PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Human Immunodeficiency virus adalah golongan retrovirus, di dalam
tubuh manusia virus ini akan menempel pada sel limfosit T karena terdapat
reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 pada permukaan luar
HIV ( Levinson W, Jawetz E, MD, 2003). Melalui reseptornya kemudian virus
tersebut bereplikasi dalam sel T helper ( CD4 ) dan mengakibatkan kerusakan
CD4 tersebut sehingga jumlah CD4 cenderung terus menurun dan kekebalan
seluler akan berkurang. Infeksi ini awalnya asimptomatik dan akan berlanjut
menjadi infeksi laten sampai terjadi gejala infeksi dan kemudian akan berlanjut
menjadi AIDS (Bartlett JG, Gallant JT, 2006).
Jumlah CD4 adalah ukuran standar immunodefisiency pada orang dewasa
yang terinfeksi HIV untuk memulai dan memantau terapi antiretroviral, tetapi
mungkin di negara negara yang kurang berkembang tidak dapat di lakukan oleh
karena harganya yang relatif mahal dan peralatan terbatas sehingga perlu
pemeriksaan alternatif untuk mengukur defisiensi imun penderita. Ada laporan
dari peneliti peneliti terdahulu yang mengkaitkan antara tingkat kekebalan tubuh
dengan jumlah total limfosit, dimana dilaporkan bahwa peninggian total limfosit
count menggambarkan peninggian kekebalan tubuh ( Deresse D, Eskindir L, 2008
; Ghate M, et al, 2009). Walaupun demikian dan telah di laporkan bahwa jumlah
total limfosit berhubungan dengan tingkat kekebalan tubuh manusia, tetapi masih
jarang di laporkan akan jumlah total limfosit di kaitkan dengan kekebalan tubuh
pada penderita HIV.
Diagnosis yang tepat dan secara dini dapat digunakan untuk menentukan
rencana perawatan dan pengobatan yang tepat, sehingga dapat menurunkan
transmisi HIV serta menentukan penatalaksanaan pasien sejak infeksi dini.
Penentuan diagnosis dilakukan menggunakan pemeriksaan klinis yang ditunjang
oleh pemeriksaan laboratorium sampel darah untuk melihat kadar antibodi
terhadap HIV atau melalui hitung CD4+ sel limfosit T. Teknik yang sering
digunakan yang hitung manual dan Enzyme-linked Immunosorbent Assay
1
(ELISA). Maka disini penyusun makalah akan menjelaskan tentang diagnosis hiv
aids melalui uji molekuler ELISA dengan sampel saliva.
1.2
Tujuan
Melalui makalah ini, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai. Tujuan
2.
3.
1.3
Manfaat
Makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa informasi
baik kepada pembaca maupun kepada penulis yang jelas tentang diagnosis HIV
AIDS melalui uji molekuler ELISA dengan sampel saliva.. Selain itu makalah ini
juga diharapkan mampu memberikan informasi tambahan tentang metode
imunhistokimia sebagai salah satu jenis pemeriksaan biomolekuler.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Jumlah CD4 dipakai bersama untuk meramalkan berapa lama kita akan tetap
sehat.
ini
mempunyai
kekurangan
karena
menggunakan
antibodi
monoklonal yang hanya mengenali satu antigen, mahal, ada beberapa teknik
ELISA yang memungkinkan terjadi banyak kesalahan, memerlukan waktu yang
sangat lama, dan membutuhkan laboraturium khusus serta tenaga ahli sehingga
tidak dapat diaplikasikan oleh masyarakat luas (Respess RA et al, 2001).
10
BAB 3
PENUTUP
3.1Kesimpulan
ELISA ini adalah tes yang mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh
terhadap virus HIV. Uji ini mempunyai kekurangan karena menggunakan antibodi
monoklonal yang hanya mengenali satu antigen, mahal, ada beberapa teknik
ELISA yang memungkinkan terjadi banyak kesalahan, memerlukan waktu yang
sangat lama, dan membutuhkan laboraturium khusus serta tenaga ahli sehingga
tidak dapat diaplikasikan oleh masyarakat luas. Tes ELISA dapat dilakukan sa;ah
satunya dengan sampel air liur(saliva).
Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa
telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau
IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA
menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut
sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.
Jadi uji molekuler menggunakan teknik ELISA ini banyak memiliki
kekurangan seperti yang disimpulkan diatas, dan harus ditunjang dengan western
blot atau IFA.
11
DAFTAR PUSTAKA
Attili suresh VS, Gulati AK, Singh VP, et al. Diarrhea,CD4 counts and
enteric infections in a hospital based cohort of HIV- infected patients around
Varanasi, India, BioMedCentral 2006; 6 (39)
Bartlet JG, Gallant JT, 2006, Medical Management of HIV Infections,John
Hopkins University School of Medicine, Australia, 19-23
Burban SD, Estimates of opportunistic infection incidence or death within
specific CD4 strata in HiV infected patints in Abidjan,Cote dlvoire: Impact of
alternative methods of CD4 count modeling,Eur J Epidemiol. 2007:22(10):737
744
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, 1999 ; Ilmu Penyakit Kulit DanKelamin ;
Edisi ke tiga cetakan keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
; 405 409.
Ghate M, Swapna D, Srikanth T, et al. Incidence of common Opportunistic
infections in HIV- infected individuals in Pune, India: analysis by stages of
immunosuppression represented by CD4 counts, Elsevier 2009; 13; 1 8.
Highleyman, Nadir CD4 Memprediksi Penyakit Terdefinisi AIDS dan NON
AIDS, 2007; Yayasan spiritia, Jakarta
Kelly Jeffrey A et al, 1994, The Effects of HIV/AIDS intervention Groups
for High Risk Women in urban Clinics, vol 84,no 12, American journal of public
health
12
2005.
[cited
2012
October
8].
Available
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Publications_HLM-382__Rev_1.pdf.
13
from: