PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Brown-Squard Syndrome pertama kali ditemukan oleh Charles Edouard
Brown-Squard (1817-1894) pada pasien dengan hemiseksi korda spinalis pada tahun
1849. Brown-Squard adalah seorang yang dikenang berkat kontribusinya di bidang
neurologi. Ia adalah seorang peneliti dan penulis. Brown-Squard Syndrome adalah
penemuan pertamanya. Sindrom brown-Sequard (BSS) adalah lesi sumsum tulang
belakang yang ditandai dengan hilangnya fungsi motorik ipsilateral dan hilangnya
sensasi nyeri dan sensitivitas temperatur. Hal ini terjadi paling sering setelah cedera
traumatik atau kompresi tumor sumsum tulang belakang. (Julio Urrutia et al, 2010)
Sindrom ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1849 dengan kasus trauma
pada medula spinalis akibat tusukan pisau tapi kemudian setelah itu Brown Sequard
Syndrome dilaporkan banyak terjadi pada pasien trauma spinal atau pasien dengan
neoplasma pada spinal. Sejak pertama kali dilaporkan herniasi medula korda spinalis,
dipublikasikan oleh Wortzman dkk pada tahun 1974, total kasus sekitar 92 telah di
laporkan dalam literatur, kebanyakan terjadi pada dekade akhir. Namun, kami
meyakini bahwa kasus herniasi korda spinalis tidak sejarang seperti yang dilaporkan.
Semakin awal disadari maka semakin banyak yang akan terdiagnosis dengan penyakit
ini (Abouhashem et al, 2013).
DEFINISI
BSS merupakan syndrome yang dimana kehilangan dari fungsi motorik
ipsilateral bagian atas akibat disfungsi saluran kortikospinalis, disertai hilanganya
sensasi getaran, nyeri dan suhu akibat spinocerebellar dan traktus spinotalamikus
(Julio U
et al
, 2010).
EPIDEMIOLOGI
Telah ditemukan 42 kasus brown sequard syndrome yang telah dilaporkan
disebabkan karena herniasi pada diskus servikalis. Terhitung 1-4% karena trauma
pada spinal cord (11. 000 diantanya 40 kasus baru per 1 juta populasi di Amerika
Serikat). Rata-rata pasien yang terkena berusia 40 tahun (Andre P, 2010). Dalam
penelitian menunjukkan frekuensi lebih besar pada laki-laki daripada perempuan,
temuan ini terkait dengan cedera traumatis. Kejadian terutama pada orang berusia 1630 tahun, dan pada beberapa dekade terakhir meningkat pada usia dewasa
(Vandenakker et al., 2014).
ETIOLOGI
Penyebab umum dari BSS antara lain trauma, neoplasma, hernia disc,
demielinisasi, infeksi / peradangan atau epidural hematoma dengan trauma tembus
BBS karena trauma bisa disebabkan oleh benda tajam seperti pisau (Rangga, 2014).
BSS juga bisa disebabkan oleh metastasis, meningioma, neufibroma, spinal
vascular malformation dan tumor vascular, kista epidermoid maupun dermoid
(Tsementzis S, 2012)
PATOGENESIS
Patofisiologi dari Brown-Squard Syndrome adalah kerusakan traktus korda
spinalis asenden dan desenden pada satu sisi korda spinalis. Serabut motorik dari
traktus kortikospinal menyilang pada pertemuan antara medulla dan korda spinalis.
Kolumna dorsalis asenden membawa sensasi getar dan posisi ipsilateral terhadap akar
masuknya impuls dan menyilang diatas korda spinalis di medulla. Traktus
spinotalamikus membawa sensasi nyeri, suhu dan raba kasar dari sisi kontralateral
tubuh. Pada lokasi terjadinya cedera spinal, akar saraf dapat terkena. Kehilangan
fungsi pada bagian ipsilateral juga disebut Horners syndrome (Andre P, 2010).
Lesi mempengaruhi sekitar setengah kiri atau kanan penampang spinal cord
pada satu tingkat menciptakan hemiseksi. Keterlibatan traktus spinotalamikus
menghasilkan defisit kontralateral terhadap rasa sakit dan sensasi suhu. Keterlibatan
bagian dorsal atau posterior menghasilkan defisit ipsilateral terhadap getaran atau
posisi. Keterlibatan traktus kortikospinal anterior menghasilkan kelemahan ipsilateral
dengan masing-masing tanda pada lower motor neuron (LMN) dan upper motor
neuron (UMN) (Merchut, 2012; Ranga dan Aiyappan 2014).
