan

Tuhan

Vico

adalah

(Wina
pencipta

Sanjaya,2007).

Vico

dalam

dan

semesta

manusia adalah tuan dari ciptaannya. Mengetahui, menurut Vico,


berarti

mengetahui

bagaimana

membuat

sesuatu.

Artinya

seseorang mengetahui manakala menjelaskan unsure-unsur apa


yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico, (Wina
Sanjaya,2007) pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang
tahu.

Pandangan

filsafat

konstruktivisme

tentang

hakikat

pengetahuan memengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa


belajar

bukanlah

bukanlah

sekedar

menghafal,

tetapi

proses

mengkostruksi pengetahuan melalui pengalaman.


B. Latar Belakang Filosofis Contextual Teaching and Learning (CTL)
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean
Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran
epistomologi

Giambatista

mengungkapkan

Tuhan

Vico

adalah

(Wina
pencipta

Sanjaya,
dalam

2007).

Vico

semesta

dan

manusia adalah tuan dari ciptaannya. Mengetahui, menurut Vico,


berarti

mengetahui

bagaimana

membuat

sesuatu.

Artinya

seseorang mengetahui manakala menjelaskan unsure-unsur apa


yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico, (Wina
Sanjaya, 2007) pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang
tahu.

Pandangan

filsafat

konstruktivisme

tentang

hakikat

pengetahuan memengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa


belajar

bukanlah

bukanlah

sekedar

menghafal,

tetapi

proses

mengkostruksi pengetahuan melalui pengalaman.

C. Latar Belakang Psikologis Contextual Teaching and Learning(CTL)


Pembelajaran melalui Kontekstual pada dasarnya mendorong
agar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses
pengamatan dan pengalaman. Pengetahuan yang hanya diberikan
tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Dari asumsi dan

latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal


yang harus anda pahami tentang belajar dalam konteks Kontekstual.
1. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses
mengkonstruksikan pengetahuan sesuai dengan pengalaman
yang mereka miliki.
2. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas.
3. Belajar adalah proses pemecahan masalah.
4. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang
secara bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks.
5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari
kenyataan.
D. Komponen Contextual Teaching and Learning(CTL)
Pendekatan

pembelajaran

contextual

teaching

and learning(CTL)

memiliki 7 asas. Asas tersebut biasa disebut dengan 7 komponen


Tujuh komponen dalam pembelajaran contextual teaching and learning
(CTL) :
1. Konstruktivisme
Landasan

berfokus

mendorong

siswa

kontruktivisme
harus

mengemukakan

menemukan

bahwa

sendiri

dan

mentranformasikan imformasi dan merevisinya apabila aturanaturan

itu

tidak

sesuai

lagi

bagi

siswa

agar

benar-benar

memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus


belajar memecahkan masalah, mengamati dan dapat menemukan
ide-ide mereka sendiri dalam pandangan kontruktivis, strategi
memperoleh lebih diutamakan dari beberapa banyak siswa
memperoleh dan mengingat pengetahuan. Dari penjabaran diatas
maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses kontruktisi
bukan menerima pengetahuan.
2. Menemukan (Inquiri)
Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis
contekstual
sejumlah

teaching

fakta

hasil

and

learning.

