Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
2.
3. Halal dan haram adalah sebagian hukum dalam Islam. Halal adalah sesuatu yang
boleh diperbolehkan untuk dilakukan, dan haram adalah sebaliknya yaitu tidak
diperbolehkan. Allah SWT menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang
buruk untuk manusia karena Ia Maha Tahu yang terbaik untuk ciptaan-Nya
(Nurkholis, 2009).
4.
5. Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat
Alquran dan As-Sunah serta i'tibar (logika) yang benar. Allah berfirman (yang
artinya), "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan."
(Al-Baqarah: 195). Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi
kebinasaanmu. Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat di atas adalah
merokok termasuk perbuatan yang mencampakkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan. Sedangkan dalil dari As-Sunah adalah hadis shahih dari Rasulullah
saw. Bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta (Muhammad S, 2006).
6.
7. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal-hal yang
tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta dengan
membeli rokok adalah termasuk pengalokasian harta pada hal yang tidak
bermanfaat, bahkan pengalokasian harta kepada hal-hal yang mengandung
kemudharatan. Dalil yang lain, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Tidak
boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."
(HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340). Jadi, menimbulkan bahaya (dharar)
adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari'at, baik bahayanya terhadap badan,
akal, ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa merokok adalah
berbahaya terhadap badan dan harta (Muhammad S, 2006).

1.2 Tujuan

Memberi pengertian mengenai haramnya merokok dalam kehidupan


seorang muslim.
1.3 Manfaat
Memahami haramnya merokok yang ada di dalam keseharian seorang
muslim.

BAB 2
2

ISI
2.1 Halal-Haram Adalah Semata-Mata Hak Allah
Halal dan haram adalah sebagian hukum dalam Islam. Halal adalah
sesuatu yang boleh diperbolehkan untuk dilakukan, dan haram adalah sebaliknya
yaitu

tidak

diperbolehkan. Allah

SWT menghalalkan

yang

baik

dan

mengharamkan yang buruk untuk manusia karena Ia Maha Tahu yang terbaik
untuk ciptaan-Nya (Nurkholis, 2009).
Dasar bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk
menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan
manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama
maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah. Bukan pastor,
bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halalharam. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan
menentang hak Allah dalam menetapkan perundangundangan untuk ummat
manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti
dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut
"musyrik". Firman Allah: "Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang
mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (asSyura: 21) Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah
memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal
dan haram, dengan firmannya sebagai berikut: "Mereka itu telah menjadikan para
pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam
(telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya
berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci
Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan." (at-Taubah: 31) 'Adi bin Hatim pada
suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah pada waktu itu dia lebih dekat
pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar ayat tersebut,
kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah
para pastor dan pendeta itu.

Maka jawab Nabi s.a.w.: "Benar, Tetapi mereka (para pastor dan pendeta)
itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan
sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah
penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi) "Memang mereka (ahli
kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor
itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila
pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan
juga." Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah
memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langitsuatu
penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya.
Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi,
itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun
terlepas kelak di sorga" (Qardhawi Y, 1993).
Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani
mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai
berikut: "Katakanlah, Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah
turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya
itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu,
ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59) Dan
firman Allah juga: "Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang
dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram,
supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang
berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)
Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih
mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal
dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya
(Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang
halal dan haram itu. Seperti firmanNya: "Sungguh Allah telah menerangkan
kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119) Para ahli fiqih
sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak
boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada

menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada
kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram). Imam Syafi'i dalam al-Um5 meriwayatkan, bahwa
Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guruguru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga
mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam alQuran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran (Qardhawi Y, 1993).
Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari arRabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besardia pernah
berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang lakilaki yang
berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian
Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya.
Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah
akan berkata: "Dusta engkau, Aku sama sekali tidak pernah mengharamkan dan
tidak melarang dia." Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku
pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i salah seorang ahli fiqih golongan
tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa
mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka
berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini
adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini! Demikianlah apa
yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga
oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa
ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah
diketahuinya dengan pasti." Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau
beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak
menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau
saya tidak menganggap dia itu baik. Cara seperti ini dilakukan juga oleh imamimam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain (Qardhawi Y,
1993).

2.2 Merokok
2.2.1 Definisi Merokok
Para ilmuwan psikologi umumnya sesuai dalam pendapat bahwa pokok
persoalan psikologi adalah perilaku, namun tetap terdapat perbedaan yang besar
sekali dalam pendapat mereka mengenai hal-hal apa saja tepatnya yang harus
dimasukkan ke dalam kategori perilaku tersebut. Dalam pengertian paling luas,
perilaku ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami seseorang. Ideide, impian-impian, reaksi-reaksi kelenjar, lari, menggerakkan sesuatu, semuanya
itu adalah perilaku. Dengan kata lain, perilaku adalah sebarang respon (reaksi,
tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan oleh suatu organisme. Sedangkan
menurut pengertian yang lebih sempit, perilaku hanya mencakup reaksi yang
dapat diamati secara umum atau objektif (Chaplin, 2005). Hampir sama dengan
definisi tersebut, Atkinson dkk (tanpa tahun) menyatakan bahwa perilaku adalah
aktivitas suatu organisme yang dapat dideteksi. Munculnya perilaku dari
organisme ini dipengaruhi oleh faktor stimulus yang diterima, baik stimulus
internal maupun stimulus eksternal.
Sari, dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas
menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok.
Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang
berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas
merokok,

waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari

(Komasari & Helmi, 2000). Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah membakar
tembakau yang kemudian dihisap asapnya. Asap rokok yang dihisap melalui
mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada
ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan ke udara oleh
perokok disebut sidestream smoke yang mengakibatkan seseorang menjadi
perokok pasif. Kesimpulan dari perilaku merokok dengan merujuk pada definisidefinisi diatas adalah aktivitas membakar tembakau dan menghisap atau
menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau langsung dari rokoknya
(mainstream smoke), kemudian menghembuskan kembali asap tersebut ke udara
(sidestream smoke).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok


adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa
atau rokok yang dilakukan secara menetap dan terbentuk melalui empat tahap,
yaitu: tahappreparation, initiation, becoming a smoker, dan maintenance of
smoking.
2.2.2 Merokok Adalah Haram
Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir
ayat Alquran dan As-Sunah serta i'tibar (logika) yang benar. Allah berfirman (yang
artinya), "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan."
(Al-Baqarah: 195). Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi
kebinasaanmu. Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat di atas adalah
merokok termasuk perbuatan yang mencampakkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan. Sedangkan dalil dari As-Sunah adalah hadis shahih dari Rasulullah
saw. Bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta (Muhammad S, 2006).
Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal-hal
yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta
dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasian harta pada hal yang tidak
bermanfaat, bahkan pengalokasian harta kepada hal-hal yang mengandung
kemudharatan. Dalil yang lain, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Tidak
boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."
(HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340). Jadi, menimbulkan bahaya (dharar)
adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari'at, baik bahayanya terhadap badan,
akal, ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa merokok adalah
berbahaya terhadap badan dan harta (Muhammad S, 2006).
Adapun dalil dari i'tibar (logika) yang benar yang menunjukkan
keharaman rokok adalah karena dengan perbuatan itu perokok mencampakkan
dirinya ke dalam hal yang menimbukan bahaya, rasa cemas, dan keletihan jiwa.
Orang yang berakal tentu tidak rela hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Alangkah
tragisnya kondisinya, dan demikian sesaknya dada si perokok bila tidak
menghisapnya. Alangkah berat ia melakukan puasa dan ibadah-ibadah lainnya

karena hal itu menghalagi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya
berinteraksi dengan orang-orang saleh karena tidak mungkin mereka membiarkan
asap rokok mengepul di hadapan mereka. Karena itu, Anda akan melihat perokok
demikian tidak karuan bila duduk dan berinteraksi dengan orang-orang saleh.
Semua i'tibar itu menunjukkan bahwa merokok hukumnya diharamkan. Karena
itu, nasehat saya untuk saudara-saudara kaum muslimin yang masih didera oleh
kebiasaan menghisap rokok agar memohon pertolongan kepada Allah dan
mengikat tekad untuk meninggalkannya. Sebab, di dalam tekad yang tulus disertai
dengan memohon pertolongan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan
menghindari siksaan-Nya, semua itu adalah amat membantu di dalam upaya
meninggalkan hal tersebut (Wicaksono R, 2006).
Jawaban Atas Berbagai Bantahan: Jika ada orang yang berkilah,
"Sesungguhnya kami tidak menemukan nash, baik di dalam kitabullah ataupun
sunah Rasulullah saw. perihal haramnya rokok." Maka, jawaban atas penyataan
ini adalah bahwa nash-nash Alquran dan sunah terdiri dari dua jenis;
1. Jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith (ketentuanketentuan) dan kaidah-kaidah yang mencakup rincian-rincian yang banyak sekali
hingga hari kiamat.
2. Jenis yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada suatu itu sendiri secara
langsung.
Sebagai contoh untuk jenis pertama adalah ayat Alquran dan dua hadis yang kami
sebutkan di atas yang menunjukkan keharaman merokok secara umum meskipun
tidak diarahkan secara langsung kepadanya. Sedangkan untuk jenis kedua, adalah
seperti fiman Allah (yang artinya), "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (dagig hewan) yang disembelih atas nama selain Allah." (AlMaidah: 3). Dan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah
perbuatan-perbuatan itu." (Al-Maidah: 90). Jadi, baik nash-nash itu termasuk jenis
pertama atau kedua, ia bersifat keniscayaan (keharusan) bagi semua hamba Allah
karena dari sisi pengambilan dalil mengindikasikan hal itu. Sumber: Program Nur

'alad Darb, dari Fatwa Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, dari kitab
Fatwa-Fatwa Terkini (Wicaksono R, 2006).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan rokok haram karena di
dalamnya ada racun. Al-Quran menyatakan, Dihalalkan atas mereka apa-apa
yang baik, dan diharamkan atas mereka apa-apa yang buruk (kotoran). (al-Araf:
157). Rasulullah juga melarang setiap yang memabukkan dan melemahkan,
sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Ummu Salamah ra.
Merokok juga termasuk melakukan pemborosan yang tidak bermanfaat.
Selanjutnya, rokok dan bau mulut perokok bisa mengganggu orang lain, termasuk
pada jamaah shalat. Rokok haram karena melemahkan dan memabukkan. Dalil
nash tentang benda memabukkan sudah cukup jelas. Hanya saja, penjelasan
tentang mabuk itu sendiri perlu penyesuaian (Wicaksono R, 2006).

2.3 Setiap Bahan yang Berbahaya Dikonsumsi Tetap Haram


Di sini ada suatu kaidah yang menyeluruh dan telah diakuinya dalam
syariat Islam, yaitu bahwa setiap muslim tidak diperkenankan makan atau minum
sesuatu yang dapat membunuh, lambat ataupun cepat, misalnya racun dengan
segala macamnya; atau sesuatu yang membahayakan termasuk makan atau minum
yang terlalu banyak yang menyebabkan sakit. Sebab seorang muslim itu bukan
menjadi milik dirinya sendiri, tetapi dia adalah milik agama dan umatnya.
Hidupnya, kesehatannya, hartanya dan seluruh nikmat yang diberikan Allah
kepadanya adalah sebagai barang titipan (amanat). Oleh karena itu dia tidak boleh
meneledorkan amanat itu. Firman Allah: "Janganlah kamu membunuh diri-diri
kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Belas-kasih kepadamu." (an-Nisa': 29)
"Jangan kamu mencampakkan diri-diri kamu kepada kebinasaan." (al-Baqarah:
195) Dan Rasulullah s.a.w. pun bersabda: "Tidak boleh membuat bahaya dan
membalas bahaya." (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah) (Qardhawi Y, 1993).
Sesuai dengan kaidah ini, maka kami berpendapat: sesungguhnya rokok
(tembakau) selama hal itu dinyatakan membahayakan, maka menghisap rokok
hukumnya adalah haram. Lebih-lebih kalau dokter spesialis sudah menetapkan hal
tersebut kepada seseorang tertentu. Kalaupun toh ditakdirkan tidak jelas

bahayanya terhadap kesehatan seseorang, tetapi yang jelas adalah membuangbuang uang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, baik untuk agama ataupun
untuk urusan dunia. Sedang dalam hadisnya dengan tegas Rasulullah s.a.w.
melarang membuang-buang harta. Larangan ini dapat diperkuat lagi, kalau
ternyata harta tersebut amat dibutuhkan untuk dirinya sendiri, atau keluarganya.

BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sesungguhnya manusia telah diberikan tuntunan dan
aturan tentang halal dan haram yang diturunkan Allah SWT lewat
Al-Quran demi kebaikan manusia, salah satunya dalam kebiasaan manusia
muslim yang banyak ditinggalkan seperti merokok. Allah sudah menjelaskan
dalam firman Allah: "Janganlah kamu membunuh diri-diri kamu, karena
sesungguhnya Allah Maha Belas-kasih kepadamu." (an-Nisa': 29) "Jangan kamu

10

mencampakkan diri-diri kamu kepada kebinasaan." (al-Baqarah: 195) Dan


Rasulullah s.a.w. pun bersabda: "Tidak boleh membuat bahaya dan membalas
bahaya." (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah) (Qardhawi Y, 1993).
Sesuai dengan firman Allah SWT ini, maka sesungguhnya rokok
(tembakau) selama hal itu dinyatakan membahayakan, maka menghisap rokok
hukumnya adalah haram. Lebih-lebih dokter spesialis sudah menetapkan hal
tersebut kepada kita tentang bahayanya merokok.
3.2. Saran
Maka sebaik-baik manusia muslim adalah manusia yang menaati perintah
Allah SWT. Maka saya memberikan saran untuk segera menghentikan kebiasaan
merokok kepada para muslim yang merokok karena merokok adalah kebiasaan
yang hanya bersifat merugikan seperti merusak kesehatan perokok itu sendiri dan
orang disekitar perokok(perokok pasif), membuang-buang uang untuk sesuatu
yang tidak bermanfaat, baik untuk agama ataupun untuk urusan dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi, Y. 1993. Halal dan Haram Dalam Islam Oleh Syekh Muhammad Yusuf
Qardhawi. PT.Bina Ilmu.
Nurkholis, M. 2009. Kenapa Halal, Kenapa Haram? for Kids. DAR!
Mizan: Bandung.

11

Sari, Ari Tris Ochtia; Ramdhani, Neila dan Eliza, Mira. 2003. Empati dan Perilaku
Merokok di Tempat Umum. Jurnal Psikologi, 30: 81-90.
Wicaksono R. 2006. Fatwa-fatwa Haram Rokok . Halal Guide

12

Anda mungkin juga menyukai