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang terjadi pada BSS antara lain (Ropper AH, 2009):
Pada sisi lesi jaras motorik desenden terganggu, dan setelah syok spinal awal
menghilang, maka akan menyebabkan paralisis spastik ipsilateral di bawah tingkat
lesi dengan hiperrefleksia dan refleks abnormal pada jari jari kaki. Ipsilateral
kerena traktus telah menyilang pada tingkat yang lebih tinggi, dan spastik karena
traktus tersebut mengandung serat ekstrapiramidal.
Cedera funiculus menghilangkan rasa untuk posisi, getaran dan diskriminasi taktil
dibawah tingkat lesi.
Ataksia seharusnya dapat ditemukan, tetapi tidak terlihat karena adanya ipsilateral
paralisis.
Rasa nyeri dan suhu menghilang pada sisi kontralateral di bawah tingkat lesi
Rasa taktil sederhana tidak menurun, karena serat yang mengirim rasa ini
menggunakan dua jaras yaitu funikuli posterior dan traktus spinotalamikus
anterior.
DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom Brown-Sequard dibuat atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium juga mungkin berguna dalam etiologi
non trauma, seperti penyebab oleh karena infeksi atau neoplastik. Pada pemeriksaan
labolatorium juga diperiksa sputum jika dicurigai infeksi Tuberkulosis. Jika
penyebabnya adalah traumatis, jangan ragu untuk mempertimbangkan bahwa cedera
lain mungkin bisa terjadi. Salah satu daerah yang biasa diabaikan adalah perut;
kemungkinan cedera intra-abdominal harus diperhitungkan. Selalu pertimbangkan
pemeriksaan gambaran perut / panggul ketika sumsum tulang belakang mengalami
cedera (Ranga, 2014).
Jika cedera tulang belakang yang disebabkan oleh trauma, hipotensi dapat
terjadi akibat penyebab hemoragik. Pasien ditangani secara konservatif dengan
stabilisasi tulang belakang servikal, terapi suportif dan fisik. Pasien berada dibawah
follow up selama enam bulan terakhir dan telah menunjukkan peningkatan yang
progresif dalam kekuatan dan sensasi otot dengan hanya sisa ringan dari kelumpuhan
tungkai kanan bawah (Ranga, 2014).
TATALAKSANA
Pasien dengan Brown-Squard Syndrome akibat trauma perlu dievaluasi
kemungkinan adanya cedera lain, seperti halnya penderita trauma. Evaluasi lain dapat
meliputi :
- pemasangan kateter urin
- imobilisasi
- pemasangan naso-gastric tube
- Imobilisasi servikal, vertebra dorsal bawah, dan imobilisasi dengan hard
collar jika terjadi cedera servikal
infeksi.
Pemberian medikamentosa (farmakoterapi) bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Terapi yang diberikan adalah medikamentosa kortikosteroid untuk mengurangi
kompresi akibat udem disekitar lesi. (Abouhashem, 2012). Beberapa studi
menyebutkan bahwa cedera tulang belakang pada pasien anak memiliki tingkat
pemulihan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa (Altun et al., 2014).
Terapi fisik yang mungkin bisa diterapkan pada pasien BSS anatara lain ( Jones
and Barlet, 2010):
1. monitor perubahan pada perbaikan
2. perbaiki status keadaan pasien
3. pertahankan integritas dari kulit pasien
4. perbaiki kekuatan pasien
5. meningkatkan usaha untuk mengembalikan fungsi mobilitas pasien
6. meningkatkan control posisi tubuh pasien
7. mendukung atau memberi motivasi pada pasien ataupun keluarga pasien
PROGNOSIS
Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan
untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera
medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri prognosis dari BSS tergantung dari
penyebab dan seberapa jauh luas daerah yang terkena. Karenan berbanding lurus
dengan keparahan dan tingkat kesembuhannya . Pasien dengan cedera medua spinalis
komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan
total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada
(Urrutia & Fadic, 2012)
KOMPLIKASI
Available from :
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/neurology/Spinal%20Cord
%20Disorders.pdf [Accessed : 2015, April 7]