mengingat,

Pengetahuan

akan

tetapi

bukanlah

hasil

proses

menemukan sendiri. Adapun langkah-langkah kegiatan inkuiri


sebagai berikut :
a. Merumuskan masalah
b. Mengamati atau melakukan observasi
c. Mengumpulkan data
d. Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
e. Membuat kesimpulan
Dari keterangan diatas siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan
logis sebagai dasar pembentukan kreativitas.
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya dipandang sebagian kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing untuk menemukan materi yang dipelajarinya melalui
kegiatan dalam melakukan pembelajaran yang berbasis inkuiri
yaitu mengali informasi mengkonfirmasikan apa yang sudah
diketahui dan mengharapkan perhatian pada aspek yang belum
diketahuinya.
4. Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerja sama dari orang lain.
5. Pemodelan ( Modelling )
Pemodelan yaitu pembelajaran pengetahuan terdapat dalam
pembelajaran siswa
6. Refleksi ( Reflection )
Refleksi yaitu proses pembelajaran yang telah berakhir, guru
memberikan kesempatan siswa untuk mengingat kembali apa
yang telah dipelajari.
7. Penilaian Nyata ( Autentic Assessment )
Penilaian yang autentik dilakukan secara terus menerus selama
kegiatan pembelajaran berlangsung. Penilaian autentik adalah
berbagai

macam

strategi

penilaian

yang

digunakan

untuk

mengetahui hasil belajar siswa yang sesungguhnya hal-hal yang


bias digunakan sebagai dasar menilai adalah penilaian proyek

atau

kegiatan

dan

laporan,

PR

,kuis,

karya

siswa,presentasi,demonstrasi, jurnal hasil tes tertulis, karya tulis .


ketujuh komponen dapat terwujud jika ada kerja sama yang baik
antara guru dan siswa.

E. Tujuan Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)


Tujuan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai
berikut :
1. Pengajaran autentik
Pengajaran autentik adalah pembelajaran yang memungkinkan
siswa belajar dalam konteks bermakna strategi ini menyatukan
keterangan berfikir dan pemecahan yang merupakan keyerangan
penting dalam tatanan kehidupan nyata
2. Pembelajaran berbasis inquiri
Pembelajaran berbasis inquiri adalah merupakan pembelajaran
yang

berpola

pada

metode

Matematika

dan

memberikan

kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif pembelajaran


3. Pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berbasis masalah adalah merupakan suatu kegiatan
yang mengunakan masalah dunia nyata sebagi kontes bagi siswa
untuk belajar berfikir kritis dan keterangan dalam pemecahan
masalah.
4. Pembelajaran

kooperatif

adalah

merupakan

strategi

belajar

dimana siswa belajar kelompok kecil saling membantu untuk


memahami suatu materi pelajaran memeriksa dan memperbaiki
jawaban teman dalam kelompok.
F. Teori-Teori Belajar Contextual Teaching and Learning (CTL)

Beberapa teori belajar yang melandasi pendekatan Contextual Teaching


and Learning (CTL) untuk dapat ditetapkan. Adapun teori-teori tersebut
adalah:
1. Teori belajar Jerome Bruner
Teori belajar ini dikenal dengan teori belajar penemuan.
Belajar

penemuan

merupakan

usaha

sadar

untuk

mencari

pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertai sehingga


mendapatkan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi
dirinya. Belajar penemuan memiliki keterangan diantaranya
pengetahuan lebih mudah menerapkan ketika ia berhadapan
dengan situasi yang baru meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berfikir bebas namun belajar penemuan yang
memiliki kekurangan diantara kekurangan tersebut adalah waktu
yang digunakan relative lama dibandingkan dengan belajar
hafalan.
Bruner

mengunakan

model

yaitu

individu

yang

belajar

mengalami sendiri apa yang dipelajarinya agar proses tersebut


yang direkam dalam pikirannya dengan caranya sendiri pada
model

bermain

kontruktif.

Bruner

membagi

proses

belajar

tahapan, yaitu a) tahap kegiatan (enactive) yaitu siswa belajar


melalui

benda

nyata

atau

mengalami

langsung

peristiwa

disekitarnya, b) tahap gambar bayangan (iconic) yaitu siswa tidak


bisa mengubah, menandai dan menyimpan benda nyata atau
peristiwa dalam bentuk bayangan mental dibenaknya, c) tahap
simbolik

(syimbolic)

yaitu

siswa

sudah

dapat

menyatakan

bayangan mentalnya dalam bentuk simbol dan bahasa.


2. Teori belajar social
Adalah merupakan perluasan dari teori perilaku tradisional
(behavioristik) teori ini merupakan prinsip pembelajaran perilaku
dan penekanannya pada proses mental internal, teori belajar
social dikembangkan oleh Albert Bandura menuru Bandura seperti
yang dikutip oleh (Kardi,1997:15) bahwa teori pemodelan tingkah
laku merupakan proses tiga (3) tahab yang meliputi perhatian,

retensi, dan produksi dengan kata lain. Hal tersebut tergantung


pada perhatian pengamatan terhadap tingkah laku tertentu.
Kemudian membentuk persepsinya didalam jangka panjang dan
pada akhir muncullah ingin menghasilkan tingkah laku tersebut.
Implikasi dalam CTL adalah siswa akan mengamati sendiri
masalah-masalah yang hendak dipecahkan sehingga terbentuk
persepsi jangka panjang dalam pemecahan masalah tersebut.
3. Teori Motivasi
Teori motivasi ini merupakan salah satu unsur yang penting
dalam kegiatan mengajar . belajar menurut Slavene seperti yang
dikutip Nur (1998:2) bahwa motivasi suatu proses internal yang
dapat mengaktifkan, membimbing dan memperhatikan prilaku
dalam waktu tertentu dalam bahasa sederhana, motivasi dapat
diartikan sebagai apa yang membuat anda berbuat, membuat
anda tetap berbuat dan menentukan kearah masalah anda
perbuat. Motivasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan
aktifitas untuk mencapai tujuan dilihat dari alas an timbulnya
motivasi dapat dibedakan menjadi dua (2) macam :
a. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam
seseorang. Kegiatan dimulai dilaksanakan karena adanya
dorongan berlangsung dikaitkan dengan kegiatan misalnya
siswa mengerjakan tugas-tugas sains karena memang ia
berniat untuk mendalami sains.
b. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul karena adanya
stimulus dari luar kegiatan dimulai dan dilaksanakan karena
adanya dorongan tidak langsung yang berhubungan dan
kegiatan tersebut misalnya siswa mengerjakan soal sains
untuk mendapat nilai yang baik. Sains yang dapat mendorong
siswa untuk melaksanakan aktivitasaktivitas yang di maksud
disini

membaca

mengerjakan

soal

bertanya

bertanya keguru dan mendemonstrasikan ide-idenya.


4. Teori belajar Piaget dan Vygosty

keteman,

Menurut
langsung

Piaget

terjadi

dan
jika

Vygosty

bahwa

konsepsi-konsepsi

perubahan
yang

kognitif

dipahamkan

sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidak seimbangan


dalam upaya memahami informasi informasi baru. Piaget dan
Vygosty yang menekankan adanya hakikat social dari belajar dan
keduanya menyarankan untuk mengunakan kelompok-kelompok
belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda
untuk menyiapkan perubahan konseptual. Ada empat (4) bentuk
pengetahuan pada seserorang yaitu pembelajaran social zona
pembelajaran terdapat penanganan kognitif dan scaffolding.
G. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning(CTL)
1.

Kelebihan pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) :


a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa
dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat
penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa
materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi
yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa,
sehingga tidak akan mudah dilupakan.
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan
penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran
Kontekstual menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang
siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri.
Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan
belajar melalui mengalami bukan menghafal.
c. Siswa

terlibat

aktif

dalam

memecahkan

dan

memiliki

keterangan berfikir yang lebih tinggi karena siswa dilatih untuk


mengunakan berfikir memecahkan suatu masalah dalam
mengunakan data memahami masalah untuk memecahkan
suatu hasil

d. Pengetahuan

tetang

materi

pembelajaran

tertanam

berdasarkan skema yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran


CTL akan lebih bermakna
e. Siswa dapat merasakan dengan masalah yang konteks bagi
siswa hal ini dapat mengakibatkan motivasi kesukaran siswa
terhadap belajar matematika semakin tinggi
f.

Siswa menjadi mandiri

2. Kekurangan

pembelajaran

contextual

teaching

and

learning(CTL)

diantaranya adalah sebagai berikut:


a. Waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan amat banyak
karena siswa ditentukan menemukan sendiri suatu konsis
sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator, hal ini
dapat berakibat pada tahap awal materi kadang-kadang tidak
tuntas.
b. Tidak semua komponen pembelajaran contextual teaching and
learning(CTL) dapat diterapkan pada seluruh materi pelajaran
tetap hanya dapat diterapkan pada materi pembelajaran yang
mengandung prasyarat yang dapat diterapkan contextual teaching
and learning(CTL)
c. Sulit untuk menambah paradigma guru : guru sebagai
pengajar keguru sebagai fasilitator dan mitra siswa dalam
belajar, dalam suatu pembelajaran tentu ada kelemahankelemahannya

agar

dengan

maka

baik

suatu
tugas

pembelajaran
kita

sebaga

dapat
guru

berjalan
adalah

meminimalkan kelemahan-kelemahan tersebut dengan bekerja


keras.
d. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode
CTL, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas
guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan
yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang
sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan
dipengaruhi

oleh

tingkat

perkembangan

dan

keluasan

pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru


bukanlah sebagai instruktur atau penguasa yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar
mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
e. Guru

memberikan

kesempatan

kepada

siswa

untuk

menemukan atau menerapkan sendiri ideide dan mengajak


siswa

agar

dengan

menyadari

dan

dengan

sadar

menggunakan strategistrategi mereka sendiri untuk belajar.


Namun

dalam

konteks

ini

tentunya

guru

memerlukan

perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar


tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan
semula.
Menurut PLPG kuota 2008 manfaat pembelajaran contextual teaching
and learning(CTL) antara lain :
1. Bagi anak didik
a. Mengaitkan mata pelajaran dengan pekerjaan atau kehidupan
b. Mengaitkan kandungan mata pelajaran dengan pengalaman
seharihari
c. Memindahkan kemahiran
d. Memberi kesan dan mendapatkan bukti
e. Menguasai

permasalahan

abstrak

melalui

pengalaman

kongkrit
f. Belajar secara bersama
2. Bagi pendidik
a. Menjadikan pengajaran sebagai salah satu pengalaman yang
bermakna
b. Mengaitkan prinsip prinsip mata pelajaran dengan dunia
pekerjaan
c. Menjadikan

Penghubung

antara

pihak

akademik

vokasional
H. Penerapan Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

kan

Menurut

Priyono

sebuah

kelas

dikatakan

mengunakan

pendekatan contextual teaching and learning(CTL) jika menerapkan tujuh


(7) konponen tersebut dalam pembelajarannya untuk melaksanakan
pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) dapat diterapkan
dalam kurikulum apa saja bidang studi apa saja dan kelas
yangbagaimanapun keadaanya. Penerapan pembelajaran contextual
teaching and learning(CTL) dalam kelas secara garis besar langkahlangkahnya :
a. Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara beerja sendiri, menemukan sendiri dan
mengkonstruksikan

sendiri

pengetahuan

dan

ketrampilan

bertanya.
b. Pengetahuan kegiatan inquiri untuk semua topic
c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok)
e. Menghadirkan model sebagai contoh tingkah laku atau cara
mengunakan

alat,

menemukan

konsep

atau

menyelesaikan

konsep
f. Melakukan refleksi diakhir pertemuan
g. Melakukan penelitian autentik dan berbagai cara.
Sedangkan menurut Elaine Bjohnson mengarah pada delapan (8)
komponen pada pembelajaran CTL, yakni:
a. Membuat keterkaitan yang bermakna
b. Melakukan kerja yang bermakna
c. Belajar mengatur diriya sendiri
d. Kolaboratif
e. Berfikir kritis dan kreatif
f. Pembimbing perorangan
g. Mengapai standar yang tinggih.
h. Menggunakan assessment outentik
Dengan

demikian

dalam

pembejaran

kontekstual

semua

komponen tidak harus dilaksanakan tetapi pada penelitian ini


meliputi menerapkan pembelajaran contextual teaching and learning(CTL)

dan mengunakan model kooperatif. Langkah-langkah pembelajaran


contextual teaching and learning(CTL)adalah:
a. Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa.
b. Menyajikan informasi masalah tersebut dan mendiskusikannya
dengan temannya. Pada langkah ini komponen contextual teaching
and learning(CTL) yang muncul adalah menemukan masalah dan
bertanya.
c. Mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar.
Setelah siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan,
siswa diminta menyelesaikan masalah komponen contextual teaching
and learning(CTL) yang dilakukan adalah kontruktivisme masyarakat
belajar inquiri dan menemukan penyelesaian dari permasalahan
yang diberikan
d. Membimbing kelompok bekerja dan belajar.
e. Evaluasi adalah penilaian outentik (saat ini siswa menampilkan
hasil karyanya dan langkah-langkah hasil pengerjaanya didepan
guru dan teman-temannya setelah didiskusikan secara bersamasama dengan bimbingan guru,siswa, menyimpulkan apa yang
telah dipelajari dari masalah yang diangkat.
f. Refleksi diakhir pembelajaran siswa diminta memberi komentar
tentang pembelajaran yang dilakukan.
I. Faktor-Faktor

yang

Mempengarui

Keberhasilan

Contextual

Teaching and Learning (CTL)


Menurut The Northwesh Regional Education Laboratory USA
mengidentifikasikan terdapat 6 hal yang dapat mempengarui
keberhasilan pelaksanaan contextual teaching and learning(CTL) antara lain
:
1. Pembelajaran bermakna : pemahaman relevan dan penilaian
pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam
mempelajarai isi materi pelajaran.

2. Penerapan pengetahuan : kemampuan siswa untuk memahami


apa yang dipelajarai dan terapkan dalam tatanan kehidupan dan
fungsi dimasa sekarang atau dimasa yang akan datang
3. Berpikir tingkat tinggi : siswa diwajibkan untuk memanfaatkan
berfikir kritis dan berpikir kreatif dalam mengumpulkan data,
pemahaman suatu isu dan pemecahan masalah.
4. Kurikulum

yang

dikembangkan

berdasarkan

standar

isi

pembelajaran harus dikaitkan dengan standar local, provinsi,


nasional, perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi serta
dunia kerja.
5. Respon terhadap budaya : guru harus memahami dan menghargai
nilai, kepercayaan dalam kebiasaan siswa, teman pendidik dan
masyarakat tempat pendidik. Ragam individu dan budaya suatu
kelompok

serta

hubungan

antar

budaya

tersebut

akan

mempengarui terhadap cara mengajar guru. Empat hal ini perlu


diperhatikan dalam pembelaran kontekstual yaitu kelas, individu
siswa, kelompok siswa baik tim atau keseluruan, tatanan sekolah
dan besarnya tatanan komunikasi kelas.
6. Penilaian autentik : penggunaan berbagai strategi penilaian
(missalnya proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan
portofolio, rubrik daftar cek, pedoman observasi dan sebagainya)
akan merefleksikan hasil sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Johnsonn, Elene, B.2006. Contextual Teaching and Learning. Jakarta: Mizan
Learning Centre
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Beroriontasi Standar Proses. Jakarta:
Kencana.
Muchin, M., Saekhan. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Ra Sail.
Pitajeng. 2009. Pembelajaran Matematika yang menyenangkan. Departemen
Pendidikan Nasional: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Mukhusiyah. Penerapan Pendekatan Pembelajaran (CTL). Surabaya: Pasca Unesa.
Suedjadi, R. 2009. Kiat Pendidikan. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
David, Reynalds & Danier, Magic. 2008. EfectiveTeaching. Yogyakarta:
Pustaka belajar

Anda mungkin juga menyukai